Diam-diam Alicia mencuri pandang ke arah Reinhard di saat pria itu menikmati makannya. Ia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya tentang apa yang ada di dalam pikiran pria itu.Tatapan Reinhard saat memanggil nama aslinya tadi kembali berputar di dalam ingatannya. Sesaat tadi Alicia dapat merasakan kerinduan yang begitu mendalam dan tak terucapkan.‘Apa aku saja yang sudah terlalu berlebihan?’ batin Alicia, kembali tenggelam dalam kekhawatirannya. ‘Jika dia memang sudah mengetahui semuanya tentangku, tapi kenapa dia terlihat sangat tenang?’Jika memang Reinhard telah mengetahui rahasia dan identitasnya, kenapa pria itu tidak marah? Alicia sudah membohonginya dan seharusnya Reinhard membencinya, bukan?Tapi, kenapa Reinhard malah bersikap selembut dan perhatian ini padanya? Apa Reinhard hanya berpura-pura agar ia lengah dan mengaku bahwa dirinya adalah Alicia?‘Sebenarnya apa yang kamu rencanakan, Xavier?’ Alicia kembali berpikir di dalam hati. Wajahnya diliputi dengan keresahan yang ta
“Kamu benar-benar tahu caranya menyiksaku, huh?” gerutu Alicia seraya merebahkan tubuhnya di atas lantai yang beralaskan tatami.Ia merasa sangat sulit untuk berdiri karena kekenyangan. Sejak tadi ia terus menerima suapan dari Reinhard. Selain karena makanan yang lezat, Alicia juga tidak dapat menolak perhatian yang diberikan pria itu padanya.Alicia memanyunkan bibirnya, melihat senyuman nakal yang terbit di wajah Reinhard. “Berhenti tertawa! Tidak ada yang lucu, tahu!”Namun, Reinhard masih menertawakannya, “Sepertinya cacingmu sudah tidur pulas setelah kekenyangan, huh?” ledeknya sembari melihat piring-piring kosong yang tersisa di atas meja mereka saat ini.Bibir Alicia berdecak kesal, tetapi ia tidak menjawab apa pun. Ia mengamati wajah Reinhard yang tampak sedikit memerah. “Sepertinya kamu mabuk, Rein,” ujarnya.“Hanya sedikit saja,” gumam Reinhard seraya memijit pangkal hidungnya. Padahal ia hanya minum dua botol sake saja, tetapi kelelahan yang dirasakannya hari ini turut menam
“Edwin, apa kamu tidak dengar apa yang sudah dia bicarakan tentangku? Katakanlah sesuatu,” rengek Thalia dengan wajah memelas untuk mendapatkan dukungan dari calon suaminya tersebut.Ia telah mendekati Edwin, mengamit lengan pria itu untuk menarik perhatian Edwin dari Alicia.Edwin yang masih belum bisa meredakan kekagetannya terhadap perubahan Alicia, mencoba untuk menyusun kata-katanya. “Thalia, tenanglah ….”Kedua alis Thalia pun berkerut. Ia telah melototi Edwin dengan tajam. “Apa maksudmu bicara seperti itu kepadaku? Apa menurutmu, aku kurang tenang?”Edwin menghela napas frustrasi. “Bukan begitu, Thalia. Aku─”“Bukankah seharusnya kamu marah dan membelaku? Dia sudah mengataiku, Ed,” Thalia menyela dengan nada kecewa yang nyaris histeris.Edwin tampak gelisah, tidak tahu harus berkata apa. “Thalia Sayang─”Sebelum Edwin memberikan alasan apa pun, kekasihnya itu telah menepis tangannya dengan kasar. Thalia bergerak mundur ketika Edwin berniat menggapai tangannya, matanya menyala p
“Ada apa denganmu, Edwin Stein?”Suara Alicia mengalihkan pandangan Edwin kepadanya. Pria itu menatapnya dengan tajam.“Sejak kapan kamu menjadi pecundang yang harus tunduk dan mengikuti ucapan wanita seperti ini?” cibir Alicia seraya melirik sekilas ke arah Thalia.Raut wajah Edwin seketika menggelap. Ucapan Alicia berhasil melukai harga diri mantan suaminya itu sebagai seorang lelaki.“Edwin hanya terlalu sayang padaku makanya menurut padaku, Anya,” tukas Thalia dengan penuh kebanggaan. "Kenapa? Kamu iri?"Alicia mendengus malas. Thalia tidak memahami sepenuhnya maksud dari ucapannya. 'Dasar bodoh,' pikirnya.Alicia tidak menggubris wanita itu. Tatapannya kembali tertuju kepada Edwin. “Bukankah dulu kamu selalu terlihat hebat dengan membuatku menjadi bonekamu, Edwin Stein? Kamu membuatku percaya dengan cinta palsumu karena kamu menginginkan sesuatu dariku? Bukankah begitu?”“Kamu baru menyadari kalau kamu bodoh? Apa tidak terlalu terlambat?” balas Edwin dengan angkuh.Sindiran pedas
“Kamu percaya dengan cerita murahan dari mereka?”Edwin tersentak. Namun, ia mengira Alicia hanya berusaha mempertahankan harga dirinya saja dengan berpura-pura kuat.Perlahan Edwin mendekat, lalu satu tangannya mencubit dagu Alicia dengan lancang. “Keberanianmu ini … entah kenapa aku menyukainya.”Alicia memutar bola matanya dengan malas. “Bajingan tidak tahu malu,” cibirnya.Namun, Edwin malah tersenyum dengan penuh percaya diri. “Aku tahu kamu sengaja bersikap seperti ini untuk menarik perhatianku, bukan?”Alicia mendengus kecil, merasa jijik dengan tindakan Edwin tersebut. Ia pun memalingkan wajahnya dengan kasar sehingga cubitan tangan Edwin terlepas dari dagunya.“Meskipun kita sudah bercerai, sebagai mantan suamimu, aku akan berikan kamu satu kesempatan, Anya,” ucap Edwin dengan penuh percaya diri.“Kamu pikir aku akan tertipu lagi dengan ucapanmu, huh?” Alicia menyeringai remeh. “Kamu pikir kamu bisa membuatku terkesima? Menggelikan.”“Kau─” Mata Edwin menyala, tetapi kemarahan
“Akh!” Erangan Edwin kembali terdengar karena Reinhard menginjak punggungnya dengan sepatu pantofelnya. Tubuh Edwin semakin tertunduk hingga bersimpuh di hadapan Alicia. Wajahnya terlihat sangat menyedihkan. Suara teriakannya itu berhasil mengundang perhatian semua tamu dan para karyawan restoran yang sedang ada di sekitar taman tersebut. Akan tetapi, tidak ada satu pun yang berani menghentikan Reinhard karena mereka khawatir akan terlibat dalam masalah. Apalagi aura Reinhard yang dingin membuat semua orang bergidik ngeri dan enggan mendekat. “Si-siapa kamu?” Edwin bertanya dengan penuh selidik. Ia tidak dapat melihat jelas wajah sosok penyerangnya tersebut dari posisinya saat ini. Reinhard menyeringai sinis. “Kamu tidak tahu siapa aku, tapi beraninya kamu menyentuh wanitaku, huh?” “A-apa?” Edwin terkejut. Sontak, ia mengangkat wajahnya dan bertemu pandang dengan Alicia. Wajah wanita itu tidak menunjukkan belas kasihan sedikit pun atas rasa sakit yang diterima Edwin. Justru
“Ed!”Thalia berteriak histeris saat melihat calon suaminya tergeletak di area taman dalam kondisi kesakitan. Tidak ada satu pun yang menawarkan bantuan kepada pria itu.Thalia pun bergegas menghampiri calon suaminya. “Astaga! Apa yang terjadi padamu, Sayang? Siapa yang melakukan hal ini padamu?” cecarnya dengan pertanyaan beruntun.Edwin tidak menjawab. Ia mendongakkan wajahnya, menatap wajah Thalia yang dipenuhi kekhawatiran. Wajah Edwin terlihat sangat pucat. Napasnya juga terengah-engah, berusaha mengatasi rasa sakit yang tak tertahankan dari luka yang diterimanya.“Ed, tolong jawab aku!” Thalia mengguncang bahu Edwin dengan panik, tetapi tindakannya itu membuat kondisi Edwin semakin memburuk.“Argh! Sakit!” teriak Edwin dengan histeris.Thalia sangat terkejut. Ia bergegas menarik tangannya dengan cepat dan memandang calon suaminya itu dengan penuh khawatir. “Maaf, Sayang … aku tidak tahu kalau ….”Sembari mengedarkan pandangannya ke sekitar, Thalia bergumam dengan mata berkaca-ka
“Thalia, sudahlah. Sebaiknya kita pergi saja,” ujar Edwin, menghentikan calon istrinya.Thalia terkesiap. “Tapi─”“Restoran ini adalah milik Nyonya Besar Hernandez. Sebaiknya kita tidak mencari masalah lebih jauh lagi, Thalia,” bisik Edwin, mengingatkannya.Thalia tahu jelas maksud dari ucapan calon suaminya tersebut. Mencari masalah dengan keluarga Hernandez sama artinya jika ia siap untuk bertaruh nyawa dan kehilangan semuanya!Akhirnya dengan penuh kemarahan, Thalia hanya bisa pasrah meninggalkan restoran tersebut dengan memapah Edwin.“Tenang saja, Sayang. Aku pasti akan menemukan bajingan gila itu dan membalas semua yang sudah dilakukannya padaku,” tukas Edwin dengan penuh keyakinan.Ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk mencari pria itu meskipun harus mengejarnya hingga ke ujung dunia untuk mengembalikan harga dirinya yang terluka.***“Kerja bagus.” Reinhard mengulum senyumnya, mendengarkan laporan yang sedang diberikan oleh sang manajer restoran kepadanya.Ia memang sudah me
Reinhard terlihat kesal. Sebenarnya ia ingin sekali turun tangan sendiri untuk menangani Ken. Akan tetapi, karena ia harus menjalani pemulihan di rumah sakit, Reinhard meminta para bawahan Dark Wolf untuk menggantikannya memberikan pelajaran kepada pria itu.Dalam kondisi terluka parah dan faktor usia yang tak lagi muda, Ken meregang nyawa lebih cepat setelah mengalami berbagai penyiksaan yang diperintahkan Reinhard.Meskipun menyesal tidak dapat menanganinya sendiri, tetapi Reinhard merasakan kelegaan yang luar biasa dengan kematian pria itu. Satu ancaman bagi Alicia telah lenyap, dan Reinhard bisa memenuhi janjinya kepada Regis.“Kamu sudah mengirimkan hasilnya kepada Regis?” tanya Reinhard.Ia memang meminta Austin menyelesaikan tugas itu sebagai bagian dari syarat yang diberikan Regis. Untuk memastikan mayat itu benar-benar Ken Stewart, Reinhard sengaja meminta otopsi. Ia tidak ingin tertipu seperti Alexei dulu, yang sempat terkecoh oleh kematian palsu Ken.“Tenanglah. Aku sudah m
Dua minggu sudah Reinhard dirawat di rumah sakit. Hari ini akhirnya ia sudah diperbolehkan pulang setelah selama seminggu ini ia mengajukan protes dan keluhannya terhadap dokter yang menanganinya. Bahkan ia tak segan-segan mengancam pimpinan rumah sakit.Apa yang terjadi? Kenapa Reinhard melakukannya?Jawabannya sangat sederhana. Reinhard sudah tidak betah berada di rumah sakit itu.Seperti yang diputuskannya dua minggu lalu, ia dan Alicia akhirnya berbagi kamar rawat bersama agar bisa menjalani masa pemulihan bersama.Akan tetapi, Alicia sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit minggu lalu karena kondisinya sudah lebih membaik. Meski demikian, ia tetap diwajibkan menjalani bedrest di rumah hingga benar-benar pulih sepenuhnya.Karena itulah, Reinhard merasa sangat kesepian berada di dalam kamar rawat itu sekarang. Ia berulang kali mengajukan permohonan untuk pulang, tetapi ditolak karena luka-lukanya masih memerlukan perawatan intensif.Hari ini, setelah berbagai protes dan ancama
“Apa yang kamu lamunkan, hum?” Reinhard mengetuk pelan kening Alicia, mengalihkan kembali perhatian wanita itu padanya.Alicia tersentak kecil. Ia menggeleng cepat, lalu memasang senyum lebar seolah tidak ada apa-apa.Reinhard menghela napas pelan. “Aku tahu … meskipun kamu tahu kamu hamil sekalipun, pasti kamu tetap akan mengikutiku, bukan?” terkanya, mengira Alicia masih memikirkan tentang hal yang terjadi sebelumnya.Alicia terkekeh kecil. “Kamu sangat mengenalku dengan baik, Suamiku,” ucapnya, tidak menyangkal sedikit pun tuduhan Reinhard.Saat itu, Alicia memang tidak berpikir panjang. Satu-satunya hal yang dipedulikannya hanyalah keselamatan pria itu.Reinhard mendesah berat, tetapi ada kehangatan dalam sorot matanya. “Sayang, kamu tahu kan kalau aku mencintaimu?”Alicia mengangguk.“Mulai sekarang ada nyawa lain yang harus kamu jaga. Tapi, di atas semua itu, kamu yang menjadi prioritasku. Karena itu, jangan pernah berbuat nekat seperti tadi lagi dan jangan pernah berpikir untuk
“Ah, ya ampun. Turunkan aku, Xavier. Aku pusing,” seru Alicia histeris.Reinhard segera menghentikan putarannya dan menurunkan Alicia dengan hati-hati di atas ranjang. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam.“Maafkan aku, Sayang. Aku sampai lupa diri karena terlalu bahagia mendengar kabar ini,” ucap Reinhard seraya menangkup wajah Alicia dengan kedua tangannya, menatapnya seolah-olah wanita itu adalah seluruh dunianya.“Tidak apa-apa. Aku hanya sedikit pusing saja,” timpal Alicia berusaha menunjukkan senyuman meyakinkan, meskipun kepalanya masih sedikit berdenyut.“Kamu yakin?” Reinhard menatapnya lekat-lekat, seolah mencari tanda-tanda ketidaknyamanan yang mungkin disembunyikan Alicia. “Mau aku panggilkan dokter saja?”Alicia tertawa kecil, menggeleng pelan. “Aku baik-baik saja, Xavier. Serius. Jangan berlebihan.”Reinhard mendesah lega, tetapi tidak sepenuhnya puas. Ia duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Alicia dengan lembut.Raut wajah Reinhard berubah sendu dan dipen
Selang beberapa waktu, ciuman mereka semakin dalam, membuat Alicia cukup kewalahan untuk mengikuti liarnya gairah yang diberikan Reinhard melalui ciuman tersebut.“Ummph─”Deru napas Alicia terasa semakin pendek. Ia pun bergegas melepaskan tautan bibir mereka lebih dulu agar bisa menghirup udara secepatnya. Tanpa sengaja ia mendorong dada Reinhard terlalu kuat hingga pria itu meringis perih karena luka di bahunya terasa kembali berdenyut.Mata Alicia pun membelalak panik. “Ah, astaga!”Alicia pun bergegas memeriksa luka pria itu, membuka beberapa kancing baju pasien yang dikenakan Reinhard. Melihat bercak darah yang merembes pada perban di bahu pria itu, rasa bersalah pun menggelayuti hati Alicia. Ia menggigit bibir bawahnya dan menatap Reinhard dengan sorot mata berkaca-kaca.“Maafkan aku … aku─”Sebelum Alicia sempat menyelesaikan ucapannya, Reinhard telah menarik lengannya dan membawanya jatuh ke dalam pelukannya lagi.“Xavier ….” Alicia mengerjap dengan bingung. Ia berniat mendoron
Alicia masih terdiam. Ia berusaha mencerna ucapan yang dilontarkan Reinhard. Kata-kata itu meskipun terdengar sederhana, tetapi entah kenapa Alicia merasa tidak asing seakan menyiratkan sesuatu seperti penolakan.Tiba-tiba hati Alicia terasa teremas. Ia diingatkan kembali dengan kenangan menyakitkan yang dialaminya dulu terkait dengan sikap dingin Reinhard di masa lalu.Cairan bening telah menggenang di pelupuk mata Alicia membuat Reinhard tersentak. “A-Alicia, kamu … kenapa?” tanyanya, panik.Namun, wanita itu tidak menjawab dan malah balik bertanya dengan suara bergetar yang terdengar seperti bisikan yang rapuh, “Tadi kamu bilang ... tidak ingin aku mengejarmu lagi? Maksudmu ... kamu ingin berpisah denganku?”Reinhard menatap wanita itu dengan penuh kebingungan. Namun, seulas senyuman merekah di bibirnya setelah mencerna prasangka buruk yang dilontarkan wanita itu atas ucapannya tadi.Dengan penuh kelembutan, Reinhard mengusap air mata yang hampir tumpah di sudut mata wanita itu. “D
“Memangnya ada hal yang tidak kuketahui?” Regis menyeringai kecil, nada angkuhnya begitu kentara.Reinhard hanya mendesah, menatap pria itu dengan tatapan lelah. "Tentu saja. Tuan Muda Lorenzo selalu tahu segalanya."Regis tertawa pelan, lalu mulai berbicara tanpa niat memancing pertengkaran. Ia pun menceritakan mengenai hal yang didengarnya dua hari lalu—tentang insiden yang menimpa Alicia sebelum mengalami kecelakaan tiga tahun lalu. Cerita yang secara tak sengaja Regis dengar ketika Alicia menceritakannya kepada ayah mereka.Reinhard terdiam mendengarkan cerita tersebut. Amarah di dalam dadanya mulai membara seiring dengan setiap kata yang keluar dari mulut Regis. Rahangnya mengeras, sementara tangan terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih.“Jadi … tiga tahun lalu, kecelakaan itu memang bukan hanya sekadar kecelakaan?” gumam Reinhard berbisik pelan seiring dengan getaran emosi yang dirasakannya.Sebelumnya Reinhard memang telah mendengar pengakuan dari Edwin Stein mengenai p
Reinhard telah sampai di depan pintu kamar Alicia. Koridor di depan ruangan itu sangat sepi. Sebelum masuk, ia menoleh sejenak ke arah Hans yang menemaninya hingga ke tempat itu.“Cukup antar sampai di sini saja. Saya bisa sendiri, Tuan Miller,” ucap Reinhard dengan tegas.Meskipun Hans merasa ragu dan khawatir, tetapi ia tidak dapat menolak permintaan Reinhard. Akhirnya, dengan sedikit bimbang, Hans menundukkan kepalanya dan beranjak pergi, meninggalkan Reinhard sendirian di depan pintu.Setelah Hans pergi, Reinhard pun menggeser pintu di depannya, lalu memutar kursi rodanya masuk ke dalam ruangan itu. Di tengah keheningan itu, hanya terdengar suara roda yang berputar dengan deru napas yang teratur saja.Ia berhenti sejenak. Dari balik tirai tipis yang mengelilingi ranjang, ia bisa melihat sosok Alicia yang terlelap. Dengan pelan, Reinhard berdiri dari kursinya, berjalan mendekat agar bisa melihat wajah istrinya lebih jelas di tengah penerangan temaram dalam ruangan itu.Namun, langk
“Mau ke mana?”Nada suara Reagan yang datar dan tajam, memecahkan keheningan yang terjadi di antara dirinya dan Reinhard. Mata ambernya menilik sikap putranya yang dipenuhi kewaspadaan padanya.Perlahan sudut bibirnya membentuk lengkungan tipis, mencairkan ketegangan di antara mereka. “Mencari Alicia?” tanyanya lebih lanjut.Reinhard mengangguk cepat. “Aku ingin memastikan keadaannya,” jawabnya.Melihat raut wajah putranya yang pucat, Reagan pun tersenyum mencibir, “Aku rasa dibandingkan dia, kondisimu jauh lebih mengkhawatirkan, Rein.”Sejenak, ruangan kembali menjadi sunyi. Nada suara Reagan yang terdengar tajam tersebut membuat Reinhard berpikir ayahnya itu akan menghalangi keinginannya seperti yang biasa dia lakukan.Akan tetapi, Reinhard tidak menyangka sang ayah malah berkata, “Pergilah. Tapi, perhatikan juga kondisimu. Jangan terlalu memaksakan diri.”Mata Reinhard terbelalak, tak percaya dengan pendengarannya tersebut. “Papa ….”“Kenapa? Tidak jadi?” Reagan menaikkan satu ali