***Kusaini hendak meringsek maju setelah menggulung lengan bajunya. Dia menatap bengis ke arah Halimah yang sengaja menyembunyikan Gina di balik tubuh. Melihat gelagat tidak baik dari Kusaini, Vano menepis tangan para tetangga dan berdiri di depan tubuh Halimah seraya berteriak, "Berani menyentuh istriku, kupastikan kamu mendekam di penjara!"Dada Kusaini naik turun mendengar ancaman Vano. Tapi sedetik kemudian dia terkekeh hingga menampakkan seringai menyeramkan di wajahnya yang dulu terlihat teduh. Dulu ... saat luka di masa lalu belum membayang-bayangi hidupnya."Apa semua orang beruang sepertimu, Mas? Suka membeli kehidupan orang lain?" cibir Kusaini. "Asal kalian tau, Gina adalah istriku ... sampai kapanpun dia akan menjadi istriku!""Aku tidak sudi hidup dengan laki-laki gila sepertimu, Mas!" pekik Gina tertahan. "Biarkan aku pergi, urusan perceraian aku yang akan bertanggung jawab."Kusaini menggelengkan kepala tegas. Dia tidak akan pernah melepaskan Gina untuk yang kesekian k
***"Ayo masuk, Gin!" bentak Kusaini. "Jangan harap bisa kabur dari sini!"Gina menggeleng tegas. Dia mencengkeram baju bagian belakang milik Halimah membuat istri Vano itu sejenak berpikir, apa mungkin selama ini Gina mendapat ancaman sehingga dia mau-mau saja kembali dengan Kus?"Masuklah, Nak Gina. Kita selesaikan semuanya di rumah mertua kamu. Lihat, banyak tetangga yang melihat keributan kalian. Apa kamu tidak malu? Setidaknya pikirkan mental Pandu, Nak," tegur Pak RT lembut. Dia tidak tega melihat air mata yang menggenang di pelupuk mata Gina. Kesan sendu tidak bisa dia hilangkan begitu saja karena memang nasib benar-benar sudah mempermainkan dirinya."Saya ... saya takut, Pak RT. Dia bukan laki-laki waras ....""Tenanglah, saya yang menjamin keselamatan kamu. Lagipula ada banyak warga di kampung ini. Ayo!"Kusaini mencebik melihat Pak RT yang bersikap sok bijak. Dia mendekat dan mendorong bahu Halimah kasar lalu menarik tangan Gina, lebih tepatnya menyeret paksa membuat Pandu h
***"Astri," gumam Tomi lirih. Tiba-tiba Tirta berlari memeluk Tomi membuat laki-laki itu meringis kesakitan karena pinggangnya terjepit kedua tangan Tirta sedikit erat."Argh," rintih Tomi. Melihat mantan suaminya kesakitan, Astri segera berjalan tergesa-gesa dan seketika melepas pelukan Tirta dengan kasar."Ma-- maaf, Sayang. Mama hanya kasihan pada Ayah," tutur Astri kikuk setelah melihat kedua netra Tirta uang berkaca-kaca.Halimah segera mendekati Tirta dan mengusap pucuk kepala bocah itu dengan lembut. Dia menggandeng tangan keponakan tirinya untuk dibawa masuk ke dalam rumah. Tidak ingin ada tetangga yang berpikiran buruk karena kedatangan Astri dan ...."Mari masuk, Pak Rukun dan Bu Sumi," ajak Vano ramah.Kedua pasangan paruh baya itu mengangguk sungkan dan menyusul langkah Halimah bersama Tirta."Memang ayah kenapa, Tante? Kok Mama kasihan kalau Tirta peluk Ayah?"
***"Silahkan masuk, Pak RT!" pinta Eni lemah. Dia benar-benar malu mendapati sikap Kusaini yang sekarang sungguh sangat berbeda dengan Kusaini yang dulu.Pak RT bersama beberapa warga yang menjabat di kampung ini, duduk di ruang tamu rumah Eni ingin meluruskan masalah Gina dan Kus agar tidak larut berkepanjangan sehingga menimbulkan ketidaknyamanan untuk para warga."Langsung ke intinya saja, Pak RT. Kenapa sampai repot-repot mengurus rumah tangga saya, atau jangan-jangan Pak RT pun ada hati dengan Gina?"Pak RT sedikit terkejut mendengar tuduhan Kusaini yang tidak beralasan sedangkan Gina menggeleng tidak percaya jika suaminya bisa mengatakan hal sebodoh itu. Wanita berjilbab yang sedang memeluk Pandu itu segera mengelus dadanya dan membatin, "Sabar!""Tutup mulutmu, Kus!" bentak Eni tidak lagi bisa menahan amarahnya. "Sejak tadi Ibu menahan diri agar tidak mengeluarkan kata-kata menyakitkan untukmu, tapi ternyata kamu cukup tidak tau diri!""Apa Ibu sedang mengatai diri Ibu sendiri
***Kusaini hanya bisa menatap punggung istrinya yang memasuki kamar, lalu keluar dari sana dengan membawa satu tas kecil karena kopernya sudah berada di ruang tamu."Jangan pergi, Gin ...."Gina hanya menoleh sekilas, lalu melengos dan menggandeng tangan Pandu untuk mendekati kedua kakek dan neneknya."Gina ....""Talak adalah pemisah antara aku dan kamu, Mas. Setelah kamu mengucapkan kata talak, maka hubungan diantara kita tinggal menunggu surat perceraian saja. Aku harap kamu bisa bertaubat karena sebaik-baik manusia adalah yang menyesali perbuatannya di masa lalu.Jangan lagi mencariku ataupun mencari Pandu. Aku berjanji akan membesarkan dia dengan baik dan penuh kasih sayang. Aku mohon setelah ini jangan pernah menampakkan wajahmu di hadapanku karena luka yang kamu berikan benar-benar membuatku hancur. Apalagi ada benih yang kau titipkan, benih yang hadir dari perbuatan kotor."Kusaini meratap dan tergugu di sudut ruang. Air matanya tidak lagi bisa membawa Gina kembali karena yan
***Tirta melepas kepergian Tomi dengan kebencian yang mendalam. Siapa sangka, dampak dari kekerasan dan sikap buruk orang tuanya selama ini membuatnya menjadi pribadi yang pendiam dan sulit ditebak. "Kenapa kamu mendorong Tante Gina, hah?" bentak Astri geram."As, tenang!" ujar Rukun seraya menepuk lembut bahu anaknya. Astri menoleh, air matanya menggenang mengingat betapa buruk sikap yang Tirta tunjukkan barusan. "Tenang Bapak bilang? Anakku hampir saja menjadi pembunuh dan Bapak bilang aku harus tenang?" Suara Astri terdengar pilu dan bergetar. Keributan yang terjadi di dalam rumah Leha beruntung tidak terdengar tetangga yang lain. Tapi kepergian Gina dalam gendongan Tomi membuat sepasang mata menatap pedih dari arah rumahnya. Ya, Kusaini memantau kepergian istrinya yang ternyata memasuki rumah Tomi dan keluar dengan posisi dalam gendongan laki-laki lain. Tidak ingin diliputi rasa cemas dan penasaran yang begitu menggebu-gebu, Kus berlari setelah mobil Tomi menghilang dari pandan
***Sesampainya di depan pintu IGD, Tomi berteriak memanggil perawat yang berjaga dan meminta untuk dibawakan brankar. Keringat sebesar biji jagung membasahi pelipisnya apalagi saat kesadaran Gina mulai melemah. Sementara Fatma sejak tadi tiada berhenti menangis melihat wajah putrinya yang memucat dan Ahmad menggendong tubuh Pandu yang sedikit banyak memahami apa yang sedang terjadi pada Ibunya."Cepat, Sus! Saya takut pendarahannya semakin parah!" seru Tomi sembari mendorong brankar lebih cepat.Vano mengurus semua keperluan administrasi sementara Fatma dan Ahmad menunggu di luar ruangan. Setelah memasuki ruang penanganan, Tomi keluar dan duduk berdampingan dengan kedua orang tua Gina."Maaf atas perbuatan anak mantan istri saya, Pak ... Bu, dia belum bisa mengolah emosi, saya benar-benar menyesalkan perbuatannya pada Gina," tutur Tomi dengan kepala menunduk. "Setelah pulang nanti, saya pastikan akan memberikan penjelasan padanya
***"Apa maksud ucapan anak kamu ini, Mbak As?" selidik Kusaini dengan memicingkan matanya. "Siapa yang minta dinikahi, apa Gina?"Astri menoleh pada Halimah yang nampak menatap tajam ke arah Kusaini. "Lebih baik kamu susul istrimu ke rumah sakit, Kus. Anggap saja ucapan Tirta hanyalah bualan anak kecil, kamu tentu ingin tau kabar istri dan calon anakmu kan?"Kusaini tersentak sadar. Tanpa berpamitan dia langsung berlari menuju ke rumahnya. Bahkan ucapan Tirta yang sempat mengganggu pikirannya tadi seketika hilang. Yang ada dalam kekhawatirannya kali ini hanyalah Gina dan calon buah hatinya."Jangan sampai calon anakku kenapa-kenapa Ya Allah, aku mohon!" rintihnya."Mau kemana, Kus?""Ke rumah sakit, Mbak. Gina pendarahan.""Pen-- pendarahan?" Hesti memekik membuat Eni segera keluar dari dalam kamarnya setelah menghapus air mata yang membasahi pipinya."Siapa yang pe