"Nggak apa-apa kok, Dek. Mas cuma mau nanya doang," ucap Arkan sambil tersenyum masam.Andri menghembuskan napas panjang, lalu mengecup pelan pipi sang suami."Yakin cuma nanya doang? Nggak ada yang lain?" tanya Andri mulai curiga.Arkan kembali menggelengkan kepalanya pelan. Namun sepertinya Andri mulai cukup peka terhadap apa yang terjadi dengan suaminya.Dengan lembut ia mulai mengambil lengan Arkan dan membelainya dengan mesra."Apapun yang terjadi, aku akan mencintaimu, Mas. Aku akan selalu bersama denganmu dalam suka dan duka. Aku tak masalah hidup susah ataupun jatuh miskin," ucap Andri pelan."Mas, asal kamu tahu, aku sudah terbiasa hidup susah. Jadi, kamu nggak perlu khawatirkan aku. Justru, aku yang harus khawatirin kamu, sanggup atau nggak? Asal kamu tau, Mas, bahkan dulu sehari cuma makan sekali saja aku pernah merasakannya. Kamu tenang saja, Mas, jika hanya harta dunia, kita bisa cari bersama-sama. Kita akan kerja sama-sama untuk kembali mengembalikan keadaan," ucapnya pe
"Mas, gua mau nanya sesuatu sama lu. Tapi, janji ya jangan diketawain," ucap Arkan tiba-tiba memecah keheningan diantara mereka berdua.Agra mengernyitkan dahinya sebentar, lalu mengangguk mantap. "Ada apa?" tanyanya datar."Gimana kalau misalnya lu di suruh milih antara dua hal sesuatu yang sulit?" tanya Arkan kembali."Apa dulu sesuatunya itu?" tanya Agra balik, suaranya terdengar santai dan juga datar.Arkan kembali menatap langit malam yang begitu terang. Ia menghembuskan napasnya pelan sebelum akhirnya ia kembali berbicara."Kalau misalnya lu disuruh milih antara wanita yang lu cintai sama perusahan yang udah dibangun susah payah sama ortu lu, lu bakal milih mana?" tanya Arkan ambigu.Agra memiringkan kepalanya untuk melihat raut wajah Arkan. Wajahnya terlihat menyimpan suatu beban yang begitu berat sepertinya."Siapa saingan gua yang mau ngerebut Andri dari lu? Emang ada? Wah, nggak bisa dibiarin ini. Harusnya, saingan lu dalam merebut Andri cuma gua aja," ujar Agra sambil terke
Sekan terdiam dan terpaku mendengar jawaban yang terlontar dari mulut istrinya itu. Andri melangkah lebih dahulu ke gazebo halaman belakang, lalu menepuk pinggiran yang masih kosong.Arkan mengerti apa yang dimaksud istrinya. Ia pun segera melangkah dan duduk bersama wanitanya itu."Apa yang sebenernya terjadi, Mas? Dari semalam kamu selalu bertanya seperti itu? Apa yang kamu sembunyikan sebenernya, Mas?" tanya Andri bertubi-tubi.Arkan menunduk sebentar, memainkan jari jemarinya, seolah menguatkan hatinya dahulu sebelum akhirnya ia bercerita kepada sang istri.Andri menunggunya dengan sabar, membelai lembut lengan sang suami seolah memberinya sedikit ketenangan.Arkan mengangkat wajahnya, menatap wajah wanita didepannya yang terlihat begitu kuat dan juga tegar."Aku ... Kevin kemarin ngancem aku, Dek," ucap Arkan pada akhirnya."Kevin? Apa ancaman Kevin ke kamu, Mas?" tanya Andri penasaran.Arkan pun lalu menceritakan tentang telpon Kevin kemarin di kantor. Tentang ancamannya dan jug
"Kamu serius dengan apa yang kamu ucapkan itu, Dek?" tanya Arkan masih belum percaya sepenuhnya kepada sang istri.Andri tersenyum lembut, ia tahu, tak mudah bagi Arkan untuk kehilangan semuanya. Ia pernah kehilangan kedua orangtuanya, kehilangan sedikit ingatan dan juga mentalnya, dan kali ini ia kembali di hadapkan dengan sesuatu yang mungkin sedikit sulit ia terima, dan Andri paham akan semua itu.Andri kembali membelai lengan sang suami, dan tersenyum lembut. Ia mengecup pelan pipi Arkan sebentar lalu kembali masuk ke dalam pelikan lelakinya."Mas, jangan pernah merasa sendiri lagi sekarang. Kamu punya aku sekarang, Mas," lirih Andri pelan seraya keluar dari pelukan suaminya."Aku memang hanya orang baru yang kebetulan datang di dalam hidupmu. Tapi aku, aku nggak akan membiarkanmu menghadapi semuanya sendiri kembali, Mas. Aku akan selalu ada di sampingmu dalam suka maupun duka mu," ujar Andri kembali.Arkan menarik napas dalam, lalu mencium pucuk kepala istrinya. "Terimakasih suda
Setelah menuntaskan hasratnya, Andri kembali tertidur. Mungkin ia sedikit kelelahan karena permainan mereka kali ini terasa lebih panas dan juga bergairah.Sepertinya, benar kata orang, apapun masalah yang terjadi dalam rumah tangga, ranjang adalah tempat mereka kembali menemukan suatu kedamaian.Melihat sang istri yang nampak begitu terlelap, Arkan pun ikut tertidur sebentar. Siapa tau, setelah beristirahat pikirannya bisa lebih fress dan juga lebih tenang.Namun, tidur Arkan tidak lah lama, hanya sekitar tiga puluh menit saja, karena ponselnya terus berdering menandakan panggilan.Arkan terpaksa bangun untuk mengambil ponselnya. Di layar sana, nama 'Sinta' tertera dengan jelas.Arkan segera mengangkat telponnya dan tak lama Sinta nampak marah-marah dari sebrang sana.["Bapak tuh kenapa sih? Kenapa harus nggak masuk? Bapak nggak tahu apa kalau ada banyak laporan yang perlu di tandatangani dan di cek?"] omel Sinta panjang lebar."Ck! Saya jadi heran, sebenernya disini yang bosnya kamu
["Arkan, bagaimana?"] tanya Kevin kembali dari seberang telpon sana.Arkan mendengus pelan, menatap layar laptop dengan tatapan kosong."Kau bawel sekali, Kevin! Bukan kah kau memberikanku waktu 3x24 jam untuk berpikir? Ini baru 1x24 jam!" gerutu Arkan kesal.Tawa Kevin terdengar begitu jelas dari sana.["Kau masih sama seperti dulu, Arkan. Selalu polos dan mudah percaya. Ah, sayang sekali Andri harus menikah dengan pria idiot macam kau,",] ucapnya kembali.Gigi Arkan nampak gemertluk mendengar hinaan itu kembali. Ia menghela napas panjang dan dengan berat hati akhirnya ia memberikan keputusan."Hanya PT Dirgantara, kan?" tanya Arkan memastikan.["Ya, karena perusahaan itu yang paling besar di antara perusahaanmu. Meskipun anak cabang, tapi perusahaan itu paling banyak memiliki saham dan juga keuntungan, benarkan?"] tanya Kevin penuh percaya diri."Sepertinya kau tahu banyak tentang perusahaan ku yah? Oke, baiklah, aku akan menyerahkannya. Tapi, aku mohon beri aku waktu," jawab Arkan
Arkan mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, menahan gemuruh di dadanya. Ia menatap Oom Nathan dengan tajam, mencoba membaca maksud tersembunyi di balik kata-kata yabg terlontar dari mulut lelaki itu "Apa maksud Oom?" tanya Arkan tak paham, bahkan suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.Oom Nathan melangkah lebih dekat, lalu segera menarik kursi yang berada di depan Arkan. Ia mengamati wajah keponakannya itu, seolah ingin menilai seberapa jauh ia akan tenggelam dalam kekacauan ini."Arkan, bukankah kau telah lama bersahabat dengan Kevin?" tanyanya datar, namun penuh penekanan. "Coba kau pikirkan, apa mungkin Kevin bisa melakukan semuanya sendiri? Maksud Oom, Oom tak yakin jika dia cukup berani untuk melakukan ini semua. Pasti ada sosok lain dibelakangnya," jawabnya menganalisa.Arkan mengerutkan kening, mencoba mengingat semua memori tentang Kevin."Tapi, bukan kah seseorang bisa berubah? Maksud Arkan, jika ia terbakar dendam, maka ia akan berubah menjadi jahat? Bukankah banya
Arkan mengalihkan pandangannya ke arah langit-langit. Ia memijat pelan pelipisnya, mencoba mencerna setiap kata-kata yang ada. Ia bukanlah orang bodoh meskipun sedikit idiot terkadang. Namun, kata-kata Agra tadi jelas bukan hanya sekedar nasihat. Namun, ada juga sebuah peringatan di dalamnya."Kau terlalu naif, Arkan. Kau terlalu polos dan mudah percaya," kata-kata itu kembali Agra ucapkan, membuat Arkan benar-benar tertekan karenanya.Namun, Arkan tahu jelas, kedua orang itu hanya memperingatkannya, namun juga menasihatinya. Menjadi pion atau pemain, itulah yang Arkan pertanyakan sekarang.Agra mengetuk jari jarinya di meja kerja Arkan, membuat suasana di sana semakin canggung dan juga tegang.Namun, sebelum Arkan bisa menjawab, sebuah suara berat kembali terdengar dari arah pintu"Ikut saja dulu permainannya."Mereka bertiga langsung menoleh dengan cepat. Kakek Gala berdiri di sana, lalu segera melangkah dengan tegas dan juga perlahan. Meskipun jalannya sudah menggunakan tongkat, n
Arkan membelai lembut punggung Humai, berusaha menenangkan sang anak yang ketakutan."Humai, itu Papa, Nak," ucap Arsy pada akhirnya.Humai mendongak, menatap wajah Arsy dan Agra bergantian."Papa?" tanyanya pelan, nyaris berbisik.Arsy mengangguk mantap, lalu segera mengambil Humai dari gendongan Arkan."Iya, Oom ini adalah Papa kamu. Papa kandung kamu," ucap Arsy kembali.Humai sedikit terkejut. Ia menatap Agra ragu-ragu, seolah mencari kebenaran dalam sorot mata pria itu. Agra sendiri tampak membeku, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.Arkan dan Andri saling pandang sebentar, dan keduanya seolah menahan napas bersama. Situasi ini sedikit sulit, namun cepat atau lambat, semua pasti akan terjadi."Papa?" ulang Humai dengan suara lebih lirih. Matanya berkaca-kaca, tapi bukan karena takut—melainkan kebingungan.Agra, yang sejak tadi diam, akhirnya berlutut di depan Humai, berusaha menyamakan tinggi mereka. "Iya, Nak," ucapnya, suaranya bergetar. "Papa di sini."Humai menggigit bibir
Agra tak bisa menjawab ucapan itu, ia hanya bisa tertunduk diam, merutuki kebodohannya dahulu."Aku bener-bener minta maaf, Ar. Aku tahu aku salah, dan aku minta kesempatan dari kamu untuk memperbaiki segalanya," ucap Agra, nada suaranya penuh penyesalan dan juga luka."Selama ini, aku selalu cari kamu. Tapi, entah kenapa aku nggak pernah bisa nemuin kamu. Seolah, jejak kamu emang benar-benar menghilang begitu aja," ucap Agra kembali.Arsy menggigit bibir bawahnya, matanya mulai memanas kembali."Aku tahu, Mas. Mas Arkan dan Mbak Andri sering cerita tentang kamu. Dan gimana tersiksanya kamu. Tapi, aku masih belum siap saat itu," ucap Arsy pada akhirnya.Agra mengerutkan keningnya, "Jadi, selama ini kamu tahu tentang aku?' tanya Agra memastikan.Arsy mengangguk mantap. Sementara Agra, kembali memeluk tubuh wanitanya itu kembali. Arsy kembali menangis di pelukan lelakinya itu."Aku minta maaf, Arsy, aku minta maaf," ucap Agra kali ini.Arsy hanya mengangguk, membiarkan air matanya jatuh
Tak hanya Agra, namun wanita itu pun sedikit terkejut saat melihat siapa yang ada disana. Yah, wanita itu adalah Arsy, wanita yang ia cari selama hampir lima tahun lamanya. Ia pikir, wanita itu benar-benar menghilang, dan kedua adiknya tak tahu tentangnya. Namun, kenyataan di depannya seolah menghantam segala rasa sesak yang ada. Di sisi lain, Andri dan Arkan sama sekali tak bergerak. Keduanya pun hanya bisa saling bertukar pandang, tak menyangka bahwa akan ada pertemuan di antara mereka. Keduanya memilih mengalihkan perhatiannya pada Humai, bocah kecil yang baru saja datang dan langsung meminta Arkan untuk menggendongnya itu. Arsy menelan ludah. Ia mengalihkan pandangannya dari arah Agra ke arah Andri dan Arkan, lalu kembali pada Agra kembali. Hingga akhirnya, tanpa dikomando mulutnya pun berkata dengan lirih, nyaris bergumam menyebut nama itu. "Ma--Mas Agra." Agra mengembuskan napas berat setelah beberapa saat ia terdiam. Tak lama, ia pun segera bangkit dari duduknya dan mengh
"Haha sabar, Mas," ucap Andri seraya mengecup bibir sang suami.Arkan mendengus kesal, lalu segera beranjak dari duduknya. Sementara Andri, merapihkan pakaiannya dan juga rambutnya yang sedikit berantakan karena ulah suaminya.Dengan wajah sedikit dongkol, Arkan membuka pintu rumah dengan kasar. Diambang pintu, Agra berdiri dengan wajah yang sedikit berkerut karena bingung melihat kelakuan sang adik.."Assalamu'alaikum," salam Agra sekali lagi."Wa'alaikumsalam," jawab Arkan ketus.Agra sempat terdiam, merasa heran. Ia tak merasa melakukan apapun, tapi kenapa Arkan bersikap menyebalkan kepadanya? Apa dia sedang tak dapat jatah dari Andri? Atau ...Agra menepis pikiran liarnya, dan hendak melangkah masuk ke dalam rumah. Namun, dengan sigap Arkan langsung pasang badan menahan Agra di pintu."Mau ngapain sih, Mas,? Ganggu orang aja!" seru Arkan sedikit ketus."Dih, ngapa lu? Kaga seneng banget perasaan liat gua ke sini. Gua mau ketemu bini lu, bukan lu. Dah, sana minggir," ucap Agra san
Seketika, ruangan itu mendadak hening. Semua mata memandang Andri dengan ekspresi yang sama --terkejut.Mereka tahu, Andri bukan lah orang yang suka ceplas-ceplos, bahkan terkesan santun dan sopan. Ucapannya barusan tentu saja membuat mereka semua terkejut, tak terkecuali dengan Arkan.Namun, Arkan hanya menyunggingkan sedikit senyumnya. Senyum yang tipis, sehingga tidak semua orang menyadarinya.'Fiks, khodam harimaunya akan keluar ini,' batin Arkan sambil terkekeh geli."A-- apa maksud kamu, Ndri?" tanya Bu Irma dengan sedikit tergagap.Andri tertawa pelan, seraya bangkit dari duduknya."Ibu pikir, saya nggak tahu kalau menantu itu hamil duluan, makanya nikah buru-buru? Ya ilah, Bu, sebelum acara nikahan itu berlangsung, saya udah ketemu duluan sama anak ibu dan pacarnya di poli kandungan dua bulan sebelumnya," ucap Andri. "Mereka sendiri yang bilang kalau misalnya mau USG anak mereka," ucapnya kembali.Ia merapihkan ujung bajunya, lalu kembali menatap Bu Irma dengan tajam."Tolong
Ruang tamu itu dipenuhi oleh kehangatan. Suara bayi yang baru lahir terdengar lirih dari sudut ruangan, sementara para tamu sedang asyik mengobrol santai sambil menikmati teh dan camilan.Diantara tamu-tamu itu, Andri dan Arkan pun tak luput untuk datang menengok tetangga mereka yang baru saja melahirkan.Andri ikut tersenyum saat melihat si bayi yang masih merah tertidur pulas dalam gendongan ibunya. Aroma bedak bayi dan minyak telon tercium samar di udara. Ada rasa haru sekaligus kagum di matanya, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata."MasyaAllah, gemes banget ya, Ndri," bisik Bu RT yang berada di sampingnya.Andri mengangguk. "Iya, Bu. Lucu banget, masyaallah," ucapnya lembut."Mbak Andri mau coba gendong?" tanya sang empunya rumah dengan ramah.Andri terdiam sebentar, lalu melirik ke arah Arkan yang berada tak jauh darinya. Arkan hanya mengangguk sambil tersenyum, seolah memberi ijin untuk Andri.Andri mengangguk ragu dan tak lama bayi merah itu telah berpindah tanga
Tante Adel berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datar, tetapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Seakan dia tahu lebih banyak daripada yang mereka pahami saat ini."Karena itu, kapan kamu mau bawa koleksi mainan kamu?" tanyanya kembali, namun kali ini dengan nada lebih tenang, tetapi tetap tajam.Arkan masih berusaha mencerna semuanya. Koleksi mainan yang selama ini menjadi kenangan berharga, bukan hanya sekadar benda mati, tapi juga suatu koleksi atas kesabaran dan penghargaan, ternyata sudah dijual dan dilelang. Lalu, ditukar dengan saham dan juga investasi."Lalu, apa masih ada yang tersisa, Tan?" tanya Arkan kali ini. Suaranya terdengar serak, nyaris berbisik.Tante Adel terdiam sebentar, lalu menggeleng lemah. Ia segera masuk ke dalam kamar Yudha, dan menarik salah satu kursi di sana."Kalau kamu tanya soal mainan yang ada diruangan Mas Gerry, kemungkinan udah nggak ada semua yang tersisa," ucap Tante Adel lirih."Tapi, kalau misalnya kamu tanya soal mainan
Arkan memutar-mutar kertas itu di tangannya. Tulisan Yudha yang sedikit miring di sudut kertas terus menarik perhatiannya."Suatu saat, aku akan jelaskan."Apa yang ingin Yudha jelaskan? Kenapa terasa seperti ada rahasia besar yang sengaja disembunyikan darinya?Perasaan tidak nyaman mengendap di dadanya. Perlahan, Arkan berdiri dan melangkah ke arah lemari buku milik Yudha. Ia membuka satu per satu laci dan rak, mencari sesuatu yang mungkin bisa memberikan jawaban. Tapi semuanya tampak biasa saja. Buku pelajaran, beberapa majalah, dan alat tulis.Namun, ketika ia membuka laci paling bawah, pandangannya tertumbuk pada sebuah kotak persegi panjang berwarna hitam. Kotak itu terkunci, tapi di atasnya ada gantungan kunci kecil berbentuk kepala Megatron.Arkan mengernyit. Ia ingat betul gantungan kunci itu. Itu adalah hadiah yang ia berikan pada Yudha saat ulang tahunnya yang ke lima belas.Perlahan, ia mengambil kotak itu. Berat. Ia menggoyangkannya perlahan—ada sesuatu di dalamnya."Apa
"... kamar Yudha. Iya, benar kamar Yudha," ujar Tante Adel sambil tersenyum.Arkan memincingkan mata, kamar Yudha? Bagaimana bisa?"Kemarin Yudha lagi disuruh bikin prakarya gitu. Nah, salah satu mainan kamu jadi bahan contohnya. Coba aja cek di sana, sepertinya ada," ujar Tante Adel kembali seolah itu bukan masalah sama sekali.Alis Arkan berkerut dalam, kenapa Yudha tak ijin dahulu padanya? Biasanya, ia akan selalu ijin untuk meminjam mainannya. Tapi, kenapa kali ini tidak? Apalagi, mainan yang diambilnya adalah Gundam limited edition. Itu bukan hanya tentang sebuah koleksi berharga, namun juga mengajarkannya suatu kesabaran karena rela menunggu barang itu launching hingga berbulan-bulan lamanya.Tanpa mengucapkan sepatah kata, Arkan segera berbalik dan melangkah menuju kamar Yudha yang berada di sebelah kamarnya yang berada di sana. Langkah kakinya terasa sedikit berat, ia takut bahwa kenyataan yang ada di depan sana, akan kembali mengecewakan seperti kejadian di gudang tadi pagi.