***"Jaga mulutmu, Handoko!" hardik Sumi. "Lagipula apa salahnya orang tua membantu anaknya, kenapa justru kamu yang ribut?""Ha ... ha ... ha .... Ayolah, Bu. Jujur saja kalau Ibu dan Bapak itu sudah lelah membawa beban Astri. Mending juga hak asuh Tirta saya ambil alih, daripada kalian kerepotan mengurus Ibu dan anak," cibir Handoko seraya terkekeh.Dada Sumi naik turun. Sejak menjadi suami Astri, laki-laki ini memang cukup kurang ajar terhadap dia dan suaminya. Apalagi sejak susah bercerai, maka sikap Handoko menjadi semakin menjadi-jadi."Aku nggak mau ikut Papa!"Mendengar teriakan Tirta sontak membuat Sumi dan Handoko menoleh. Di belakang Tirta sudah berdiri Astri dengan raut muka sendu serta dua mata yang kini sudah menggenang air matanya.Handoko mencebik. Dia menurunkan kakinya dan berjalan mendekati Tirta. "Ayo ikut Papa, kita jalan-jalan!"Tirta menatap bengis orang tuanya lalu menghempas tangan Handoko dengan kasar. "Tidak mau!" teriaknya lantang. Melihat penolakan yang Ti
***"Kamu gapapa, Sayang?" Tirta langsung menghambur ke pelukan Tomi. Bocah itu menangis hingga tubuhnya bergetar hebat. Tomi yang melihat betapa kacau psikis Tirta segera menggendongnya untuk masuk ke dalam rumah.Astri terpaku. Dia menatap punggung Tomi dari tempatnya berdiri. Air matanya seketika mengalir begitu saja. "Andai kamu masih menjadi bagian dari kami, Mas," gumamnya. Diturunkannya Tirta di atas sofa. Tomi segera mengambil segelas air putih dari meja dapur dan mengangsurkannya perlahan. "Minum pelan-pelan, Sayang."Tirta menurut. Dia meneguk air dengan perlahan sampai dirinya merasa sedikit tenang.Sumi menangis dalam diam melihat betapa Tomi mencintai Tirta melebih ayahnya sendiri. Handoko justru memperlakukan bocah itu seperti pembantu dan orang asing sementara Tomi malah terlihat sangat menyayangi Tirta."Nggak usah nangis, kan ada Ayah?"Tirta mengangguk samar, "Kok ayah bisa tau kalau Tirta mau dibawa Papa?"Tomi tertawa lebar. Tentu saja dia tidak tau, tapi saat di
***"Tapi apa, Yah?""Tapi kita ajak Nenek juga, kan kasihan kalau Nenek sendirian di rumah. Kakek kan belum pulang, bagaimana ... Oke?"Tirta berjingkrak senang. Dia sejenak melupakan apa yang sudah terjadi barusan. Segera tubuhnya melesat masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian."Tolong ikut, Bu. Saya takut ada fitnah kalau hanya pergi bertiga dengan Astri dan Tirta."Sumi mengangguk paham. Bagaimanapun Tomi dan Astri sudah bukan suami istri. Tidak etis jika keduanya pergi jalan-jalan sekalipun ada Tirta diantara mereka tapi tetap saja terasa tidak pantas mengingat Tirta bukanlah darah daging Tomi. "Ibu akan ganti baju, tunggu sebentar."Tomi mengulas senyum lega. Sementara Astri terpaku karena apa yang dia harapkan tidak menjadi nyata. Begitulah manusia, terkadang dia berharap terlalu berlebihan padahal bantuan yang Tomi berikan hanyalah semata-mata untuk membuat Tirta melupakan kejadian yang barusan dia alami. Mental anak sekecil Tirta mudah sekali diserang, apalagi oleh oran
***"Siapa lagi, Yu Eni ... ya menantumu itu toh," celetuk Diah tanpa aling-aling. Ia seakan ingin memancing emosi Eni saat ini. "Aneh aja ya kan, kemarin lusa Bapak Ibunya Gina datang, eh tau-tau hari ini Kusaini pulang bawa Gina ngakunya sudah menikah kemarin di rumah si wanita. Aku jadi curiga ....""Jangan sibuk mengurus keluargaku, urus saja anakmu yang tidak mau mengakui darah dagingnya sendiri itu. Dan ya, cari menantumu Yu Diah, jangan-jangan dia hilang digondol wanita yang lebih tegas dan cantik. Nggak kaya anakmu yang belepotan dandanannya tapi emaknya jago nyinyir!"Diah dibuat melongo oleh balasan menohok dari Eni. Anak Diah memang baru berusia 23 tahun, tapi gemar sekali berdandan dan terlihat sedikit menor untuk wanita seusianya. Apalagi kabar tentang menantunya tidak pernah jelas. Setelah menikah dan Arum-- anak Diah melahirkan, menantunya pergi dan tidak pernah lagi kembali hingga saat ini. Itulah yang mendasari sikap Diah begitu membenci para pasangan yang saling menc
***Hari berganti bulan ... Kandungan Halimah sudah semakin terlihat. Teringat saat acara syukuran tiga bulanan, Diah dibuat mati kutu dengan kabar kehamilan Halimah yang tiba-tiba sudah menginjak usia empat bulan.Vano mulai menjalankan bisnisnya di kota sebelah, kota yang tidak terlalu jauh dari kampung tempat tinggalnya sekarang. Berkat doa istri, orang tua dan mertuanya, bisnis yang kembangkan berjalan pesat. Tempat cuci mobil yang cukup besar itu tidak pernah sepi pengunjung.Tomi sudah kembali ke kota sejak tiga Minggu yang lalu. Dia ingin menghindari Gina karena setiap hari harus dibakar cemburu melihat kebersamaan Gina dan Kusaini."Sehat-sehat ya, Hal. Jangan terlalu lelah, bahaya kalau masih trimester pertama begini," kata Bu Gun sembari mengusap perut Halimah lembut."Halah! Dulu juga aku hamil malah banyak gerak, Bu Gun. Kalau terlalu banyak rebahan dan malas, bisa-bisa lahiran Caesar nanti. Awas, belum jadi Ibu kalau belum bisa lahiran normal!" cerocos Diah. "Lihat tuh, A
***"Handoko ...."Mata Tomi tertutup rapat dan setelahnya dia tidak ingat apa-apa lagi.Tring ... Tring ... Tring ...."Assalamualaikum.""Selamat siang, Bu. Dengan kerabat saudara Tomi?"Dada Halimah berdegup kencang mendengar nama disebut."Saya adiknya, Pak. Maaf kalau boleh tau kenapa, ada apa dengan Kakak saya?"Halimah menutup mulut seraya menangis saat mendengar penjelasan dari salah seorang petugas kepolisian. Setelah menerima informasi tentang keadaan Tomi, gegas dia menutup telepon dan menekan nomor Vano saat itu juga."Assalamualaikum, Dek. Tumben siang-siang telepon. Nggak tidur?""Mas ... Mas Tomi, Mas ...."Vano yang sedang merekap data pemasukan bulan ini di tempat pencucian mobil dan motor yang dia miliki seketika menghentikan aktifitasnya. Dia menyimak kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir Halimah."Mas pulang sekarang juga. Kamu yang tenang ya!"Halimah mengangguk. Setelah sambungan telepon terputus, dia segera berlari menemui Bapak dan Ibunya yang sedang beri
***Vano berpikir keras untuk mengambil tindakan. Jika mereka pergi ke kota sekarang, maka nasib buruk ada pada Tirta, tapi jika dia menunda keberangkatan ke kota, khawatir Tomi sedang menunggu keluarganya datang. Tidak bisa dipungkiri, mereka tentu cemas dengan keadaan Tomi yang belum jelas sekarang."Tapi kita buru-buru ke kota, Mbak," kata Halimah. "Mas Tomi butuh kami, bagaimana kalau ada apa-apa dengannya?"Astri menangkupkan tangannya di wajah. Dia menangis karena merasa tidak ada lagi yang bisa membantunya selain keluarga Tomi."Sebentar saja kita jemput Tirta, Hal. Bantu aku ... aku tidak tau harus minta bantuan pada siapa?" Halima menghela napas kasar, nampak Leha dan Karim yang juga merasa kurang nyaman dengan permintaan tolong Astri. Bagaimanapun, mereka dulu pernah berada di situasi yang sama. Tomi menculik Tirta dan Ayah kandungnya sendiri demi menyelamatkan bocah itu dari kebengisan Handoko. Dan sekarang, kejadian ini terulang lagi bahkan Tomi pun menjadi sasaran kedua
***Sementara di tempat lain ...."Siapa, Mas?" tanya Asvia sengit. "Dari Astri?" Bibirnya yang tipis terkesan mencibir. "Jadi dia sudah tau kalau Tirta di rumah kita?"Handoko mengangguk sembari memasukkan kembali ponsel ke dalam saku. Tidak ada banyak kalimat yang keluar dari bibir laki-laki yang kini sudah menginjak kepala empat itu. Tapi yang jelas, kemarahan menguasai dirinya karena Astri yang terdengar begitu berani melawannya."Pokoknya aku nggak mau kalau Tirta pulang ya, Mas. Kamu tau sendiri kan kalau aku ini habis lahiran, suka capek ... lelah. Kalau nggak ada Tirta, siapa yang mau bantuin aku bersih-bersih?" cecarnya sengit. "Pembantu sekarang itu mahal, kalau ada anakmu kenapa harus pakai pembantu. Iya kan?"Handoko mendengus kesal. Sebenarnya dia ingin marah dengan sikap sok mengatur yang Asvia tunjukkan. Tapi dia tidak bisa berbuat banyak, Handoko terlalu mencintai istrinya hingga membuat darah dagingnya sendiri menderita."Mas ....!" Asvia memekik saat melihat Handoko