Satrio seketika mengejar Isha yang berlari ke toilet. Karena kekhawatiran yang dirasakannya, dia tak peduli masuk ke toilet wanita, mengikuti istrinya. Membuat dua wanita yang berdiri di depan kaca terkejut melihatnya."Heh! Ini toilet wanita, ngapain kamu masuk sini? Mau ngintip ya?" Seorang wanita menegur Satrio dengan keras."Maaf, saya mengikuti istri saya yang baru masuk tadi," ucap Satrio sambil mencari bilik toilet di mana istrinya berada.Tak lama terdengar suara orang muntah di salah satu bilik. "Itu istri saya yang muntah." Satrio memberi tahu dua wanita tadi agar tidak salah paham dan menganggapnya akan berbuat mesum."Ya udah, dibantu istrinya. Tapi jangan lama-lama di sini," sahut wanita tadi.Satrio mengangguk lantas membuka pintu bilik di mana istrinya berada. Untung Isha tidak mengunci pintu, jadi dia bisa langsung masuk. Satrio langsung memegang tengkuk sang istri, lalu memijatnya dengan lembut. Isha terus mengeluarkan isi perutnya sampai tidak ada yang keluar dari m
Isha langsung mandi dan ganti baju begitu tiba di rumah. Sementara itu, Satrio menemui Marni di dapur. Dia minta dibuatkan teh jahe seperti yang disarankan mamanya. Sambil menunggu, Satrio memasukkan sebagian kotak makan ke kulkas, sebagian lagi dia berikan pada Marni untuk dibawa pulang karena tak yakin bisa menghabiskan semuanya dalam kondisi Isha yang kurang enak badan.“Teh jahenya mau diminum sekarang, Pak?” tanya Marni setelah selesai membuat pesanan sang majikan.“Satu cangkir saja, Bi. Sisanya dimasukkan ke termos. Nanti kalau Dek Isha mual lagi biar saya berikan ke dia,” jawab Satrio.“Loh, ini buat Ibu, bukan buat Bapak?” Marni memandang tuannya.“Iya, buat Dek Isha. Istri saya masuk angin, Bi. Tadi muntah pas mau nyoba makanan. Makanya kami pulang duluan. Mama sama yang lain masih di hotel,” terang Satrio.“Mungkin kecapekan juga, Pak. Ibu ‘kan sama sibuknya seperti Bapak,” timpal Marni sambil memasukkan teh jahe yang dia buat ke termos.“Saya ke atas dulu ya, Bi. Kalau pek
Satrio terbangun karena mendengar suara orang berlari di kamarnya. Pria itu gegas menoleh ke samping dan tak mendapati istrinya di sana. Kepalanya lantas menoleh ke arah kamar mandi yang terbuka pintunya.Pria berambut ikal itu dengan cepat menyibak selimut dan beranjak ke kamar mandi. Dia melihat sang istri kembali mengeluarkan isi perutnya di kloset. Satrio pun langsung membantu belahan jiwanya itu.“Kenapa tadi ga bangunin Abang, Dek?” ucap Satrio saat menuntun istrinya kembali ke tempat tidur.“Keburu muntah kalau bangunin Bang Satrio,” sahut Isha dengan badan lemas.“Minum teh jahe lagi ya?” tawar Satrio setelah memastikan istrinya duduk dengan nyaman.Isha mengangguk. “Ya, Bang.”Sesudah menuangkan teh jahe dari termos ke dalam gelas, Satrio memberikannya pada sang istri. “Diminum pelan-pelan, Dek,” ucapnya.“Kenapa ga dihabiskan?” tanya pria berambut ikal itu saat melihat masih ada sisa teh jahe di dalam cangkir.“Udah, Bang. Kalau kebanyakan nanti muntah lagi,” jawab Isha samb
Satrio terus tersenyum saat menunggu istrinya di IGD. Beberapa kali dia mencium punggung tangan belahan jiwanya itu sebagai wujud cinta dan terima kasihnya. “Bang, kenapa senyum terus dari tadi?” tanya Isha yang merasa heran dengan perubahan sikap suaminya dari panik tiba-tiba terlihat bahagia.“Insya Allah, kita akan mendengar berita bahagia, Dek.” Satrio memandang istrinya dengan penuh cinta.Isha mengernyit. “Berita bahagia apa, Bang?”“Dek Isha, kok ga bilang kalau telat haidnya?” Bukannya menjawab, Satrio malah balik bertanya pada istrinya.“Aku juga lupa, Bang. Kalau dokter tadi tidak tanya, aku juga tidak ingat. Bang Satrio ‘kan juga tahu kegiatanku padat setelah kita pindah rumah,” papar Isha.“Mulai sekarang harus dikurangi kegiatannya. Fokus ke pelatihan saja sama persiapan resepsi. Yang lain bisa dilakukan lain waktu,” lontar Satrio.“Kenapa harus dikurangi, Bang? Aku enjoy saja melakukan semuanya.” Isha keberatan dengan apa yang dikatakan suaminya.“Sekarang aja Dek Isha
Satrio menghentikan mobil di pinggir jalan begitu Isha mengatakan ingin makan bubur saat itu juga. Sekarang masih pukul 3.00 pagi, tentu penjual bubur yang biasa berjualan di pagi hari masih belum menggelar dagangannya. Otak pria berambut ikal itu pun bekerja, mencoba mencari solusi. Satrio membuka aplikasi andalan semua orang untuk mencari informasi. Dia menulis kata kunci ‘bubur 24 jam di Jakarta’, tak lama setelah itu bermunculan berbagai informasi yang dibutuhkannya. Setelah menemukan lokasi penjual bubur 24 jam yang terdekat, Satrio pun mulai melajukan lagi kendaraannya.“Dek, kita sudah sampai.” Satrio membangunkan Isha saat mereka sudah tiba di warung bubur.Isha membuka mata perlahan-lahan. Keningnya mengerut saat mengumpulkan kesadaran. Tadi dia ketiduran saat menunggu Satrio mencari informasi warung bubur yang masih buka. Entah ini efek hamil atau karena kondisi badannya yang masih belum fit, hingga Isha sangat mudah tertidur.Satrio turun dari mobil terlebih dahulu. Sepert
“Yang jual siomai sebelah mana, Dek?” tanya Satrio yang melajukan kendaraannya dengan pelan begitu Isha memintanya menurunkan kecepatan mobil.“Biasanya di depan situ, Bang. Sebelahan sama yang jual bakwan kawi,” jawab Isha sambil melihat deretan penjual kaki lima yang ada di dekat tempat kerjanya dahulu.“Kok ga ada sih?” gerutu Isha karena tak melihat penjual siomai langganannya.“Kelewat mungkin, Dek. Abang parkir mobil dulu ya biar bisa nyari sambil jalan kaki.” Satrio memasukkan mobilnya di halaman tempat kerja Isha dahulu dan memarkirkan di sana.“Bang, kok parkir di sini! Nanti dimarahin loh sama yang punya toko.” Isha menegur suaminya yang parkir sembarangan.“Ga akan ada yang marahin, Dek. Tenang saja,” ucap Satrio dengan santai. Seperti biasa dia keluar dari mobil terlebih dahulu lalu membukakan pintu untuk istrinya.Tanpa diduga seorang pria yang keluar dari ruko tersebut mendekati Satrio dan menyalaminya dengan penuh hormat. “Tumben ke sini sendiri, Pak. Biasanya Pak Bayu,
Satrio dan Isha pergi ke kontrakan penjual siomai, lima belas menit sebelum waktu yang ditentukan. Mereka sengaja datang lebih awal, dengan harapan Isha bisa lebih cepat menikmati siomai yang sudah matang karena bumil itu sudah begitu mendambakan makanan tersebut.Satrio memesan sepuluh porsi siomai. Satu porsi untuk dimakan langsung, sementara sisanya dibawa pulang untuk dibekukan di freezer. Satrio sengaja melakukannya agar tidak repot lagi kalau Isha sewaktu-waktu ingin makan siomai langganannya. Mereka tinggal memanasinya, dan tidak perlu datang ke sana. Sungguh pemikiran yang cerdik ‘kan!Satrio membayar lima kali lipat dari harga normal begitu siomai diberikan padanya. Bukan penjual siomai yang meminta, tapi Satrio yang menawarkan harga tersebut agar sang penjual bersedia membuatkan siomai untuk istrinya. Uang bukan masalah untuk Satrio, yang penting apa yang diinginkan Isha bisa didapatkan.Wajah Isha langsung semringah begitu seporsi siomai sudah ada di tangannya. Binar di mat
“Dek Isha, curang!” Satrio menggerutu karena pada akhirnya dia yang menghabiskan siomai karena Isha hanya memakan potongan yang kecil. Membuat perutnya jadi terasa begah. “Ih, siapa yang curang, Bang. Kan sesuai kesepakatan, Bang Satrio dua kali suapan, aku sekali,” sanggah Isha sambil mengulum senyum.“Tapi potongan siomai Abang lebih besar dari Dek Isha,” tukas pria berambut ikal itu.“Ya, salahin tukang siomai-nya yang motongnya ga rata, Bang.” Isha membela diri.“Iya—iya, Dek.” Satrio memilih mengalah daripada berdebat dengan istrinya yang sedang hamil muda.“Bang, kita kasih tahu Bapak kapan?” Isha menoleh ke samping kanannya.“Abang ikut Dek Isha saja. Tapi sebaiknya setelah kita periksa ke dokter kandungan,” timpal Satrio seraya mengerling pada istrinya.“Aku udah ga sabar mau periksa ke dokter terus kasih tahu kabar gembira ini ke Bapak,” lontar Isha yang sudah membayangkan kebahagian bapaknya saat tahu dia sedang hamil.“Dek Isha, ga ada maksud buat menyaingi Vita ‘kan?” Sat
“Bu, kita kabur aja yuk! Aku ga tahan hidup di sini.” Vita mengeluh pada ibunya saat mereka berbaring sebelum tidur. Lina menatap lekat putrinya meskipun dalam cahaya remang-remang. “Ga usah aneh-aneh, Vit. Apa kamu lupa kemarin ada yang kabur terus ketangkap? Sekarang dia dimasukkan ke ruang isolasi. Kamu mau hidup di ruangan sempit, gelap, pengap, dan ga bisa keluar sama sekali?” “Lebih baik aku mati saja daripada dikurung di sana, Bu,” timpal Vita dengan bibir mengerucut. “Ya sudah, kalau gitu terima aja apa adanya!” tukas Lina. “Tapi aku capek banget kalau kaya gini tiap hari, Bu. Kulitku jadi cokelat, kukuku juga rusak semua. Sia-sia perawatan yang aku lakukan selama ini,” keluh Vita. “Vit, kita seperti ini sekarang karena siapa? Kamu ‘kan! Kalau kamu ga mendorong Isha dari tangga, Satrio ga akan semarah itu sama kita. Ya sudah, sekarang kamu terima aja konsekuensinya!” Lama-lama Lina merasa kesal pada Vita yang selalu dia banggakan. “Kita dibiarkan hidup sama Satrio sudah
Kondisi Abi setiap hari semakin membaik. Berat badannya terus naik karena rutin minum ASI sang ibu. Paru-parunya sudah berfungsi dengan baik, hingga tak perlu alat bantu pernapasan lagi. Jantungnya pun detaknya sudah normal. Pada hari ke-6, Abi pun keluar dari NICU, tapi belum diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter masih harus mengobservasi kondisi Abi setelah tidak berada di inkubator. Sebenarnya di hari ketiga paska-operasi, Isha sudah diperbolehkan pulang. Namun karena tak tega meninggalkan Abi sendiri di sana, dan repot kalau harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memberikan ASI-nya, akhirnya Isha tetap tinggal di ruangan rawat inapnya. Satrio yang bolak-balik karena dia tetap harus pergi ke kantor untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai presdir Digdaya Grup. Marni juga setiap hari ke rumah sakit, membawakan baju ganti untuk Isha, Satrio, dan Abi, lalu pulangnya membawa baju mereka yang kotor untuk dicuci di rumah. Selain baju, dia juga membawakan jamu pelancar ASI untuk Isha
“Sudah, tapi nanti saja aku kasih tahu kalau semua kumpul biar sekalian jelasin arti namanya.” Satrio menjawab rasa penasaran adiknya. Nila berdecak. “Terus selama Kak Bhumi belum ngasih tahu namanya, kita manggilnya apa dong? Masa Baby sih?” protes gadis yang masih kuliah semester akhir itu. “Kalau begitu panggil saja Abi. Itu nama panggilan yang diambil dari nama tengahnya,” sahut Satrio setelah berpikir beberapa saat. “Iya, deh. Suka-suka, Kak Bhumi, aja. Lagian sok misterius banget namanya sampai ga mau nyebutin.” Nila merasa gemas pada kakak sulungnya itu. “Bukannya sok misterius, tadi aku dah bilang ‘kan alasannya,” tukas Satrio. “Terus kapan rencanamu mau ngadain akikah buat Abi?” Kali ini Krisna yang bertanya. “Sunahnya tujuh hari ‘kan, Pa? Tapi aku belum tahu nanti pas itu Abi sudah bisa pulang atau belum. Menurut Papa sebaiknya gimana?” Satrio memandang papanya. “Tidak harus tujuh hari tidak apa-apa bisa setelah empat belas atau dua puluh satu hari. Tapi kalau kamu mau
Isha langsung diberi ucapan selamat oleh Baskoro, Bisman, Bayu, Marni, dan Kasno begitu dia dibawa ke kamar oleh petugas. Wanita yang baru menjadi ibu itu mengucapkan terima kasih atas perhatian dan doa-doanya mereka. Baru setelah itu Satrio mendekati sang istri yang duduk menyandar pada bagian atas brankar yang dinaikkan dan diatur posisinya sampai Isha merasa nyaman. “Makasih ya, Dek, sudah bertahan dan berjuang bersama anak kita. Terima kasih sudah melahirkan jagoan di keluarga kita,” lontar Satrio sambil menggenggam tangan sang istri tercinta. Dia duduk di kursi samping brankar, menghadap belahan jiwanya itu. Isha mengangguk. Wajahnya yang masih tampak pucat tersenyum. “Bang Satrio udah ketemu anak kita?” Dia berusaha tetap tegar dan tenang walaupun sang putra saat ini menjalani perawatan yang intensif. Pria yang kini mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung sampai siku itu, menggeleng. “Belum, Dek. Katanya kalau mau ketemu harus ke NICU. Abang maunya ke sana sama Dek
Satrio sontak berdiri kala melihat dokter keluar dari ruang operasi. Dia gegas menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana operasinya, Dok? Lancar ‘kan?” tanyanya tak sabar. Dokter itu tersenyum. “Alhamdulillah lancar. Kondisi Ibu sejauh ini stabil, tapi putra Bapak harus mendapatkan perawatan intensif karena lahir prematur dan berat badan lahirnya rendah,” jawabnya. Satrio menghela napas lega meskipun kondisi sang anak masih belum bagus. Setidaknya istri dan anaknya selamat. “Alhamdulillah. Berarti saya boleh menemui istri dan anak saya sekarang, Dok?” tanyanya lagi. Sang dokter menggeleng. “Untuk saat ini belum, Pak. Ibu masih di ruang pemulihan untuk diobservasi. Kalau putra Bapak nanti bisa ditemui di NICU, sekarang masih ditangani oleh dokter anak,” jelasnya. Bahu Satrio meluruh karena tidak bisa menemui istri dan anaknya. “Kalau begitu sebaiknya saya menunggu di mana, Dok? Di sini atau di kamarnya?” Dia kembali bertanya. “Di sini boleh. Di kamar juga boleh. Nanti kalau Ibu seles
“Vit, ada tamu tuh. Sana buka pintunya!” titah Lina yang sedang tiduran di sofa depan televisi pada putrinya setelah mendengar bel rumah berbunyi.“Siapa sih? Ganggu aja orang lagi santai!” Meskipun menggerutu, Vita tetap melangkah menuju pintu depan. Keningnya mengerut kala melihat beberapa sosok pria berbadan tinggi, kekar, dan mengenakan pakaian serba hitam. Sejujurnya dia takut melihat para pria di hadapannya yang tampangnya tampak menyeramkan dan sama sekali tak ramah.“Kalau kalian mencari Bang Satrio dan Mbak Isha, mereka tidak ada di rumah!” Vita bicara dengan ketus untuk menutupi ketakutannya.“Siapa, Vit?” Lina menyusul ke depan karena penasaran dengan tamu yang datang.“Ga tahu, Bu!” Vita menggeleng.Lina terkesiap melihat orang-orang yang bertamu. Dia langsung menelan ludah dan mendekat pada putrinya. “Mereka bukan debt collector yang mau nagih utang Satrio atau Isha ‘kan?” bisiknya.“Mana kutahu, Bu. Sejak tadi mereka cuma diam. Ga ngomong apa-apa,” balas Vita juga dengan
Bayu mendekat pada Satrio yang sedang makan siang dengan para pejabat daerah dan pengusaha lokal—yang datang di acara pembukaan anak perusahaan Digdaya Grup. "Pak, saya baru dapat kabar kalau Bu Isha jatuh dari tangga dan sekarang sedang dalam perjalanan ke rumah sakit," bisiknya usai mendapat pesan dari Marni. Satrio sontak menghentikan makan lalu mengelap mulut dengan sapu tangan. "Segera siapkan helikopter. Kita pulang ke Jakarta sekarang!" perintahnya juga dengan berbisik. "Baik, Pak." Bayu menjauh lalu melakukan koordinasi dengan yang lain untuk mengatur kepulangan sang atasan. Di setiap kantor anak perusahaan Digdaya Grup memang ada helipad untuk memudahkan transportasi para petinggi perusahaan bila ada kepentingan yang mendesak. Meskipun mengkhawatirkan keselamatan istri dan calon anaknya, Satrio tetap berusaha bersikap tenang di hadapan yang lain. Dia minta maaf pada para pejabat dan pengusaha yang semeja dengannya karena tidak bisa menemani makan siang sampai selesai. Tak l
“Mau ke mana, Bi?” tanya Vita saat melihat ART Isha akan menaiki tangga.“Saya mau manggil Ibu untuk makan siang, Mbak,” jawab Marni.“Bi Marni, lakukan pekerjaan lain saja. Biar aku yang panggil Mbak Isha.” Vita menawakan diri.“Tapi Bapak sudah pesan kalau saya sendiri yang harus manggil Ibu di kamar, Mbak.” Marni tak mau begitu saja menerima tawaran adik tiri Isha itu.Vita tampak mengernyit. “Kenapa memangnya?”“Soalnya Bapak minta saya membantu Ibu waktu turun tangga karena Bapak khawatir Ibu jatuh atau kepleset.” Marni mengungkapkan alasannya.“Kalau cuma bantu Mbak Isha turun tangga, aku juga bisa, Bi. Sudah sana Bi Marni siapin aja makannya, aku yang akan manggil Mbak Isha.” Vita meminta ART itu pergi.“Biar saya yang manggil Ibu, Mbak. Makanannya sudah siap semua kok di meja makan. Lebih baik Mbak Vita panggil bapak dan ibunya atau langsung ke ruang makan saja.” Marni tetap bersikeras memanggil Isha.“Kenapa sih ga mau dibantu, Bi? Takut saya ngapa-ngapain Mbak Isha?” tukas Vi
Vita kembali ke rumah Baskoro setelah dokter mengizinkan dia pulang dari rumah sakit. Sejak Vita dirawat sampai pulang, Surya selalu memberi perhatian walau sering diabaikan oleh sang istri. Namun pria itu tak mau menyerah begitu saja untuk mengambil hati istri yang pernah disakitinya. Walaupun Surya sudah menunjukkan perubahannya, Vita tetap bersikeras untuk bercerai. Sejak awal Surya memang tidak mau berpisah dengan istrinya. Dia ingin mempertahankan pernikahan mereka. Surya menunjukkan kesungguhannya dengan meninggalkan Ike dan tidak pernah berhubungan lagi dengan teman kuliahnya itu. Dia juga janji akan bekerja di perusahaan yang direkomendasikan oleh Satrio demi masa depan mereka meskipun harus tinggal di luar Pulau Jawa. Orang tua dari kedua belah pihak sudah berusaha menasihati dan menengahi permasalahan antara Vita dan Surya. Namun Vita tetap pada pendiriannya. Dia ingin bercerai dari Surya. Vita sudah tidak bisa percaya lagi pada suaminya jadi percuma kalau tetap bersama t