Qiyana yang sudah nyaris membuka pintu mobil Kenzo langsung menegang mendengar pertanyaan lelaki itu. Selama beberapa saat, ia bergeming di tempat sembari memikirkan alasan apa paling masuk akal untuk menjawab pertanyaan tersebut. Qiyana tidak menyangka Kenzo sampai menyusulnya kemari dan malah bertemu dengan Feli juga. Padahal ia sudah susah-susah menyembunyikan semuanya dari lelaki itu. Ia benar-benar menyesali keputusannya bertemu dengan kakak tirinya itu hari ini. Wanita itu kembali memutar tubuhnya setelah berhasil menemukan sebuah alasan di kepalanya. Entah alasan ini tepat atau tidak, yang terpenting ia sudah mencoba. Semoga saja jawabannya termasuk masuk akal dan Kenzo akan percaya. “Kak Feli?” sahut Qiyana dengan kening mengerut, berpura-pura bingung. “Memangnya dia ada di sini juga? Kapan? Aku tidak tahu dia ada di sini. Aku tidak melihatnya saat berada di dalam tadi. Mungkin karena aku terlalu fokus berbincang dengan teman lamaku itu.” Di balik ketenangan yang terpampang
Qiyana yang sedang mengunyah makanannya langsung tersedak mendengar kata-kata yang Nadira lontarkan. Wanita itu sampai terbatuk-batuk dengan mata berkaca-kaca dan memerah. Sontak saja itu membuat Nadira panik dan segera membantu mengusap punggung wanita itu seraya menyodorkan segelas air. Meskipun sudah merasa lebih baik, Qiyana belum berani membalas tatapan Nadira yang masih menatapnya dengan sorot khawatir. Wanita itu terlalu terkejut mendengar informasi yang Nadira sampaikan barusan. Waktu itu Qiyana memang ingin menanyakan pada Kenzo apa yang terjadi setelah dirinya pingsan. Dan juga bagaimana ceritanya hingga lelaki itu bisa membawanya pulang. Tetapi, akhirnya ia malah lupa. “Kamu kenapa sampai tersedak begini? Apa aku salah bicara?” tanya Nadira yang masih berdiri di samping Qiyana. Sebelah tangan wanita itu juga masih mengusap punggung Qiyana naik-turun. “Sudah merasa lebih baik?” Qiyana kembali mengangkat kepalanya setelah berhasil menyembunyikan keterkejutannya. Kemudina,
Qiyana spontan meronta, berusaha melepaskan diri. Namun, seseorang di belakangnya ini malah mengeratkan kunciannya. Tak sampai di sana, orang itu juga langsung menarik dirinya dari tempat tersebut. Tentu saja Qiyana semakin panik dan berusaha meronta lebih kuat. Tetapi, tenaganya kalah kuat dengan sosok lelaki yang entah kenapa tiba-tiba menariknya ini. “Jangan takut, ikutlah denganku,” bisik orang itu tepat di telinga Qiyana. Setelah mendengar suara yang cukup familiar itu, Qiyana tidak lagi berusaha meronta. Wanita itu diam dan menurut, mengikuti langkah lelaki yang membimbingnya terus melangkah mundur itu. Cukup mengejutkan karena ternyata orang itu membawanya kembali ke kamarnya. Qiyana langsung memutar tubuhnya setelah orang itu melepaskannya. Ternyata dugaannya tidak meleset, memang Kenzo yang tiba-tiba menyeretnya. Terlalu panik membuatnya tidak bisa berpikir jernih tadi. Bahkan, ia tidak menyadari aroma parfum familiar yang menusuk indta penciumannya. “Apa yang kamu lakukan
Qiyana nyaris menjatuhkan ponsel buang baru berhasil ia dapatkan setelah mendengar suara itu. Sontak saja, wanita itu langsung mengangkat kepala. Dan benar saja, suara yang cukup familiar itu memang milik ‘wanita spesial Kenzo'. Tanpa sadar Qiyana malah melangkah mundur. Namun, ia segera berhenti saat menyadari reaksinya terlalu berlebihan. Benar-benar mirip pencuri yang ketahuan oleh pemilik rumah. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Qiyana tak menyangka akan bertemu dengan wanita ini di sini. Ia mengira tamu Kenzo ini telah pulang sejak semalam. Jika dia masih berada di sini sekarang, kemungkinan besar wanita itu memang menginap semalam. Qiyana tidak tahu harus bagaimana. Seharusnya ia tidak boleh bertemu dengan wanita di hadapannya ini. Apalagi dengan keadaan yang tidak kemungkinan seperti ini. Kenzo sudah mewanti-wanti dirinya agar berhati-hati dan tidak berkeliaran. Namun, sekarang dirinya malah bertemu dengan wanita ini. Kenzo pasti marah padanya. “Kenapa tidak menjawab p
Qiyana yang tiba-tiba ditodong dengan pertanyaan seperti itu tentu saja terlonjak hebat. Bahkan, cangkir teh yang ada di tangannya nyaris terjatuh ke lantai. Tubuhnya langsung kaku seketika. Sekarang ia tidak mungkin menghindar. Selama berada di depan Amanda, Qiyana sudah mencoba menjaga sikap agar terlihat seperti seorang asisten profesional. Begitu juga dengan Kenzo yang tidak bertingkah macam-macam. Apa Amanda memang sejeli itu sampai bisa menebak ada sesuatu di antara dirinya dan Kenzo dengan mudah? Sekarang semakin terlihat jelas jika Amanda memang tidak menyukai Qiyana. Entah apa yang akan wanita ini lakukan jika mengetahui dirinya dan Kenzo sudah menikah. Meskipun hanya sebatas kontrak belaka. Qiyana berdeham pelan dan kembali menetralkan ekspresinya. “Mbak Amanda ini bicara apa? Saya tidak mengerti. Tadi pagi kita sudah berkenalan, ‘kan? Saya asisten baru Tuan Kenzo. Tentu saja hubungan saya dan Tuan Kenzo hanya sebatas partner kerja saja.” Qiyana mengulas senyum tipis untu
Belum sempat Qiyana menjawab, Feli sudah merangsek maju dan tiba-tiba menarik keluar kalung yang selama ini ia sembunyikan. Liontin kalung tersebut yang merupakan cincin pernikahannya dengan Kenzo langsung terlihat. “Kamu masih ingin mengelak setelah buktinya ada di sini? Kamu pikir aku bodoh sepertimu sampai tidak tahu apa hubunganmu dengan mantan kekasihku sebenarnya?” tutur Feli dengan sebelah bibir yang terangkat membentuk senyum menyeringai penuh makna. Qiyana langsung mendorong kakak tirinya hingga melepaskan kalung yang terpasang di lehernya. Jantung wanita itu nyaris terlepas dari tempatnya ketika Feli menarik kalung ini. Selama ini ia selalu berhasil menyembunyikannya dari siapa pun. Tidak pernah ada yang mencurigai kalungnya apalagi sampai nekat menariknya. Sejuknya udara yang berhembus di sekitar sana berbanding terbalik dengan atmosfer panas dan tegang yang melingkupi kedua kakak beradik itu, terutama Qiyana. Ia tidak menyangka rahasia besarnya akan terbongkar semuda
Qiyana ingin menanyakan apa yang Feli maksud sebenarnya, namun kakak tirinya itu sudah melangkah cukup jauh. Wanita itu mulai menduga-duga, jangan-jangan sebenarnya Feli mengetahui sesuatu. Selain fakta tentang pernikahan rahasianya dengan Kenzo. Gemuruh yang saling bersahutan tiba-tiba terdengar dan membuat Qiyana tersentak dari lamunannya. Namun, wanita itu tak sempat mencari tempat untuk berteduh karena hujan deras lebih dulu mengguyur bumi. Meskipun sudah berusaha memacu langkah secepat mungkin keluar dari area pemakaman, tetap saja sekujur tubuh Qiyana terlanjur basah kuyup. Karena jarak tempatnya berada dengan area parkiran tempat ini masih cukup jauh, terpaksa ia berteduh di sebuah gubuk yang kebetulan ada di pinggir area pemakaman tersebut. Qiyana memeluk tubuhnya sendiri sembari menggosok kedua tangannya. Ia hanya mengenakan blouse berlengan panjang dan itu tidak cukup untuk menghalau hawa dingin yang menerpa. Ditambah lagi pakaiannya juga sudah mulai basah. “Apa lebih bai
Qiyana mengernyitkan keningnya mendengar suara seseorang yang familiar dari rekaman yang dikirim oleh orang asing itu. Niatnya untuk langsung menghapus rekaman tersebut dirinya urungkan. Qiyana mematikan rekaman suara tersebut sejenak sebelum kembali menyalakannya. Ia mengulang rekaman itu dari awal dan memasang telinganya lebar-lebar untuk mendengarkan apa yang ada di sana sebenarnya. “Aku sudah mulai menjalankan rencana itu. Aku yakin sebentar lagi aku akan mendapatkan apa yang aku inginkan.” Suara Kenzo yang sangat familiar ditelinga Qiyana langsung terdengar dan kali ini wanita itu merasa tidak mungkin salah mendengar. Ketegangan di wajah Qiyana semakin terpampang jelas. Wanita itu kembali mencekal tombol off setelah mendengar kata-kata ambigu yang Kenzo katakan. Entah kenapa, firasatnya tiba-tiba berubah menjadi tidak enak. Qiyana yakin tujuan orang ini mengirimkan rekaman ini hanyalah untuk memorak-porandakan pertahanannya. Namun, ia juga ingin mengetahui apa yang sebenarnya
“Aku hanya ingin memberi ucapan selamat ulang tahun pada keponakanku, apa itu salah?” sahut Amanda yang tidak terlihat tersinggung sama sekali oleh kata-kata kasar yang Kenzo ucapkan. “Aku tahu keponakanku berulang tahun hari ini dan aku hanya ingin memberi sedikit hadiah untuknya.”“Dari mana kamu tahu kalau ulang tahun putraku dirayakan di sini?” Kenzo kembali mengulang pertanyaannya dengan nada lebih menuntut dan tatapan yang semakin tajam. “Kalau kamu hanya berniat mengacaukan acara ini, lebih baik kamu pergi.”Qiyana yang bingung harus melakukan apa hanya mengelus bahu Kenzo, berusaha menenangkan lelaki itu. Walaupun selama ini Amanda memang sering melakukan hal-hal tak terduga, tetapi ia yakin kali ini Amanda tidak memiliki niatan buruk. “Jangan terlalu keras padanya, mungkin dia memang hanya ingin memberi ucapan selamat untuk Rey,” bisik Qiyana pada Kenzo. “Jangan langsung mengusirnya seperti ini. Setidaknya kita bisa bicara baik-baik dengannya.”Amanda berdeham pelan sera
“Apa kamu yakin acaranya tidak diadakan di rumah saja? Kalau acaranya di luar, bisa saja ada wartawan yang melihat kita. Hari ini sangat spesial dan aku tidak mau terjadi masalah baru,” tutur Qiyana yang sedang menyuapi putranya. “Tentu saja tidak, Sayang. Semuanya sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari, sedikit merepotkan jika tempatnya dipindah. Lagipula Rey sangat menyukai tempatnya dan kamu juga tahu kalau aku tidak mengundang banyak orang. Percayalah tidak akan ada masalah yang terjadi,” sahut Kenzo tanpa keraguan sedikitpun. Tepat hari ini, Reynand Pratama Abimana genap berusia satu tahun. Sejak jauh-jauh hari, Qiyana dan Kenzo telah berencana untuk merayakan hari ulang tahun putra mereka. Tentu saja awalnya Qiyana hanya berniat mengadakan acara di rumah, namun siapa sangka Kenzo malah menawarkan untuk menggunakan salah satu ballroom hotelnya. Meskipun sudah saling terbuka sejak lama, nyatanya sampai saat ini Kenzo belum memiliki niatan untuk membuka hubungan mereka di de
“Aku yakin kamu memang penguntit,” jawab Qiyana sembari melirik foto-fotonya yang pernah Kenzo tunjukkan beberapa waktu lalu. “Kalau tidak, mana mungkin kamu masih menyimpannya. Lagipula tidak ada yang bagus juga dari foto-foto itu. Buang saja.” Akan tetapi, jujur saja sekarang Qiyana malah lebih penasaran dengan foto-foto tersebut daripada dokumen di tangannya. Waktu itu Kenzo sudah berjanji akan memberi penjelasan lebih lanjut, namun akhirnya terlupakan begitu saja. Qiyana yakin ayahnya tidak mungkin memberikan fotonya secara cuma-cuma pada Kenzo. Ayahnya adalah tipe orang yang tidak terlalu terbuka dengan orang lain, apalagi untuk memberikan hal privasi seperti ini. “Buang? Aku tidak mungkin melakukannya, untuk apa aku melakukan itu setelah mendapatkannya dengan susah payah? Aku berbohong tentang ayahmu yang memberikan foto-foto ini padaku. Anggap saja aku memang penguntit,” jawab Kenzo santai tanpa beban. Qiyana kontan menoleh dengan mata terbelalak dan mulut menganga. “Apa?! J
“Aku ingin ikut denganmu,” pinta Qiyana seraya mencekal lengan suaminya. Kekhawatiran terpampang jelas di wajah Qiyana. Terlepas dari segala kejahatan dan luka yang telah ibu tirinya torehkan, ia tetap tidak bisa mengelak kekhawatirannya. Baru minggu lalu mereka bertemu, meski akhirnya juga tidak menyenangkan dan sekarang dirinya mendapat kabar seperti ini. “Tidak bisa, Sayang. Kalau kamu ikut, bagaimana dengan Rey? Kita tidak bisa membawanya ke rumah sakit. Kamu tunggu di rumah saja ya? Kalau terjadi sesuatu, aku pasti langsung mengabarimu. Aku pergi.” Kenzo mengecup kening Qiyana dan Reynand sekilas sebelum beranjak pergi. “Tapi—”Sebelum Qiyana sempat melanjutkan kalimatnya, Kenzo lebih dulu beranjak pergi tanpa menoleh lagi. Lelaki itu tampak sangat terburu-buru dan kembali bertelepon, sepertinya dengan Rangga. Qiyana pun memilih tidak memaksakan diri karena menyadari jika situasi yang dihadapi saat ini cukup rumit. Qiyana hanya bisa menunggu dengan perasaan campur aduk y
Semua orang yang berada di ruangan itu panik dan langsung berusaha menjauhkan Ambar dari Qiyana. Namun, wanita paruh itu malah semakin mengeratkan cekikannya. Ia nyaris membuat Qiyana terseret dari ranjang karena mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencekik putri sambungnya itu. Qiyana terbatuk dengan napas putus-putus setelah cekikan Ambar terlepas dari lehernya. Wajahnya sudah berubah merah padam. Cekikan itu benar-benar membuatnya nyaris kehabisan napas. Entah bagaimana caranya Ambar membuka borgol yang jelas-jelas masih terpasang di tangan wanita paruh baya itu. Ambar yang masih mengamuk langsung ditarik paksa oleh polisi yang berada di sana. Dengan sigap, para polisi itu memborgol tangan Ambar lagi dan memastikan borgol tersebut tidak akan terlepas lagi. “Panggilkan dokter sekarang!” perintah Kenzo pada sang asisten yang langsung bergegas kelaur dari ruangan tersebut. Lelaki itu menatap sang istri yang masih terbatuk dengan sorot khawatir. “Maaf, Sayang. Aku tidak tahu akhi
Qiyana menatap sosok yang baru saja datang dan kini berdiri tepat di hadapannya dari atas sampai bawah. Tatapan tak percaya masih terlihat sangat jelas dari sorot matanya. Wanita itu mengerjapkan matanya berulang kali, khawatir sesuatu yang terlihat di depan matanya hanya ilusi. “Kamu sudah bisa berjalan?” tanya Qiyana dengan ekspresi campur aduk melihat Kenzo sudah dapat kembali berjalan meski dengan langkah tertatih-tatih. “Ssshhh … di mana kursi rodamu? Jangan memaksakan diri, bagaimana kalau keadaanmu malah semakin parah?” Sejak beberapa hari terakhir, Kenzo memang sangat gencar berlatih agar otot tubuhnya tidak kaku dan dapat segera digerakkan normal lagi seperti sediakala. Namun, sejauh ini belum terlihat hasil yang memuaskan karena lelaki itu masih kesulitan berdiri. Dan seharusnya lelaki itu tidak memaksakan diri sampai seperti ini. “Maaf, aku meninggalkanmu sendirian terlalu lama. Kenapa kamu turun dari brankar? Kamu pasti ingin ke toilet lagi ya?” Alih-alih menanggapi pert
“Apa? Kamu akan melahirkan sekarang?! Bagaimana mungkin? Bukannya dokter mengatakan kamu akan melahirkan minggu depan?” cerca Kenzo seraya berusaha meminta tolong pada orang-orang yang ada di sekitar taman tersebut. Di saat seperti ini, Kenzo merasa dirinya benar-benar tidak berguna. Seharusnya ia langsung bangkit dan menggendong istrinya ke ruang IGD atau ruangan apa pun itu. Namun, untuk bangkit dari kursi rodanya saja dirinya sangat kesulitan. Qiyana yang sudah tidak kuat menahan bobot tubuhnya sudah terduduk di rerumputan sembari mencengkeram blouse selutut yang dikenakannya. Nyeri yang menjalari perutnya semakin kuat dengan sakit yang tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata. “Aku tidak tahu kenapa seperti ini. Sakit sekali, aku tidak kuat,” lirih Qiyana dengan keringat dan air mata yang bercucuran. Sejak bangun tidur pagi ini, Qiyana memang tetalh merasakan sesuatu yang janggal dari tubuhnya. Sejak beberapa jam lalu dirinya selalu bolak-balik ke toilet untuk buang air kecil
“Coba ulangi kata-kata terakhirmu tadi,” cerca Kenzo sembari mencekal lengan Qiyana. Qiyana yang sebenarnya sedang menenangkan debar jantungnya yang menggila tetap memasang senyum di wajahnya. Seolah-olah kata-kata yang barusan terlontar dari mulutnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Padahal sesungguhnya wanita itu ingin segera melarikan diri dari sini karena malu. Kata-kata itu tiba-tiba meluncur dari mulutnya tanpa bisa dicegah. Tetapi, Qiyana tidak menyesalinya sama sekali. Selama ini ia terlalu banyak bersembunyi di balik gengsi dan harga diri. Tidak ada salahnya mencoba lebih jujur dibanding hanya menyimpannya seorang diri. “Aku hanya mengatakannya sekali dan tidak ada pengulangan lagi. Sekarang bukan waktunya mengobrol, jadi lebih baik kamu tidur saja. Kamu masih dalam masa pemulihan, harus banyak-banyak beristirahat,” sahut Qiyana dengan senyum miring. Kenzo menggeram rendah. “Kamu pikir aku bisa tidur setelah kamu mengatakan itu tanpa kejelasan lagi? Aku tidak akan t
“Ka-kamu sudah sadar?” gumam Qiyana dengan tatapan terbelalak. Sepasang mata berwarna kecokelatan itu berkaca-kaca. “Aku akan—aw!” Wanita refleks meneggakkan kepalanya dan saat itu juga nyeri yang menjalari tengkuknya semakin terasa.Kenzo membuka peralatan medis yang terpasang di mulutnya setelah mengumpulkan tenaga untuk mengangkat tangannya. “Sayang, apa kamu baik-baik saja? Lehermu pasti sakit karena tidur dengan posisi duduk,” tanya lelaki itu dengan suara serak.Suara bariton yang sangat Qiyana rindukan itu kembali terdengar. Meskipun sangat serak dan lirih, itu sudah cukup untuk membayar perasaan campur aduk yang selalu membelenggunya setiap hari selama berbulan-bulan ini. Sekali lagi Qiyana menatap sang suami yang juga menatapnya, memastikan jika ini semua bukanlah halusinasi. Tanpa membalas pertanyaan suaminya, Qiyana langsung merengkuh tubuh lelaki itu dengan isak tangis yang berurai dari bibirnya. Ketika kulitnya bersentuhan dengan kulit Kenzo, ada kehangatan yang teras