“Tuan Muda!”Owen masih memanggil Reinhard, tetapi suaranya tidak akan pernah tersampaikan.Owen pun mengerang frustrasi, kemudian bergegas menghubungi pihak pemadam kebakaran dan ambulans untuk menyediakan bantuan secepat mungkin.Pikirannya berkecamuk antara rasa bersalah karena tidak mampu menghentikan Reinhard dan kekhawatiran terhadap keselamatan nyonya mudanya yang belum dapat dipastikan keberadaannya.Asap semakin tebal, membuat Owen sulit untuk melihat dengan jelas apa yang terjadi di dalam gedung tersebut. Ia pun meminta para pengawal untuk berkumpul dan membantunya untuk melakukan penyelamatan bersama.Sementara itu, di dalam gedung, situasi semakin memburuk. Kobaran api telah melahap sebagian besar struktur kayu, menciptakan suara gemeretak yang memekakkan telinga.Alicia masih memutar otaknya untuk mencari cara menyelamatkan dirinya. Ia benar-benar terdesak oleh api yang seakan mengejarnya dan ingin melahapnya hidup-hidup.Sayangnya, dengan kondisi kaki yang terluka Alicia
“Alicia, kamu tidak apa-apa?” Reinhard bertanya dengan panik.Wajah pria itu berlumur debu dan keringat. Namun, rasa lega dan kekhawatiran telah menghiasi wajahnya. Dengan satu tangannya yang lain, Reinhard mendorong balok kayu besar yang ditahannya ke arah lain.Reinhard segera berlutut di samping Alicia, matanya menyapu penampilan Alicia yang sangat berantakan. Netranya memincing tajam tatkala melihat bekas kemerahan pada leher wanita itu. Darahnya terasa mendidih. Kepalan tangannya pun mengetat.Namun, Reinhard tidak mengatakan apa pun meskipun ia ingin menginterogasinya. Ia berusaha mengesampingkan amarahnya sejenak. Saat ini, hal yang terpenting adalah memastikan keselamatan mereka dan membawa Alicia keluar sebelum bangunan itu runtuh sepenuhnya.Bibir Alicia yang bergetar tampak bergerak-gerak, seolah ingin mengatakan sesuatu hal. Namun, suara wanita itu tidak terdengar olehnya.Reinhard mengerutkan keningnya. Seolah dapat memahami kekhawatiran wanita itu, ia pun tersenyum menena
“Owen, bawa istri saya ke rumah sakit,” titah Reinhard dengan nada suara yang terdengar datar. Tatapannya tidak terlepas dari kedua orang yang tampak ketakutan di hadapannya. “Tapi, Tuan Muda … Anda juga terluka,” Owen memandang lengan Reinhard yang tampak memar dan berdarah. Belum lagi beberapa luka bakar pada tubuh tuan mudanya tersebut, Owen berpikir bahwa sebaiknya Reinhard menangani lukanya terlebih dahulu. “Tuan Muda, biar saya saja yang─” Akan tetapi, Reinhard telah melayangkan tatapan tajamnya. “Segera, Owen!” Nada suara tegas itu menunjukkan otoritasnya yang tidak dapat dibantah lagi. Owen pun tidak memiliki pilihan selain mengikuti perintah tersebut. Dengan berat hati dan rasa khawatir yang masih tersisa, Owen terpaksa ikut masuk ke dalam ambulans, mengantarkan nyonya mudanya untuk segera diberikan perawatan intensif. Dua unit mobil pengawal juga ikut mengiringi dan membuka jalan untuk ambulans tersebut. Sebelum meninggalkan lokasi, Owen sempat memberikan beberapa perin
“Dia juga mungkin merintih dan menangis, sama seperti kamu sekarang. Bukankah begitu?" tambah Reinhard, suaranya semakin dingin dan mengancam. Ekspresinya terlihat semakin menggelap dan bengis. Pemuda itu menggeleng dengan panik, tubuhnya semakin lemah, darah yang mengalir dari lukanya semakin banyak, membuatnya semakin kesulitan untuk bernapas. “Tidak, saya ….” Suara pemuda itu tercekat. Ia melirik pria tua di sampingnya, seolah ingin meminta pembelaan darinya. Namun, pria tua itu terlalu takut untuk ikut campur dalam masalah yang tidak dilakukannya. Lagi-lagi tembakan dilepaskan oleh Reinhard. Darah mengucur deras pada bahu pemuda itu. Suara erangan jelas menghiasi kegelapan malam yang mencekam tersebut. “Sakit? Ingin mati?” cibir Reinhard seraya menyeringai dingin. “Ini belum seberapa.” Wajah pemuda itu semakin pias dengan rasa takut dan ancaman kematian yang terus mengejarnya. Reinhard mengangkat satu jarinya, mengisyaratkan kedua pengawalnya untuk mengangkat pemuda itu
Perawat itu terkejut mendengar teriakan Reinhard, tetapi ia tetap bersikap profesional dan berkata dengan tenang, “Saat ini pasien belum dapat dijenguk, Tuan. Kami masih melakukan penanganan intensif. Sementara menunggu, saya sarankan Anda membersihkan diri dan merawat luka Anda dulu.”“Benar, Tuan Muda,” Owen ikut angkat bicara. Ia menarik lengan Reinhard agar tidak mengganggu proses penanganan lanjutan.Akan tetapi, Reinhard yang masih dipenuhi emosi dan rasa khawatir, tidak dapat dibujuk dengan mudah.“Lepaskan aku, Owen!” seru Reinhard dengan kesal. Suaranya menggelegar di koridor rumah sakit tersebut, membuat beberapa pengunjung dan pasien merasa terganggu dan melihat ke arahnya.Akan tetapi, Reinhard tidak peduli. Ia menyentakkan tangan Owen dengan kuat sehingga cengkeraman asistennya itu terlepas dari lengannya.Dengan cepat Reinhard meraih kerah baju Owen dan menariknya erat. Sorot matanya berkilat-kilat penuh emosi, memancarkan kemarahan yang membuat Owen sedikit terintimidas
Reinhard bergegas menghampiri Austin, lalu bertanya dengan tidak sabaran, “Bagaimana keadaannya, Austin?” “Sudah stabil. Tapi, tetap harus dipantau,” jawab Austin dengan singkat. “Kapan aku bisa menemuinya?” Reinhard bertanya lagi, tetapi nada suaranya lebih tenang dibandingkan saat ia berbicara dengan Owen dan perawat sebelumnya. “Sekarang kamu tidak boleh masuk. Cukup melihat di kaca sebelah sana saja,” tukas Austin, mengingatkan Reinhard bahwa sepanik-paniknya dia, ketertiban rumah sakit harus dipatuhi. Pandangan Reinhard pun mengarah pada jendela ruang rawat intensif di mana tirainya baru saja dibuka oleh perawat rumah sakit. Reinhard bergegas melangkah menuju ke arah jendela tersebut. Dengan kedua telapak tangan yang menempel pada kaca tebal transparan tersebut, netra ambernya menangkap sosok Alicia yang tak berdaya di atas tempat tidur rumah sakit. Wanita itu terlihat seperti tertidur dengan napas yang teratur, tetapi peralatan medis yang mengelilingnya, membuat Reinhard me
Austin berhenti di depan ruang pemeriksaan yang sedang tidak dipergunakan untuk melayani pasien. Ia membuka pintu tersebut, melangkah masuk terlebih dahulu, kemudian memutar tubuh untuk melihat Reinhard yang masih berdiri di ambang pintu.“Masuklah,” ucap Austin tegas, lalu berjalan menuju ke salah satu lemari yang berisi berbagai perlengkapan medis.Reinhard mengedarkan pandangannya sekilas, lalu dengan penuh keengganan masuk ke dalam ruangan itu.“Duduklah dulu,” titah Austin tanpa menoleh.Netra amber Reinhard melirik kursi yang ada di dekatnya, lalu menariknya dan mendaratkan bokongnya di atas kursi tersebut.Tidak berapa lama kemudian, Austin pun menghampirinya dan meletakkan peralatan dan obat-obatan yang diambilnya dari lemari sebelumnya.“Duduklah menghadap ke sana. Kalau kamu begini, bagaimana aku mengobati luka bakar di punggungmu?” tukas Austin seraya mengisyaratkan Reinhard untuk membelakanginya.Sembari mendengus malas, Reinhard terpaksa menurutinya.Austin hanya tersenyu
Reinhard hanya bisa mengesah dengan kesal. Namun, ia tahu Austin tidak akan membiarkannya pergi kalau tidak mengikuti arahannya.Akhirnya Reinhard terpaksa mengangguk setuju. “Baiklah, tapi cepat. Aku tidak mau menunggu lebih lama."Austin mengangkat bahu dengan santai, lalu mengompres memar pada lengan Reinhard dan membersihkan beberapa luka lain pada tangan pria itu. “Begini kan lebih mudah kalau kamu menurut sejak awal,” ujarnya dengan nada puas.Reinhard mendengus pelan, enggan membalas komentar Austin. Pikirannya sudah melayang pada kondisi Alicia yang masih belum dapat dipastikan.“Berikan aku izin untuk masuk ke ruangan itu. Aku tidak akan menghambat pekerjaan kalian.” Reinhard memohon secara tiba-tiba. Nada suaranya lebih terdengar seperti sebuah perintah.“Kamu memang tidak sabaran,” ucap Austin, tanpa melihat wajahnya secara langsung.“Austin!” Reinhard kembali mendesak.Austin pun menghela napas berat. “Baiklah. Siapa suruh aku adalah sahabatmu.”Reinhard tersenyum puas dan
Reinhard terlihat kesal. Sebenarnya ia ingin sekali turun tangan sendiri untuk menangani Ken. Akan tetapi, karena ia harus menjalani pemulihan di rumah sakit, Reinhard meminta para bawahan Dark Wolf untuk menggantikannya memberikan pelajaran kepada pria itu.Dalam kondisi terluka parah dan faktor usia yang tak lagi muda, Ken meregang nyawa lebih cepat setelah mengalami berbagai penyiksaan yang diperintahkan Reinhard.Meskipun menyesal tidak dapat menanganinya sendiri, tetapi Reinhard merasakan kelegaan yang luar biasa dengan kematian pria itu. Satu ancaman bagi Alicia telah lenyap, dan Reinhard bisa memenuhi janjinya kepada Regis.“Kamu sudah mengirimkan hasilnya kepada Regis?” tanya Reinhard.Ia memang meminta Austin menyelesaikan tugas itu sebagai bagian dari syarat yang diberikan Regis. Untuk memastikan mayat itu benar-benar Ken Stewart, Reinhard sengaja meminta otopsi. Ia tidak ingin tertipu seperti Alexei dulu, yang sempat terkecoh oleh kematian palsu Ken.“Tenanglah. Aku sudah m
Dua minggu sudah Reinhard dirawat di rumah sakit. Hari ini akhirnya ia sudah diperbolehkan pulang setelah selama seminggu ini ia mengajukan protes dan keluhannya terhadap dokter yang menanganinya. Bahkan ia tak segan-segan mengancam pimpinan rumah sakit.Apa yang terjadi? Kenapa Reinhard melakukannya?Jawabannya sangat sederhana. Reinhard sudah tidak betah berada di rumah sakit itu.Seperti yang diputuskannya dua minggu lalu, ia dan Alicia akhirnya berbagi kamar rawat bersama agar bisa menjalani masa pemulihan bersama.Akan tetapi, Alicia sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit minggu lalu karena kondisinya sudah lebih membaik. Meski demikian, ia tetap diwajibkan menjalani bedrest di rumah hingga benar-benar pulih sepenuhnya.Karena itulah, Reinhard merasa sangat kesepian berada di dalam kamar rawat itu sekarang. Ia berulang kali mengajukan permohonan untuk pulang, tetapi ditolak karena luka-lukanya masih memerlukan perawatan intensif.Hari ini, setelah berbagai protes dan ancama
“Apa yang kamu lamunkan, hum?” Reinhard mengetuk pelan kening Alicia, mengalihkan kembali perhatian wanita itu padanya.Alicia tersentak kecil. Ia menggeleng cepat, lalu memasang senyum lebar seolah tidak ada apa-apa.Reinhard menghela napas pelan. “Aku tahu … meskipun kamu tahu kamu hamil sekalipun, pasti kamu tetap akan mengikutiku, bukan?” terkanya, mengira Alicia masih memikirkan tentang hal yang terjadi sebelumnya.Alicia terkekeh kecil. “Kamu sangat mengenalku dengan baik, Suamiku,” ucapnya, tidak menyangkal sedikit pun tuduhan Reinhard.Saat itu, Alicia memang tidak berpikir panjang. Satu-satunya hal yang dipedulikannya hanyalah keselamatan pria itu.Reinhard mendesah berat, tetapi ada kehangatan dalam sorot matanya. “Sayang, kamu tahu kan kalau aku mencintaimu?”Alicia mengangguk.“Mulai sekarang ada nyawa lain yang harus kamu jaga. Tapi, di atas semua itu, kamu yang menjadi prioritasku. Karena itu, jangan pernah berbuat nekat seperti tadi lagi dan jangan pernah berpikir untuk
“Ah, ya ampun. Turunkan aku, Xavier. Aku pusing,” seru Alicia histeris.Reinhard segera menghentikan putarannya dan menurunkan Alicia dengan hati-hati di atas ranjang. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam.“Maafkan aku, Sayang. Aku sampai lupa diri karena terlalu bahagia mendengar kabar ini,” ucap Reinhard seraya menangkup wajah Alicia dengan kedua tangannya, menatapnya seolah-olah wanita itu adalah seluruh dunianya.“Tidak apa-apa. Aku hanya sedikit pusing saja,” timpal Alicia berusaha menunjukkan senyuman meyakinkan, meskipun kepalanya masih sedikit berdenyut.“Kamu yakin?” Reinhard menatapnya lekat-lekat, seolah mencari tanda-tanda ketidaknyamanan yang mungkin disembunyikan Alicia. “Mau aku panggilkan dokter saja?”Alicia tertawa kecil, menggeleng pelan. “Aku baik-baik saja, Xavier. Serius. Jangan berlebihan.”Reinhard mendesah lega, tetapi tidak sepenuhnya puas. Ia duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Alicia dengan lembut.Raut wajah Reinhard berubah sendu dan dipen
Selang beberapa waktu, ciuman mereka semakin dalam, membuat Alicia cukup kewalahan untuk mengikuti liarnya gairah yang diberikan Reinhard melalui ciuman tersebut.“Ummph─”Deru napas Alicia terasa semakin pendek. Ia pun bergegas melepaskan tautan bibir mereka lebih dulu agar bisa menghirup udara secepatnya. Tanpa sengaja ia mendorong dada Reinhard terlalu kuat hingga pria itu meringis perih karena luka di bahunya terasa kembali berdenyut.Mata Alicia pun membelalak panik. “Ah, astaga!”Alicia pun bergegas memeriksa luka pria itu, membuka beberapa kancing baju pasien yang dikenakan Reinhard. Melihat bercak darah yang merembes pada perban di bahu pria itu, rasa bersalah pun menggelayuti hati Alicia. Ia menggigit bibir bawahnya dan menatap Reinhard dengan sorot mata berkaca-kaca.“Maafkan aku … aku─”Sebelum Alicia sempat menyelesaikan ucapannya, Reinhard telah menarik lengannya dan membawanya jatuh ke dalam pelukannya lagi.“Xavier ….” Alicia mengerjap dengan bingung. Ia berniat mendoron
Alicia masih terdiam. Ia berusaha mencerna ucapan yang dilontarkan Reinhard. Kata-kata itu meskipun terdengar sederhana, tetapi entah kenapa Alicia merasa tidak asing seakan menyiratkan sesuatu seperti penolakan.Tiba-tiba hati Alicia terasa teremas. Ia diingatkan kembali dengan kenangan menyakitkan yang dialaminya dulu terkait dengan sikap dingin Reinhard di masa lalu.Cairan bening telah menggenang di pelupuk mata Alicia membuat Reinhard tersentak. “A-Alicia, kamu … kenapa?” tanyanya, panik.Namun, wanita itu tidak menjawab dan malah balik bertanya dengan suara bergetar yang terdengar seperti bisikan yang rapuh, “Tadi kamu bilang ... tidak ingin aku mengejarmu lagi? Maksudmu ... kamu ingin berpisah denganku?”Reinhard menatap wanita itu dengan penuh kebingungan. Namun, seulas senyuman merekah di bibirnya setelah mencerna prasangka buruk yang dilontarkan wanita itu atas ucapannya tadi.Dengan penuh kelembutan, Reinhard mengusap air mata yang hampir tumpah di sudut mata wanita itu. “D
“Memangnya ada hal yang tidak kuketahui?” Regis menyeringai kecil, nada angkuhnya begitu kentara.Reinhard hanya mendesah, menatap pria itu dengan tatapan lelah. "Tentu saja. Tuan Muda Lorenzo selalu tahu segalanya."Regis tertawa pelan, lalu mulai berbicara tanpa niat memancing pertengkaran. Ia pun menceritakan mengenai hal yang didengarnya dua hari lalu—tentang insiden yang menimpa Alicia sebelum mengalami kecelakaan tiga tahun lalu. Cerita yang secara tak sengaja Regis dengar ketika Alicia menceritakannya kepada ayah mereka.Reinhard terdiam mendengarkan cerita tersebut. Amarah di dalam dadanya mulai membara seiring dengan setiap kata yang keluar dari mulut Regis. Rahangnya mengeras, sementara tangan terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih.“Jadi … tiga tahun lalu, kecelakaan itu memang bukan hanya sekadar kecelakaan?” gumam Reinhard berbisik pelan seiring dengan getaran emosi yang dirasakannya.Sebelumnya Reinhard memang telah mendengar pengakuan dari Edwin Stein mengenai p
Reinhard telah sampai di depan pintu kamar Alicia. Koridor di depan ruangan itu sangat sepi. Sebelum masuk, ia menoleh sejenak ke arah Hans yang menemaninya hingga ke tempat itu.“Cukup antar sampai di sini saja. Saya bisa sendiri, Tuan Miller,” ucap Reinhard dengan tegas.Meskipun Hans merasa ragu dan khawatir, tetapi ia tidak dapat menolak permintaan Reinhard. Akhirnya, dengan sedikit bimbang, Hans menundukkan kepalanya dan beranjak pergi, meninggalkan Reinhard sendirian di depan pintu.Setelah Hans pergi, Reinhard pun menggeser pintu di depannya, lalu memutar kursi rodanya masuk ke dalam ruangan itu. Di tengah keheningan itu, hanya terdengar suara roda yang berputar dengan deru napas yang teratur saja.Ia berhenti sejenak. Dari balik tirai tipis yang mengelilingi ranjang, ia bisa melihat sosok Alicia yang terlelap. Dengan pelan, Reinhard berdiri dari kursinya, berjalan mendekat agar bisa melihat wajah istrinya lebih jelas di tengah penerangan temaram dalam ruangan itu.Namun, langk
“Mau ke mana?”Nada suara Reagan yang datar dan tajam, memecahkan keheningan yang terjadi di antara dirinya dan Reinhard. Mata ambernya menilik sikap putranya yang dipenuhi kewaspadaan padanya.Perlahan sudut bibirnya membentuk lengkungan tipis, mencairkan ketegangan di antara mereka. “Mencari Alicia?” tanyanya lebih lanjut.Reinhard mengangguk cepat. “Aku ingin memastikan keadaannya,” jawabnya.Melihat raut wajah putranya yang pucat, Reagan pun tersenyum mencibir, “Aku rasa dibandingkan dia, kondisimu jauh lebih mengkhawatirkan, Rein.”Sejenak, ruangan kembali menjadi sunyi. Nada suara Reagan yang terdengar tajam tersebut membuat Reinhard berpikir ayahnya itu akan menghalangi keinginannya seperti yang biasa dia lakukan.Akan tetapi, Reinhard tidak menyangka sang ayah malah berkata, “Pergilah. Tapi, perhatikan juga kondisimu. Jangan terlalu memaksakan diri.”Mata Reinhard terbelalak, tak percaya dengan pendengarannya tersebut. “Papa ….”“Kenapa? Tidak jadi?” Reagan menaikkan satu ali