“Dih. Andreas kan nggak tinggal di kota ini, ngapain beli rumah di sini.” Rere mencebik kesal mendengar laporan sang kakak tentang pertemuannya dengan sang mantan.“Itu lah. Padahal, aku sudah suka perumahannya. Fasilitas untuk anak-anak lengkap dan keamanannya terjamin. Harganya juga masih terjangkau.”Vina menghela napas berat. Dengan begini, ia harus kembali mencari perumahan baru yang lebih nyaman. Lalu, Vina teringat tentang pekerjaan Ayla.“Re, Ayla juga kerja sebagai manager di salah satu butik brand Dylan, lho.”Rere langsung menampakkan wajah penasaran. Ekspresinya berubah-ubah saat mendengar sang kakak bercerita sampai pada saat Vina meminta Dylan menyamarkan namanya karena tidak ingin diketahui Ayla.“Kak, kenapa sih Kak Vina menghindari mereka terus? Katanya sudah move on?”“Nggak tau, sepertinya aku belum siap.”Mereka berhenti sebentar saat Clara melambai. Vina dan Rere memang sedang menunggui Clara les piano. Entah kenapa anak itu sesekali melongok ke jendela dan tersen
Rere menceritakan percakapannya dengan Justin pada Vina. Sambil masak makan malam, Vina terlihat tidak merespon cerita sang adik.“Kakakku tuh banyak yang suka. Kakak ingat Om Barry, kan? Klien kakak di butik?”Vina berpikir sejenak. “Om-nya Rendra, kan? Duda tanpa anak itu?”“Betul! Beliau sering sekali menanyakan kakak. Bahkan sejak kakak tidak bekerja di butik, ia jarang datang dan belanja di sana. Berarti selama ini modus saja belanja karena hanya ingin ketemu Kak Vina."“Baik kok orangnya. Cuma ya, aku harus bersikap profesional saat bekerja.”“Waktu aku dan Clara datang ke rumah Rendra untuk makan malam, ia sering mengajak Clara ngobrol.”Vina tidak menanggapi. Makan malam sudah siap. Rere membangunkan Clara.Tapi, ia langsung tergopoh ke dapur kembali. “Kak, badan Clara panas.”Tanpa pikir panjang, Vina segera membawa Clara ke rumah sakit. Dalam perjalanan, Rere menelepon Rendra dan menceritakan keadaan Clara.Di pintu ruang gawat darurat, Rendra sudah menunggu. Kebetulan, ia m
Vina menanggapi dengan senyum dan anggukan kepala. Ia menghela napas lega saat keluarga Rendra berpamitan.Suasana kembali sepi. Vina menyuapi putrinya makan sambil bercerita tentang penyakit yang menyebabkan Clara sakit.“Jadi, sekarang Clara harus ingat untuk selalu cuci tangan, ya.”‘Iya, mommy.”“Apa lengannya yang ditusuk jarum infus masih sakit?”“Sedikit. Kalau Ara gerak-gerak baru lebih sakit.”“Sabar, ya. Semoga besok, Clara sudah bisa pulang.”Sore hari setelah kuliah, Rere datang untuk gantian menjaga Clara. Vina lalu pulang, mandi dan tidur sebentar. Malamnya, Vina akan kembali menginap di rumah sakit.Clara tidur setelah minum obat. Rere duduk santai sambil bermain ponsel. Tiba-tiba, ia mendapat satu notifikasi yang membuatnya terlonjak senang.Lano sedang mengaktifkan siaran langsung. Rere segera masuk ke dalam siaran tersebut.“Hai, Goldies. Sudah lama aku tidak menyapa kalian.” Dylan melambai di layar ponsel.Berbagai komentar langsung menyerbu akun Dylan tersebut. Sak
"Kak! Jangan bikin kaget!" Rere memberengut seraya mengambil ponselnya yang tergelincir dari tangan.Vina hanya terkekeh. Ia meletakkan telapak tangan ke dahi sang putri dan tersenyum lega."Sudah nggak demam, ya. Anak pintar.""Kalau habis minum obat memang adem badannya. Tapi, setelah enam jam biasanya mulai agak demam lagi.""Iya, sih. Tapi demam biasa saja, nggak sampai panas banget suhunya."Rere mengangguk. Ia melirik layar ponsel, mengira ada pesan dari Dylan. Ternyata hanya Rendra yang mengajaknya makan di kafe rumah sakit.Tetapi, Rere melihat Vina membawa bekal makan malam untuknya. Ia berpikir sejenak lalu berkata pada sang kakak."Aku lapar, Kak.""Ini, aku sudah masakin. Makanlah.""Kak Vina sudah makan?""Sudah, di rumah. Aku nggak bisa istirahat karena kepikiran Clara jadi habis beberes langsung ke sini aja."Rere mengangguk. Ia mengetik pesan pada Rendra untuk menunggunya di kafe saja."Dokter belum visit, Kak. Mungkin sebentar lagi. Kata suster tadi, dokternya masih d
PENGUMUMAN. Pemenang undian berhadiah rumah dan isinya jatuh pada Nyonya Arvina Whitney.Detik berikutnya, Rere berjingkrak-jingkrak kegirangan, sementara Vina terduduk lemas di lantai. Matanya tetap menatap layar ponsel dengan kepala menggeleng-geleng tak percaya.“Ini nggak mungkin, Re. Kita baru saja ikut undian ini tadi pagi. Masa sekarang sudah ada pengumumannya?”“Tadi, Marketing Hank itu kan bilang, hari ini terakhir pendaftaran undian.”Saking tidak percayanya, Vina menelepon nomer pusat perumahan. Rere ikut menguping pembicaraan tersebut, hingga akhirnya mereka benar-benar percaya.“Ya Tuhan, Re! Kita punya rumah.” Kini, Vina menangis tanpa suara. Air matanya deras mengalir di pipi.Meski Rere tau ini ada campur tangan dari Lano, tetap saja ia terharu. Diam-diam, Rere memfoto kakaknya yang masih menangis.“Aku nggak tau bagaimana kamu melakukannya. Yang jelas, kakakku bahagia. Terima kasih.” Rere mengirim pesan tersebut ke akun agensi Lano.Pesan itu langsung terbaca. Namun,
Wajah Dylan tegang saat masuk ke kamar Tamara. Ia melihat kedua kakaknya sedang bersantai dengan sebotol soda di tangan.“Hai, Lano. Sini duduk. Kok cepat sekali meetingnya.” Marcel menyambut sang adik dan menepuk sisi kursi di sampingnya.Dylan tidak menjawab. Ia duduk di kursi yang di sisi Marcel dan minum sebotol soda yang tersedia di meja.“Rapatnya memang cepat, malah lebih lama ngobrol dengan Uncle Dennis.”“Memangnya kalian ngobrolin apa?"“Tentang bagaimana Uncle Dennis dan kalian sepakat menjodohkanku dengan Genia.” Dylan melirik kedua kakaknya dengan wajah sebal.Hening kemudian. Tamara dan Marcel saling berpandangan sejenak. Hingga akhirnya, Tamara sebagai kakak sulung bicara.“Genia adalah wanita muda yang cantik dan baik. Keluarganya juga terpandang. Kami pikir tidak ada salahnya mendekatkannya denganmu.”Dylan mendengus pelan. “Baik bagi kalian, belum tentu bagiku, kan?”“Kamu hanya tinggal membuka diri pada Genia.”“Kalau aku tidak mau?”Tamara dan Marcel kembali saling
“Kalaupun aku jatuh cinta. Aku merasakannya pada wanita yang tepat, karena Vina adalah wanita yang membuatku nyaman. Bukan seperti wanita berisik yang kalian jodohkan padaku!”Dylan segera pergi meninggalkan kakak-kakaknya. Di belakangnya, seorang pengawal membuntuti. Dylan masuk ke kamarnya.“Apa Rere memberi kabar lagi?” Dylan bertanya pada sang pengawal.“Belum, Tuan Lano.”Sekarang, ia jadi sering mengecek kabar Vina. Sehari bisa lima kali ia bertanya pada pengawalnya.Dylan duduk di depan piano dan bersenandung pelan. Ia merasa hari-harinya lebih hampa sekarang. Dylan tidak menoleh saat terdengar ketukan di pintu.“Dylan, mau aku ambilkan cemilan? Nanti malam kamu ada syuting musik video, jadi tidak bisa makan berat.”Suara Genia itu sungguh menganggu. Dylan tidak mempedulikannya. Ia tetap memainkan piano sambil bersenandung.Hingga bahunya di sentuh dan Dylan menoleh cepat. Di sampingnya Genia tersenyum dengan manis.“Mau cemilan sebelum syuting? Aku takut kamu lapar karena nant
“Saya belum sempat melihatnya, Tuan.” Juan berkata santun.Dylan mengangguk. Mereka kembali ke kamar hotel. Juan juga ikut masuk ke kamar Dylan.Tamara dan Marcel yang melihat langsung menggeleng berbarengan. Juan seringkali diminta tidur di kamar Dylan akhir-akhir ini. Bahkan ekstra bed untuk Juan tidak pernah berpindah tempat.“Apa Lano segitu kesepiannya?”Tamara mengembuskan napas panjang mendengar pertanyaan Marcel. Sejak Lano berterus-terang tentang hidupnya, Tamara jadi merasa bersalah.“Rencana kita makan malam dengan keluarga Genia juga batal. Uncle Dennis pun telah membatalkan acara tersebut dengan mengirimkan bingkisan permohonan maaf.”“Untungnya Lano adalah artis besar dan pebisnis sukses, jadi mereka paham dengan alasan Lano sedang sibuk saat ini.”“Tapi, kupikir-pikir, Lano memang sangat tidak menyukai Genia.”“Pernah dengar istilah benci jadi cinta? Siapa tau itu terjadi pada Lano dan Genia.”Kakak-kakak Dylan masuk ke kamar masing-masing. Mereka berjanji untuk kembali
Dylan masuk ke dalam butik bersama dua orang pengawal. Vina menunggu signal di mobil dari Dylan untuk masuk. Sambil menunggu Vina membenahi penampilannya.Sesungguhnya, Vina tidak tau harus berbuat apa di depan Ayla. Namun, Dylan mendesaknya untuk mengikuti alur sandiwara yang dibuat. Semakin menit berlalu, jantung Vina semakin bertalu.“Selamat pagi, Lano. Selamat datang di butik.” Ayla tersenyum sangat manis dan mengulurkan tangannya untuk berjabatan.Pengawal di sisi Dylan langsung menggeleng. Ayla mengangguk singkat lalu menurunkan tangan. Tampak sedikit malu karena uluran tangannya diabaikan.Dylan berkeliling butik ditemani Ayla. Hingga kemudian, wanita itu membuka satu pintu di sampingnya.“Silahkan, Lano. Di sini kita bisa bicara private.” Dengan percaya diri, Ayla menawarkan ruangannya.“Aku ke sini bukan untuk bicara private. Setiap ke butik biasanya aku melihat laporan keseluruhan.” Dylan berkata tanpa menatap wajah Ayla.“Iya. Maksudku begitu. Kita bicara tentang laporan i
Dua hari kemudian, pengacara datang ke rumah Vina. Ia menyerahkan dokumen pernikahan Vina dan Dylan dan akte lahir Clara dengan nama keluarga Dylan.“Aku saja yang simpan dokumennya.” Dylan berkata pada Vina. “Biar kamu tidak bisa coba-coba mendaftarkan perceraian lagi!”Vina mencebik. “Ngapain juga bercerai. Paling kalau kamu ketauan selingkuh, aku kabur aja dan kali ini untuk selamanya.”“Wah, wah sudah mulai pake ancaman nih? Berani kamu kabur lagi dariku?” Dylan menarik istrinya ke dalam dekapan.“Berani aja. Aku sudah biasa hidup mandiri.”Dylan mengangkat jari telunjuk dan tengahnya. “Aku janji. Tapi, jangan cemburu kalau aku dekat dengan Goldies atau teman duet di panggung, atau meeting bersama wanita-wanita pengusaha.”“Oke. Aku nggak cemburu tapi sebaiknya kamu berinteraksi dalam batas normal saja.”“Siap.”Mereka bersiap mengantar Clara ke sekolah. Dylan meminta Vina berdandan rapi seperti hendak bekerja.“Kamu ada meeting di sini?”“Iya. Kamu ikut.”“Jadi, aku dipekerjakan
“Lano itu Daddy Dylan?” Clara mengerutkan kening saat Dylan bicara jujur pada putrinya.Saat Dylan dan Vina mengangguk berbarengan, Clara masih menampakkan wajah tak percaya. Sepertinya mereka bertiga butuh bicara lebih serius.“Clara kenal Lano dari mana?” Dylan bertanya sambil tetap fokus menyetir.“Dari Auntie Rere. Auntie kan denger lagu Lano teruss. Di kamar Auntie juga banyak foto-foto Lano.”Dylan terkekeh sambil menggeleng. “Foto di kamar Auntie Rere sama kan seperti daddy.”Clara terdiam. Anak perempuan itu tampak berpikir keras, lalu menggeleng. “Ara nggak mau daddynya Lano, maunya Daddy Dylan.”“Lho, kok gitu?”“Kata Auntie Rere, Lano itu sulit digapai. Nggak real.” Clara berkata dengan meniru nada dan mimik Rere.“Astaga.” Dylan tergelak, sementara Vina menepuk dahinya.Pembicaraan itu terhenti karena mereka telah sampai di rumah. Dylan membuka pintu untuk Vina dan Clara. Lalu, dengan satu tangan mengangkat Clara dalam gendongannya.“Clara sudah empat tahun. Nggak perlu ka
Ruang keluarga Vina tiba-tiba menjadi ruang rapat dadakan. Selain Tamara dan Marcel, ia kedatangan pengawal inti, petinggi agensi dan pengacara pribadi keluarga Richmont.Jangan tanya bagaimana mereka semua bisa ada di sini di waktu bersamaan. Terkadang orang-orang kaya memang mampu mewujudkan keinginan mereka dalam sekejap.Pengacara langsung pergi setelah berdiskusi dengan Dylan dan Vina tentang dokumen pernikahan.Petinggi agensi setuju merahasiakan pernikahan musisi top mereka. Jika ada kebocoran informasi semua sepakat tidak akan ada konfirmasi."Aku mau jemput Clara." Vina berdiri dan berkata pada Dylan."Aku antar. Juan juga masih di sekitar rumah Allysa." Dylan ikut berdiri."Kalau begitu, kami lanjutkan rapat di hotel saja." Tamara langsung menutup tablet dan mengajak Marcel pergi.Vina menutup rumahnya yang kini sepi. Mobil-mobil mewah yang berjejer di jalanan depan rumahnya pun sudah pergi satu persatu.Semoga para tetangga sedang beraktifitas di luar dan tidak melihat kera
“Vina.” Tamara menyapa dengan senyum di bibir.“Maaf, kami datang tanpa persetujuan.” Marcel menimpali.Vina mengangguk singkat. Ia tetap berdiri di depan pintu, bingung harus berbuat apa hingga Tamara menoleh ke kiri dan kanan.“Boleh kamu masuk? Aku khawatir ada yang mengenali kami.” Tamara memohon pada Vina.Sejenak Vina sadar. Ia mengamati sekeliling. Pastinya kedatangan tiga mobil mewah di depan rumahnya sudah menjadi perhatian tersendiri bagi para tetangga.Apalagi, selama ini ia diketahui merupakan single parent. Vina mengembuskan napas panjang, lalu melebarkan pintu.“Iya, masuk lah.”Vina mempersilahkan Tamara dan Marcel duduk di ruang tamu. Tak lama kemudian, Clara datang mengembalikan ponsel sang mommy. Ia berjalan pelan menghampiri Vina.“Mommy.” Clara memanggil sambil mengawasi tamu-tamu.Vina menepuk sisi sofa, meminta Clara duduk di sampingnya. Clara menurut dan duduk dengan sikap santun.“Ini Nyonya Tamara dan Tuan Marcel.” Vina mengenalkan dua orang di depan mereka.“
Demi mendengar pertanyaan Vina, Dylan bangun. Sebenarnya, niatnya hanya sederhana. Ingin menghabiskan waktu seharian di ranjang bersama sang istri.Hanya saja sepertinya, Vina lebih menikmati peran sebagai ibu daripada istri. Mungkin karena terbiasa. Hingga Dylan harus lebih pengertian."Tentu saja aku sayang Clara dan ibunya." Dylan tersenyum dengan wajah bantal. "Ayo, sarapan bersama Clara."Clara diantar Juan ke kamar Vina dan Dylan. Rere berpamitan untuk ke kampus."Aku tunggu cerita bersatunya kalian, ya." Rere berbisik pada sang kakak. "By the way, aku bahagia banget kalian akhirnya bersatu."Vina hanya diam saja mendengar ucapan pelan sang adik. Ia tidak bisa menebak bagaimana perasaan Rere memiliki ipar yang merupakan idolanya.Saat Rere pergi, Vina menutup pintu. Ia melihat Clara yang sudah duduk di pangkuan Dylan."Kenapa kita gak makan di restoran bawah? Auntie Rere makan di sana." Clara bertanya sambil melihat makanan di meja."Daddy belum mandi." Dylan menjawab asal.Vina
Vina menahan napas sejenak mendengar permintaan Clara. Ia tau pasti, saat ini, Dylan belum bisa tampil ke publik dengan status telah memiliki seorang putri.“Hmm... bisa. Tapi, Daddy malu kalau bertemu teman-teman Clara. Jadi, Daddy hanya tunggu di mobil, ya.”Clara tampak berpikir, tetapi kemudian mengangguk membuat Vina tersenyum lega. Mereka duduk di sofa dan banyak mendengarkan celotehan Clara.“Ara sudah bisa membaca.”“Ara bisa bantu mommy masak.”“Ara bisa mandi sendiri.”“Mommy, kasih lihat daddy, aku bisa main piano.”Vina tersenyum lalu menunjukkan video Clara yang sedang konser mini di tempat les. Saat Dylan menatap layar ponsel, Clara naik ke pangkuan sang daddy dan ikut menonton tayangan ulang penampilannya.“Ara pintar, kan, Daddy?” Clara mendongak dan menatap wajah Dylan.“Pintar sekali. Clara tambah cantik dengan gaun princess ini.”“Itu mommy yang belikan. Soalnya, waktu Ara konser, mommy kerja di luar negeri, jadi mommy belikan Ara gaun cantik biar Ara nggak sedih.”
Vina tidak pernah mempersiapkan diri dengan adegan ini. Otaknya selalu merancang sesuatu secara terorganisir.Tapi, Dylan selalu memberinya kejutan. Dan saat ini otaknya merespon cepat dengan anggukan kepala dan isakan tangis yang tertahan.Dylan berdiri, menyelipkan cincin berlian hitam dan kalung berlian yang sejak tadi digenggamnya. Vina shock, kini sadar, mengangguk artinya ia telah benar-benar menjadi istri seorang pesohor dunia -- selamanya."Kamu yakin?" Vina mendongak dan malah bertanya kalimat yang membuat Dylan terkekeh."Kalau tidak yakin aku tidak akan berada di sini. Menunggumu dua jam dengan terpaan angin dingin dan kekhawatiran jika kamu tidak akan pernah datang."Vina memejamkan mata sejenak dan mengangguk.Dylan merapatkan tubuh mereka. Tangannya memegang leher belakang Vina dan mendekatkan wajah hingga bibir mereka saling menempel.Pagutan ringan hingga liar penuh kerinduan membuat mereka lupa segalanya. Baru kali ini Vina merasa tubuhnya panas meski angin dingin ber
Begitu Rere sampai di rumah, Vina masih termenung di meja. Clara yang tertidur digendong Rendra ke kamarnya."Bagaimana, Kak?""Ternyata kamu yang bersekongkol dengan Dylan." Vina mencebik."Aku hanya pembuka jalan." Rere meminjam kalimat Dylan.Vina hanya mengembuskan napas panjang. Ia bahkan hanya mengangguk lemah saat Rendra berpamitan.Rere kemudian menarik tangan kakaknya untuk bicara di kamar. Vina menceritakan pembicaraannya dengan Dylan."Kak Vina gila? Kakak masih pikir-pikir? Sumpah, kakak tuh kaya nggak bersyukur banget." Rere langsung berkomentar pedas."Re! Kakak pernah mengalami sendiri bagaimana menjadi tim Dylan. Orang-orang di bandara, jalanan, restoran, perusahaan semua mengejarnya. Mata kakak bahkan sakit karena melihat lampu flash kamera. Bagaimana kakak dan Clara bisa hidup seperti itu?""Itu pasti bisa diatur tim keamanan Lano, Kak. Aku yakin Lano juga akan memikirkan keselamatan Kakak dan Clara."Baru kali ini, Vina dan Rere saling adu pendapat dengan sengit. Ke