Audrey mendelik. Otot-ototnye menegang. Bahkan kematian jauh lebih baik dari ini.“Jangan lakukan itu! Kumohon, jangan! Kau ambillah seluruh harta ayahmu. Aku tidak butuhkan itu. Tapi tolong lepaskan aku, kumohon. Biarkan aku hidup tenang.” Audrey menghiba, ia tahu ia akan hancur tapi ia berharap ini satu-satunya cara yang dapat membuat keadaan berubah.”“Audrey, Sayang. Kau sudah terlambat untuk memohon.” Benigno tersenyum, dia mendekati wajah Audrey, mencium bibir wanita cantik itu.Audrey memalingkan wajahnya menghindar. Merasa jijik.Benigno sadar, hati wanita ini sejak dulu tidak pernah bisa ia miliki walaupun raganya kini dalam kekuasaanya.Akhirnya Benigno betul betul meluruskan niatnya. “Harus kuakui, ini keputusan yang sulit.” Benigno menautkan alisnya. “Tapi setelah membunuh anakmu dan pengasuhnya, adikmu pun juga mengangguku.”Adikku? Satu-satunua adikku adalah Jonash. Apa betul yang Benigno katakan? Apa yang Jonash lakukan terhadapnya? Dimana dia sekarang? Berbagai pertanya
WTC, New York2 Agustus 2024Pukul delapan lima puluh pagi dan ia seorang diri. Ia belum pernah merasa seyakin ini dalam hidupnya. Iya, waktunya telah tiba. Kesempatan yang telah lama ia tinggu. Dengan tekad kuat dalam hatinya. Bergegas ia melintasi lobi luas World Trade Center yang berlapis marmer dan batu. Menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.Ia mengeluarkan sebuah pistol otomatis Ingram. Senjata itu keluar dari balik jaket sport hitamnya. Kejadian itu berlangsung cepat, ia mendorong sebuah kereta produk roti O.“Jangan ada yang bergerak. Terutama kau dan kau.” Ia menunjuk dua orang disebelah lelaki itu. “Tidak ada gunanya mencoba menjadi pahlawan. Tidak perlu mati untuk sampah seperti ini.”Germaine Abraham dapat mengenali detektif Anthony Parker sedetik sebelum ia melihat pistol otomatis itu. Parker mencapai pintu lift pada saat yang sama Germaine Abraham dan rombongannya itu.Rencana telah tersusun dengan detil tanpa kesulitan. Tidak ada opsi tidak berhasil.Parker
"A-aku tidak pernah memakai itu. Aku tidak memakai narkotika.”Parker memberi tanda dengan pistolnya. “Sekarang kau akan mencobanya...”Dalam keheningan yang mengerikan. Lelaki itu sudah tidak punya pilihan lain.Germaine Abraham mencampur bubuk dan dimasukkan ke dalam peralatan suntik diawasi Parker.Bau tajam segera mengisi ruang lift itu. Ketika jarum suntik itu terisi, Anthony Parker bicara lagi. Tidak dengan intonasi tinggi. Tapi memerintah dengan tegas.“Barang bagus. Sangat populer di tempatku.” Dengan senyum getir, berkata lagi, “Sekarang cicipilah, Germaine Abraham. Lakukan!”Germaine Abraham mengangkat jarum hipodermis itu, pendorong suntikannya sudah siap.“Cicipilah sekarang!” ujar Parker. “Lalu kita akan mengobrol lagi. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, anak umur dua belas tiga belas biasa pakai itu di tempatku.”Dengan kepasrahan, perlahan dan hati-hati, Germaine Abraham menyuntikkan jarum berwarna perak itu ke dalam pembuluh darahnya. Senyum congkaknya mulai memudar.
Campeche, Meksiko2 Oktober 2024“Mulai.”Seorang pemuda menyerang ke arahnya. Menghunjam dan cepat. Dengan mulut rapat dan penuh tekat. Menggambarkan kegugupan dan ketakutan sebagai anggota baru. Ia menunggu. Pada detik berikutnya, ia berputar dan mengelak. Si Pemuda tersandung matras, terhuyung, tidak mampu menyeimbangkan diri. Ia berputar dan melayangkan tendangan dengan cepat, terkendali ke arah kepala si pemuda dengan sisi kakinya. Kekosongan melintas di wajah pemuda itu sesaat sebelum roboh ke matras.Ia berputar mengahadap lawan lain dan menjatuhkannya dengan sama mudahnya. Akhirnya kedua lelaki itu menyerangnya sekaligus. Tanpa emosi dan berlama-lama, ia menjatuhkan mereka berdua satu persatu ke matras. Cepat dan terlatih.Dengan tersengal sedikit ia menghadap pelatihnya dan membungkuk memberi penghormatan. Mata si Pria memancarkan penghargaan juga hasrat. Ia memiliki kemampuan untuk mengenal emosi tanpa harus mengalaminya sendiri. Kadang ia bertanya-tanya, apa itu emosi. Tapi
"Sial,” dengus lelaki berotot itu menahan kesal. Bernardo Ralp Dalessandro, sepupunya. Terakhir kali putra kakak ayahnya itu menemuinya atas perintah dari sang paman, Arthur Diangello. Ia memaksa Nathan pulang. Perusahaan sangat membutuhkannya. Berkali-kali ia menolak tapi tetap tidak diindahkan. Pantang menyerah.Sepeninggal istri tercintanya yang saat itu pergi mencari putrinya yang hilang dan tanpa pernah lagi memberinya kabar sudah lebih dari setengah tahun ini, dia sangat frustasi. Nathan tidak memikirkan apapun selain ingin menjauh dari kehidupan duniawi dan keluarga ayahnya. Usaha yang telah ia rintis bersama teman karibnya, ayah kandung Audrey Abellard, istri terkasihnya ia tinggalkan begitu saja. Begitu juga dengan FAMA dan usaha-usaha lainnya. Dia membunuh sepi dan melampiaskan segala kegundahan serta emosinya dengan mempelajari ilmu bela diri dari salah satu agen Divisi Operasi Elite. Ia terus berlatih, sampai akhirnya ia mengasingkan diri di sebuah bukit yang ia beli, untu
"Apa-apaan ini?! Lepaskan tanganmu, dasar kurang ajar!"Audrey sangat gusar pada temannya, Benigno yang menyelipkan tangan liarnya ke balik baju atasannya."Tidak usah pura-pura. Pasti kamu juga menikmati rabaanku. Diam sajalah," tukas laki-laki itu tanpa rasa bersalah, dia melanjutkan aksinya. Harum tubuh wanita ini menyeruak menggelitik aroma penciumannya layaknya feromone."Kau bohong padaku! Kau bilang ada hal penting yang hendak kau bicarakan sehubungan dengan proyek konstruksi kita! Tapi kenyataannya kau bermaksud buruk padaku!"Prabu Wisesa, suami Audrey telah memenangkan tender proyek pembangunan beberapa apartemen. Benigno, yang dahulu adalah teman kuliah Audrey ternyata adalah pihak pemberi tender.Keduanya bersepakat mengadakan pertemuan di rooftop Red Buffalo Grand Hotel untuk membahas perencanaan konstruksi yang terdapat di Rancangan Anggaran Belanja penawaran yang diajukan oleh perusahaan konstruksi milik Prabu.Diluar dugaan, Prabu memiliki jadwal lain yang tidak mungk
Purple Doors, Agustus 2020Bartender itu menuangkan red wine ke dalam sloki ketujuh yang dipesan seorang wanita dan langsung diteguk dengan cepat. Kening wanita itu berkerut manahan pahit. Sudah hampir tiga bulan, sejak malam kejadian dia tertatih meninggalkan Red Buffalo Grand Hotel dengan langkah lunglai, ditiap selepas jam dua puluh satu, di Purple Doors, nama bar ini, yang selalu penuh dengan insan yang mencari penghiburan, Audrey menghabiskan waktunya sampai jelang dini hari. Suara musik mengalun memekakkan telinga. Tidak dia pedulikan beberapa pasang mata menatapnya, mungkin mengagumi wajah jelitanya atau heran dengan keberadaannya yang selalu sendiri.Sebenarnya dia bukanlah seorang peminum alkohol. Kekalutannya yang membuat Audrey merasa dirinya sudah tidak berharga, dihadapan suami bahkan dilingkungan sekitarnya. Audrey memutuskan tidak membawa permasalahan tersebut ke jalur hukum, karena dia berpikir kehormatan keluarganya akan dipertaruhkan, rumah tangga yang belum lama dia
Sepulangnya Audrey dari kantor polisi, dia kembali ke Grand Mercure Hospital menuju bangsal rumah sakit yang dia pesan, sementara Ventria dirawat diruang Neonatal Intensive Care Unit, yang adalah ruang perawatan yang dikhususkan untuk bayi dan anak-anak dengan gangguan kesehatan serius, Audrey tidak boleh berada diruang itu berlama-lama. Kondisi kesehatan Ventria terpantau selalu pada layar monitor yang terletak disitu. Tenaga medis dengan sigap melakukan pekeerjaannya. Audrey mempercayakan anaknya tanpa ragu.Di bangsal? Iya dia menunggu disana, kondisi keuangannya tidak memungkinkan dia menyewa kamar yang lebih baik. Menatap anaknya yang tertidur lemah tidak berdaya tadi, memikirkan adiknya yang menyatakan penyesalannya dan meminta bantuannya untuk terhindar dari jerat hukum, mengusahakan terlaksananya tindakan operasi ayah tirinya, membuat kepalanya pening.Ketika pulang sejenak, Audrey merasa kesedihan itu semakin menikam relung hatinya. Kondisi terjepit yang mengharuskannya mempe