***Mbah Ginem masuk ke dalam rumah Halimah dengan bantuan Eni. Keduanya duduk bersebelahan menanti Leha dan Karim mulai berbicara. Halimah yang melihat kedatangan wanita tua itu sontak menjabat tangan takzim. Melihat tingkah Halimah yang begitu sopan membuat Mbah Ginem merasa malu. Bisa-bisanya dia menuduh Halimah dengan perbuatan sekeji itu. Cemburu pada laki-laki lain sementara dia sudah bersuami."Apa kabar, Mbah?" tanya Halimah basa-basi. "Maaf kalau saya ....""Sudah, sudah! Kalau kamu bicara lagi Mbah malah semakin malu, Hal."Halimah menunduk. Dia tau jika Mbah Ginem begitu mencintai Arini karena hanya Arini lah keluarga satu-satunya yang dia punya. "Jadi begini cerita yang sebenarnya, Mbah ...."Karim bercerita panjang lebar tentang bagaimana bisa seorang Arini dijebloskan ke dalam penjara. Mbah Ginem menangis mendengar jika cucu yang dia anggap adalah wanita baik-baik ternyata tidak lebih dari seorang penjahat."Apa yang anak itu pikirkan, kenapa bisa sampai nekat berbuat
***Semua yang ada di dalam ruang tamu Halimah saling tatap sementara Mbah Ginem sudah tidak sabar ingin mengetahui siapa Ayah dari cicitnya ini."Maaf, Mbah. Sebenarnya ....""Semoga saja keluarga pihak laki-laki mau menerima bayi ini, En. Mbah tidak berharap terlalu tinggi, di masa tua ini ingin sekali hidup dengan tenang. Mbah ingin bayi ini bertemu dengan orang-orang baik."Mendengar penuturan Mbah Ginem membuat Eni sedikit bisa bernapas lega. Jika hanya untuk merawat bayi Arini tentu saja dia sigap dan mau-mau saja karena memang dia adalah cucunya."Yang sudah menghamili Arini itu anak saya, Mbah," tuturnya lembut. "Tarjo. Tarjo yang sudah menghamili Arini."Eni harap-harap cemas menanti respon yang akan Mbah Ginem berikan. Tapi tiba-tiba ...."Jadi dia cucumu, En?""Iya, Mbah. Saya minta ijin untuk merawat bayi ini. Maaf karena sudah menghilang lama sekali, maaf karena sudah membuat Mbah Ginem kerepotan."Mbah Ginem mengusap sudut matanya yang kembali berair. Dalam hati dia ingi
***"Jaga mulutmu, Handoko!" hardik Sumi. "Lagipula apa salahnya orang tua membantu anaknya, kenapa justru kamu yang ribut?""Ha ... ha ... ha .... Ayolah, Bu. Jujur saja kalau Ibu dan Bapak itu sudah lelah membawa beban Astri. Mending juga hak asuh Tirta saya ambil alih, daripada kalian kerepotan mengurus Ibu dan anak," cibir Handoko seraya terkekeh.Dada Sumi naik turun. Sejak menjadi suami Astri, laki-laki ini memang cukup kurang ajar terhadap dia dan suaminya. Apalagi sejak susah bercerai, maka sikap Handoko menjadi semakin menjadi-jadi."Aku nggak mau ikut Papa!"Mendengar teriakan Tirta sontak membuat Sumi dan Handoko menoleh. Di belakang Tirta sudah berdiri Astri dengan raut muka sendu serta dua mata yang kini sudah menggenang air matanya.Handoko mencebik. Dia menurunkan kakinya dan berjalan mendekati Tirta. "Ayo ikut Papa, kita jalan-jalan!"Tirta menatap bengis orang tuanya lalu menghempas tangan Handoko dengan kasar. "Tidak mau!" teriaknya lantang. Melihat penolakan yang Ti
***"Kamu gapapa, Sayang?" Tirta langsung menghambur ke pelukan Tomi. Bocah itu menangis hingga tubuhnya bergetar hebat. Tomi yang melihat betapa kacau psikis Tirta segera menggendongnya untuk masuk ke dalam rumah.Astri terpaku. Dia menatap punggung Tomi dari tempatnya berdiri. Air matanya seketika mengalir begitu saja. "Andai kamu masih menjadi bagian dari kami, Mas," gumamnya. Diturunkannya Tirta di atas sofa. Tomi segera mengambil segelas air putih dari meja dapur dan mengangsurkannya perlahan. "Minum pelan-pelan, Sayang."Tirta menurut. Dia meneguk air dengan perlahan sampai dirinya merasa sedikit tenang.Sumi menangis dalam diam melihat betapa Tomi mencintai Tirta melebih ayahnya sendiri. Handoko justru memperlakukan bocah itu seperti pembantu dan orang asing sementara Tomi malah terlihat sangat menyayangi Tirta."Nggak usah nangis, kan ada Ayah?"Tirta mengangguk samar, "Kok ayah bisa tau kalau Tirta mau dibawa Papa?"Tomi tertawa lebar. Tentu saja dia tidak tau, tapi saat di
***"Tapi apa, Yah?""Tapi kita ajak Nenek juga, kan kasihan kalau Nenek sendirian di rumah. Kakek kan belum pulang, bagaimana ... Oke?"Tirta berjingkrak senang. Dia sejenak melupakan apa yang sudah terjadi barusan. Segera tubuhnya melesat masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian."Tolong ikut, Bu. Saya takut ada fitnah kalau hanya pergi bertiga dengan Astri dan Tirta."Sumi mengangguk paham. Bagaimanapun Tomi dan Astri sudah bukan suami istri. Tidak etis jika keduanya pergi jalan-jalan sekalipun ada Tirta diantara mereka tapi tetap saja terasa tidak pantas mengingat Tirta bukanlah darah daging Tomi. "Ibu akan ganti baju, tunggu sebentar."Tomi mengulas senyum lega. Sementara Astri terpaku karena apa yang dia harapkan tidak menjadi nyata. Begitulah manusia, terkadang dia berharap terlalu berlebihan padahal bantuan yang Tomi berikan hanyalah semata-mata untuk membuat Tirta melupakan kejadian yang barusan dia alami. Mental anak sekecil Tirta mudah sekali diserang, apalagi oleh oran
***"Siapa lagi, Yu Eni ... ya menantumu itu toh," celetuk Diah tanpa aling-aling. Ia seakan ingin memancing emosi Eni saat ini. "Aneh aja ya kan, kemarin lusa Bapak Ibunya Gina datang, eh tau-tau hari ini Kusaini pulang bawa Gina ngakunya sudah menikah kemarin di rumah si wanita. Aku jadi curiga ....""Jangan sibuk mengurus keluargaku, urus saja anakmu yang tidak mau mengakui darah dagingnya sendiri itu. Dan ya, cari menantumu Yu Diah, jangan-jangan dia hilang digondol wanita yang lebih tegas dan cantik. Nggak kaya anakmu yang belepotan dandanannya tapi emaknya jago nyinyir!"Diah dibuat melongo oleh balasan menohok dari Eni. Anak Diah memang baru berusia 23 tahun, tapi gemar sekali berdandan dan terlihat sedikit menor untuk wanita seusianya. Apalagi kabar tentang menantunya tidak pernah jelas. Setelah menikah dan Arum-- anak Diah melahirkan, menantunya pergi dan tidak pernah lagi kembali hingga saat ini. Itulah yang mendasari sikap Diah begitu membenci para pasangan yang saling menc
***Hari berganti bulan ... Kandungan Halimah sudah semakin terlihat. Teringat saat acara syukuran tiga bulanan, Diah dibuat mati kutu dengan kabar kehamilan Halimah yang tiba-tiba sudah menginjak usia empat bulan.Vano mulai menjalankan bisnisnya di kota sebelah, kota yang tidak terlalu jauh dari kampung tempat tinggalnya sekarang. Berkat doa istri, orang tua dan mertuanya, bisnis yang kembangkan berjalan pesat. Tempat cuci mobil yang cukup besar itu tidak pernah sepi pengunjung.Tomi sudah kembali ke kota sejak tiga Minggu yang lalu. Dia ingin menghindari Gina karena setiap hari harus dibakar cemburu melihat kebersamaan Gina dan Kusaini."Sehat-sehat ya, Hal. Jangan terlalu lelah, bahaya kalau masih trimester pertama begini," kata Bu Gun sembari mengusap perut Halimah lembut."Halah! Dulu juga aku hamil malah banyak gerak, Bu Gun. Kalau terlalu banyak rebahan dan malas, bisa-bisa lahiran Caesar nanti. Awas, belum jadi Ibu kalau belum bisa lahiran normal!" cerocos Diah. "Lihat tuh, A
***"Handoko ...."Mata Tomi tertutup rapat dan setelahnya dia tidak ingat apa-apa lagi.Tring ... Tring ... Tring ...."Assalamualaikum.""Selamat siang, Bu. Dengan kerabat saudara Tomi?"Dada Halimah berdegup kencang mendengar nama disebut."Saya adiknya, Pak. Maaf kalau boleh tau kenapa, ada apa dengan Kakak saya?"Halimah menutup mulut seraya menangis saat mendengar penjelasan dari salah seorang petugas kepolisian. Setelah menerima informasi tentang keadaan Tomi, gegas dia menutup telepon dan menekan nomor Vano saat itu juga."Assalamualaikum, Dek. Tumben siang-siang telepon. Nggak tidur?""Mas ... Mas Tomi, Mas ...."Vano yang sedang merekap data pemasukan bulan ini di tempat pencucian mobil dan motor yang dia miliki seketika menghentikan aktifitasnya. Dia menyimak kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir Halimah."Mas pulang sekarang juga. Kamu yang tenang ya!"Halimah mengangguk. Setelah sambungan telepon terputus, dia segera berlari menemui Bapak dan Ibunya yang sedang beri
Dikira Miskin (Extra Part) *** Lima bulan kemudian .... "Hai ... lama tidak bertemu, usia berapa kandungan kamu?" Sea menoleh dan mendapati sosok Nando tengah berdiri dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. "Se?" "Ah, maaf, Bang. Aku ... kaget aja tiba-tiba kamu muncul disini," celetuk Sea gugup. "Sendirian, Bang?" "Ya, karena wanita yang hampir menemani masa tuaku ternyata lebih memilih pria lain. Takdir memang selucu itu, Se." Sea membuang muka. Ada perasaan sedih ketika melihat Nando yang masih mengingat dirinya bahkan disaat dia dan Tirta sedang bahagia menanti buah hati mereka lahir. "Maaf, Bang." Nando terkekeh. "Aku baik-baik saja, Sea. Mungkin Tuhan memang melindungi kamu dari pria tua sepertiku." Sea menggeleng samar. Kedua matanya berembun melihat raut putus asa di wajah Nando. "Sudah kukatakan, kamu pasti mendapatkan wanita yang jauh lebih baik, Bang." "Sendirian?" tanya Nando mengalihkan pembicaraan. Sea mengangguk samar, "Mas Tirta sibuk ngurus Caf
Dikira Miskin (TAMAT)***Satu tahun kemudian ...."Pulang dulu, Sayang. Brian pasti nyariin kamu," kata Bagas lembut. Anita mendongak, kedua matanya memerah dengan bekas air mata yang di pipi. "Sebentar lagi ya, Mas. Sebentar saja," rengeknya manja. Jemarinya yang lentik mengusap-usap pusara kedua orang taunya bergantian, lalu beralih pada pusara Haryati yang nampak segar dengan bunga-bunga yang Anita taburkan barusan. "Brian sudah bisa berjalan, Yah. Kalau saja Ayah dan Ibu masih ada ....""Nit ...." Suara Bagas mengambang di udara. Kehilangan adalah hal yang paling menakutkan baginya. "Biarkan mereka semua tenang di alam sana. Ayo pulang!"Anita bergeming. Matanya semakin sembab karena sudah hampir satu jam ia menangis di pusara tiga orang tercintanya. Haryati sengaja di kuburkan tepat di samping anak dan menantunya. "Semua terasa begitu cepat, Mas.""Takdir Tuhan adalah misteri, apalagi kematian ... semua tidak ada yang tahu sampai kapan batas usia mereka, Sayang. Berhenti berse
***"Darimana kamu tahu kalau Bang Nando menaruh hati pada Sea, Sayang?"Anita mengedikkan bahu. Dia bangkit dan berjalan menjauhi Bagas yang saat ini nampak cengo karena keterkejutannya barusan."Anita ...," pekik Bagas tertahan mengingat sekarang dia sedang berada diantara banyak tamu undangan.Anita menghentikan langkah dan bergelayut manja di lengan Halimah. Wanita cantik itu sekarang tidak segan-segan untuk memeluk mertuanya karena selama ini Halimah memang mencurahkan perhatiannya pada Anita."Bawa Anita pulang, Gas. Dia pucat sekali," ucap Halimah panik. Dia mengusap-usap pipi menantunya dengan lembut. "Pulanglah, acaranya mungkin akan selesai agak malam. Kamu istirahat saja, biar Ibu yang menjelaskan pada Sea nanti."Anita mengangguk patuh. Dia mengikuti langkah Bagas dengan jemari yang saling bertaut. Acara pernikahan Sea memang di adakan di sebuah hotel ternama, perjalanan untuk pulang ke rumah mereka pun menempuh waktu sekitar dua puluh menit."Kamu belum menjawab pertanyaa
***"Nit, kami ...."Anita beralih menatap Tomi dan Gina. Sorot matanya penuh selidik sampai suara Sea membuatnya tiba-tiba terpekik dan berjingkrak bahagia seperti gadis kecil yang mendapat mainan. "Kami ... sebentar lagi akan menikah.""Hah? Serius, kalian ... tidak lagi membohongi aku kan?"Sea menggeleng. Dia merentangkan tangan untuk menyambut tubuh Anita, sahabat yang paling baik yang ia punya selama ini. Sea dan Tirta tertawa ketika Anita jingkrak-jingkrak senang dengan kabar yang ia dengar."Kamu membuatku takut, Se!" Anita mengusap air mata sambil memeluk Sea. "Kalian ... akhirnya. Ya Tuhan!" Anita kembali memekik bahagia. Dia mengurai pelukan dan berlari menuju Gina. Tanpa aba-aba lagi, kedua wanita beda generasi itu saling memeluk dan menangis lirih. Betapa Tomi merasa haru dengan suasana di depan matanya. Siapa sangka, restu yang ia berikan justru memberikan kebahagiaan bagi banyak orang, tidak hanya Sea dan Tirta. "Kami sudah lelah menangis, Nit. Ayolah, kalau kamu masi
***"Brengsek! Berani-beraninya dia ngusir kita, Mas?!" jerit Nayna marah. Bibirnya mengerucut sembari satu tangan mengusap dahi yang mulai berpeluh. "Harusnya kamu bisa tegas sama istrimu itu, Mas! Bagaimanapun kamu adalah kepala keluarga, jangan lembek gini dong!" Suara Nayna semakin membuat kepala Rayan berdenyut nyeri. "Diam, Nay!""Kenapa kamu malah bentak aku? Harusnya kamu bentak saja di Prisa yang kurang ajar itu!""Semua ini salah kamu! Murahan! Kamu bisa kan bersikap baik di depan Prisa bukan malah menyulut pertengkaran seperti ini!""Ya, ya! Salahkan saja aku terus, Mas! Bela wanita mandul yang tidak berguna itu! Aku muak melihat sikapmu yang lemah di depan Prisa!"Plak ....Nayna memegang pipi kanannya yang terasa panas. Tidak ada air mata melainkan hanya kemarahan yang bersarang di dadanya saat ini. "Tampak! Tampar yang banyak kalau perlu bunuh sekalian bayimu ini! Pria miskin! Aku menyesal mau mengakui anak ini sebagai darah dagingmu!"Rayan mengusap wajahnya kasar. Pe
***Tirta dan Sea bergeming. Ucapan Tomi membuat rasa percaya diri Tirta yang sempat tumbuh terasa dihempas begitu saja. Ternyata, setelah bisa mendapatkan kembali hati Sea, ia harus melalui satu jalan lagi yaitu Tomi dan Gina. "Ada banyak pria di luaran sana, Sea! Kamu cantik, mandiri dan ... kamu bisa mencari pria lain tanpa harus terjebak dengan pria yang sama!" ucap Tomi marah. "Kamu lupa ... dia bahkan rela memohon agar wanita yang sudah membuatmu celaka itu bebas. Jangan bodoh!"Sea menunduk. Bodoh! Ya, dia memang sudah bodoh karena setelah berbulan-bulan terlewati, perasaannya pada Tirta terus saja tumbuh tanpa sedikitpun berkurang. Gina mengusap lengan Tomi dengan lembut. Kedua matanya menatap Sea dengan nanar. Putri yang ia anggap sudah melupakan Tirta ternyata masih memiliki perasaan yang begitu besar untuk pria itu."Dia sudah membuatmu terluka, Se. Apa kamu pikir Ayah akan melepaskanmu dengan pria yang sudah pernah membuatmu kecewa?""Yah ....""Tidak!" sahut Tomi tegas.
***Sea dan Tirta terlonjak. Wanita itu mengurai pelukan saat kedua matanya mulai terbuka dan mendapati sosok Freya berdiri di ambang pintu dengan air muka kebingungan."Fre mau ikut peluk," ucapnya polos. Sea merentangkan tangan dan menghambur di pelukan Sea. Bibirnya terus mengukir senyum seolah-olah dua pasangan di depannya bukanlah sebuah ancaman bagi Papanya. "Ini siapa, Tante? Papa ...." Freya memanggil Hamka ketika pertanyaannya tidak kunjung mendapat jawaban dari mulut Sea. "Ayo, sini! Kita pelukan sama-sama!"Brenda membuang muka. Sedikit banyak dia mulai mengerti apa yang sedang terjadi di depan matanya. Melihat Freya yang begitu dekat dengan Sea sudah memberikan jawaban atas pertanyaan Brenda pada Hamka tadi."Kalian ... di-- dia kenal Sea?" tanya Brenda terbata. "Kalian ... sudah saling mengenal?"Hamka mengangguk sambil tersenyum tipis. Pria itu melangkah mendekati Freya dan meninggalkan Brenda di depan toko dengan rasa cemas yang luar biasa."Hai ...," sapa Hamka. "Maaf
***"Se, tolong dengarkan aku!" pinta Tirta memelas. Dia melangkah mendekati Sea yang memunggunginya sembari menutup telinga dengan dua tangan seakan-akan tidak ada yang ingin dia dengarkan dari mulut Tirta. "Aku datang hanya ingin menjelaskan semuanya. Setelah itu semua keputusan terserah padamu. Aku ... hanya ingin meminta maaf atas semua rasa kecewa yang kamu rasakan.""Untuk apa meminta keputusan dariku, Mas? Bukankah kamu sudah memutuskan semuanya sendiri? Kamu lebih memilih wanita itu daripada aku yang ... aku yang tidak sedang mengandung anakmu!" "Dia bukan anakku, Sea!""Dan aku tidak peduli!" teriak Sea. Air matanya berlomba-lomba untuk meluncur bebas ke pipi. "Anakmu atau bukan, yang jelas kamu sudah memilih Nayna daripada aku! Dan itu ... sudah cukup membuatku paham jika nama Nayna berada di posisi tertinggi dalam hatimu."Tirta menunduk. Langkahnya terhenti ketika Sea sudah berada tepat di depan matanya. "Bahkan setelah melukai hatiku berkali-kali, kamu datang dengan wani
***"Mana sarapan untukku?"Nayna duduk di kursi makan dengan melipat tangan. Persis seperti seorang anak kecil yang sedang menunggu sarapannya tersaji."Coba ulangi lagi!"Nayna mendengus kesal. "Ck! Jangan cari gara-gara ya, Mbak. Ini masih pagi, mood ku juga sedang buruk, kamu nggak mau kan kalau sampai aku ngadu ke Mas ....""Kamu pikir aku takut?""Ouh, jadi nantangin? Kamu mau tau siapa yang akan dipilih oleh suami kamu, begitu?" angkuh Nayna. "Lihat! Di perutku ada kehidupan lain, dia yang bertahun-tahun lamanya sangat diinginkan oleh Mas Rayan, yakin kalau aku merajuk dia bakalan lepas kamu begitu saja?"Wanita yang usianya jauh lebih tua di banding Nayna itu tertawa sumbang. Ya, tidak mengelak jika hadirnya seorang bayi adalah keinginan dia dan Rayan selama bertahun-tahun menjalani biduk rumah tangga. Tapi tidak dengan bayi dalam hubungan yang kotor. Rayan sudah mencurangi pernikahan mereka."Kenapa diam,