Selama hampir sebulan, Isha benar-benar sibuk mengikuti berbagai pelatihan dan kegiatan untuk mengembangkan dirinya. Dia hanya punya waktu santai saat akhir pekan yang tentu saja dihabiskan dengan suaminya. Kadang mereka staycation di puncak, hotel, atau di rumah saja.Di sela kesibukan, Isha dan Satrio tetap ikut menyiapkan resepsi pernikahan mereka. Laksmi memang sudah menyerahkan persiapan dan pelaksanaan resepsi pada wedding organizer, tapi tetap ada hal yang harus dilakukan sendiri seperti fitting baju, pemilihan undangan, suvenir, menu yang akan disajikan, dekorasi, dan yang lainnya. Pasangan pengantin baru itu tak banyak berperan karena Laksmi yang lebih banyak mengambil keputusan. Namun mereka tetap dibutuhkan kehadirannya."Bhumi, kapan kamu akan bilang sama orang tua Isha soal resepsi kalian?" Laksmi bertanya pada putra sulungnya saat Isha sedang mengepas gaun yang akan dikenakannya saat resepsi."Besok saja kalau waktunya sudah dekat, Ma. Mungkin seminggu sebelum resepsi at
Satrio seketika mengejar Isha yang berlari ke toilet. Karena kekhawatiran yang dirasakannya, dia tak peduli masuk ke toilet wanita, mengikuti istrinya. Membuat dua wanita yang berdiri di depan kaca terkejut melihatnya."Heh! Ini toilet wanita, ngapain kamu masuk sini? Mau ngintip ya?" Seorang wanita menegur Satrio dengan keras."Maaf, saya mengikuti istri saya yang baru masuk tadi," ucap Satrio sambil mencari bilik toilet di mana istrinya berada.Tak lama terdengar suara orang muntah di salah satu bilik. "Itu istri saya yang muntah." Satrio memberi tahu dua wanita tadi agar tidak salah paham dan menganggapnya akan berbuat mesum."Ya udah, dibantu istrinya. Tapi jangan lama-lama di sini," sahut wanita tadi.Satrio mengangguk lantas membuka pintu bilik di mana istrinya berada. Untung Isha tidak mengunci pintu, jadi dia bisa langsung masuk. Satrio langsung memegang tengkuk sang istri, lalu memijatnya dengan lembut. Isha terus mengeluarkan isi perutnya sampai tidak ada yang keluar dari m
Isha langsung mandi dan ganti baju begitu tiba di rumah. Sementara itu, Satrio menemui Marni di dapur. Dia minta dibuatkan teh jahe seperti yang disarankan mamanya. Sambil menunggu, Satrio memasukkan sebagian kotak makan ke kulkas, sebagian lagi dia berikan pada Marni untuk dibawa pulang karena tak yakin bisa menghabiskan semuanya dalam kondisi Isha yang kurang enak badan.“Teh jahenya mau diminum sekarang, Pak?” tanya Marni setelah selesai membuat pesanan sang majikan.“Satu cangkir saja, Bi. Sisanya dimasukkan ke termos. Nanti kalau Dek Isha mual lagi biar saya berikan ke dia,” jawab Satrio.“Loh, ini buat Ibu, bukan buat Bapak?” Marni memandang tuannya.“Iya, buat Dek Isha. Istri saya masuk angin, Bi. Tadi muntah pas mau nyoba makanan. Makanya kami pulang duluan. Mama sama yang lain masih di hotel,” terang Satrio.“Mungkin kecapekan juga, Pak. Ibu ‘kan sama sibuknya seperti Bapak,” timpal Marni sambil memasukkan teh jahe yang dia buat ke termos.“Saya ke atas dulu ya, Bi. Kalau pek
Satrio terbangun karena mendengar suara orang berlari di kamarnya. Pria itu gegas menoleh ke samping dan tak mendapati istrinya di sana. Kepalanya lantas menoleh ke arah kamar mandi yang terbuka pintunya.Pria berambut ikal itu dengan cepat menyibak selimut dan beranjak ke kamar mandi. Dia melihat sang istri kembali mengeluarkan isi perutnya di kloset. Satrio pun langsung membantu belahan jiwanya itu.“Kenapa tadi ga bangunin Abang, Dek?” ucap Satrio saat menuntun istrinya kembali ke tempat tidur.“Keburu muntah kalau bangunin Bang Satrio,” sahut Isha dengan badan lemas.“Minum teh jahe lagi ya?” tawar Satrio setelah memastikan istrinya duduk dengan nyaman.Isha mengangguk. “Ya, Bang.”Sesudah menuangkan teh jahe dari termos ke dalam gelas, Satrio memberikannya pada sang istri. “Diminum pelan-pelan, Dek,” ucapnya.“Kenapa ga dihabiskan?” tanya pria berambut ikal itu saat melihat masih ada sisa teh jahe di dalam cangkir.“Udah, Bang. Kalau kebanyakan nanti muntah lagi,” jawab Isha samb
Satrio terus tersenyum saat menunggu istrinya di IGD. Beberapa kali dia mencium punggung tangan belahan jiwanya itu sebagai wujud cinta dan terima kasihnya. “Bang, kenapa senyum terus dari tadi?” tanya Isha yang merasa heran dengan perubahan sikap suaminya dari panik tiba-tiba terlihat bahagia.“Insya Allah, kita akan mendengar berita bahagia, Dek.” Satrio memandang istrinya dengan penuh cinta.Isha mengernyit. “Berita bahagia apa, Bang?”“Dek Isha, kok ga bilang kalau telat haidnya?” Bukannya menjawab, Satrio malah balik bertanya pada istrinya.“Aku juga lupa, Bang. Kalau dokter tadi tidak tanya, aku juga tidak ingat. Bang Satrio ‘kan juga tahu kegiatanku padat setelah kita pindah rumah,” papar Isha.“Mulai sekarang harus dikurangi kegiatannya. Fokus ke pelatihan saja sama persiapan resepsi. Yang lain bisa dilakukan lain waktu,” lontar Satrio.“Kenapa harus dikurangi, Bang? Aku enjoy saja melakukan semuanya.” Isha keberatan dengan apa yang dikatakan suaminya.“Sekarang aja Dek Isha
Satrio menghentikan mobil di pinggir jalan begitu Isha mengatakan ingin makan bubur saat itu juga. Sekarang masih pukul 3.00 pagi, tentu penjual bubur yang biasa berjualan di pagi hari masih belum menggelar dagangannya. Otak pria berambut ikal itu pun bekerja, mencoba mencari solusi. Satrio membuka aplikasi andalan semua orang untuk mencari informasi. Dia menulis kata kunci ‘bubur 24 jam di Jakarta’, tak lama setelah itu bermunculan berbagai informasi yang dibutuhkannya. Setelah menemukan lokasi penjual bubur 24 jam yang terdekat, Satrio pun mulai melajukan lagi kendaraannya.“Dek, kita sudah sampai.” Satrio membangunkan Isha saat mereka sudah tiba di warung bubur.Isha membuka mata perlahan-lahan. Keningnya mengerut saat mengumpulkan kesadaran. Tadi dia ketiduran saat menunggu Satrio mencari informasi warung bubur yang masih buka. Entah ini efek hamil atau karena kondisi badannya yang masih belum fit, hingga Isha sangat mudah tertidur.Satrio turun dari mobil terlebih dahulu. Sepert
“Yang jual siomai sebelah mana, Dek?” tanya Satrio yang melajukan kendaraannya dengan pelan begitu Isha memintanya menurunkan kecepatan mobil.“Biasanya di depan situ, Bang. Sebelahan sama yang jual bakwan kawi,” jawab Isha sambil melihat deretan penjual kaki lima yang ada di dekat tempat kerjanya dahulu.“Kok ga ada sih?” gerutu Isha karena tak melihat penjual siomai langganannya.“Kelewat mungkin, Dek. Abang parkir mobil dulu ya biar bisa nyari sambil jalan kaki.” Satrio memasukkan mobilnya di halaman tempat kerja Isha dahulu dan memarkirkan di sana.“Bang, kok parkir di sini! Nanti dimarahin loh sama yang punya toko.” Isha menegur suaminya yang parkir sembarangan.“Ga akan ada yang marahin, Dek. Tenang saja,” ucap Satrio dengan santai. Seperti biasa dia keluar dari mobil terlebih dahulu lalu membukakan pintu untuk istrinya.Tanpa diduga seorang pria yang keluar dari ruko tersebut mendekati Satrio dan menyalaminya dengan penuh hormat. “Tumben ke sini sendiri, Pak. Biasanya Pak Bayu,
Satrio dan Isha pergi ke kontrakan penjual siomai, lima belas menit sebelum waktu yang ditentukan. Mereka sengaja datang lebih awal, dengan harapan Isha bisa lebih cepat menikmati siomai yang sudah matang karena bumil itu sudah begitu mendambakan makanan tersebut.Satrio memesan sepuluh porsi siomai. Satu porsi untuk dimakan langsung, sementara sisanya dibawa pulang untuk dibekukan di freezer. Satrio sengaja melakukannya agar tidak repot lagi kalau Isha sewaktu-waktu ingin makan siomai langganannya. Mereka tinggal memanasinya, dan tidak perlu datang ke sana. Sungguh pemikiran yang cerdik ‘kan!Satrio membayar lima kali lipat dari harga normal begitu siomai diberikan padanya. Bukan penjual siomai yang meminta, tapi Satrio yang menawarkan harga tersebut agar sang penjual bersedia membuatkan siomai untuk istrinya. Uang bukan masalah untuk Satrio, yang penting apa yang diinginkan Isha bisa didapatkan.Wajah Isha langsung semringah begitu seporsi siomai sudah ada di tangannya. Binar di mat
“Beberapa hari ini kok rumahnya sepi, Bu? Pulang ke kampung ya?” tanya pemilik warung pada Lina saat sedang belanja di sana.Lina tersenyum. “Bukan ke kampung, Bu, tapi ke puncak. Menantu saya ngajak staycation di vila miliknya,” jawabnya dengan penuh rasa bangga.“Suaminya Vita ya, yang ngajak,” tebak seorang tetangga yang juga sedang belanja di warung tersebut. Sepengetahuan para tetangga, keluarga Surya adalah orang berada karena Lina sering memuji suami Vita saat belanja di warung.Lina menggeleng. “Bukan, Bu. Tapi Satrio, suaminya Isha,” ungkapnya.“Apa? Satrio yang pengangguran itu, Bu?” seru salah satu ibu-ibu yang terkejut mendengar ucapan Lina.Istri Baskoro itu mengangguk. “Iya. Ibu-ibu pasti kaget ‘kan?” tanyanya sambil melayangkan pandangan pada ibu-ibu yang sedang belanja di sana dan dijawab dengan anggukan oleh mereka.“Saya juga kaget waktu tahu siapa sebenarnya Satrio,” ucap Lina sambil tersenyum menyeringai.“Memangnya siapa sebenarnya Satrio, Bu? Artis sinetron atau
Surya masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Berjaga-jaga kalau Vita tiba-tiba menyusul ke kamar. Setelah memastikan keadaan aman, Surya pun mengambil ponsel pintarnya yang ada di saku celana.“Ke, kenapa kamu telepon? Kamu tahu ‘kan aku lagi ngumpul sama keluarga istriku?” cecar Surya begitu menerima panggilan di gawainya.“Aku ‘kan khawatir sama kamu, Ya. Tadi katanya mau ngabarin kalau udah nyampai puncak. Tapi kamu sama sekali ga ngabarin aku. Pesanku juga ga kamu buka, apalagi dibalas. Makanya aku telepon biar aku tahu di mana posisimu sekarang.” Ike beralasan.Surya mendesah. “Sori, aku lupa. Tadi begitu nyampe, aku langsung tidur. Aku nyampe sini tadi sekitar jam empat. Aku sekarang lagi barbekuan sama keluarga istriku dan kakak iparku. Udah ya, Ke. Aku ga bisa lama-lama ngomong sama kamu.” Tanpa menunggu tanggapan dari Ike, Surya mengakhiri panggilan tersebut. Suami Vita itu lantas menonaktifkan ponselnya agar Ike tak lagi menghubunginya. Dia memasukkan ponselnya ke tas ransel
Vita terkejut saat bangun karena pinggangnya terasa berat. Begitu tahu kalau tangan Surya yang menindih tubuhnya, Vita pun tersenyum. Wanita itu kemudian memutar badannya hingga berhadapan dengan sang suami tercinta. “Kamu kok sweet banget sih, Beb,” ucap Vita sambil menyentuh wajah suaminya.Surya yang merasa terganggu tidurnya karena mendapat sentuhan, lantas membuka mata. “Sudah bangun, Beb?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.Vita mengangguk. “Jam berapa nyampe? Kok ga ngabarin kalau mau ke sini?” Dia menatap lekat wajah yang sangat dirindukannya itu.“Sekitar jam empat. Emang sengaja ga ngabarin biar jadi kejutan,” timpal Surya sambil meringis. “Kamu pasti terkejut ‘kan. Hayo ngaku!” sambungnya.Wanita yang sedang hamil itu kembali mengangguk. “Aku benar-benar terkejut sih, Beb. Kirain tadi Ibu yang pindah tidur di sini. Tapi aku bingung, kok pakai meluk pinggang segala? Ibu ‘kan ga pernah meluk pinggangku kalau tidur bareng. Setelah kulihat kok ternyata tanganmu, Be
"Ga mampir ngopi dulu, Ya?" tanya Ike saat Surya menghentikan mobil di depan pintu lobi bangunan apartemen dan tidak masuk ke area parkir.Surya menggeleng. "Makasih. Lain kali aja, Ke," sahutnya sambil menurunkan kaca jendela pintu yang dibuka oleh petugas yang berjaga di depan lobi."Oke. Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari kalau udah nyampe," pesan Ike sebelum turun dari mobil."Siap. Aku pergi dulu," pamit Surya setelah Ike turun dan menutup pintu mobil.Ike melambaikan tangan saat kendaraan milik Surya itu meninggalkan kompleks apartemennya. Setelah mobil tak terlihat lagi, dia baru masuk ke lobi lantas berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai sepuluh di mana unitnya berada.Surya memutuskan menyusul Vita ke puncak untuk mengurangi rasa bersalahnya karena sejak semalam sampai tadi, Ike terus menempel padanya. Wanita itu bahkan tak malu bergelayut manja di lengannya saat berkumpul dengan teman-teman kuliah mereka. Memang tidak semua teman kuliahnya tahu kalau dia su
“Vit, ayo pergi.” Lina menarik putrinya yang tak bergerak dan terus memandangi kakak iparnya padahal mereka sudah berpamitan pada Isha dan Satrio. Baskoro pun sudah beranjak dari taman samping.“Bu, aku ga jadi ikut aja.” Vita coba melepas tangan sang ibu yang menarik lengannya.“Kenapa ga jadi ikut?” Lina mengerutkan kening melihat sikap Vita. “Jangan punya pikiran aneh-aneh, Vit! Mending kamu ikut aja. Bapak sudah nungguin di mobil.” Lina tetap menarik putri kandungnya itu menuju mobil yang akan membawa mereka ke kebun teh.“Ibu kenapa sekarang maksa aku ikut sih,” protes Vita saat sedang berjalan menghampiri mobil yang sudah menanti mereka.“Mau ngapain juga kamu di sini sendirian? Mau jadi obat nyamuk buat Isha sama Satrio? Nanti galau lagi karena ga ada Surya,” lontar Lina dengan frontal.Vita mendengkus mendengar ucapan sang ibu yang kalau dipikir-pikir ada benarnya. Isha dan Satrio pasti terus berduaan. Mereka seperti ga pernah terpisah sebentar saja. Di mana ada Isha pasti ada
"Dek, renang yuk." Satrio mengajak Isha usai mereka menjalankan salat Duha sendiri-sendiri di kamar."Airnya dingin banget ga, Bang?" tanya Isha sambil melipat mukenanya.Satrio yang sedang melepas baju koko, menggeleng. "Ga terlalu, Dek. Ini 'kan udah agak siang. Matahari juga udah nongol dari tadi," jawabnya."Tapi aku ga bawa baju renang, Bang," lontar Isha seraya meletakkan alat salatnya di atas meja."Coba dicek dulu, Dek. Harusnya ada karena kemarin Abang masukin baju renang ke koper," timpal Satrio.Isha tampak terkejut. "Serius, Bang Satrio, masukin baju renang ke koper? Kok aku ga tahu sih?" ucapnya dengan kening yang mengerut."Abang masukin waktu Dek Isha lagi mandi kayanya," cakap Satrio sambil mengingat-ingat saat melakukannya."Masa sih?" Isha kemudian membuka koper pakaian mereka. Dia memang tak mengeluarkan pakaian dari koper dan menatanya di lemari karena semalam sudah capek setelah tiba di vila. Mau dikeluarkan semua juga tanggung karena tinggal semalam lagi mereka m
"Kalau Bapak sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh atau ke mana, bilang saja sama Pak Kasno biar diantar ke sana, Pak." Satrio bicara pada Baskoro kala mereka bersantai di taman samping yang menghadap kolam renang setelah mereka makan pagi bersama."Memangnya kamu dan Isha tidak jalan-jalan?" Baskoro menoleh pada menantunya.Satrio menggeleng. "Dek Isha, ga mau, Pak. Katanya jalan-jalannya di sekitar sini saja karena sudah pernah ke kebun teh waktu saya ajak ke sini tempo hari," jelasnya.Baskoro menganggut. "Ya sudah, nanti Bapak tanya sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh apa tidak," timpalnya."Mumpung libur ga ada salahnya jalan-jalan, Pak. Biar pikiran jadi lebih segar. Saya lihat Bapak ‘kan juga jarang bepergian kalau libur. Soal tiket masuk dan lainnya, ga usah dipikirkan. Pokoknya Bapak sama Ibu nanti tinggal berangkat saja dan nikmati liburannya," lontar pria berambut ikal itu."Wah, bapak jadi ga enak, Sat. Semua kamu yang menanggung. Terima kasih banyak ya. Kamu sudah menci
“Kalian dari mana?” tanya Lina saat Baskoro, Satrio, dan Isha masuk ke ruang tengah bersamaaan. Lina yang sedang menonton acara gosip merasa penasaran dengan apa yang dilakukan ketiga orang itu. "Dari jalan-jalan," sahut Baskoro. "Tolong ambilkan air putih hangat ya, Bu. Bapak haus," pintanya kemudian. Mau tak mau Lina berdiri dari duduknya lalu pergi ke dapur, mengambilkan minum untuk suaminya. “Bang Satrio, mau minum apa?” Isha bertanya pada suaminya. “Dek Isha, istirahat aja. Biar Abang ambil sendiri sekalian bikin susu buat Dek Isha,” jawab Satrio sambil membimbing istrinya duduk di sofa ruang tengah. Pria berambut ikal itu kemudian pergi ke dapur. Membuat kopi untuknya sendiri, dan susu hamil untuk sang istri. Lina kembali ke ruang tengah sambil membawa segelas air hangat. Dia kemudian memberikannya pada Baskoro. “Ini Pak, air angetnya,” ucapnya. “Terima kasih, Bu,” timpal Baskoro saat menerima minumannya. Setelah berdoa, pria paruh baya itu pun mulai membasahi tenggorokann
“Kamu kenapa belum tidur, Vit?” Lina menghampiri Vita yang duduk seorang diri di ruang tengah vila. Lina yakin putrinya itu tidak melihat acara televisi yang sedang ditayangkan di layar datar tersebut. Dia yakin TV itu hanya sebagai pengisi suara agar ruangan tersebut tidak sepi dan Vita tidak merasa sendiri.“Eh, Ibu.” Vita kaget saat sang ibu tiba-tiba sudah duduk di sampingnya. Dia sama sekali tidak mendengar suara langkah kaki karena selain kalah dengan suara TV, juga sedang melamun.“Kamu ngapain malah duduk di sini? Bukannya tidur. Ini sudah tengah malam loh, Vit,” tegur Lina seraya menatap putrinya yang tampak sedang tidak baik-baik saja.“Aku ga bisa tidur, Bu. Dari tadi udah berusaha tidur, tetap ga bisa,” timpal Vita.“Kamu pasti lagi kepikiran sesuatu. Iya ‘kan?” tebak Lina.Wanita yang sedang hamil itu mengangguk.“Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Lina dengan lembut.“Mas Surya, Bu. Dari tadi aku hubungi ga bisa. Ditelepon ga diangkat. Aku kirim pesan juga belum dibac