Arkan memutar-mutar kertas itu di tangannya. Tulisan Yudha yang sedikit miring di sudut kertas terus menarik perhatiannya."Suatu saat, aku akan jelaskan."Apa yang ingin Yudha jelaskan? Kenapa terasa seperti ada rahasia besar yang sengaja disembunyikan darinya?Perasaan tidak nyaman mengendap di dadanya. Perlahan, Arkan berdiri dan melangkah ke arah lemari buku milik Yudha. Ia membuka satu per satu laci dan rak, mencari sesuatu yang mungkin bisa memberikan jawaban. Tapi semuanya tampak biasa saja. Buku pelajaran, beberapa majalah, dan alat tulis.Namun, ketika ia membuka laci paling bawah, pandangannya tertumbuk pada sebuah kotak persegi panjang berwarna hitam. Kotak itu terkunci, tapi di atasnya ada gantungan kunci kecil berbentuk kepala Megatron.Arkan mengernyit. Ia ingat betul gantungan kunci itu. Itu adalah hadiah yang ia berikan pada Yudha saat ulang tahunnya yang ke lima belas.Perlahan, ia mengambil kotak itu. Berat. Ia menggoyangkannya perlahan—ada sesuatu di dalamnya."Apa
Tante Adel berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datar, tetapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Seakan dia tahu lebih banyak daripada yang mereka pahami saat ini."Karena itu, kapan kamu mau bawa koleksi mainan kamu?" tanyanya kembali, namun kali ini dengan nada lebih tenang, tetapi tetap tajam.Arkan masih berusaha mencerna semuanya. Koleksi mainan yang selama ini menjadi kenangan berharga, bukan hanya sekadar benda mati, tapi juga suatu koleksi atas kesabaran dan penghargaan, ternyata sudah dijual dan dilelang. Lalu, ditukar dengan saham dan juga investasi."Lalu, apa masih ada yang tersisa, Tan?" tanya Arkan kali ini. Suaranya terdengar serak, nyaris berbisik.Tante Adel terdiam sebentar, lalu menggeleng lemah. Ia segera masuk ke dalam kamar Yudha, dan menarik salah satu kursi di sana."Kalau kamu tanya soal mainan yang ada diruangan Mas Gerry, kemungkinan udah nggak ada semua yang tersisa," ucap Tante Adel lirih."Tapi, kalau misalnya kamu tanya soal mainan
Ruang tamu itu dipenuhi oleh kehangatan. Suara bayi yang baru lahir terdengar lirih dari sudut ruangan, sementara para tamu sedang asyik mengobrol santai sambil menikmati teh dan camilan.Diantara tamu-tamu itu, Andri dan Arkan pun tak luput untuk datang menengok tetangga mereka yang baru saja melahirkan.Andri ikut tersenyum saat melihat si bayi yang masih merah tertidur pulas dalam gendongan ibunya. Aroma bedak bayi dan minyak telon tercium samar di udara. Ada rasa haru sekaligus kagum di matanya, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata."MasyaAllah, gemes banget ya, Ndri," bisik Bu RT yang berada di sampingnya.Andri mengangguk. "Iya, Bu. Lucu banget, masyaallah," ucapnya lembut."Mbak Andri mau coba gendong?" tanya sang empunya rumah dengan ramah.Andri terdiam sebentar, lalu melirik ke arah Arkan yang berada tak jauh darinya. Arkan hanya mengangguk sambil tersenyum, seolah memberi ijin untuk Andri.Andri mengangguk ragu dan tak lama bayi merah itu telah berpindah tanga
Seketika, ruangan itu mendadak hening. Semua mata memandang Andri dengan ekspresi yang sama --terkejut.Mereka tahu, Andri bukan lah orang yang suka ceplas-ceplos, bahkan terkesan santun dan sopan. Ucapannya barusan tentu saja membuat mereka semua terkejut, tak terkecuali dengan Arkan.Namun, Arkan hanya menyunggingkan sedikit senyumnya. Senyum yang tipis, sehingga tidak semua orang menyadarinya.'Fiks, khodam harimaunya akan keluar ini,' batin Arkan sambil terkekeh geli."A-- apa maksud kamu, Ndri?" tanya Bu Irma dengan sedikit tergagap.Andri tertawa pelan, seraya bangkit dari duduknya."Ibu pikir, saya nggak tahu kalau menantu itu hamil duluan, makanya nikah buru-buru? Ya ilah, Bu, sebelum acara nikahan itu berlangsung, saya udah ketemu duluan sama anak ibu dan pacarnya di poli kandungan dua bulan sebelumnya," ucap Andri. "Mereka sendiri yang bilang kalau misalnya mau USG anak mereka," ucapnya kembali.Ia merapihkan ujung bajunya, lalu kembali menatap Bu Irma dengan tajam."Tolong
"Haha sabar, Mas," ucap Andri seraya mengecup bibir sang suami.Arkan mendengus kesal, lalu segera beranjak dari duduknya. Sementara Andri, merapihkan pakaiannya dan juga rambutnya yang sedikit berantakan karena ulah suaminya.Dengan wajah sedikit dongkol, Arkan membuka pintu rumah dengan kasar. Diambang pintu, Agra berdiri dengan wajah yang sedikit berkerut karena bingung melihat kelakuan sang adik.."Assalamu'alaikum," salam Agra sekali lagi."Wa'alaikumsalam," jawab Arkan ketus.Agra sempat terdiam, merasa heran. Ia tak merasa melakukan apapun, tapi kenapa Arkan bersikap menyebalkan kepadanya? Apa dia sedang tak dapat jatah dari Andri? Atau ...Agra menepis pikiran liarnya, dan hendak melangkah masuk ke dalam rumah. Namun, dengan sigap Arkan langsung pasang badan menahan Agra di pintu."Mau ngapain sih, Mas,? Ganggu orang aja!" seru Arkan sedikit ketus."Dih, ngapa lu? Kaga seneng banget perasaan liat gua ke sini. Gua mau ketemu bini lu, bukan lu. Dah, sana minggir," ucap Agra san
Tak hanya Agra, namun wanita itu pun sedikit terkejut saat melihat siapa yang ada disana. Yah, wanita itu adalah Arsy, wanita yang ia cari selama hampir lima tahun lamanya. Ia pikir, wanita itu benar-benar menghilang, dan kedua adiknya tak tahu tentangnya. Namun, kenyataan di depannya seolah menghantam segala rasa sesak yang ada. Di sisi lain, Andri dan Arkan sama sekali tak bergerak. Keduanya pun hanya bisa saling bertukar pandang, tak menyangka bahwa akan ada pertemuan di antara mereka. Keduanya memilih mengalihkan perhatiannya pada Humai, bocah kecil yang baru saja datang dan langsung meminta Arkan untuk menggendongnya itu. Arsy menelan ludah. Ia mengalihkan pandangannya dari arah Agra ke arah Andri dan Arkan, lalu kembali pada Agra kembali. Hingga akhirnya, tanpa dikomando mulutnya pun berkata dengan lirih, nyaris bergumam menyebut nama itu. "Ma--Mas Agra." Agra mengembuskan napas berat setelah beberapa saat ia terdiam. Tak lama, ia pun segera bangkit dari duduknya dan mengh
Agra tak bisa menjawab ucapan itu, ia hanya bisa tertunduk diam, merutuki kebodohannya dahulu."Aku bener-bener minta maaf, Ar. Aku tahu aku salah, dan aku minta kesempatan dari kamu untuk memperbaiki segalanya," ucap Agra, nada suaranya penuh penyesalan dan juga luka."Selama ini, aku selalu cari kamu. Tapi, entah kenapa aku nggak pernah bisa nemuin kamu. Seolah, jejak kamu emang benar-benar menghilang begitu aja," ucap Agra kembali.Arsy menggigit bibir bawahnya, matanya mulai memanas kembali."Aku tahu, Mas. Mas Arkan dan Mbak Andri sering cerita tentang kamu. Dan gimana tersiksanya kamu. Tapi, aku masih belum siap saat itu," ucap Arsy pada akhirnya.Agra mengerutkan keningnya, "Jadi, selama ini kamu tahu tentang aku?' tanya Agra memastikan.Arsy mengangguk mantap. Sementara Agra, kembali memeluk tubuh wanitanya itu kembali. Arsy kembali menangis di pelukan lelakinya itu."Aku minta maaf, Arsy, aku minta maaf," ucap Agra kali ini.Arsy hanya mengangguk, membiarkan air matanya jatuh
Arkan membelai lembut punggung Humai, berusaha menenangkan sang anak yang ketakutan."Humai, itu Papa, Nak," ucap Arsy pada akhirnya.Humai mendongak, menatap wajah Arsy dan Agra bergantian."Papa?" tanyanya pelan, nyaris berbisik.Arsy mengangguk mantap, lalu segera mengambil Humai dari gendongan Arkan."Iya, Oom ini adalah Papa kamu. Papa kandung kamu," ucap Arsy kembali.Humai sedikit terkejut. Ia menatap Agra ragu-ragu, seolah mencari kebenaran dalam sorot mata pria itu. Agra sendiri tampak membeku, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.Arkan dan Andri saling pandang sebentar, dan keduanya seolah menahan napas bersama. Situasi ini sedikit sulit, namun cepat atau lambat, semua pasti akan terjadi."Papa?" ulang Humai dengan suara lebih lirih. Matanya berkaca-kaca, tapi bukan karena takut—melainkan kebingungan.Agra, yang sejak tadi diam, akhirnya berlutut di depan Humai, berusaha menyamakan tinggi mereka. "Iya, Nak," ucapnya, suaranya bergetar. "Papa di sini."Humai menggigit bibir
Cukup lama Andri memandang rujak itu tanpa berniat untuk menyentuhnya sama sekali. Sinta yang berada di dekatnya pun sedikit heran melihat tingkah sang nyonya saat ini."Mbak," panggil Sinta pelan."Hm," gumam Andri singkat."Kok cuma diliatin doang sih rujaknya? Nggak ada niat mau dimakan apa?" tanya Sinta sedikit heran.Andri melirik sekilas sebelum tersenyum simpul. Ia pun segera mengaduk bumbunya dan mulai mencicipi.Namun, baru saja dua suapan masuk, ekspresi Andri langsung berubah drastis. Matanya menyipit, lidahnya menjulur, tangan mulai kipas-kipas.“Pedes! Astaga, ini sambel atau lava gunung berapi?!”Sinta spontan berdiri. “Lho lho! Tadi bahagia banget, sekarang kayak ayam kecolok cabai!”Andri batuk-batuk, wajahnya merah padam. “Air! Air, Sinta! Ambilin air di kulkas buruan!"Sinta berlari ke dapur sambil mengomel. Ia bergegas mengeluarkan satu botol dari dalam kulkas, dan buru-buru menuangkannya ke dalam gelas sebelum menyerahkannya pada Andri.Andri segera menerimanya dan
Selepas dari ruang rapat, Sinta pun mendengus kesal. Ia melangkah cepat menuju ruangannya, mengambil laptop dan juga beberapa dokumen penting dan memasukkannya ke dalam tas dengan buru-buru.Tak lama, ponselnya bergetar, menandakan ada sebuah pesan yang masuk.Sinta mengernyit, nomor tak dikenal, dari siapa ya? Batinnya.Ia pun bergegas mengangkat telponnya dan ternyata itu adalah nomer abang ojol yang mengantar pesanan Arkan."Tunggu di lobby sebentar ya, Pak. Sebentar lagi, saya turun, tunggu 5 menit," ucap Sinta cepat-cepat di telpon.["Baik, Bu. Tapi maaf, saya minta dua ribu untuk parkir ya, Bu, jika boleh,"] pinta sang abang ojol."Oke, Pak," jawab Sinta seraya menutup telponnya.Ia kembali mengecek isi tas, memastikan semuanya lengkap, lalu mengambil kunci motornya dan menuju lift.Namun sialnya, begitu tiba di lift, ia harus berpapasan dengan seseorang yang selalu ingin ia hindari, Aldy. Lelaki yang pernah menghiasi hari-harinya 7 tahun silam, sebelum akhirnya lelaki itu memil
Arkan kembali melanjutkan presentasinya yang sempet tertunda. Tentu saja, sebelum memulai itu, ia pun sudah mengirimkan pesan kepada Sinta duluan untuk mengantarkan pesanan istrinya ke rumah.Namun, baru beberapa menit memulai, pintu ruang rapat kembali di ketuk.Arkan mendesah pelan. Ia tahu betul, hanya dua orang yang bisa menginterupsi saat rapat yaitu Sinta dan Agra."Mohon maaf, ada iklan sebentar," ucap Arkan seraya bangkit dari duduknya.Semua peserta rapat pun mengangguk paham. Dan Arkan, pun bergegas ke untuk membuka pintu ruangannya.Sinta berdiri di depan sana, dengan tangan menyilang di dadanya, seolah bertanya tanpa suara."Pleas, tolongin yaa," ucap Arkan dengan nada memelas.Sinta mendengus. "Fiks! Tahun depan saya akan undur diri. Saya ini sekretaris kantor, kenapa malah jadi kang ojek," gerutunya kesal.Arkan tersenyum kecut, "terpaksa, nyonya lagi ngidam.""Nyonya ngidam?" Sinta menaikkan sebelah alisnya, seolah tak percaya.Arkan mengangguk mantap, bahkan ia menangk
Setelah memastikan Andri sarapan dan juga mandi, kini giliran Arkan yang bersiap untuk berangkat kerja."Adek, Mas berangkat ya," pamitnya. "Kamu nggak apa-apa kan ditinggal sendiri?"Andri menggeleng sambil tersenyum tipis. "Nggak apa-apa kok, Mas. Kan udah biasa ditinggal sendiri juga."Arkan hanya mengangguk lalu segera mengecup pucuk kepala sang istri. Tak hanya itu, tangannya pun terulur di perut sang istri sebelum akhirnya ia mendaratkan kecupan disana juga."Anak-anak ayah jangan pada manja sama Bunda, ya," bisik Arkan. "Kalau mau manja, pas ada Ayah aja ya, Nak. Insyaallah apa yang kalian mau pasti akan selalu ayah turutin. Sehat-sehat di perut Bunda ya, Sayang."Andri hanya tersenyum melihat kelakuan manis suaminya itu. "Makasih ya, Mas, hati-hati di jalan."Arkan kembali mengangguk, mengambil kunci mobil di meja, lalu melangkah menuju garasi. Dibelakangnya, Andri mengikutinya sampai ke depan pintu.Beberapa saat kemudian, suara mesin mobil terdengar. Andri berdiri memandangi
Keesokan paginya, Andri sudah bangun lebih dulu karena rasa mual yang begitu mendera. Tubuhnya mulai sedikit limbung, namun ia memaksakan diri untuk berdiri dan melangkah ke kamar mandi.Sementara Arkan, masih terlelap di kasurnya. Tangannya mulai meraba, antara sadar dan setengah sadar, ia mencari sang istri di sana. Namun sayangnya, kosong."Adek!" seru Arkan refleks langsung bangun.Ia melihat ke samping. Andri tak ada di sampingnya. Kemanakah perginya wanita itu? Apa ke kamar mandi?Buru-buru ia pun bangkit dari tidurnya dan bergegas menuju dapur. Dan benar saja, Andri berada di sana tengah memuntahkan apa yang ada diperutnya.Dengan telaten, ia pun memijat tengkuk sang istri agar merasa lebih baik."Masih mual, Dek?" tanya Arkan begitu Andri menyelesaikan muntahnya.Andri menggeleng pelan, lalu mencuci mukanya. Sementara Arkan dengan sigap segera mengambil handuk dan membantu sang istri untuk membersihkan wajahnya."Adek mau bikin teh? Atau mau susu? Biar Mas bikinin," tawar Arka
USG pun akhirnya telah selesai dilakukan."Sekali lagi, selamat ya Bu Andri atas kehamilannya, jaga kandungannya baik-baik dan jangan sampai stress atau terlalu lelah. Kehamilan dengan janin kembar, biasanya menguras lebih banyak emosi," ucap Dokter Agung mengingatkan.Setelah itu, ia pun mengalihkan pandangannya kepada Arkan."Nah untuk Pak Arkan, tolong di jaga ya istrinya. Istri yang lagi hamil itu biasanya suka moody-an. Jadi, sabarnya harus dipertebal lagi. Emosinya harus dijaga lagi biar istrinya nggak merasa stress ataupun terabaikan," nasihat sang dokter.Arkan mengangguk mantap. "Insyaallah, Dok. Ah iya ada pantangan atau apa yang perlu dihindari, Dok?" tanya Arkan."Hindari makan daging yang masih setengah matang, dan kurangi makanan junk food. Jika setiap makan mual, bisa di coba dengan mengemil roti ataupun minum jus," jawab sang dokter.Arkan mengangguk mantap. Sesi konsultasi pun akhirnya selesai. Satu bulan lagi, Andri pun diminta untuk kembali ke rumah sakit, selain un
"Ma--maksudnya, Dok?" tanya Andri sedikit bingung.Sang dokter tak langsung menjawab. Ia masih memeriksa data yang ada di komputernya setelah beberapa saat, ia menghela napas berat, dan menatap keduanya dengan ekspresi yang cukup serius."Saya tidak tahu siapa yang mengatakan hal itu kepada Anda, tapi berdasarkan hasil pemeriksaan lima tahun lalu, rahim Anda dalam kondisi sehat. Tidak ada indikasi masalah yang bisa menyebabkan kesulitan hamil."Mata Andri membesar. "Tapi… waktu itu saya diberi tahu kalau saya kemungkinan besar tidak bisa hamil, Dok. Saya…" Suaranya bergetar.Arkan langsung menenangkan istrinya, tapi di dalam hatinya, kemarahan mulai muncul. Jika benar tidak ada masalah di rahim Andri, lalu siapa yang dulu memberi informasi yang salah? Dan untuk apa?Dokter menatap mereka dengan lembut. "Saya paham ini membingungkan. Tapi sekarang, yang terpenting adalah kabar baiknya. Hasil tespek anda menunjukkan bahwa anda tengah hamil. Bagaimana jika kita cek melalui USG untuk lebi
"Sans, Ar, gua ke sini cuma mau nanya kabar lu doang, kok," ucap lelaki itu sambil tersenyum smirk.Andri yang memang tak mengetahui permasalahan apa yang dihadapi kedua lelaki itu memilih untuk kembali fokus ke abang telur gulung tadi."Jadi, berapa semuanya, Bang?" tanya Andri dengan senyum riang."Dua puluh ribu, Mbak," jawab si penjual.Andri lalu menyerahkan selembar uang berwarna hijau kepada penjual itu, dan melangkah santai menuju gerobak lumpia basah.Arkan yang melihat Andri pergi, hanya berdecak kesal melihat kelakuannya itu."Ada apa? Gua tau lu bukan tipe orang yang suka basa basi, Vin," ucap Arkan ketus.Ya, lelaki itu adalah Kevin sahabat serta musuhnya lima tahun lalu. Setelah melepaskan Dirgantara kepada Kevin, Arkan memilih kembali fokus mengurus Amira Corp sendiri. Lalu, bagaimana dengan Oom Wisnu?Sejak kejadian itu, Oom Wisnu memutuskan untuk membuka perusahaan sendiri. Tidak, lebih tepatnya usaha sendiri. Ia membuat beberapa ruko dan juga kontrakan dari uang hasi
Andri dan Arkan nampak saling pandang, sementara Agra segera menepuk pelan lengan sang istri.Ya, wanita itu adalah Arsy, adik dari Andri.Arsy yang sadar mendapat teguran halus seperti itu langsung menundukkan kepalanya."Ma--maaf, Mba," ucap Arsy sedikit menyesal.Andri hanya tersenyum, lalu segera memeluk tubuh adiknya."Doain ya, Dek. Bismilah semoga beneran," ucapnya lirih."Amin ya Allah," ucap Arsy dengan lantang."Kalau misalnya Mbak beneran hamil, Arsy mau nunda kehamilan, biar bisa ngerawat anaknya Mbak dulu, kek dulu Mbak ngerawat Humai," ucapnya kembali namun langsung mendapat cubitan dari Andri."Nggak boleh, gitu! Mbak nggak suka cara ngomong kamu! Anak itu rejeki, kalau dikasih jangan di tolak. Kamu nggak liat perjuangan Mbak mu ini, sampe lima tahun belum di kasih juga," ucap Andri sambil berdecak kesal.Arsy memanyunkan bibirnya, "salah lagi aja aku," gerutunya dan langsung mendapat tawaan dari mereka semua.Setelah berbasa-basi sebentar, Andri dan Arkan pun pamit pul