Suasana menjadi tegang ketika Satya tiba-tiba meluapkan kemarahannya kepada Andri, mantan suami Rika, yang sudah mengabaikannya bahkan berkata tidak sopan pada Rika. Satya bicara dengan suara keras memecah keheningan, hingga teriakkannya menghentikan langkah Andri.
“Hey! Apa maksud perkataanmu?” teriak Satya lantang. Andri berbalik dan menatap Satya dengan tatapan dingin. “Ah, ini bukan urusanmu. Kamu nggak tahu apa-apa. Jadi, nggak usah ikut campur!” balas Andri dengan suara tinggi. Ucapan Andri memancing emosi Satya.
“Aku tidak peduli! Yang jelas kamu tidak memiliki hak untuk menyakiti perasaan Rika dengan kata-kata kasar seperti itu!” bentak Satya tegas. Andri mengangkat bahunya. “Asal anda tahu. Rika, nggak bisa menerima kenyataan, kenapa aku mencari wanita lain,” ejeknya dengan senyuman miring. Terlihat senyuman mengejek, terukir di bibir Riana.
“Justru, Rika tahu. Melepaskanmu, adalah cara terbaik untuk memperbaiki hidupnya!” Satya meninggikan suaranya. Meski Rika tidak menceritakan tentang kisah hidupnya, Satya sudah menyelidiki semua yang berhubungan dengan Rika.
Andri tersenyum sinis. “Oh, bukankah kamu nggak tahu apa yang terjadi di antara kami berdua?” tanyanya dengan tatapan merendahkan. “Iya, jangan sampai terjebak dengan, Mbak Rika yang berpura-pura polos dan menarik perhatian laki-laki dengan menjual kesedihan,” sela Riana.
Satya menajamkan tatapannya. Dia menatap Andri dan Riana bergantian. Lalu, melangkah mendekat. Tangannya mengepal dengan wajah yang penuh kemarahan. “Aku cukup tahu siapa kamu. Aku tahu kamu kecewa, karena Rika tidak lagi mengikuti maumu, tapi bukan berarti kamu boleh menyakiti perasaannya dengan kata-kata kotor!” ucap Satya tegas.
Tatapan Andri acuh, dengan senyuman menyeringai. “Kamu bisa mempertahankan Rika sebaik yang kamu mau. Nanti, kamu akan tahu kalau Rika bukan wanita yang bisa membuatmu bahagia.” Andri berkata meyakinkan. Satya mengernyitkan keningnya.
“Apa definisi bahagia buatmu?” tanya Satya sinis. Andri mengangkat salah satu sudut bibirnya. “Kamu harus tahu, Rika nggak akan bisa memuaskanmu di ranjang!” bisik Andri dengan tatapan mengejek.
Satya menggertakkan giginya, tangannya mengepal dengan dada bergemuruh. Satya melirik Dinda, andai Dinda tidak berada di sana pastilah kepalan tangannya sudah mendarat di pipi laki-laki tidak punya malu yang berdiri di hadapannya.
“Kamu benar-benar memalukan! Apa kamu tahu siapa aku?” tanya Satya dengan nada mengancam. “Aku nggak tahu siapa kamu, tapi aku hanya ingin memperingatkanmu. Kamu nggak bisa mengubah kenyataan, bahwa kamu hanya membela seseorang yang nggak pantas, kamu pasti akan menyesal!”
Satya merasa kesal. Rika yang melihat Andri menyulut kemarahan Satya, berusaha langsung melerai. Rika menatap Riana tajam. “Riana! Cepat bawa calon suamimu pergi dari rumahku. Urusan kalian sudah selesai. Semua barang yang katanya menjadi milik kalian, sudah diangkut. Jadi, pergilah!” usir Rika menajamkan tatapannya ke arah Andri dan Riana. Satya menatap takjub dengan ketegasan Rika.
“Hey! Kamu nggak usah usir kami. Aku juga akan pergi dari sini. Aku sudah muak denganmu. Setiap hari bersamamu dan harus berpura-pura baik-baik saja, melihatmu berpakaian lusuh. Nggak pernah memakai riasan. Benar-benar, nggak bisa membuatku bergairah. Aku yakin, siapapun laki-laki yang bersamamu pasti akan menyesal!” hina Andri ketus.
“Cukup, Mas. Pergi dari sini!” teriak Rika dengan sorot mata penuh kebencian. Andri tersenyum menyeringai. “Nggak usah berteriak, Mbak. Kita juga akan pergi kok. Seharusnya, Mbak itu bisa introspeksi diri, agar nanti mendapatkan laki-laki yang menyayangi, Mbak dan nggak ditinggalkan lagi,” sela Riana tanpa rasa bersalah.
Hembusan nafas keluar dari mulut Rika, jemarinya meremas ujung bajunya. Tatapan mata Rika nyalang penuh amarah yang berusaha ditahannya.
“Ayo, Sayang,” ajak Andri menggandeng mesra lengan Riana. Riana mengangguk dan tersenyum penuh kemenangan. Mereka berdua melangkah keluar dari rumah. Rika menatap mereka berdua dengan mata yang memancarkan kebencian yang mendalam. Kebencian yang membakar di dalam dirinya seperti bara api yang tak kunjung padam.
“Tante, laki-laki itu pastilah sangat bodoh. Tante lebih cantik daripada wanita tadi, kenapa dia memilihnya?” celetuk Dinda. Satya dan Rika terkejut mendengar ucapan Dinda, mereka saling berpandangan. Hembusan nafas keluar dari mulut Satya. Dia lupa kalau ada Dinda di sana, yang sudah bisa memahami situasi yang terjadi.
“Sayang, keharmonisan hubungan antara laki-laki dan perempuan itu, bukan hanya melihat soal parasnya saja. Namun, semua karena hati, Sayang. Mungkin, mantan suami Tante sudah tidak mencintai Tante lagi. Jadi, dia nggak bisa melihat kebaikan ataupun kecantikan pasangannya lagi, kamu mengerti?” Rika menjelaskan dengan lembut.
“Oh, berarti saat … saat mamaku meninggalkan Papa, dia sudah nggak mencintai Papa lagi.? Itulah sebabnya, dia nggak bisa melihat kebaikan papaku. Benar, ‘kan?” tanya Dinda dengan tatapan sendu, menyimpulkan ucapan Rika. Mata Satya mendelik mendengar komentar Dinda. Rika menarik nafas dalam-dalam berusaha menjelaskan.
“Sayang, masalah orang dewasa itu, tidak sesederhana yang kamu pikirkan, setiap pasangan memiliki masalah yang berbeda. Mungkin, mamamu bukan tidak mencintai papamu lagi. Hanya saja, dia perlu waktu untuk berpikir yang terbaik untuk hidupnya.” Rika berusaha memberi pengertian.
“Lalu, kenapa harus meninggalkanku?” protes Dinda dengan ekspresi wajah kesal. “Hmm, Tante yakin. Mamamu, pasti mempunyai alasan kuat untuk itu. Kenapa, dia meninggalkanmu. Mungkin saja, dia ingin melihatmu menjadi seorang wanita yang mandiri. Wanita kuat yang nggak manja,” jelas Rika mencoba menjaga perasaan Dinda dari kekecewaan.
Dinda mengernyitkan keningnya, dia tampak berpikir dan mencerna ucapan Rika. Namun, seketika senyuman terbit di wajahnya. “Tante, benar. Mungkin, mama ingin aku menjadi wanita kuat dan nggak manja.” Rika mengembangkan senyum, seraya mengelus rambut panjang Dinda dengan penuh kasih sayang. Satya menatap Rika dengan kagum sembari mengulum senyum.
“Oh iya, silakan duduk. Aku sampai lupa mempersilakan kalian duduk,” Rika mempersilakan Dinda dan Satya duduk di ruang tamu. “Sebentar ya,Tante ambil minuman dulu.” Baru saja, Rika hendak melangkah. Ketika tangannya dicekal Dinda. Spontan, Rika berbalik.
“Ada apa, Sayang?” tanya Rika lembut. Dinda mendongak menatap Rika. “Tante, sekarang Tante hanya tinggal sendirian, ‘kan?” tanya Dinda penuh harap. “Iya, Sayang. Tante tinggal sendiri. Tapi, ada di Tina yang datang setiap pagi untuk membantu pekerjaan rumah di sini.”
“Apa, Tante nggak takut sendirian?” tanya Dinda heran. Rika tertawa kecil mendengar pertanyaan Dinda. “Tentu saja, Tante nggak takut, Sayang,” balas Rika mengembangkan senyum.
Dinda mengalihkan pandangan pada papanya “Papa, bolehkah aku menginap di rumah Tante Rika?” tanya Dinda tiba-tiba, menatap Satya penuh harap. “Apa? Menginap di sini?” Satya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan rumah Rika, yang tentu saja jauh berbeda dengan kediaman Satya.
“Jadi, bagaimana, Pah. Boleh, ya,” rajuk Dinda manja dengan tatapan iba memohon. Satya menatap putrinya dengan tatapan lembut penuh kasih sayang. “Boleh, ya, Pah?” desaknya lagi penuh harap.
Halo, kakak terima kasih sudah mampir dan mendukung karyaku. Yuk tinggalkan komentarnya agar aku semangat. Happy reading.
"Pah, boleh ya, aku menginap di rumah Tante Rika malam ini?" desak Dinda, sambil menyuguhkan senyum manisnya. Satya masih terdiam, tatapan cemasnya tergambar jelas di wajah tampannya. Sebuah kekhawatiran yang tak terucapkan. Rika memang wanita baik, namun tetap saja Satya ragu untuk memberikan izin pada putrinya. "Boleh, ya, Pah?" Desakan lembut Dinda terdengar lagi. Satya merasa kebingungan, mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan rasa kekhawatirannya tanpa membuat Dinda kecewa. Namun, sebelum dia bisa menjawab, Rika, melihat kekhawatiran di wajah Satya melepas putrinya, langsung memberi pengertian pada Dinda. "Dinda, Sayang, kamu nggak perlu menginap, kamu bisa datang ke rumah Tante setelah pulang sekolah. Kita bisa mengerjakan PR bersama, atau jika kamu ingin bercerita tentang teman-temanmu Tante selalu siap mendengarkan. Tante akan menunggumu, bagaimana?" Rika berkata dengan lembut. Rika sangat memahami perasaan Dinda yang membutuhkan kasih sayang seorang ibu, karena dia
Satya melangkah tergesa-gesa di belakang Rika yang memimpin jalan menuju kamar. Wajahnya cemas, tetapi Satya mencoba menenangkan diri dari kepanikannya. "Rika, apa yang terjadi dengan Dinda?" desisnya, mencoba mengendalikan kecemasannya.Rika memasuki kamar dengan langkah cepat, Satya mengikutinya dengan tatapan khawatir yang tak bisa disembunyikan. "Dia seharusnya baik-baik saja, Pak Satya. Saya yakin itu hanya karena siklusnya," jawab Rika, mencoba memberikan penjelasan yang dapat menenangkan Satya.Namun, begitu mereka berdua melihat Dinda berbaring dengan wajah pucat, ekspresi panik kembali menghampiri wajah Satya. "Dinda, Sayang, apa yang terjadi? Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Satya dengan nada khawatir, hampir tanpa jeda.Dinda menatap mereka dengan wajah lemah, "Aku hanya merasa nggak enak badan, Pap. Aku rasa hanya perlu istirahat," jawab Dinda, mencoba meyakinkan mereka.Saat Rika hendak menjawab, Dinda memotong, "Tante Rika, jika tulisan biografi Papa sudah selesai, apa
Satya duduk di ruang tamu, menimbang-nimbang kemungkinan untuk mengajak Rika untuk bekerja bersamanya. Dia mengetuk-ngetukkan jari di meja sambil memikirkan cara terbaik untuk menyampaikan rencananya. Lalu, dia melangkah ke kamar tamu untuk menemui Rika dan Dinda.Dia berdiri di depan pintu kamar tamu, dia bisa mendengar tawa ceria Dinda yang terdengar menyenangkan. Dalam hatinya, Satya merasa lega melihat putrinya bisa begitu dekat dengan Rika. Satya mengayunkan tangan dan mengetuk pelan kamar tamu.“Boleh, Papa masuk?” tanya Satya dari luar kamar. "Iya, Pah, masuk aja!" seru Dinda dari dalam kamar. Dengan perlahan, Satya membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam ruangan kamar."Papa lihat kamu gembira sekali, Dinda?" sapa Satya ramah sambil tersenyum pada mereka berdua. "Tentu dong, Pah. Aku senang karena ada teman curhat!" jawab Dinda melirik Rika sembari tersenyum senang.“Oh, iya. Bagaimana kondisi Dinda menurut dokter, Pak?” tanya Rika penuh perhatian. “Dia baik-baik saja, sepe
Pagi itu, sinar mentari masih malu-malu menerobos tirai jendela kamar. Alarm adzan subuh berbunyi dengan lembut. Dengan gerakan setengah sadar, Rika menggapai ponselnya yang bergetar di atas meja.Setelah menunaikan sholat subuh, Rika melangkah ke balkon kamar Dinda. Dari sana, pemandangan taman belakang rumah yang asri terhampar indah di hadapannya. Dinda, dengan rambut yang masih sedikit berantakan dan mata yang sedikit mengantuk, merasakan sentuhan udara pagi melangkah menghampiri Rika.“Tante, sudah bangun,” sapa Dinda. Rika menoleh dan tersenyum tipis. "Sudah, Sayang. Oh iya, perutmu tidak terasa sakit lagi, Din?" tanya Rika sambil memandang ke arah matahari yang mulai menampakkan keberadaannya di ufuk timur.Dinda mengangguk pelan. "Iya, Tante. Alhamdulillah, sudah nggak terlalu sakit seperti semalam," jawab Dinda mengembangkan senyumnya. Rika tersenyum lega mendengarnya."Baguslah kalau begitu. Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar
Rika melangkah perlahan menuju ruang makan. Mentari pagi yang lembut menyinari langit, memberikan kehangatan pada rumah itu.Ketika dia tiba di ruang makan, matanya langsung bertemu dengan wajah Dinda yang duduk di meja dengan sepiring pancake yang masih mengeluarkan uap. Dinda yang selalu terlihat energik dan ceria. Namun, kali ini ada keraguan yang tersemat di wajahnya, Dinda tampak sedang berpikir. “Ah, Dinda. Rasanya aku sulit meninggalkanmu,” batin Rika."Dinda!" sapanya sambil tersenyum. Pandangan Dinda melambat saat dia menoleh ke arah Rika, senyumnya terlihat ragu. "Tante Rika. Sudah bicara dengan papa?" tanyanya dengan tatapan sendu. Rika mengangguk dan duduk di kursi yang kosong di seberang Dinda. "Iya, Sayang. Wah, pancake wangi sekali," ujar Rika mencoba mencairkan suasana. Rika tahu Dinda sedang khawatir.Dinda tersenyum tipis, tapi ekspresinya segera berubah serius. "Tante Rika, aku harus tanyakan sesuatu. Apakah, Tante sudah menyelesaikan pekerjaan menulis buku biografi
Rika memasuki rumahnya dengan hati-hati, sambil melangkah dalam hati memikirkan kehadiran tiba-tiba mantan ibu mertuanya. Dia berharap kunjungan itu bukanlah awal dari masalah baru."Ibu, ada apa?" Rika mencoba tersenyum ramah sambil berjalan menuju ruang tamu, mencoba menahan rasa khawatirnya.“Dari mana saja, kamu? Bi Tina bilang, kamu menginap. Wah, baru berstatus janda langsung merasa bebas. Kamu tidur di hotel dengan laki-laki mana? Mentang-mentang mandul jadi bisa bebas!” maki ibu mertua dengan hinaan tanpa jeda, saat melihat Rika datang. Rika mengepalkan tangannya dengan mata membesar. “Maaf, itu bukan urusan ibu lagi. Aku bukan tanggung jawab Mas Andri lagi. Ibu harus ingat kalau kami sudah bercerai. Jadi, apapun yang aku lakukan, bukan menjadi urusan Mas Andri atau keluarganya lagi. Ada perlu apa, Ibu datang ke sini?” sahut Rika membalas ketus. Rika tidak mau lagi diam saat hinaan menghujamnya.“Wah, sombong sekali sekarang, kamu! Apa mentang-mentang bisa mencari uang, lanta
Dengan cepat Rika menggeser layar ponsel untuk menjawab panggilan dari Andri, meski dalam hati dia merasa enggan berurusan lagi dengannya.“Halo, ada apa lagi, Mas?” tanya Rika ketus.“Rika, ibuku masih ada di sana?” tanyanya dengan tergesa.“Ibu, baru saja keluar dari rumahku. Coba kamu telepon saja ke ponselnya,” sahut Rika dengan nada malas.“Aduh, masalahnya ponsel ibu nggak aktif. Padahal aku mau bilang, kalau aku mau pergi bersama Riana. Tadi dia mengatakan mau ke rumahku, tapi Riana ada perlu dengan temannya dan minta aku antarkan,” jelas Andri. Rika mendengarkan dengan malas.“Kamu tunggu saja dulu ibumu, jarak dari rumahku ke rumah kontrakanmu tidak jauh. Kasihan dia, nanti sudah jauh-jauh tidak ada orang di rumahmu,” saran Rika. “Ah, nggak usah sok ngajarin deh, kamu. Ya udah, aku pikir ibu masih ada di sana,” ucapnya lalu memutus sambungan telpon.Rika membuang nafas kasar. “Huhh, dasar laki-laki nggak pernah berubah, benar-benar egois!” umpat Rika dengan mata menyipit. Ti
Rika memasuki kamar dengan langkah gontai, tatapannya masih tergantung pada bayangan Satya dengan senyuman dan tatapan hangatnya. Dia duduk di pinggiran tempat tidur, menggenggam erat selimut yang terbentang di atasnya, mencoba menenangkan detak jantung yang berdebar kencang."Aduh, kenapa aku seperti ini?" gumam Rika pada dirinya sendiri sambil menarik napas dalam-dalam. "Aku nggak boleh terlalu terbawa perasaan. Ini bukanlah cinta, ini hanya kebutuhan akan seseorang yang ada untukku."Dia mencoba meyakinkan hatinya sendiri bahwa perasaannya hanyalah kebutuhan akan kehangatan, kehadiran yang membuatnya merasa dihargai. Namun, dia berusaha keras untuk tidak terlalu larut dalam ilusi bahwa dirinya sepadan dengan sosok seperti Satya. Pria tampan, sukses, dan begitu menawan.Rika terdiam dalam lamunan yang kacau, membiarkan pikirannya melayang pada sosok Satya dan kerumitan perasaannya. Layar ponselnya tiba-tiba bergetar, memecah keheningan kamarnya. Dia menatap layar, wajahnya memancark
Terdengar suara langkah kaki yang makin lama makin mendekat. Semua menatap ke ambang pintu, melihat siapa yang datang."Riana!" teriak Nia. Riana yang berdiri di ambang pintu menatap ke arah Raisa dan Maharani bergantian. "Aduh maaf aku datang ke sini nggak bilang-bilang Ibu, ternyata Ibu sedang ada tamu. Aku menunggu di dalam saja ya, " ujar Riana sambil tersenyum."Eh nggak apa-apa, ayo sini masuk. Ibu Maharani, kenalkan ini menantu saya Riana namanya. Dia baru menikah dengan Andri, satu bulan yang lalu." Nia memperkenalkan Riana kepada Maharani, dengan harapan akan mendukung ceritanya tentang kejelekan Rika. Raisa tersenyum menyeringai melihat sandiwara yang sudah diaturnya berhasil. Raisa memang sengaja menyuruh Nia untuk memperlengkap cerita, menjelekkan Rika dengan kedatangan Riana.Riana menghampiri Maharani dan Raisa sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya. Maharani berdiri dan menyambut uluran tangan dari Riana sambil memperkenalkan diri. "Riana sini duduklah dekat ibu." N
Keesokan paginya, sinar matahari mulai menerangi rumah mewah keluarga Mahendra. Nyonya Maharani duduk di meja makan, menikmati secangkir the setelah mereka sarapan bersama. "Sudah siap berangkat, Satya dan Papa?" tanya Nyonya Maharani, senyum tipis terukir di bibirnya.Satya mengangguk, "Ya, Ma. Aku akan berangkat sekarang. Sampai nanti." Satya mencium Dinda yang masih duduk di meja makan. Hari itu Satya dan Richard memang ada meeting pagi hari, jadi dia tidak mau terlambat karena terjebak kemacetan jalanan.Dengan senyum hangat, Nyonya Maharani melambaikan tangan pada Satya dan suaminya yang melangkah keluar rumah. Dinda pun berpamitan untuk berangkat ke sekolah.“Oma, aku juga berangkat sekolah dulu, ya,” ujar Dinda sambil menggendong tas sekolahnya. Rika membantu Dinda membetulkan tasnya dan melangkah keluar rumah bersama Dinda, karena hari itu Rika ada perlu bertemu orang penerbitan.“Iya, hati-hatilah.” Maharani tersenyum melepas kepergian cucunya. Begitu mereka pergi dan tak te
“Nggak, Sayang. Papamu nggak tahu, kalau Tante datang. Tante sengaja nggak memberitahunya karena Tante datang untuk menyapa Oma dan Opamu,” sahut Raisa lembut. Dinda mengernyitkan keningnya.“Bukankah, papaku nggak suka kalau Tante datang ke sini? Lalu, kenapa masih datang?” Dinda menajamkan tatapannya. Mendengar ucapan Dinda membuat Raisa kesal, namun terlihat jelas dia berusaha menguasai amarahnya.“Dinda, Sayang. Mungkin Tante Raisa ingin menyapa Oma, bukan bertemu papamu,” bela Maharani tidak mau suasana semakin memanas. Meski dia juga tidak suka Raisa datang, namun Maharani tidak mau kalau cucunya berkata tidak sopan. Dinda tertunduk merasa bersalah akan teguran omanya.“Baiklah, silahkan lanjutkan ngobrolnya. Aku juga mau kerjakan PR sekolahku bersama Tante Rika.” Dinda menatap Raisa kesal, lalu pergi menuju kamarnya.“Hemm, sepertinya Dinda tidak menyukaimu,” desis Maharani tajam. Raisa memaksakan senyumannya. “Iya, itu pasti karena hasutan Rika,” tuduhnya dengan tatapan sinis.
“Halo, apa kabar, Tante?” sapanya ramah, dengan senyuman mengembang. "Raisa," ucapnya pelan, suaranya tersirat dengan rasa takut dan kekecewaan. Raisa tersenyum lembut, seperti biasa, seakan dia tidak membawa beban masa lalu yang rumit."Hai, Tante Maharani. Maaf datang tanpa pemberitahuan sebelumnya," katanya sopan sambil tersenyum menatap Maharani. Maharani hanya mengangguk pelan, dia mencoba menahan kecanggungan yang melanda hatinya. Kekesalannya pada Raisa akan kejadian masa lalu, muncul kembali."Nggak masalah. Silakan duduk," ucapnya singkat, mencoba menunjukkan kesopanan meski hatinya terusik oleh kehadiran Raisa. Dia ingat siapa Raisa, wanita yang pernah menolak Satya ketika Satya ingin menikahinya. Padahal saat itu mereka menjalin hubungan.Raisa duduk di hadapannya, menatap Maharani dengan penuh pengertian. "Terima kasih, Tante," ucapnya. "Aku tahu kehadiranku mungkin mengejutkan Tante. Tapi aku ingin bicara tentang Satya." Raisa berkata lantang.Maharani menegangkan dirinya
“Iya, Oma udah ketemu dengannya. Apakah dia benar-benar baik padamu, Sayang?” tanya oma penuh penekanan seakan ingin meyakinkan dirinya. "Iya, Oma. Tante Rika sangat membantu Dinda dalam tugas-tugas sekolah dan selalu mengawasiku," ungkap Dinda dengan bangga.Oma tersenyum lega. "Itu bagus. Oma senang kalau tante Rika selalu baik padamu." Namun, tatapan Oma tiba-tiba berubah menjadi serius. "Tapi, Dinda, apakah kamu tahu kalau tante Rika itu akan menjadi calon Mama Dinda?"Dinda terkejut mendengarnya. "Eh, Oma udah tahu?" Oma mengangguk perlahan. "Iya, Sayang. Papamu memberitahu kalau dia mencintai Rika. Dia ingin menikahinya."Dinda terdiam sejenak, kemudian, dia tersenyum cerah. "Dinda tahu, Oma. Bahkan, Dinda yang meminta Papa untuk menikah dengan tante Rika." Oma mengernyitkan keningnya terkejut mendengarnya. "Oh, benarkah? Kenapa, Sayang?""Dinda sangat menyayangi tante Rika, Oma. Dia selalu baik padaku dan selalu ada untukku. Dinda ingin tante Rika menjadi bagian dari keluarga k
"Kamu tahu, Satya, asal-usul Rika nggak jelas. Kita juga nggak tahu apakah dia benar-benar wanita yang baik-baik. Papa hanya ingin yang terbaik untukmu dan Dinda," ucap Richard dengan tatapan tajam. "Aku paham, Pap. Tapi aku yakin, Papa pasti sudah menyelidiki Rika, bukan?" Satya menekankan ucapannya. Papanya mengangguk pelan, "Tentu saja. Tapi itu bukanlah jaminan. Papa belum tahu siapa orang tuanya." "Bagiku, yang terpenting bukanlah dari mana asal Rika. Bagiku, yang penting adalah Rika mencintai dan menyayangi Dinda dengan tulus. Dan yang tak kalah pentingnya, aku mencintainya," ujar Satya dengan tegas. “Lalu, bagaimana jika suatu saat keluarganya muncul? Bagaimana kalau dia terlahir dari orang tua yang berbuat kriminal? Bukankah itu akan jadi masalah buat kita? Kamu harus berpikir jauh ke depan Satya!” bentak Richard mengingatkan. Satya tersenyum lembut, "Untukku, siapa pun orang tua Rika bukanlah hal yang penting. Yang penting adalah aku akan menjalani hidup bersamanya. Aku p
"Rika," gumam Satya, suaranya lembut, "Tunggu sebentar di kamarmu, ya? Aku akan menemui papa dan mamaku terlebih dahulu."Rika mengangguk sopan, siap untuk menunggu. Namun, ketika ia hendak melangkah pergi, tiba-tiba Satya menarik lengan ringan Rika, menahannya."Tunggu," ucapnya pelan, lalu memeluknya dengan lembut. Rika merasakan hangatnya pelukan itu, bagai sebuah perlindungan yang tidak pernah dirasakannya. Rika merasakan detak jantung Satya yang seiring dengan detaknya sendiri.Setelah sesaat, Satya melepas pelukannya perlahan-lahan, dengan senyum hangat di wajahnya. Rika tersenyum balas, matanya berbinar oleh kehangatan yang ia rasakan. "Aku akan menunggumu," ucapnya dengan lembut sebelum berbalik dan meninggalkan ruang kerja Satya.Satya mengamatinya sejenak, melihat langkahnya yang ringan menjauh. Kemudian, dengan langkah mantap, dia melangkah ke ruang keluarga di mana papa dan mamanya baru saja tiba.Dengan hati yang gelisah, Satya melangkah masuk ke ruang keluarga di mana pa
Satya membuka pintu ruang kerjanya dengan langkah pasti, diikuti oleh Rika yang sedikit ragu. Ruangan itu tenang, hanya suara keributan dari luar yang terdengar samar-samar. Satya menoleh pada Rika dengan senyum hangat."Rika, tolong tutup pintu ruang kerja ini?" Rika menatap Satya dengan ekspresi ragu. Dia diam sejenak, seolah mempertimbangkan permintaan itu dengan serius. "Apakah kita seharusnya menutup pintu? Ini terasa sedikit aneh..." gumam Rika.Satya tersenyum, menangkap kebingungan Rika. Dia menghampiri pintu dan dengan lembut menutupnya. "Kita memang tidak biasa menutup pintu ini saat kita bicara pekerjaan, tapi terkadang privasi itu penting, bukan?"Rika mengangguk pelan, tetapi kebingungannya masih terlihat di wajahnya. Tiba-tiba, Satya berbalik dan tersenyum, membuat Rika terkejut. "Kenapa kaget, Rika? Apa yang kamu pikirkan?""Oh, nggak apa-apa. Aku hanya nggak nyangka pintu akan ditutup begitu tiba-tiba." Satya tersenyum lebih lebar lagi, melihat kebingungan Rika. "Aku m
“Eh, maksud Papa juga melanjutkan ngobrol. Hemm, tapi urusan Papa bukan hanya ngobrol saja, kok. Hemm, itu urusan pekerjaan juga. Biografi Papa dan menanyakan perkembanganmu,” jawab Satya sedikit gugup. Rika mengulum senyum melihat kegugupan Satya.“Oh, gitu. Iya, aku ngerti kok, Papa.” Dinda tersenyum ceria sok mengerti, namun hal itu membuat Satya lega. “Oke, Papa ke kamar dulu,” pamitnya melempar senyum lega pada Rika dan Dinda. Anggukan kecil terlihat dari Rika dan Dinda. Satya bergegas keluar dari kamar Rika.“Astaga anak itu buat aku bingung saja. Lagi pula kenapa datang di saat seperti itu sih. Mengganggu saja. Lho, kok aku kesal pada Dinda sih! Aduh bisa gila kalau begini,” Satya membatin sambil melangkah menuju kamarnya.Satya segera memasuki kamarnya dengan langkah cepat, sorot matanya penuh ketegangan. Dia mengambil ponselnya dan segera mencari nomor Raisa. Setelah menemukannya, dia menekan nomor tersebut. Setelah beberapa kali dering, suara Raisa akhirnya terdengar di sebe