“Ken, boleh aku minta tolong—” Qiyana sontak kembali mengatupkan bibirnya ketika Kenzo melengos pergi begitu saja sebelum permintaannya terlontar. Wanita itu menatap sebal ke arah suaminya yang sudah melangkah cukup jauh dari area dapur tanpa menoleh sama sekali. Seolah-olah tidak mendengar suaranya, padahal jelas-jelas mereka bersebelahan tadi. Ketika salah satu bodyguard Kenzo melintas, Qiyana pun langsung meminta tolong diambilkan bahan makanan yang berada di lemari yang tidak bisa ia jangkau. Qiyana hanya ingin meminta tolong diambilkan itu saja, tetapi suaminya malah pergi dan tidak mau peduli. Qiyana tak menyangka hanya karena celetukan yang tak sengaja ia lontarkan tempo hari, Kenzo malah marah dan lebih sering mengabaikannya sekarang. Padahal ia hanya sedikit menyinggung tentang kepulangan Amanda yang begitu mendadak, mengaitkan dengan tersebarnya foto-foto mereka dan suaminya terlihat tidak terima. “Dia benar-benar kekanakan! Hanya karena masalah ini saja dia sampai mengab
Manik mata Qiyana yang semula terpejam rapat, kini mulai terbuka perlahan-lahan. Ringisan pelan lolos dari bibir wanita itu ketika nyeri yang sangat terasa menghantam kepalanya. Ia mengerjapkan matanya berulang kali dan menyesuaikan indra penglihatannya dengan pencahayaan di tempatnya berada. Rumah sakit lagi. Qiyana langsung bisa menebak di mana keberadaannya sekarang setelah kesadarannya pulih sepenuhnya. Sorot matanya beralih ke samping dan mendapati suaminya sedang terlelap di kursi dengan kepala bersandar di brankarnya. Qiyana mengerutkan keningnya, berusaha menerka kejadian apa yang sebelumnya terjadi hingga membuatnya kembali berakhir di tempat ini. Wanita itu tersentak setelah berhasil mengumpulkan kepingan ingatannya. Sebelum kesadarannya menghilang, ia ingat kalau dirinya terjatuh ke kolam renang karena ulah Amanda. Pergerakan Qiyana membuat Kenzo yang tak sengaja ketiduran terbangun. Lelaki itu kontan berdiri ketika menyadari istrinya sudah sadarkan diri. “Kamu sudah sada
“Kamu tidak berani berhadapan dengan paman dan bibimu sendiri? Memangnya apa yang akan mereka lakukan? Anak mereka sudah jelas bersalah, sampai kapan kesalahannya terus menerus dimaafkan? Dia bukan anak kecil lagi, Ken! Dia harus bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya!” seru Qiyana sinis. Apa pun alasannya, Qiyana tak terima Amanda dibebaskan begitu saja tanpa mempertanggungjawabkan perbuatan yang dia lakukan. Apalagi kali ini sudah sangat keterlaluan dan membahayakan orang lain. Walaupun Qiyana juga ceroboh karena tidak berjalan dengan hati-hati, tetap saja Amanda harus mendapat balasan, bukan hanya sekadar meminta maaf dan semuanya selesai. Kalau seperti itu terus, Amanda malah akan semakin semena-mena karena menganggap perbuatannya wajar dilakukan. Qiyana sudah bisa menebak kalau Amanda memang tipikal perempuan manja yang selalu mendapatkan apa pun yang dia inginkan. Tetapi, ia tidak menyangka kalau wanita itu sangat amat di spesialkan hingga tidak bisa membedakan mana yang sal
“Kenapa kamu mengundang lelaki ini kemari? Apa kamu tidak bisa meminta tolong padaku saja? Berapa kali aku bertanya padamu tentang apa yang kamu inginkan? Kenapa kamu malah melibatkan orang lain?” tanya Kenzo yang sebenarnya sudah berusaha menekan emosinya, namun sepertinya tidak berhasil. Qiyana mengangkat bahunya. Wanita itu tidak terlalu terkejut dengan respon suaminya. Sebenarnya ia juga tidak mau menambah masalah, tetapi dirinya sudah terlanjur meminta tolong pada Gino. Tepatnya kemarin, setelah Amanda pergi. Qiyana menginginkan sesuatu yang tidak dapat ditunda. Bahkan, ia sudah cukup bersabar dengan menunggu sampai hari berganti. Karena mengira ada kemungkinan Kenzo akan meninggalkannya karena Amanda lagi, ia pun memilih meminta tolong pada Gino. Sebelum pergi ke taman tadi, Qiyana juga sudah sempat membatalkan permintaannya. Tetapi, lelaki itu sudah terlanjur membeli pesanannya dan sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Biarkan saja sekalipun Kenzo akan marah, lagipula lelak
Qiyana benar-benar lupa dengan keberadaan berkas yang tadinya ingin ia baca setelah berada di rumah waktu itu. Dan Kenzo tidak boleh melihat isinya. Otaknya berpikir cepat bagaimana caranya agar fokus lelaki itu teralih. Sebuah ide gila pun terlintas di kepalanya. “Aaarggh!” erang Qiyana berpura-pura kesakitan sembari menyentuh kepalanya yang sebenarnya baik-baik saja. Kenzo yang terkejut dan panik langsung menghampiri Qiyana yang masih mengerang kesakitan dan melupakan kertas yang berada di lantai. “Di mana yang sakit? Tunggu sebentar, aku akan memanggilkan dok—” “Eh, tidak usah! Kepalaku sudah membaik, kamu di sini saja, jangan pergi ke mana-mana,” cegah Qiyana seraya menggenggam tangan Kenzo erat-erat. “Tolong suapi aku ya? Aku masih lapar, sepertinya aku memang berubah menjadi rakus sekarang.” Sebenarnya Qiyana tak tega menipu Kenzo yang tampaknya benar-benar mengkhawatirkan dirinya. Padahal apa yang dirinya lakukan hanya akting belaka. Tetapi, mau bagaimana lagi, dirinya saja
“Pasangan suami-istri baru? Apa maksudmu, Fel? Memangnya mereka sudah menikah? Kamu jangan mengada-ada,” sahut Jovan sembari menatap Qiyana yang menggandeng lengan Kenzo, seolah-olah sedang mencari jawaban. Dibanding menanggapi, Qiyana lebih fokus memastikan tidak ada orang yang mungkin mendengar kata-kata Feli barusan. Area di sekitar mereka memang sepi, tetapi belum tentu tidak ada orang yang mendengar. Bisa-bisanya ia malah bertemu dengan kakak tirinya yang tidak tahu diri. Tak sengaja Qiyana melirik bayi mungil yang berada dalam rengkuhan Feli. Kemudian menatap sekilas perut kakak tirinya yang sudah kembali datar. Ternyata kakak tirinya itu telah melahirkan dan dari semua rumah sakit yang berada di kota ini, entah kenapa mereka malah berada di tempat yang sama. Anak kakak tirinya dan Jovan memang tidak berdosa, tetapi entah kenapa melihat bayi itu membuat Qiyana muak. Ia tidak membenci bayi mungil itu, namun kenangan buruk tentang pengkhianatan orang tua sang bayi tanpa tahu
Tak terhitung seberapa banyak pertanyaan yang muncul di kepala Qiyana sejak mobil suaminya berbelok tempat ini. Akan tetapi, wanita itu masih memilih menyimpan seluruh pertanyaannya seorang diri. Ia pun pasrah saja ketika Kenzo menggandeng tangannya memasuki bangunan bertingkat di hadapan mereka. Jika Kenzo mengajaknya ke tempat makan atau tempat lain yang lebih masuk akal, pasti Qiyana tidak akan kebingungan seperti ini. Entah kejutan seperti apa lagi yang akan suaminya perlihatkan padanya setelah ini. Qiyana menatap orang-orang di sekitarnya dengan sorot dan senyum miris. Rasa kasihannya langsung mencuat tanpa bisa dicegah. Semua orang yang terlihat sedang melakukan kegiatan aneh itu pasti harus menjalani kehidupan yang berat sebelumnya sampai mereka berakhir seperti ini. “Kamu tidak keberatan, ‘kan kita mampir sebentar ke tempat ini? Aku hanya ingin menunjukkan sesuatu padamu, setelah itu kita langsung pulang,” tanya Kenzo seraya merangkul Qiyana agar lebih dekat dengannya. “Ten
“Atma Jayadi bersama sang istri mengalami kecelakaan tunggal semalam yang menyebabkan kondisi keduanya krisis di rumah sakit. Belum diketahui bagaimana kronologi kejadian yang menyebabkan pasangan itu mengalami kecelakaan. Dugaan sementara pihak kepolisian, Atma Jayadi mengantuk saat mengendarai mobil tersebut.” Pemberitaan tersebut langsung muncul tepat ketika Qiyana menyalakan televisi di hadapannya. Wanita itu spontan menyimpan kembali sendok yang semula ingin ia gunakan di atas piringnya. Sorot matanya masih fokus menatap ke arah televisi itu dengan tatapan ngeri saat melihat mobil milik Atma Jayadi yang ringsek parah. Atma Jayadi. Sosok itu adalah seseorang yang mempunyai masalah dengan keluarga Amanda. Foto yang terpampang di depan layar kacanya semakin menunjukkan jika orang itu memang orang yang sama dengan seseorang yang Kenzo tunjukkan fotonya semalam. Meskipun polisi menduga jika Atma Jayadi mengendarai mobil dalam keadaan mengantuk, Qiyana malah berpikir lain. Tiba-tiba
“Aku hanya ingin memberi ucapan selamat ulang tahun pada keponakanku, apa itu salah?” sahut Amanda yang tidak terlihat tersinggung sama sekali oleh kata-kata kasar yang Kenzo ucapkan. “Aku tahu keponakanku berulang tahun hari ini dan aku hanya ingin memberi sedikit hadiah untuknya.”“Dari mana kamu tahu kalau ulang tahun putraku dirayakan di sini?” Kenzo kembali mengulang pertanyaannya dengan nada lebih menuntut dan tatapan yang semakin tajam. “Kalau kamu hanya berniat mengacaukan acara ini, lebih baik kamu pergi.”Qiyana yang bingung harus melakukan apa hanya mengelus bahu Kenzo, berusaha menenangkan lelaki itu. Walaupun selama ini Amanda memang sering melakukan hal-hal tak terduga, tetapi ia yakin kali ini Amanda tidak memiliki niatan buruk. “Jangan terlalu keras padanya, mungkin dia memang hanya ingin memberi ucapan selamat untuk Rey,” bisik Qiyana pada Kenzo. “Jangan langsung mengusirnya seperti ini. Setidaknya kita bisa bicara baik-baik dengannya.”Amanda berdeham pelan sera
“Apa kamu yakin acaranya tidak diadakan di rumah saja? Kalau acaranya di luar, bisa saja ada wartawan yang melihat kita. Hari ini sangat spesial dan aku tidak mau terjadi masalah baru,” tutur Qiyana yang sedang menyuapi putranya. “Tentu saja tidak, Sayang. Semuanya sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari, sedikit merepotkan jika tempatnya dipindah. Lagipula Rey sangat menyukai tempatnya dan kamu juga tahu kalau aku tidak mengundang banyak orang. Percayalah tidak akan ada masalah yang terjadi,” sahut Kenzo tanpa keraguan sedikitpun. Tepat hari ini, Reynand Pratama Abimana genap berusia satu tahun. Sejak jauh-jauh hari, Qiyana dan Kenzo telah berencana untuk merayakan hari ulang tahun putra mereka. Tentu saja awalnya Qiyana hanya berniat mengadakan acara di rumah, namun siapa sangka Kenzo malah menawarkan untuk menggunakan salah satu ballroom hotelnya. Meskipun sudah saling terbuka sejak lama, nyatanya sampai saat ini Kenzo belum memiliki niatan untuk membuka hubungan mereka di de
“Aku yakin kamu memang penguntit,” jawab Qiyana sembari melirik foto-fotonya yang pernah Kenzo tunjukkan beberapa waktu lalu. “Kalau tidak, mana mungkin kamu masih menyimpannya. Lagipula tidak ada yang bagus juga dari foto-foto itu. Buang saja.” Akan tetapi, jujur saja sekarang Qiyana malah lebih penasaran dengan foto-foto tersebut daripada dokumen di tangannya. Waktu itu Kenzo sudah berjanji akan memberi penjelasan lebih lanjut, namun akhirnya terlupakan begitu saja. Qiyana yakin ayahnya tidak mungkin memberikan fotonya secara cuma-cuma pada Kenzo. Ayahnya adalah tipe orang yang tidak terlalu terbuka dengan orang lain, apalagi untuk memberikan hal privasi seperti ini. “Buang? Aku tidak mungkin melakukannya, untuk apa aku melakukan itu setelah mendapatkannya dengan susah payah? Aku berbohong tentang ayahmu yang memberikan foto-foto ini padaku. Anggap saja aku memang penguntit,” jawab Kenzo santai tanpa beban. Qiyana kontan menoleh dengan mata terbelalak dan mulut menganga. “Apa?! J
“Aku ingin ikut denganmu,” pinta Qiyana seraya mencekal lengan suaminya. Kekhawatiran terpampang jelas di wajah Qiyana. Terlepas dari segala kejahatan dan luka yang telah ibu tirinya torehkan, ia tetap tidak bisa mengelak kekhawatirannya. Baru minggu lalu mereka bertemu, meski akhirnya juga tidak menyenangkan dan sekarang dirinya mendapat kabar seperti ini. “Tidak bisa, Sayang. Kalau kamu ikut, bagaimana dengan Rey? Kita tidak bisa membawanya ke rumah sakit. Kamu tunggu di rumah saja ya? Kalau terjadi sesuatu, aku pasti langsung mengabarimu. Aku pergi.” Kenzo mengecup kening Qiyana dan Reynand sekilas sebelum beranjak pergi. “Tapi—”Sebelum Qiyana sempat melanjutkan kalimatnya, Kenzo lebih dulu beranjak pergi tanpa menoleh lagi. Lelaki itu tampak sangat terburu-buru dan kembali bertelepon, sepertinya dengan Rangga. Qiyana pun memilih tidak memaksakan diri karena menyadari jika situasi yang dihadapi saat ini cukup rumit. Qiyana hanya bisa menunggu dengan perasaan campur aduk y
Semua orang yang berada di ruangan itu panik dan langsung berusaha menjauhkan Ambar dari Qiyana. Namun, wanita paruh itu malah semakin mengeratkan cekikannya. Ia nyaris membuat Qiyana terseret dari ranjang karena mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencekik putri sambungnya itu. Qiyana terbatuk dengan napas putus-putus setelah cekikan Ambar terlepas dari lehernya. Wajahnya sudah berubah merah padam. Cekikan itu benar-benar membuatnya nyaris kehabisan napas. Entah bagaimana caranya Ambar membuka borgol yang jelas-jelas masih terpasang di tangan wanita paruh baya itu. Ambar yang masih mengamuk langsung ditarik paksa oleh polisi yang berada di sana. Dengan sigap, para polisi itu memborgol tangan Ambar lagi dan memastikan borgol tersebut tidak akan terlepas lagi. “Panggilkan dokter sekarang!” perintah Kenzo pada sang asisten yang langsung bergegas kelaur dari ruangan tersebut. Lelaki itu menatap sang istri yang masih terbatuk dengan sorot khawatir. “Maaf, Sayang. Aku tidak tahu akhi
Qiyana menatap sosok yang baru saja datang dan kini berdiri tepat di hadapannya dari atas sampai bawah. Tatapan tak percaya masih terlihat sangat jelas dari sorot matanya. Wanita itu mengerjapkan matanya berulang kali, khawatir sesuatu yang terlihat di depan matanya hanya ilusi. “Kamu sudah bisa berjalan?” tanya Qiyana dengan ekspresi campur aduk melihat Kenzo sudah dapat kembali berjalan meski dengan langkah tertatih-tatih. “Ssshhh … di mana kursi rodamu? Jangan memaksakan diri, bagaimana kalau keadaanmu malah semakin parah?” Sejak beberapa hari terakhir, Kenzo memang sangat gencar berlatih agar otot tubuhnya tidak kaku dan dapat segera digerakkan normal lagi seperti sediakala. Namun, sejauh ini belum terlihat hasil yang memuaskan karena lelaki itu masih kesulitan berdiri. Dan seharusnya lelaki itu tidak memaksakan diri sampai seperti ini. “Maaf, aku meninggalkanmu sendirian terlalu lama. Kenapa kamu turun dari brankar? Kamu pasti ingin ke toilet lagi ya?” Alih-alih menanggapi pert
“Apa? Kamu akan melahirkan sekarang?! Bagaimana mungkin? Bukannya dokter mengatakan kamu akan melahirkan minggu depan?” cerca Kenzo seraya berusaha meminta tolong pada orang-orang yang ada di sekitar taman tersebut. Di saat seperti ini, Kenzo merasa dirinya benar-benar tidak berguna. Seharusnya ia langsung bangkit dan menggendong istrinya ke ruang IGD atau ruangan apa pun itu. Namun, untuk bangkit dari kursi rodanya saja dirinya sangat kesulitan. Qiyana yang sudah tidak kuat menahan bobot tubuhnya sudah terduduk di rerumputan sembari mencengkeram blouse selutut yang dikenakannya. Nyeri yang menjalari perutnya semakin kuat dengan sakit yang tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata. “Aku tidak tahu kenapa seperti ini. Sakit sekali, aku tidak kuat,” lirih Qiyana dengan keringat dan air mata yang bercucuran. Sejak bangun tidur pagi ini, Qiyana memang tetalh merasakan sesuatu yang janggal dari tubuhnya. Sejak beberapa jam lalu dirinya selalu bolak-balik ke toilet untuk buang air kecil
“Coba ulangi kata-kata terakhirmu tadi,” cerca Kenzo sembari mencekal lengan Qiyana. Qiyana yang sebenarnya sedang menenangkan debar jantungnya yang menggila tetap memasang senyum di wajahnya. Seolah-olah kata-kata yang barusan terlontar dari mulutnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Padahal sesungguhnya wanita itu ingin segera melarikan diri dari sini karena malu. Kata-kata itu tiba-tiba meluncur dari mulutnya tanpa bisa dicegah. Tetapi, Qiyana tidak menyesalinya sama sekali. Selama ini ia terlalu banyak bersembunyi di balik gengsi dan harga diri. Tidak ada salahnya mencoba lebih jujur dibanding hanya menyimpannya seorang diri. “Aku hanya mengatakannya sekali dan tidak ada pengulangan lagi. Sekarang bukan waktunya mengobrol, jadi lebih baik kamu tidur saja. Kamu masih dalam masa pemulihan, harus banyak-banyak beristirahat,” sahut Qiyana dengan senyum miring. Kenzo menggeram rendah. “Kamu pikir aku bisa tidur setelah kamu mengatakan itu tanpa kejelasan lagi? Aku tidak akan t
“Ka-kamu sudah sadar?” gumam Qiyana dengan tatapan terbelalak. Sepasang mata berwarna kecokelatan itu berkaca-kaca. “Aku akan—aw!” Wanita refleks meneggakkan kepalanya dan saat itu juga nyeri yang menjalari tengkuknya semakin terasa.Kenzo membuka peralatan medis yang terpasang di mulutnya setelah mengumpulkan tenaga untuk mengangkat tangannya. “Sayang, apa kamu baik-baik saja? Lehermu pasti sakit karena tidur dengan posisi duduk,” tanya lelaki itu dengan suara serak.Suara bariton yang sangat Qiyana rindukan itu kembali terdengar. Meskipun sangat serak dan lirih, itu sudah cukup untuk membayar perasaan campur aduk yang selalu membelenggunya setiap hari selama berbulan-bulan ini. Sekali lagi Qiyana menatap sang suami yang juga menatapnya, memastikan jika ini semua bukanlah halusinasi. Tanpa membalas pertanyaan suaminya, Qiyana langsung merengkuh tubuh lelaki itu dengan isak tangis yang berurai dari bibirnya. Ketika kulitnya bersentuhan dengan kulit Kenzo, ada kehangatan yang teras