Southern Harlem23 Juni 2024Jonash Abellard telah mendengar perihal markas Germaine yang dua hari lalu diserbu oleh sebuah agen rahasia yang ia tahu. Pimpinannya bahkan ia kenal baik. Mereka memiliki kesamaan visi dan tidak saling mengusik. Direktur DOE yang ia tahu afalah mantan orang kepercayaan presiden.Perihal lolosnya sang penjahat kaliber internasional itu menjadi buah bibir di kedinasannya. Lelaki itu memahami Germaine Abraham. Meskipun ia menllai gembong penjahat itu cerdas, ia telah memandang rendah pula padanya. Germaine Abraham menempuh segala cara untuk mencapai tujuan. Ia melakukan apa saja untuk menang---melakukan segala tindak kejahatan, memerintahkan pembunuham setelah terlebih dahulu meniduri para korbannya. Mereka memilih wanita kalangan sosialita, sekedar meningkatkan egonya. Sungguh perbuatan yang tak terpikirkan. Kekejaman di atas kekejaman. Germaine Abraham adalah pembunuh psykopat. Ia tidak kenal konsep benar atau salah, tak memiliki nurani, tak memiliki moral
Jonash berjingkat dari ruang kerja Juan ke arah kamar Alicia. Ia menenangkan napasnya. Sama sekali tidak menduga seseorang menyelinap ke mansion ini. Dalam hati ia bertanya-tanya, seberapa tangkas ia dalam situasi ini? Kemarahan meluap dalam lorong otaknya, mengimbangi perasaan takut, karena kalau biasanya ia beraksi di ruang terbuka, kali ini di dalam rumah besar yang banyak penghuni kemungkinan sedang terlelap, ia khawatir ada peluru salah satu dari mereka yang menyasar. Dan berapa jumlah mereka? Apakah mereka akan masuk ke kamar Alicia sambil menembak? Apakah mereka akan mengendap-endap sampai ke dalam kamar dan akan menembak dari jarak dekat.Bagaimana Germaine Abraham menghendaki hal itu dilakukan?“Aku ingin kau tahu satu hal, orangku yang telah membunuh keponakanmu dan pengasuhnya. Aku juga bertanggung jawab atas hilangnya kakakmu.”Tiba-tiba Jonash bisa membayangkan dengan tepat. Selama beberapa saat yang mengerikan, kengerian tak terkatakan, saat keponakannya di tenggelamkan
Si penembak berbalik, berhenti kurang lebih tiga puluh meter darinya. Ia mengarahkan senjatanya ke arah Jonash yang melejit gila ke arahnya semakin dekat.Jonash kenal calon penembaknya. Ia kenal lelaki itu. Kekacauan, kegilaan memenuhi benaknya.Jonash dengan segera menaikkan revolvernya. Ia menembakkan lebih dulu sebelum lelaki itu. Ia tidak melihat apapun lagi sesudahnya karena ia langsung meluncur ke pintu samping sebuah taksi kuning yang meluncur tajam. Taksi itu cuma beberapa meter saja dari wajahnya.“Tuhan, selamatkan aku.” Doa itu masih sempat ia lantunkan sebelum sepersekian detik berikutnya, tubuh Jonash terpental keras dari sebuah pintu taksi dan langsung diterima oleh sebuah mobil sport merah yang yang sedang melaju. Klakson meraung di seluruh penjuru Madison. Mobil-mobil meluncur disekitarnya---menyerempet, hampir menyentuh, mencoba sebisanya untuk tidak menggilas tubuh Jonash.Tidak ada lagi yang dapat Jonash lakukan untuk dapat mengendalikan nasibnya. Ia mendarat seba
Sewaktu mengemudikan mobilnya ke arah utara menuju desa Mildew di pedesaan New York, Alicia mulai mengerti, ada logika yang langsung dan sederhana mengenai ini. Sedari awal. Ia mengerti aturannya, ia hanya harus mengikuti sesuai petunjuk yang mereka berikan.Kami tidak ingin lebih banyak perhatian diarahkan pada kami.Peraturan mereka.Meskipun tampaknya masih ada beberapa orang yang tinggal di desa sepi itu, tapi ini tampak seperti kota hantu, novel horor yang pernah ia baca. Cat mengelupas dari dinding rumah yang kebanyakan hampir runtuh. Fondasinya ambruk. Beranda-beranda depan runtuh di segala penjuru Mildew. Hampir setiap halaman belakang dijejali mesin-mesin rongsokan : kulkas berkarat, rangka mobil dan truk, bagian-bagian mesin yang sudah melengkung, terpilin dan tidak dapat berfungsi lagi. Ketika ia mendekati Hudson River, pemandangan berubah lebih baik. Rumah-rumah di sana lebih besar, banyak diantaranya yang seperti rumah pedesaan. Burung-burung tampak berkicau di pepohonan
Campeche, Meksiko3 Juli 2024Ia terbaring di ranjang, telanjang. Air mata kemarahan menggenangi matanya yang memerah akibat terus menangisi nasibnya, setelah kering oleh kipas putih tergantung di langit-langit ruang itu, air mata selanjutnya akan turun lagi. Dengan lengan di tarik ke atas kepala dan diikat ke tiang ranjang. Tali itu mengelupas karena berkali-kali ia coba tarik dengan putus asa. Semakin ditarik ikatannya akan semakin mengencang, membuat kulitnya yang seputih susu memerah, terasa sangat perih. Tapi kepedihan itu belum seberapa dibandingkan dengan kehormatannya yang telah dicampakkan direlung paling dasar. Ikatan di kedua kakinya juga begitu kencang, kedua kaki itu sampai terasa kebas.Serasa hendak gila rasanya, merutuki nasib malangnya. Ia selalu bertanya-tanya dosa apa yang telah dilakukannya di kehidupan sebelumnya? sampai harus menanggung derita sepahit ini.Jika saja ia membiarkan kakinya bebas, ia bisa melumpuhkan kawanan yang telah menyekapnya itu. Dan mereka ta
Audrey mendelik. Otot-ototnye menegang. Bahkan kematian jauh lebih baik dari ini.“Jangan lakukan itu! Kumohon, jangan! Kau ambillah seluruh harta ayahmu. Aku tidak butuhkan itu. Tapi tolong lepaskan aku, kumohon. Biarkan aku hidup tenang.” Audrey menghiba, ia tahu ia akan hancur tapi ia berharap ini satu-satunya cara yang dapat membuat keadaan berubah.”“Audrey, Sayang. Kau sudah terlambat untuk memohon.” Benigno tersenyum, dia mendekati wajah Audrey, mencium bibir wanita cantik itu.Audrey memalingkan wajahnya menghindar. Merasa jijik.Benigno sadar, hati wanita ini sejak dulu tidak pernah bisa ia miliki walaupun raganya kini dalam kekuasaanya.Akhirnya Benigno betul betul meluruskan niatnya. “Harus kuakui, ini keputusan yang sulit.” Benigno menautkan alisnya. “Tapi setelah membunuh anakmu dan pengasuhnya, adikmu pun juga mengangguku.”Adikku? Satu-satunua adikku adalah Jonash. Apa betul yang Benigno katakan? Apa yang Jonash lakukan terhadapnya? Dimana dia sekarang? Berbagai pertanya
WTC, New York2 Agustus 2024Pukul delapan lima puluh pagi dan ia seorang diri. Ia belum pernah merasa seyakin ini dalam hidupnya. Iya, waktunya telah tiba. Kesempatan yang telah lama ia tinggu. Dengan tekad kuat dalam hatinya. Bergegas ia melintasi lobi luas World Trade Center yang berlapis marmer dan batu. Menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.Ia mengeluarkan sebuah pistol otomatis Ingram. Senjata itu keluar dari balik jaket sport hitamnya. Kejadian itu berlangsung cepat, ia mendorong sebuah kereta produk roti O.“Jangan ada yang bergerak. Terutama kau dan kau.” Ia menunjuk dua orang disebelah lelaki itu. “Tidak ada gunanya mencoba menjadi pahlawan. Tidak perlu mati untuk sampah seperti ini.”Germaine Abraham dapat mengenali detektif Anthony Parker sedetik sebelum ia melihat pistol otomatis itu. Parker mencapai pintu lift pada saat yang sama Germaine Abraham dan rombongannya itu.Rencana telah tersusun dengan detil tanpa kesulitan. Tidak ada opsi tidak berhasil.Parker
"A-aku tidak pernah memakai itu. Aku tidak memakai narkotika.”Parker memberi tanda dengan pistolnya. “Sekarang kau akan mencobanya...”Dalam keheningan yang mengerikan. Lelaki itu sudah tidak punya pilihan lain.Germaine Abraham mencampur bubuk dan dimasukkan ke dalam peralatan suntik diawasi Parker.Bau tajam segera mengisi ruang lift itu. Ketika jarum suntik itu terisi, Anthony Parker bicara lagi. Tidak dengan intonasi tinggi. Tapi memerintah dengan tegas.“Barang bagus. Sangat populer di tempatku.” Dengan senyum getir, berkata lagi, “Sekarang cicipilah, Germaine Abraham. Lakukan!”Germaine Abraham mengangkat jarum hipodermis itu, pendorong suntikannya sudah siap.“Cicipilah sekarang!” ujar Parker. “Lalu kita akan mengobrol lagi. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, anak umur dua belas tiga belas biasa pakai itu di tempatku.”Dengan kepasrahan, perlahan dan hati-hati, Germaine Abraham menyuntikkan jarum berwarna perak itu ke dalam pembuluh darahnya. Senyum congkaknya mulai memudar.