***"Mari silahkan masuk, Pak ... Bu ...!" Kusaini segera memarkirkan motornya dan menuntun kedua mantan Mertuanya untuk masuk ke dalam rumah.Tiba-tiba ingatan Diah terpasang. Dia ingat jika kedua pasangan suami istri tadi adalah orang tua Gina. Tapi kenapa mereka datang kesini?"Aneh, bukannya Gina sudah lama bercerai dengan Kusaini, terus kenapa malah kedua orang tua Gina kesini?" gumam Diah penasaran. Hati yang sudah diliputi kebencian akan menimbulkan prasangka buruk kepada orang lain, dan itulah yang sedang terjadi pada Diah. Saat dirinya termangu di depan rumah Eni, tiba-tiba Eni datang dan menepuk pundak Diah kasar. "Kenapa melamun di depan rumah saya, Bu Diah?"Diah berjingkat. Matanya celingukan dan bibirnya seketika mencebik," Bukan urusan situ!" sahutnya ketus. "Ngomong-ngomong, kenapa orang tua Gina datang kesini, Bu En? Jangan-jangan ...."Tanpa menunggu Diah melanjutkan kalimatnya, Eni gegas berlari kecil menuju ke rumahnya."Nggak punya etika, ada orang ngomong malah
***"Kenapa bisa Tomi, Kus?" selidik Hesti. "Apa Gina dekat dengan Tomi? Bukankah itu hanya prasangka anak buah Ki Kusumo saja sehingga Gina sempat di sandera waktu itu?"Kusaini menggeleng. "Tidak, Mbak. Anak buah Ki Kusumo memang benar. Gina dan Mas Tomi saling mencintai."Hesti menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. Ingin dia menolak apa yang sudah Kusaini katakan, tapi tidak mampu. Bagaimanapun tidak mungkin Kusaini berbohong apalagi perihal perasaan Gina."Tapi bagaimana bisa ... Gina ...? Dia punya masa lalu yang buruk, bagaimana bisa Tomi mencintai wanita seperti dia?"Mendengar cibiran yang keluar dari mulut Hesti seketika membuat Kusaini mengeraskan rahangnya. Hatinya terluka saat wanita yang dia cintai mendapat hinaan dari orang lain termasuk saudaranya sendiri."Memang wanita seperti apa Gina, Mbak? Bukankah Mbak juga memiliki masa lalu yang buruk?""Jaga ucapanmu, Kusaini!" bentak Eni, "Bisa-bisanya kamu menyudutkan saudaramu sendiri!""Lalu apa aku harus diam saat M
***"Kenapa datang langsung marah-marah, Mbah? Apa Mbah tau kesalahan apa yang sudah Arini perbuat?"Wanita tua yang kedua matanya sudah rabun itu bergeming. Dia menimang cucunya yang sedikit merengek karena terganggu dengan teriakannya. "Memang apa yang bisa Arini lakukan? Dia hidup dalam bimbingan dan pengawasanku. Halimah sengaja menjebloskannya ke penjara karena Arini akan menikah dengan Tarjo," sahut Mbah Ginem sekonyong-konyong.Mbah Ginem-- wanita tua yang selama ini sudah mengurus Arini sejak kecil dikarenakan kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan tunggal itu mencak-mencak karena menganggap jika Halimah adalah dalam di balik semua yang terjadi."Harusnya ajari anakmu untuk legowo, Rim! Bagaimanapun, Halimah sudah bersuami tidak pantas rasanya jika dia cemburu pada Arini yang sebenarnya akan menikah dengan Tarjo. Tapi lihat ... karena ulah anakmu sekarang cucuku harus ikut Tarjo ke penjara."Karim menghela napas kasar. Jika saja bukan Mbah Ginem yang ada di depannya k
***Sumi menatap nanar pada cucu pertamanya. Bukan hal yang mudah bagi orang dewasa menjelaskan seperti apa keadaan kedua orang tuanya saat ini. Dan inilah yang sedang Astri rasakan."Mama sama Ayah sudah bercerai, Sayang. Kalau bercerai itu artinya sudah tidak boleh tinggal bersama," papar Astri lembut. "Tirta masih tetap bisa bertemu Ayah, kan? Ayah bahkan dengan senang hati membantu Tirta kalau ada pekerjaan rumah dari sekolah. Meskipun kita tidak tinggal bersama, Mama yakin kalau Ayah itu sayang sama kamu.""Tapi, Ma ....""Jangan bertanya apa-apa lagi, Tirta!" Mendengar suara Astri yang penuh penekanan membuat bibir Tirta seketika mengatup. Dia takut jika Astri akan meninggikan suaranya."Baiklah ...," kalahnya. "Tapi mulai sekarang aku tidak mau bertemu Ayah!" Setelah mengatakan demikian, bocah yang saat ini duduk di bangku kelas 2 SD itu berlari memasuki kamarnya. Dia sedih ... berkali-kali di sekolah teman-temannya membahas orang tua Aditya yang bercerai, tapi ternyata kedua
***Mbah Ginem masuk ke dalam rumah Halimah dengan bantuan Eni. Keduanya duduk bersebelahan menanti Leha dan Karim mulai berbicara. Halimah yang melihat kedatangan wanita tua itu sontak menjabat tangan takzim. Melihat tingkah Halimah yang begitu sopan membuat Mbah Ginem merasa malu. Bisa-bisanya dia menuduh Halimah dengan perbuatan sekeji itu. Cemburu pada laki-laki lain sementara dia sudah bersuami."Apa kabar, Mbah?" tanya Halimah basa-basi. "Maaf kalau saya ....""Sudah, sudah! Kalau kamu bicara lagi Mbah malah semakin malu, Hal."Halimah menunduk. Dia tau jika Mbah Ginem begitu mencintai Arini karena hanya Arini lah keluarga satu-satunya yang dia punya. "Jadi begini cerita yang sebenarnya, Mbah ...."Karim bercerita panjang lebar tentang bagaimana bisa seorang Arini dijebloskan ke dalam penjara. Mbah Ginem menangis mendengar jika cucu yang dia anggap adalah wanita baik-baik ternyata tidak lebih dari seorang penjahat."Apa yang anak itu pikirkan, kenapa bisa sampai nekat berbuat
***Semua yang ada di dalam ruang tamu Halimah saling tatap sementara Mbah Ginem sudah tidak sabar ingin mengetahui siapa Ayah dari cicitnya ini."Maaf, Mbah. Sebenarnya ....""Semoga saja keluarga pihak laki-laki mau menerima bayi ini, En. Mbah tidak berharap terlalu tinggi, di masa tua ini ingin sekali hidup dengan tenang. Mbah ingin bayi ini bertemu dengan orang-orang baik."Mendengar penuturan Mbah Ginem membuat Eni sedikit bisa bernapas lega. Jika hanya untuk merawat bayi Arini tentu saja dia sigap dan mau-mau saja karena memang dia adalah cucunya."Yang sudah menghamili Arini itu anak saya, Mbah," tuturnya lembut. "Tarjo. Tarjo yang sudah menghamili Arini."Eni harap-harap cemas menanti respon yang akan Mbah Ginem berikan. Tapi tiba-tiba ...."Jadi dia cucumu, En?""Iya, Mbah. Saya minta ijin untuk merawat bayi ini. Maaf karena sudah menghilang lama sekali, maaf karena sudah membuat Mbah Ginem kerepotan."Mbah Ginem mengusap sudut matanya yang kembali berair. Dalam hati dia ingi
***"Jaga mulutmu, Handoko!" hardik Sumi. "Lagipula apa salahnya orang tua membantu anaknya, kenapa justru kamu yang ribut?""Ha ... ha ... ha .... Ayolah, Bu. Jujur saja kalau Ibu dan Bapak itu sudah lelah membawa beban Astri. Mending juga hak asuh Tirta saya ambil alih, daripada kalian kerepotan mengurus Ibu dan anak," cibir Handoko seraya terkekeh.Dada Sumi naik turun. Sejak menjadi suami Astri, laki-laki ini memang cukup kurang ajar terhadap dia dan suaminya. Apalagi sejak susah bercerai, maka sikap Handoko menjadi semakin menjadi-jadi."Aku nggak mau ikut Papa!"Mendengar teriakan Tirta sontak membuat Sumi dan Handoko menoleh. Di belakang Tirta sudah berdiri Astri dengan raut muka sendu serta dua mata yang kini sudah menggenang air matanya.Handoko mencebik. Dia menurunkan kakinya dan berjalan mendekati Tirta. "Ayo ikut Papa, kita jalan-jalan!"Tirta menatap bengis orang tuanya lalu menghempas tangan Handoko dengan kasar. "Tidak mau!" teriaknya lantang. Melihat penolakan yang Ti
***"Kamu gapapa, Sayang?" Tirta langsung menghambur ke pelukan Tomi. Bocah itu menangis hingga tubuhnya bergetar hebat. Tomi yang melihat betapa kacau psikis Tirta segera menggendongnya untuk masuk ke dalam rumah.Astri terpaku. Dia menatap punggung Tomi dari tempatnya berdiri. Air matanya seketika mengalir begitu saja. "Andai kamu masih menjadi bagian dari kami, Mas," gumamnya. Diturunkannya Tirta di atas sofa. Tomi segera mengambil segelas air putih dari meja dapur dan mengangsurkannya perlahan. "Minum pelan-pelan, Sayang."Tirta menurut. Dia meneguk air dengan perlahan sampai dirinya merasa sedikit tenang.Sumi menangis dalam diam melihat betapa Tomi mencintai Tirta melebih ayahnya sendiri. Handoko justru memperlakukan bocah itu seperti pembantu dan orang asing sementara Tomi malah terlihat sangat menyayangi Tirta."Nggak usah nangis, kan ada Ayah?"Tirta mengangguk samar, "Kok ayah bisa tau kalau Tirta mau dibawa Papa?"Tomi tertawa lebar. Tentu saja dia tidak tau, tapi saat di