Pagi itu, matahari bersinar terang, menerangi perjalanan Rika yang mengendarai motornya dengan penuh semangat. Tujuannya adalah rumah Satya Mahendra. Saat motornya sampai di depan gerbang rumah, senyum ramah pak satpam menyambut Rika.
Rika segera memarkir motornya dan berjalan menuju pintu depan. Ternyata, Dinda, sudah menunggunya dengan senyuman lebar di teras. "Akhirnya Tante Rika datang!" seru Dinda sambil melompat kegirangan. "Hai, Sayang. Wah, kamu kelihatan semangat sekali hari ini," ucap Rika membalas dengan senyuman lebar.
"Papa bilang, Tante akan berkeliling rumah untuk menggambarkan rumah kami dalam tulisan, benar? Aku yang akan menemani, Tante." Dinda berkata antusias. "Iya, benar sekali, Sayang,” sahut Rika.
"Tapi, sebelumnya, bisakah Tante membantuku mengerjakan PR matematika? Aku agak bingung," pinta Dinda dengan manis. Rika tersenyum mengangguk. "Tentu saja, aku akan bantu. Mari kita selesaikan PR-nya terlebih dahulu."
Mereka berdua pun masuk ke dalam rumah. Rika dengan sabar dan penuh kecerdasan menjelaskan konsep matematika kepada Dinda. Dengan cara yang jelas dan ramah, Rika membimbing Dinda memahami materi yang sebelumnya membingungkan.
"Oh, sekarang aku mengerti! Ternyata, Tante Rika sangat pintar!" ucap Dinda berseri-seri setelah berhasil menyelesaikan tugasnya.
Sementara itu, Satya yang diam-diam mengintip dari balik pintu terkesima melihat keakraban Rika dan putrinya. "Dia tidak hanya pandai menulis, tapi juga sangat cerdas," gumam Satya dengan bangga sambil tersenyum. Satya mengetuk pintu kamar Dinda yang pintunya tidak tertutup rapat, lalu melangkah menghampiri Rika dan Dinda.
“Selamat pagi, Pak. Maaf, saya nggak menemui Bapak dulu,” sapa Rika menganggukan kepala dengan hormat. “Nggak apa-apa. Saya memang sudah mengatakan pada Dinda untuk memandumu berkeliling rumah. Lalu, kenapa kamu malah di sini?” tanya Satya pura-pura tidak tahu.
“Aku yang minta Tante Rika ajarin PR, Pah. Aku nggak ngerti meski udah dijelasin guru les, tapi kalau Tante Rika yang jelasin, aku ngerti,” sela Dinda penuh semangat memuji Rika. "Terima kasih banyak, Rika sudah membantu Dinda. Saya akan memberikan bayaran lebih untuk itu,” ucap Satya datar.
Rika tersenyum lembut "Sama-sama, Pak Satya. Senang bisa membantu. Maaf, bukan saya sombong, tapi saya nggak bisa menerima bayaran untuk bantuan saya pada Dinda. Saya menyayanginya dengan tulus tanpa meminta imbalan, Pak," ucap Rika pelan tanpa mau membuat Satya merasa tidak enak.
“Tuh, Pah. Tante Rika ini baik banget, ‘kan? Aku juga sayang sama Tante, ayo kita keliling rumah!” ajak Dinda tersenyum lebar. Rika menatap Satya meminta persetujuan. Setelah mendapat anggukan dari Satya, Rika mengikuti Dinda keluar dari kamar meninggalkan Satya yang terlihat kagum pada Rika.
Satya langsung mengambil ponsel di dalam kantongnya, lalu menghubungi asisten kepecayaannya, Rendy.
Rendy : “Halo, Pak,” jawab Rendy.
Satya : “Halo, Ren. Tolong kirimkan data diri t penulis Rika Akana. Kirim ke email saya sekarang juga ya!”
Rendy : “Baik, Pak.”
Satya memutus sambungan telpon. Beberapa detik kemudian notif pesan ponselnya berbunyi. Dia melihat email yang masuk dan membaca dengan seksama. Keningnya mengernyit setelah membaca data diri Rika. “Oh, jadi Rika selama ini tinggal di panti asuhan dan tidak pernah tahu siapa orang tuanya,” gumam Satya menatap lurus membayangkan wajah Rika.
“Pak, saya pamit pulang dulu. Saya sudah punya bahan untuk tulisan awalan saya. Minggu depan saya akan datang lagi untuk menyerahkan tulisan pembuka,” pamit Rika ketika dia sudah berkeliling rumah bersama Dinda.
“Kalau perlu tiap hari datang ke rumahku, aku akan senang sekali, Tante,” rengek Dinda. Satya menajamkan tatapannya pada Dinda yang langsung menunduk sedih. “Oke, aku tunggu minggu depan,” sahut Satya. Rika berpamitan pada Dinda lalu keluar dari rumah besar itu. Dia mengendarai motornya hingga tiba di rumahnya.
Setelah mandi, Rika langsung duduk di meja kerjanya dengan fokus penuh. Dia mengetik dengan cepat untuk menyelesaikan naskah biografi Satya Mahendra. Di hadapannya terdapat beberapa catatan yang harus disusun dalam buku yang sedang ia kerjakan.
Tiba-tiba, pintu terbuka perlahan, bibi masuk ke dalam ruangan membawa piring berisi makanan kecil dan segelas jus segar. "Maaf mengganggu, Bu. Saya bawa camilan dan jus segar," ucap bibi. Rika tersenyum tipis sambil mengangguk. Bi Tina sudah lama bekerja di rumahnya.
"Bu, saya tahu perpisahan itu nggak pernah mudah. Percayalah, semua akan baik-baik saja," hibur bibi. Dia tahu, meski yang menginginkan perceraian itu adalah Rika, tapi hatinya pasti sedih dan kecewa atas pengkhianatan suaminya.
"Terima kasih, Bi. Ya, memang tidak mudah, tapi saya harus melanjutkan hidup dan fokus pada pekerjaan," sahut Rika mantap. Bi Tina mengangguk paham, membiarkan Rika dalam kesendirian. Dia meletakkan makanan di atas meja dan perlahan meninggalkan ruangan.
Beberapa menit berlalu, terdengar lagi ketukan pintu dari luar kamar. Setelah Rika mempersilahkan masuk, Bi Tina melangkah menghampiri Rika dengan wajah cemas. “Maaf, Bu. di luar ada Pak Andri dan calon istrinya, tapi—“ Bi Tina menjeda ucapannya. “Tapi apa, Bi?” tanya Rika. Bi Tina tampak ragu menjawab. “Tapi, ada mobil bak besar juga yang berhenti di depan rumah,” sahutnya cemas.
Hembusan nafas keluar dari mulut Rika, dia berdiri dan melangkah keluar menemui Andri dan Riana. “Aku sudah membereskan barang-barangmu dan pakaian yang tertinggal. Itu, lihatlah! Silahkan dibawa.” Rika menunjuk ke arah tiga koper yang tergeletak di dekat kursi tamu.
“Aku bukan hanya akan mengambil barang-barang remeh seperti itu. Aku akan mengambil barang-barang yang sudah aku beli!” ucap Andri lantang. “Maksudmu?” tanya Rika heran. “Barang-barang seperti kulkas, TV, aku beli pakai uangku. Jadi, aku akan membawanya!” teriaknya tanpa malu.
Mata Rika terbelalak mendengarnya. “Dasar laki-laki nggak mau rugi!” umpat Rika dalam hati. Namun, Rika tidak mau menghalangi niat Andri. Dia membiarkan Andri mengambil barang yang katanya miliknya itu.
Dua orang laki-laki masuk saat diperintah Andri dan membawa beberapa barang dari rumah Rika lalu memindahkan ke mobil bak yang terparkir di depan rumahnya. Melihat kelakuan mantan suaminya, Rika merasa beruntung mengambil keputusan bercerai.
“Tante!!” Rika dikejutkan dengan teriakan suara yang sangat dikenalnya. Senyuman hangat menghiasi wajah Rika melihat kedatangan Dinda bersama Satya. Laki-laki berperawakan tinggi, dengan wajah tampan itu tersenyum menatap Rika.
Indra dan Riana saling bertatapan, dalam hati mereka bertanya-tanya siapa laki-laki yang datang tersebut. Indra mengingat dengan jelas, anak yang datang itu pernah bersama Rika saat mereka bertemu di sebuah mall beberapa waktu lalu.
“Tante, aku kangen. Mentang-mentang urusan pekerjaan Tante sudah selesai, kok Tante nggak pernah main lagi ke rumahku? Bukankah, Tante janji akan sering main ke rumahku meski urusan dengan Papa udah selesai,” protes Dinda merengek manja. Rika menatap Satya, merasa tidak enak karena saat berjanji pada Dinda, dia tidak berpikir serius.
“Maaf, saya nggak memberi kabar dulu kalau mau datang. Sepertinya waktunya tidak tepat,” sesal Satya, melihat ada beberapa barang yang sedang diangkut. Satya juga melihat ada tamu di rumah Rika.
“Nggak apa-apa, Pak,” sahut Rika tersenyum tipis. Dinda mengalihkan pandangan pada Andri dan menatapnya lekat-lekat. “Tante, bukankah itu suami tante yang mau bercerai?” bisik Dinda. Saat Dinda berbisik, Satya mendengarnya.
Rika tidak mau Satya merasa tidak nyaman, dia langsung mengenalkan Andri kepada Satya. “Oh iya. Kenalkan, ini mantan suami saya dengan calon istrinya. Mereka sedang mengambil barang yang tertinggal di rumah saya,” jelas Rika. Satya mengernyitkan keningnya karena informasi ini tidak dia dapatkan dari Rendy.
Saat Satya mengulurkan tangannya, dengan angkuh Andri tidak menyambutnya. Dia malah melangkah menghindar dan menghampiri Rika. “Baru berstatus janda, sudah gatel didekat laki-laki!” ucapnya dengan sinis seraya melangkah pergi diikuti Riana. Mata Satya melotot hendak mengejarnya.
Suasana menjadi tegang ketika Satya tiba-tiba meluapkan kemarahannya kepada Andri, mantan suami Rika, yang sudah mengabaikannya bahkan berkata tidak sopan pada Rika. Satya bicara dengan suara keras memecah keheningan, hingga teriakkannya menghentikan langkah Andri. “Hey! Apa maksud perkataanmu?” teriak Satya lantang. Andri berbalik dan menatap Satya dengan tatapan dingin. “Ah, ini bukan urusanmu. Kamu nggak tahu apa-apa. Jadi, nggak usah ikut campur!” balas Andri dengan suara tinggi. Ucapan Andri memancing emosi Satya. “Aku tidak peduli! Yang jelas kamu tidak memiliki hak untuk menyakiti perasaan Rika dengan kata-kata kasar seperti itu!” bentak Satya tegas. Andri mengangkat bahunya. “Asal anda tahu. Rika, nggak bisa menerima kenyataan, kenapa aku mencari wanita lain,” ejeknya dengan senyuman miring. Terlihat senyuman mengejek, terukir di bibir Riana. “Justru, Rika tahu. Melepaskanmu, adalah cara terbaik untuk memperbaiki hidupnya!” Satya meninggikan suaranya. Meski Rika tidak mencer
"Pah, boleh ya, aku menginap di rumah Tante Rika malam ini?" desak Dinda, sambil menyuguhkan senyum manisnya. Satya masih terdiam, tatapan cemasnya tergambar jelas di wajah tampannya. Sebuah kekhawatiran yang tak terucapkan. Rika memang wanita baik, namun tetap saja Satya ragu untuk memberikan izin pada putrinya. "Boleh, ya, Pah?" Desakan lembut Dinda terdengar lagi. Satya merasa kebingungan, mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan rasa kekhawatirannya tanpa membuat Dinda kecewa. Namun, sebelum dia bisa menjawab, Rika, melihat kekhawatiran di wajah Satya melepas putrinya, langsung memberi pengertian pada Dinda. "Dinda, Sayang, kamu nggak perlu menginap, kamu bisa datang ke rumah Tante setelah pulang sekolah. Kita bisa mengerjakan PR bersama, atau jika kamu ingin bercerita tentang teman-temanmu Tante selalu siap mendengarkan. Tante akan menunggumu, bagaimana?" Rika berkata dengan lembut. Rika sangat memahami perasaan Dinda yang membutuhkan kasih sayang seorang ibu, karena dia
Satya melangkah tergesa-gesa di belakang Rika yang memimpin jalan menuju kamar. Wajahnya cemas, tetapi Satya mencoba menenangkan diri dari kepanikannya. "Rika, apa yang terjadi dengan Dinda?" desisnya, mencoba mengendalikan kecemasannya.Rika memasuki kamar dengan langkah cepat, Satya mengikutinya dengan tatapan khawatir yang tak bisa disembunyikan. "Dia seharusnya baik-baik saja, Pak Satya. Saya yakin itu hanya karena siklusnya," jawab Rika, mencoba memberikan penjelasan yang dapat menenangkan Satya.Namun, begitu mereka berdua melihat Dinda berbaring dengan wajah pucat, ekspresi panik kembali menghampiri wajah Satya. "Dinda, Sayang, apa yang terjadi? Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Satya dengan nada khawatir, hampir tanpa jeda.Dinda menatap mereka dengan wajah lemah, "Aku hanya merasa nggak enak badan, Pap. Aku rasa hanya perlu istirahat," jawab Dinda, mencoba meyakinkan mereka.Saat Rika hendak menjawab, Dinda memotong, "Tante Rika, jika tulisan biografi Papa sudah selesai, apa
Satya duduk di ruang tamu, menimbang-nimbang kemungkinan untuk mengajak Rika untuk bekerja bersamanya. Dia mengetuk-ngetukkan jari di meja sambil memikirkan cara terbaik untuk menyampaikan rencananya. Lalu, dia melangkah ke kamar tamu untuk menemui Rika dan Dinda.Dia berdiri di depan pintu kamar tamu, dia bisa mendengar tawa ceria Dinda yang terdengar menyenangkan. Dalam hatinya, Satya merasa lega melihat putrinya bisa begitu dekat dengan Rika. Satya mengayunkan tangan dan mengetuk pelan kamar tamu.“Boleh, Papa masuk?” tanya Satya dari luar kamar. "Iya, Pah, masuk aja!" seru Dinda dari dalam kamar. Dengan perlahan, Satya membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam ruangan kamar."Papa lihat kamu gembira sekali, Dinda?" sapa Satya ramah sambil tersenyum pada mereka berdua. "Tentu dong, Pah. Aku senang karena ada teman curhat!" jawab Dinda melirik Rika sembari tersenyum senang.“Oh, iya. Bagaimana kondisi Dinda menurut dokter, Pak?” tanya Rika penuh perhatian. “Dia baik-baik saja, sepe
Pagi itu, sinar mentari masih malu-malu menerobos tirai jendela kamar. Alarm adzan subuh berbunyi dengan lembut. Dengan gerakan setengah sadar, Rika menggapai ponselnya yang bergetar di atas meja.Setelah menunaikan sholat subuh, Rika melangkah ke balkon kamar Dinda. Dari sana, pemandangan taman belakang rumah yang asri terhampar indah di hadapannya. Dinda, dengan rambut yang masih sedikit berantakan dan mata yang sedikit mengantuk, merasakan sentuhan udara pagi melangkah menghampiri Rika.“Tante, sudah bangun,” sapa Dinda. Rika menoleh dan tersenyum tipis. "Sudah, Sayang. Oh iya, perutmu tidak terasa sakit lagi, Din?" tanya Rika sambil memandang ke arah matahari yang mulai menampakkan keberadaannya di ufuk timur.Dinda mengangguk pelan. "Iya, Tante. Alhamdulillah, sudah nggak terlalu sakit seperti semalam," jawab Dinda mengembangkan senyumnya. Rika tersenyum lega mendengarnya."Baguslah kalau begitu. Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar
Rika melangkah perlahan menuju ruang makan. Mentari pagi yang lembut menyinari langit, memberikan kehangatan pada rumah itu.Ketika dia tiba di ruang makan, matanya langsung bertemu dengan wajah Dinda yang duduk di meja dengan sepiring pancake yang masih mengeluarkan uap. Dinda yang selalu terlihat energik dan ceria. Namun, kali ini ada keraguan yang tersemat di wajahnya, Dinda tampak sedang berpikir. “Ah, Dinda. Rasanya aku sulit meninggalkanmu,” batin Rika."Dinda!" sapanya sambil tersenyum. Pandangan Dinda melambat saat dia menoleh ke arah Rika, senyumnya terlihat ragu. "Tante Rika. Sudah bicara dengan papa?" tanyanya dengan tatapan sendu. Rika mengangguk dan duduk di kursi yang kosong di seberang Dinda. "Iya, Sayang. Wah, pancake wangi sekali," ujar Rika mencoba mencairkan suasana. Rika tahu Dinda sedang khawatir.Dinda tersenyum tipis, tapi ekspresinya segera berubah serius. "Tante Rika, aku harus tanyakan sesuatu. Apakah, Tante sudah menyelesaikan pekerjaan menulis buku biografi
Rika memasuki rumahnya dengan hati-hati, sambil melangkah dalam hati memikirkan kehadiran tiba-tiba mantan ibu mertuanya. Dia berharap kunjungan itu bukanlah awal dari masalah baru."Ibu, ada apa?" Rika mencoba tersenyum ramah sambil berjalan menuju ruang tamu, mencoba menahan rasa khawatirnya.“Dari mana saja, kamu? Bi Tina bilang, kamu menginap. Wah, baru berstatus janda langsung merasa bebas. Kamu tidur di hotel dengan laki-laki mana? Mentang-mentang mandul jadi bisa bebas!” maki ibu mertua dengan hinaan tanpa jeda, saat melihat Rika datang. Rika mengepalkan tangannya dengan mata membesar. “Maaf, itu bukan urusan ibu lagi. Aku bukan tanggung jawab Mas Andri lagi. Ibu harus ingat kalau kami sudah bercerai. Jadi, apapun yang aku lakukan, bukan menjadi urusan Mas Andri atau keluarganya lagi. Ada perlu apa, Ibu datang ke sini?” sahut Rika membalas ketus. Rika tidak mau lagi diam saat hinaan menghujamnya.“Wah, sombong sekali sekarang, kamu! Apa mentang-mentang bisa mencari uang, lanta
Dengan cepat Rika menggeser layar ponsel untuk menjawab panggilan dari Andri, meski dalam hati dia merasa enggan berurusan lagi dengannya.“Halo, ada apa lagi, Mas?” tanya Rika ketus.“Rika, ibuku masih ada di sana?” tanyanya dengan tergesa.“Ibu, baru saja keluar dari rumahku. Coba kamu telepon saja ke ponselnya,” sahut Rika dengan nada malas.“Aduh, masalahnya ponsel ibu nggak aktif. Padahal aku mau bilang, kalau aku mau pergi bersama Riana. Tadi dia mengatakan mau ke rumahku, tapi Riana ada perlu dengan temannya dan minta aku antarkan,” jelas Andri. Rika mendengarkan dengan malas.“Kamu tunggu saja dulu ibumu, jarak dari rumahku ke rumah kontrakanmu tidak jauh. Kasihan dia, nanti sudah jauh-jauh tidak ada orang di rumahmu,” saran Rika. “Ah, nggak usah sok ngajarin deh, kamu. Ya udah, aku pikir ibu masih ada di sana,” ucapnya lalu memutus sambungan telpon.Rika membuang nafas kasar. “Huhh, dasar laki-laki nggak pernah berubah, benar-benar egois!” umpat Rika dengan mata menyipit. Ti
Terdengar suara langkah kaki yang makin lama makin mendekat. Semua menatap ke ambang pintu, melihat siapa yang datang."Riana!" teriak Nia. Riana yang berdiri di ambang pintu menatap ke arah Raisa dan Maharani bergantian. "Aduh maaf aku datang ke sini nggak bilang-bilang Ibu, ternyata Ibu sedang ada tamu. Aku menunggu di dalam saja ya, " ujar Riana sambil tersenyum."Eh nggak apa-apa, ayo sini masuk. Ibu Maharani, kenalkan ini menantu saya Riana namanya. Dia baru menikah dengan Andri, satu bulan yang lalu." Nia memperkenalkan Riana kepada Maharani, dengan harapan akan mendukung ceritanya tentang kejelekan Rika. Raisa tersenyum menyeringai melihat sandiwara yang sudah diaturnya berhasil. Raisa memang sengaja menyuruh Nia untuk memperlengkap cerita, menjelekkan Rika dengan kedatangan Riana.Riana menghampiri Maharani dan Raisa sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya. Maharani berdiri dan menyambut uluran tangan dari Riana sambil memperkenalkan diri. "Riana sini duduklah dekat ibu." N
Keesokan paginya, sinar matahari mulai menerangi rumah mewah keluarga Mahendra. Nyonya Maharani duduk di meja makan, menikmati secangkir the setelah mereka sarapan bersama. "Sudah siap berangkat, Satya dan Papa?" tanya Nyonya Maharani, senyum tipis terukir di bibirnya.Satya mengangguk, "Ya, Ma. Aku akan berangkat sekarang. Sampai nanti." Satya mencium Dinda yang masih duduk di meja makan. Hari itu Satya dan Richard memang ada meeting pagi hari, jadi dia tidak mau terlambat karena terjebak kemacetan jalanan.Dengan senyum hangat, Nyonya Maharani melambaikan tangan pada Satya dan suaminya yang melangkah keluar rumah. Dinda pun berpamitan untuk berangkat ke sekolah.“Oma, aku juga berangkat sekolah dulu, ya,” ujar Dinda sambil menggendong tas sekolahnya. Rika membantu Dinda membetulkan tasnya dan melangkah keluar rumah bersama Dinda, karena hari itu Rika ada perlu bertemu orang penerbitan.“Iya, hati-hatilah.” Maharani tersenyum melepas kepergian cucunya. Begitu mereka pergi dan tak te
“Nggak, Sayang. Papamu nggak tahu, kalau Tante datang. Tante sengaja nggak memberitahunya karena Tante datang untuk menyapa Oma dan Opamu,” sahut Raisa lembut. Dinda mengernyitkan keningnya.“Bukankah, papaku nggak suka kalau Tante datang ke sini? Lalu, kenapa masih datang?” Dinda menajamkan tatapannya. Mendengar ucapan Dinda membuat Raisa kesal, namun terlihat jelas dia berusaha menguasai amarahnya.“Dinda, Sayang. Mungkin Tante Raisa ingin menyapa Oma, bukan bertemu papamu,” bela Maharani tidak mau suasana semakin memanas. Meski dia juga tidak suka Raisa datang, namun Maharani tidak mau kalau cucunya berkata tidak sopan. Dinda tertunduk merasa bersalah akan teguran omanya.“Baiklah, silahkan lanjutkan ngobrolnya. Aku juga mau kerjakan PR sekolahku bersama Tante Rika.” Dinda menatap Raisa kesal, lalu pergi menuju kamarnya.“Hemm, sepertinya Dinda tidak menyukaimu,” desis Maharani tajam. Raisa memaksakan senyumannya. “Iya, itu pasti karena hasutan Rika,” tuduhnya dengan tatapan sinis.
“Halo, apa kabar, Tante?” sapanya ramah, dengan senyuman mengembang. "Raisa," ucapnya pelan, suaranya tersirat dengan rasa takut dan kekecewaan. Raisa tersenyum lembut, seperti biasa, seakan dia tidak membawa beban masa lalu yang rumit."Hai, Tante Maharani. Maaf datang tanpa pemberitahuan sebelumnya," katanya sopan sambil tersenyum menatap Maharani. Maharani hanya mengangguk pelan, dia mencoba menahan kecanggungan yang melanda hatinya. Kekesalannya pada Raisa akan kejadian masa lalu, muncul kembali."Nggak masalah. Silakan duduk," ucapnya singkat, mencoba menunjukkan kesopanan meski hatinya terusik oleh kehadiran Raisa. Dia ingat siapa Raisa, wanita yang pernah menolak Satya ketika Satya ingin menikahinya. Padahal saat itu mereka menjalin hubungan.Raisa duduk di hadapannya, menatap Maharani dengan penuh pengertian. "Terima kasih, Tante," ucapnya. "Aku tahu kehadiranku mungkin mengejutkan Tante. Tapi aku ingin bicara tentang Satya." Raisa berkata lantang.Maharani menegangkan dirinya
“Iya, Oma udah ketemu dengannya. Apakah dia benar-benar baik padamu, Sayang?” tanya oma penuh penekanan seakan ingin meyakinkan dirinya. "Iya, Oma. Tante Rika sangat membantu Dinda dalam tugas-tugas sekolah dan selalu mengawasiku," ungkap Dinda dengan bangga.Oma tersenyum lega. "Itu bagus. Oma senang kalau tante Rika selalu baik padamu." Namun, tatapan Oma tiba-tiba berubah menjadi serius. "Tapi, Dinda, apakah kamu tahu kalau tante Rika itu akan menjadi calon Mama Dinda?"Dinda terkejut mendengarnya. "Eh, Oma udah tahu?" Oma mengangguk perlahan. "Iya, Sayang. Papamu memberitahu kalau dia mencintai Rika. Dia ingin menikahinya."Dinda terdiam sejenak, kemudian, dia tersenyum cerah. "Dinda tahu, Oma. Bahkan, Dinda yang meminta Papa untuk menikah dengan tante Rika." Oma mengernyitkan keningnya terkejut mendengarnya. "Oh, benarkah? Kenapa, Sayang?""Dinda sangat menyayangi tante Rika, Oma. Dia selalu baik padaku dan selalu ada untukku. Dinda ingin tante Rika menjadi bagian dari keluarga k
"Kamu tahu, Satya, asal-usul Rika nggak jelas. Kita juga nggak tahu apakah dia benar-benar wanita yang baik-baik. Papa hanya ingin yang terbaik untukmu dan Dinda," ucap Richard dengan tatapan tajam. "Aku paham, Pap. Tapi aku yakin, Papa pasti sudah menyelidiki Rika, bukan?" Satya menekankan ucapannya. Papanya mengangguk pelan, "Tentu saja. Tapi itu bukanlah jaminan. Papa belum tahu siapa orang tuanya." "Bagiku, yang terpenting bukanlah dari mana asal Rika. Bagiku, yang penting adalah Rika mencintai dan menyayangi Dinda dengan tulus. Dan yang tak kalah pentingnya, aku mencintainya," ujar Satya dengan tegas. “Lalu, bagaimana jika suatu saat keluarganya muncul? Bagaimana kalau dia terlahir dari orang tua yang berbuat kriminal? Bukankah itu akan jadi masalah buat kita? Kamu harus berpikir jauh ke depan Satya!” bentak Richard mengingatkan. Satya tersenyum lembut, "Untukku, siapa pun orang tua Rika bukanlah hal yang penting. Yang penting adalah aku akan menjalani hidup bersamanya. Aku p
"Rika," gumam Satya, suaranya lembut, "Tunggu sebentar di kamarmu, ya? Aku akan menemui papa dan mamaku terlebih dahulu."Rika mengangguk sopan, siap untuk menunggu. Namun, ketika ia hendak melangkah pergi, tiba-tiba Satya menarik lengan ringan Rika, menahannya."Tunggu," ucapnya pelan, lalu memeluknya dengan lembut. Rika merasakan hangatnya pelukan itu, bagai sebuah perlindungan yang tidak pernah dirasakannya. Rika merasakan detak jantung Satya yang seiring dengan detaknya sendiri.Setelah sesaat, Satya melepas pelukannya perlahan-lahan, dengan senyum hangat di wajahnya. Rika tersenyum balas, matanya berbinar oleh kehangatan yang ia rasakan. "Aku akan menunggumu," ucapnya dengan lembut sebelum berbalik dan meninggalkan ruang kerja Satya.Satya mengamatinya sejenak, melihat langkahnya yang ringan menjauh. Kemudian, dengan langkah mantap, dia melangkah ke ruang keluarga di mana papa dan mamanya baru saja tiba.Dengan hati yang gelisah, Satya melangkah masuk ke ruang keluarga di mana pa
Satya membuka pintu ruang kerjanya dengan langkah pasti, diikuti oleh Rika yang sedikit ragu. Ruangan itu tenang, hanya suara keributan dari luar yang terdengar samar-samar. Satya menoleh pada Rika dengan senyum hangat."Rika, tolong tutup pintu ruang kerja ini?" Rika menatap Satya dengan ekspresi ragu. Dia diam sejenak, seolah mempertimbangkan permintaan itu dengan serius. "Apakah kita seharusnya menutup pintu? Ini terasa sedikit aneh..." gumam Rika.Satya tersenyum, menangkap kebingungan Rika. Dia menghampiri pintu dan dengan lembut menutupnya. "Kita memang tidak biasa menutup pintu ini saat kita bicara pekerjaan, tapi terkadang privasi itu penting, bukan?"Rika mengangguk pelan, tetapi kebingungannya masih terlihat di wajahnya. Tiba-tiba, Satya berbalik dan tersenyum, membuat Rika terkejut. "Kenapa kaget, Rika? Apa yang kamu pikirkan?""Oh, nggak apa-apa. Aku hanya nggak nyangka pintu akan ditutup begitu tiba-tiba." Satya tersenyum lebih lebar lagi, melihat kebingungan Rika. "Aku m
“Eh, maksud Papa juga melanjutkan ngobrol. Hemm, tapi urusan Papa bukan hanya ngobrol saja, kok. Hemm, itu urusan pekerjaan juga. Biografi Papa dan menanyakan perkembanganmu,” jawab Satya sedikit gugup. Rika mengulum senyum melihat kegugupan Satya.“Oh, gitu. Iya, aku ngerti kok, Papa.” Dinda tersenyum ceria sok mengerti, namun hal itu membuat Satya lega. “Oke, Papa ke kamar dulu,” pamitnya melempar senyum lega pada Rika dan Dinda. Anggukan kecil terlihat dari Rika dan Dinda. Satya bergegas keluar dari kamar Rika.“Astaga anak itu buat aku bingung saja. Lagi pula kenapa datang di saat seperti itu sih. Mengganggu saja. Lho, kok aku kesal pada Dinda sih! Aduh bisa gila kalau begini,” Satya membatin sambil melangkah menuju kamarnya.Satya segera memasuki kamarnya dengan langkah cepat, sorot matanya penuh ketegangan. Dia mengambil ponselnya dan segera mencari nomor Raisa. Setelah menemukannya, dia menekan nomor tersebut. Setelah beberapa kali dering, suara Raisa akhirnya terdengar di sebe