***
"Waalaikumsalam. Ada perlu apa, Gin?"
Di seberang sana Gina menutup mulutnya bimbang. Entah apa yang akan dia katakan, yang jelas dia tidak mau Tomi dan keluarganya menanggapi ucapan Kusaini dengan serius."Maaf, Mas ...."Alih-alih ingin bercerita tentang apa yang dia rasakan kemarin. Gina justru meminta maaf pada Tomi lalu setelahnya hanya terdengar suara tangis sesenggukan."Gin ... Gina ....?"Tomi terlihat panik. Pun Halimah yang berada di sebelahnya juga tiba-tiba berdiri semakin dekat seraya memainkan dagunya seakan bertanya 'Ada apa?'"Kamu baik-baik saja?""A-- aku baik-baik sa-- saja, Mas.""Katakan kalau kamu butuh bantuan, atau ....""Maaf karena sudah membuat Mas Tomi dan keluarga repot-repot datang ke tempat kos aku."Tomi tidak menyahut, dia takut jika ternyata penjelasan yang akan Gina berikan justru adalah kebenar***"Apa Mama yang bilang, Nak?""Iya. Kata Mama kita akan tinggal lagi satu rumah."Kedua mata Tirta terpancar kebahagiaan. Entah mengapa anak sekecil itu bisa berbohong sedemikian rupa. Pasalnya, Astri tidak pernah mengatakan seperti itu, hanya saja Tirta ingin Tomi menjadi Ayahnya lagi seperti dulu. Apalagi Handoko sudah tidak pernah peduli pada dirinya sejak istri barunya melahirkan anak perempuan.Halimah mengusap lembut kepala Tirta dan berkata, "Sayang, Ayah sama Mama sudah tidak bisa tinggal satu rumah. Tirta mengerti?""Kenapa tidak bisa, Tante? Ayah dan Mama adalah suami istri, mereka harusnya tinggal bersama seperti dulu.""Itu dulu, Sayang. Dulu sebelum Mama dan Ayah memutuskan berpisah. Maaf jika Tante harus mengatakan ini, tapi Tirta harus paham kalau kedua orang tua sudah bercerai, maka tidak bisa lagi tinggal satu rumah. Sama seperti Mama dan Papa yang harus hidup terpisah.
***"Bicara sama saya, Bu?" tanya Halimah pada Diah yang sedang menyuapi cucunya makan siang. "Kalau ngomong sama saya, langsung saja nggak paket nyindir, saya orangnya nggak peka.""Siapa juga yang ngomong sama kamu," sahut Diah ketus. "Ayo, Sayang. Makan lagi biar gemuk. Duh, lucu sekali cucuku. Kasihan kalau sudah tua bukannya dikasih cucu malah dikasih beban aja terus."Kedua tangan Halimah mengepal. Ingin sekali dia mengatakan kalau dirinya sedang hamil, tapi seketika diurungkannya dan berlalu begitu saja meninggalkan Diah di depan rumahnya."Huuu, malu kan! Makanya jangan sok, mandul aja belagu!"Diurutnya baju yang melekat di dada. Lalu turun ke perut dan mengusapnya lembut. Halimah tidak mau kehamilannya terganggu karena meladeni orang-orang tidak penting di kampungnya.Sementara di tempat lain ...."Untuk apa lagi aku di kota ini jika yang kudapat hanyalah rasa kesal. Mas Kus sudah menghancurkan impianku. Lebih baik aku pulang ke rumah Ibu," gumam Gina. Dia mengemas baju-baju
***"Tanpa keluarga Bu Leha, mungkin Hesti tidak akan bisa selamat. Maaf kalau selama ini saya sudah ....""Kami sudah memaafkan, Bu Eni," sela Leha cepat. "Semoga kita semua bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi."Eni mengusap sudut matanya yang berair. Dia ingin memeluk Leha, tapi takut jikalau Leha menolak pelukan darinya. Bagaimanapun, kesalahan Eni di masa lalu begitu buruk bagi kekuatan Halimah. "Saya juga minta maaf atas nama Tarjo, Hal ...."Halimah menoleh. Dadanya berdebar hebat saat telinganya mendengar nama Tarjo. Bukan debaran cinta melainkan debaran kebencian yang begitu mendalam. "Jika saja aku bisa mendidik anak-anakku dengan baik, Tarjo pasti tidak akan melakukan hal sekotor itu. Maafkan anakku, Hal," pinta Eni dengan suara parau."Saya memaafkan semua kesalahan Bu Eni, bukan berarti kesalahan Kang Tarjo juga lolos begitu saja, Bu," sahut Halimah tegas. "Apa yang Kang Tarjo perbuat sudah fatal. Bahkan saya harus mengidap trauma akibat ulahnya. Jadi tolong, janga
***"Mari silahkan masuk, Pak ... Bu ...!" Kusaini segera memarkirkan motornya dan menuntun kedua mantan Mertuanya untuk masuk ke dalam rumah.Tiba-tiba ingatan Diah terpasang. Dia ingat jika kedua pasangan suami istri tadi adalah orang tua Gina. Tapi kenapa mereka datang kesini?"Aneh, bukannya Gina sudah lama bercerai dengan Kusaini, terus kenapa malah kedua orang tua Gina kesini?" gumam Diah penasaran. Hati yang sudah diliputi kebencian akan menimbulkan prasangka buruk kepada orang lain, dan itulah yang sedang terjadi pada Diah. Saat dirinya termangu di depan rumah Eni, tiba-tiba Eni datang dan menepuk pundak Diah kasar. "Kenapa melamun di depan rumah saya, Bu Diah?"Diah berjingkat. Matanya celingukan dan bibirnya seketika mencebik," Bukan urusan situ!" sahutnya ketus. "Ngomong-ngomong, kenapa orang tua Gina datang kesini, Bu En? Jangan-jangan ...."Tanpa menunggu Diah melanjutkan kalimatnya, Eni gegas berlari kecil menuju ke rumahnya."Nggak punya etika, ada orang ngomong malah
***"Kenapa bisa Tomi, Kus?" selidik Hesti. "Apa Gina dekat dengan Tomi? Bukankah itu hanya prasangka anak buah Ki Kusumo saja sehingga Gina sempat di sandera waktu itu?"Kusaini menggeleng. "Tidak, Mbak. Anak buah Ki Kusumo memang benar. Gina dan Mas Tomi saling mencintai."Hesti menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. Ingin dia menolak apa yang sudah Kusaini katakan, tapi tidak mampu. Bagaimanapun tidak mungkin Kusaini berbohong apalagi perihal perasaan Gina."Tapi bagaimana bisa ... Gina ...? Dia punya masa lalu yang buruk, bagaimana bisa Tomi mencintai wanita seperti dia?"Mendengar cibiran yang keluar dari mulut Hesti seketika membuat Kusaini mengeraskan rahangnya. Hatinya terluka saat wanita yang dia cintai mendapat hinaan dari orang lain termasuk saudaranya sendiri."Memang wanita seperti apa Gina, Mbak? Bukankah Mbak juga memiliki masa lalu yang buruk?""Jaga ucapanmu, Kusaini!" bentak Eni, "Bisa-bisanya kamu menyudutkan saudaramu sendiri!""Lalu apa aku harus diam saat M
***"Kenapa datang langsung marah-marah, Mbah? Apa Mbah tau kesalahan apa yang sudah Arini perbuat?"Wanita tua yang kedua matanya sudah rabun itu bergeming. Dia menimang cucunya yang sedikit merengek karena terganggu dengan teriakannya. "Memang apa yang bisa Arini lakukan? Dia hidup dalam bimbingan dan pengawasanku. Halimah sengaja menjebloskannya ke penjara karena Arini akan menikah dengan Tarjo," sahut Mbah Ginem sekonyong-konyong.Mbah Ginem-- wanita tua yang selama ini sudah mengurus Arini sejak kecil dikarenakan kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan tunggal itu mencak-mencak karena menganggap jika Halimah adalah dalam di balik semua yang terjadi."Harusnya ajari anakmu untuk legowo, Rim! Bagaimanapun, Halimah sudah bersuami tidak pantas rasanya jika dia cemburu pada Arini yang sebenarnya akan menikah dengan Tarjo. Tapi lihat ... karena ulah anakmu sekarang cucuku harus ikut Tarjo ke penjara."Karim menghela napas kasar. Jika saja bukan Mbah Ginem yang ada di depannya k
***Sumi menatap nanar pada cucu pertamanya. Bukan hal yang mudah bagi orang dewasa menjelaskan seperti apa keadaan kedua orang tuanya saat ini. Dan inilah yang sedang Astri rasakan."Mama sama Ayah sudah bercerai, Sayang. Kalau bercerai itu artinya sudah tidak boleh tinggal bersama," papar Astri lembut. "Tirta masih tetap bisa bertemu Ayah, kan? Ayah bahkan dengan senang hati membantu Tirta kalau ada pekerjaan rumah dari sekolah. Meskipun kita tidak tinggal bersama, Mama yakin kalau Ayah itu sayang sama kamu.""Tapi, Ma ....""Jangan bertanya apa-apa lagi, Tirta!" Mendengar suara Astri yang penuh penekanan membuat bibir Tirta seketika mengatup. Dia takut jika Astri akan meninggikan suaranya."Baiklah ...," kalahnya. "Tapi mulai sekarang aku tidak mau bertemu Ayah!" Setelah mengatakan demikian, bocah yang saat ini duduk di bangku kelas 2 SD itu berlari memasuki kamarnya. Dia sedih ... berkali-kali di sekolah teman-temannya membahas orang tua Aditya yang bercerai, tapi ternyata kedua
***Mbah Ginem masuk ke dalam rumah Halimah dengan bantuan Eni. Keduanya duduk bersebelahan menanti Leha dan Karim mulai berbicara. Halimah yang melihat kedatangan wanita tua itu sontak menjabat tangan takzim. Melihat tingkah Halimah yang begitu sopan membuat Mbah Ginem merasa malu. Bisa-bisanya dia menuduh Halimah dengan perbuatan sekeji itu. Cemburu pada laki-laki lain sementara dia sudah bersuami."Apa kabar, Mbah?" tanya Halimah basa-basi. "Maaf kalau saya ....""Sudah, sudah! Kalau kamu bicara lagi Mbah malah semakin malu, Hal."Halimah menunduk. Dia tau jika Mbah Ginem begitu mencintai Arini karena hanya Arini lah keluarga satu-satunya yang dia punya. "Jadi begini cerita yang sebenarnya, Mbah ...."Karim bercerita panjang lebar tentang bagaimana bisa seorang Arini dijebloskan ke dalam penjara. Mbah Ginem menangis mendengar jika cucu yang dia anggap adalah wanita baik-baik ternyata tidak lebih dari seorang penjahat."Apa yang anak itu pikirkan, kenapa bisa sampai nekat berbuat