Baskoro menggeleng. “Siapa yang mau membandingkan, Bu? Bukannya selama ini yang selalu membanding-bandingkan mereka itu Ibu? Bapak sama sekali tidak pernah,” kilahnya.“Terus kenapa tiba-tiba ngomongin soal pengeluaran yang bertambah?” Lina masih menatap tajam suaminya.“Karena Bapak tidak bisa menambah jatah uang belanja lagi. Ibu ‘kan tahu gaji Bapak sudah dipotong setiap bulan untuk angsuran. Sisa gaji hampir semuanya dikasih ke Ibu. Bapak hanya pegang uang buat beli bensin saja. Bapak mau dapat uang dari mana lagi, Bu?” ujar Baskoro."Ya, Bapak lembur atau cari penghasilan tambahan dong," cetus Lina."Bapak sudah tua, Bu. Tenaga dan kesehatan Bapak tidak seperti dulu lagi. Kalau masih seusia Surya atau Satrio, Bapak mau-mau saja cari penghasilan tambahan. Kalaupun lembur 'kan juga tidak setiap hari," sahut Baskoro.Lina mendengkus. Dia kesal pada suaminya tapi apa yang dikatakan Baskoro juga benar. Pria paruh baya itu sudah tidak sekuat dahulu, kalau habis dapat shift malam sering
“Bang, masa Ibu ngomong kalau Bapak pengen makan di restoran yang kita ajak dulu itu.” Isha menunjukkan pesan Lina pada suaminya saat mereka tengah bersantai di ruang tengah.Satrio membaca pesan dari ibu mertuanya di gawai sang istri. “Coba tanya sama Bapak kapan liburnya, kita ajak ke sana lagi,” ucapnya.“Tapi aku ga yakin Bapak yang pengen, Bang. Ini pasti Ibu atau Vita yang pengen. Bapak mana pernah ngomong pengen apa.” Isha tak mau percaya begitu saja pada ibu tirinya.“Jangan suuzan dulu, Dek. Lebih baik konfirmasi sama Bapak. Kalau memang Bapak beneran pengen ke sana, ya kita agendakan pas Bapak libur. Kalau cuma kemauan Ibu atau Vita, kita ajak makan ke tempat lain,” sahut Satrio.“Bang Satrio, mau traktir Vita sama Surya?” Isha tampak tak suka dengan ide suaminya.“Ga ada salahnya berbagi rezeki, Dek. Anggap saja sekalian syukuran kehamilan Dek Isha. Kita ‘kan sudah makan malam bersama keluarga Abang. Besok gantian dengan keluarga Dek Isha,” tutur Satrio dengan bijak.“Kalau
“Kok di sini makannya, bukan di restoran yang kemarin Bapak sama Ibu pergi,” keluh Vita saat tiba di tempat makan yang sudah dipesan oleh Satrio. Sebenarnya restoran itu bukan restoran kecil dan biasa saja karena cabangnya ada di mana-mana. Namun karena tak seperti yang Vita inginkan, jadi dia merasa kecewa.“Kamu ga mau makan di sini?” Lina bertanya pada putrinya.“Ya, kalau dibayarin mau,” sahut Vita tak tanpa merasa malu.“Ya sudah, terima saja makan di sini. Nanti ‘kan dibayarin sama Isha dan Satrio,” tukas Lina yang lama-lama kesal juga dengan putrinya yang selalu ingin bermewah-mewahan tapi tak mau keluar uang.“Gapapa ya kita makan di sini dulu,” ucap Vita sambil mengelus perutnya yang sudah kelihatan sedikit membuncit.Kedatangan keempat orang itu disambut oleh karyawan resto. Setelah mengatakan kalau mereka diundang oleh Satrio, karyawan tersebut mengantarkan ke tempat di mana Satrio dan Isha berada.“Kamu beneran Isha?” Baskoro menatap putri sulungnya dengan saksama karena p
Malam ini keluarga inti Satrio bertandang ke rumah pengantin baru itu. Mereka makan malam bersama di sana sekaligus membahas resepsi pernikahan Satrio dan Isha yang rencananya akan digelar tak lama lagi.“Ini puding karamel buatan Dek Isha, ayo dicoba mumpung masih dingin.” Satrio membawa nampan yang berisi enam puding karamel dan disajikan di atas cawan putih. Isha kemudian memberikan satu cawan pada setiap orang.“Gila! Ini sih enak banget. Lembut dan manisnya pas.” Nila yang pertama kali berkomentar setelah mencoba puding buatan kakak iparnya.Laksmi mengangguk. Setuju dengan putri bungsunya. “Iya, benar-benar enak. Bisa ini kalau dijual. Apalagi bahannya premium, teman-teman mama pasti banyak yang mau,” ucapnya.“Tuh ‘kan benar apa yang Abang bilang. Dek Isha, itu bakat di bidang kuliner. Kalau mau, nanti Abang bikinkan toko yang khusus menjual dessert premium. Abang yakin bakal laris manis.” Satrio mengompori istrinya.“Mama dukung banget. Nanti mama bantu promosinya.” Laksmi jad
“Perkenalkan saya Krisna, papanya Bhumi, ehm maksud saya Satrio.” Krisna memperkenalkan diri saat bertemu dan berjabat tangan dengan Baskoro.“Salam kenal, Pak Krisna. Saya Baskoro, bapaknya Isha,” balas Baskoro tak kalah ramah.“Saya Laksmi, mamanya Satrio.” Gantian wanita paruh baya berpenampilan anggun yang memperkenalkan diri pada Baskoro. Selanjutnya disambung oleh Bisma dan Nila. Kedua keluarga itu akhirnya bertemu di ruangan privat salah satu restoran ternama setelah Satrio mengatur semuanya. Sebelum bertemu dengan keluarga Isha, pria berambut ikal itu memberi tahu keluarganya kalau selama ini dia dikenal sebagai Satrio, bukan Bhumi. Karena itu dia meminta keluarganya menyesuaikan panggilan padanya.Setelah kedua keluarga saling bersalaman dan memperkenalkan diri, mereka mengobrol sambil menyantap hidangan yang sudah disajikan di atas meja sesuai yang dipesan oleh Satrio. Dia sengaja memesan terlebih dahulu agar tidak terlalu lama menunggu, dan dimanfaatkan oleh Lina maupun Vi
“Kayanya keluarga Bang Satrio mau menyaingi resepsiku kemarin, Bu,” lontar Vita saat mereka dalam perjalanan pulang.“Menyaingi gimana maksudmu, Vit?” tanya Lina.“Ya, mau nunjukin kalau mereka bisa mengadakan resepsi yang lebih bagus dari kita, Bu. Tadi ‘kan mamanya Bang Satrio bilang mereka bikin acaranya dua sesi. Terus juga tempatnya di hotel bintang lima. Lihat ini undangannya aja mewah gini.” Vita menunjukkan undangan resepsi yang tadi diberikan oleh Laksmi.“Ibu belum pernah lihat undangan kaya gini,” cetus Lina.“Aku juga belum pernah, Bu. Desain dan temanya memang beda dari yang lain. Ini ada kartu buat masuk sama ambil suvenir. Kalau ga bawa kartu ini, ga boleh masuk. Undangannya juga berlaku buat dua orang saja.” Vita menyebutkan isi yang ada dalam undangan.“Kalau undangannya cuma berlaku buat dua orang, ga bisa ngajak yang lain dong. Perhitungan banget sih mereka batesin jumlah orang tiap undangan. Biasanya juga satu undangan itu, satu rumah yang datang,” protes Lina.“Di
Isha membelalakkan begitu mendengar tawaran dari suaminya. “Apa? Keliling Eropa, Bang?”Satrio mengangguk. “Iya. Mau ‘kan?”“Berapa hari itu?” tanya Isha kemudian.“Gimana kalau sebulan? Biar kita puas jalan-jalannya,” jawab Satrio dengan senyum di wajahnya.“Hah! Sebulan? Apa ga kelamaan, Bang?” tukas Isha.“Enggak. Banyak yang liburan lebih dari itu. Lagian Abang juga ga murni liburan, Dek. Sambil ngurus kerjaan dan ketemu sama orang di sana,” lontar Satrio.“Aku pikir-pikir dulu, Bang,” putus Isha.“Apa yang harus dipikirkan lagi, Dek? Biaya? Itu bukan masalah. Mau keliling dunia juga uang Abang masih cukup kok.” Satrio tak suka dengan keputusan istrinya.“Aku percaya Bang Satrio punya banyak uang. Tapi bukan itu yang aku pikirkan,” sanggah wanita yang sedang hamil itu.“Terus apa yang jadi beban pikiran, Dek Isha?” Satrio menyelipkan anak rambut Isha ke belakang telinga.“Aku ‘kan belum punya paspor, Bang. Lagian aku juga sedang hamil muda. Memangnya boleh pergi jauh?” Isha akhirn
“Bagaimana kabarnya, Pak?” sapa Krisna kala bersalaman dengan Baskoro di restoran.“Alhamdulillah baik. Terima kasih, Pak, kami sudah disewakan kamar yang bagus dan diajak makan malam di sini,” balas Baskoro.“Semoga Pak Baskoro dan keluarga, nyaman dengan kamarnya,” lontar Krisna.“Alhamdulillah kamarnya sangat nyaman, Pak. Kalau kelamaan menginap di sini, saya takut jadi betah,” seloroh Baskoro yang diikuti dengan tawa.“Pak Baskoro, bisa saja. Ayo duduk, Pak. Langsung saja pilih menu yang akan dipesan,” ujar Krisna.Begitu melihat buku menu, Baskoro malah bingung mau pesan apa. Apalagi harga makanannya tidak ada yang murah. “Is, tolong kamu pesankan yang menurutmu cocok untuk bapak,” pintanya pada Isha.“Ya, Pak,” sahut Isha yang langsung memilihkan makanan untuk sang bapak. Dia tahu bapaknya tidak akan memanfaatkan kesempatan seperti ibu dan adik tirinya. Selain itu Baskoro juga takut membuang-buang makanan karena tidak cocok dengan lidahnya.“Masa milih makanan sendiri ga bisa, P
“Beberapa hari ini kok rumahnya sepi, Bu? Pulang ke kampung ya?” tanya pemilik warung pada Lina saat sedang belanja di sana.Lina tersenyum. “Bukan ke kampung, Bu, tapi ke puncak. Menantu saya ngajak staycation di vila miliknya,” jawabnya dengan penuh rasa bangga.“Suaminya Vita ya, yang ngajak,” tebak seorang tetangga yang juga sedang belanja di warung tersebut. Sepengetahuan para tetangga, keluarga Surya adalah orang berada karena Lina sering memuji suami Vita saat belanja di warung.Lina menggeleng. “Bukan, Bu. Tapi Satrio, suaminya Isha,” ungkapnya.“Apa? Satrio yang pengangguran itu, Bu?” seru salah satu ibu-ibu yang terkejut mendengar ucapan Lina.Istri Baskoro itu mengangguk. “Iya. Ibu-ibu pasti kaget ‘kan?” tanyanya sambil melayangkan pandangan pada ibu-ibu yang sedang belanja di sana dan dijawab dengan anggukan oleh mereka.“Saya juga kaget waktu tahu siapa sebenarnya Satrio,” ucap Lina sambil tersenyum menyeringai.“Memangnya siapa sebenarnya Satrio, Bu? Artis sinetron atau
Surya masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Berjaga-jaga kalau Vita tiba-tiba menyusul ke kamar. Setelah memastikan keadaan aman, Surya pun mengambil ponsel pintarnya yang ada di saku celana.“Ke, kenapa kamu telepon? Kamu tahu ‘kan aku lagi ngumpul sama keluarga istriku?” cecar Surya begitu menerima panggilan di gawainya.“Aku ‘kan khawatir sama kamu, Ya. Tadi katanya mau ngabarin kalau udah nyampai puncak. Tapi kamu sama sekali ga ngabarin aku. Pesanku juga ga kamu buka, apalagi dibalas. Makanya aku telepon biar aku tahu di mana posisimu sekarang.” Ike beralasan.Surya mendesah. “Sori, aku lupa. Tadi begitu nyampe, aku langsung tidur. Aku nyampe sini tadi sekitar jam empat. Aku sekarang lagi barbekuan sama keluarga istriku dan kakak iparku. Udah ya, Ke. Aku ga bisa lama-lama ngomong sama kamu.” Tanpa menunggu tanggapan dari Ike, Surya mengakhiri panggilan tersebut. Suami Vita itu lantas menonaktifkan ponselnya agar Ike tak lagi menghubunginya. Dia memasukkan ponselnya ke tas ransel
Vita terkejut saat bangun karena pinggangnya terasa berat. Begitu tahu kalau tangan Surya yang menindih tubuhnya, Vita pun tersenyum. Wanita itu kemudian memutar badannya hingga berhadapan dengan sang suami tercinta. “Kamu kok sweet banget sih, Beb,” ucap Vita sambil menyentuh wajah suaminya.Surya yang merasa terganggu tidurnya karena mendapat sentuhan, lantas membuka mata. “Sudah bangun, Beb?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.Vita mengangguk. “Jam berapa nyampe? Kok ga ngabarin kalau mau ke sini?” Dia menatap lekat wajah yang sangat dirindukannya itu.“Sekitar jam empat. Emang sengaja ga ngabarin biar jadi kejutan,” timpal Surya sambil meringis. “Kamu pasti terkejut ‘kan. Hayo ngaku!” sambungnya.Wanita yang sedang hamil itu kembali mengangguk. “Aku benar-benar terkejut sih, Beb. Kirain tadi Ibu yang pindah tidur di sini. Tapi aku bingung, kok pakai meluk pinggang segala? Ibu ‘kan ga pernah meluk pinggangku kalau tidur bareng. Setelah kulihat kok ternyata tanganmu, Be
"Ga mampir ngopi dulu, Ya?" tanya Ike saat Surya menghentikan mobil di depan pintu lobi bangunan apartemen dan tidak masuk ke area parkir.Surya menggeleng. "Makasih. Lain kali aja, Ke," sahutnya sambil menurunkan kaca jendela pintu yang dibuka oleh petugas yang berjaga di depan lobi."Oke. Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari kalau udah nyampe," pesan Ike sebelum turun dari mobil."Siap. Aku pergi dulu," pamit Surya setelah Ike turun dan menutup pintu mobil.Ike melambaikan tangan saat kendaraan milik Surya itu meninggalkan kompleks apartemennya. Setelah mobil tak terlihat lagi, dia baru masuk ke lobi lantas berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai sepuluh di mana unitnya berada.Surya memutuskan menyusul Vita ke puncak untuk mengurangi rasa bersalahnya karena sejak semalam sampai tadi, Ike terus menempel padanya. Wanita itu bahkan tak malu bergelayut manja di lengannya saat berkumpul dengan teman-teman kuliah mereka. Memang tidak semua teman kuliahnya tahu kalau dia su
“Vit, ayo pergi.” Lina menarik putrinya yang tak bergerak dan terus memandangi kakak iparnya padahal mereka sudah berpamitan pada Isha dan Satrio. Baskoro pun sudah beranjak dari taman samping.“Bu, aku ga jadi ikut aja.” Vita coba melepas tangan sang ibu yang menarik lengannya.“Kenapa ga jadi ikut?” Lina mengerutkan kening melihat sikap Vita. “Jangan punya pikiran aneh-aneh, Vit! Mending kamu ikut aja. Bapak sudah nungguin di mobil.” Lina tetap menarik putri kandungnya itu menuju mobil yang akan membawa mereka ke kebun teh.“Ibu kenapa sekarang maksa aku ikut sih,” protes Vita saat sedang berjalan menghampiri mobil yang sudah menanti mereka.“Mau ngapain juga kamu di sini sendirian? Mau jadi obat nyamuk buat Isha sama Satrio? Nanti galau lagi karena ga ada Surya,” lontar Lina dengan frontal.Vita mendengkus mendengar ucapan sang ibu yang kalau dipikir-pikir ada benarnya. Isha dan Satrio pasti terus berduaan. Mereka seperti ga pernah terpisah sebentar saja. Di mana ada Isha pasti ada
"Dek, renang yuk." Satrio mengajak Isha usai mereka menjalankan salat Duha sendiri-sendiri di kamar."Airnya dingin banget ga, Bang?" tanya Isha sambil melipat mukenanya.Satrio yang sedang melepas baju koko, menggeleng. "Ga terlalu, Dek. Ini 'kan udah agak siang. Matahari juga udah nongol dari tadi," jawabnya."Tapi aku ga bawa baju renang, Bang," lontar Isha seraya meletakkan alat salatnya di atas meja."Coba dicek dulu, Dek. Harusnya ada karena kemarin Abang masukin baju renang ke koper," timpal Satrio.Isha tampak terkejut. "Serius, Bang Satrio, masukin baju renang ke koper? Kok aku ga tahu sih?" ucapnya dengan kening yang mengerut."Abang masukin waktu Dek Isha lagi mandi kayanya," cakap Satrio sambil mengingat-ingat saat melakukannya."Masa sih?" Isha kemudian membuka koper pakaian mereka. Dia memang tak mengeluarkan pakaian dari koper dan menatanya di lemari karena semalam sudah capek setelah tiba di vila. Mau dikeluarkan semua juga tanggung karena tinggal semalam lagi mereka m
"Kalau Bapak sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh atau ke mana, bilang saja sama Pak Kasno biar diantar ke sana, Pak." Satrio bicara pada Baskoro kala mereka bersantai di taman samping yang menghadap kolam renang setelah mereka makan pagi bersama."Memangnya kamu dan Isha tidak jalan-jalan?" Baskoro menoleh pada menantunya.Satrio menggeleng. "Dek Isha, ga mau, Pak. Katanya jalan-jalannya di sekitar sini saja karena sudah pernah ke kebun teh waktu saya ajak ke sini tempo hari," jelasnya.Baskoro menganggut. "Ya sudah, nanti Bapak tanya sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh apa tidak," timpalnya."Mumpung libur ga ada salahnya jalan-jalan, Pak. Biar pikiran jadi lebih segar. Saya lihat Bapak ‘kan juga jarang bepergian kalau libur. Soal tiket masuk dan lainnya, ga usah dipikirkan. Pokoknya Bapak sama Ibu nanti tinggal berangkat saja dan nikmati liburannya," lontar pria berambut ikal itu."Wah, bapak jadi ga enak, Sat. Semua kamu yang menanggung. Terima kasih banyak ya. Kamu sudah menci
“Kalian dari mana?” tanya Lina saat Baskoro, Satrio, dan Isha masuk ke ruang tengah bersamaaan. Lina yang sedang menonton acara gosip merasa penasaran dengan apa yang dilakukan ketiga orang itu. "Dari jalan-jalan," sahut Baskoro. "Tolong ambilkan air putih hangat ya, Bu. Bapak haus," pintanya kemudian. Mau tak mau Lina berdiri dari duduknya lalu pergi ke dapur, mengambilkan minum untuk suaminya. “Bang Satrio, mau minum apa?” Isha bertanya pada suaminya. “Dek Isha, istirahat aja. Biar Abang ambil sendiri sekalian bikin susu buat Dek Isha,” jawab Satrio sambil membimbing istrinya duduk di sofa ruang tengah. Pria berambut ikal itu kemudian pergi ke dapur. Membuat kopi untuknya sendiri, dan susu hamil untuk sang istri. Lina kembali ke ruang tengah sambil membawa segelas air hangat. Dia kemudian memberikannya pada Baskoro. “Ini Pak, air angetnya,” ucapnya. “Terima kasih, Bu,” timpal Baskoro saat menerima minumannya. Setelah berdoa, pria paruh baya itu pun mulai membasahi tenggorokann
“Kamu kenapa belum tidur, Vit?” Lina menghampiri Vita yang duduk seorang diri di ruang tengah vila. Lina yakin putrinya itu tidak melihat acara televisi yang sedang ditayangkan di layar datar tersebut. Dia yakin TV itu hanya sebagai pengisi suara agar ruangan tersebut tidak sepi dan Vita tidak merasa sendiri.“Eh, Ibu.” Vita kaget saat sang ibu tiba-tiba sudah duduk di sampingnya. Dia sama sekali tidak mendengar suara langkah kaki karena selain kalah dengan suara TV, juga sedang melamun.“Kamu ngapain malah duduk di sini? Bukannya tidur. Ini sudah tengah malam loh, Vit,” tegur Lina seraya menatap putrinya yang tampak sedang tidak baik-baik saja.“Aku ga bisa tidur, Bu. Dari tadi udah berusaha tidur, tetap ga bisa,” timpal Vita.“Kamu pasti lagi kepikiran sesuatu. Iya ‘kan?” tebak Lina.Wanita yang sedang hamil itu mengangguk.“Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Lina dengan lembut.“Mas Surya, Bu. Dari tadi aku hubungi ga bisa. Ditelepon ga diangkat. Aku kirim pesan juga belum dibac