“Kamu baik-baik saja? Kenapa wajahmu terlihat pucat?” tanya Genny mengalihkan perhatian Khayra dari Rossa pada ibu mertuanya. “Aku baik-baik saja, Ma.” “Benar? Jangan memaksakan diri kalau merasa tidak enak badan, sebaiknya kita pulang lebih awal,” ucap Genny. Khayra tersenyum berusaha menenangkan ibu mertuanya itu. “Aku beneran baik-baik saja, Ma.” “Baiklah, katakan kalau memang tidak enak badan, ya,” ucap Genny yang masih memperlihatkan tatapan khawatirnya dan Khayra menjawab dengan anggukan kepalanya. Dia menoleh ke arah yang lain dan ternyata Rossa sedang menatap ke arahnya. Entah kenapa, tatapan Rossa membuat Khayra tiba-tiba saja merasa sesak, dia merasa seperti sesuatu menekan dan memeras hatinya hingga dia merasa lemas. Entah itu karena apa, tapi rasanya begitu asing. Khayra menatap lekat-lekat wanita bernama lengkap Rossa Lohia itu. Rossa juga memperhatikan Khayra dengan lekat, hingga beberapa detik kemudia
“Apa yang kamu lakukan di sini, Yuda?” tanya Komar yang sedang duduk di kursi kebesarannya yang ada di ruang kerja. Yuda tidak menjawab dan berjalan mendekati meja kerja Kakeknya. “Berniat membunuh Kakekmu lagi?” sindir Komar dengan sarkas. Yuda mengambil duduk di kursi yang ada di hadapan Komar. “Harusnya Kakek sadar kenapa aku melakukan itu. Dan aku sama sekali tidak menyesal sudah menusuk Kakek,” jawab Yuda. Komar terkekeh di sana membuat Yuda mengernyit bingung. Memang apa yang lucu, seingatnya, tidak ada yang sedang membuat lelucon. “Kamu tau, Yuda. Kenapa Kakek tidak mengusirmu dari rumah ini, padahal kamu sudah mencelakai Kakek?” tanya Komar dan Yuda menggelengkan kepalanya. “Kamu itu sangat mirip dengan Kakek. Punya ambisi untuk mencapai kesuksesan. Tidak peduli apa yang kamu lakukan, apa pun yang menghalangi langkahmu, kamu hantam. Kakek suka karakter itu, tapi Kakek tidak suka sifatmu yang memiliki kelemah
“Ada apa memanggilku kemari? Apa tidak bisa diam tenang saja di sini?” keluh Ziya saat duduk berhadapan dengan Andi di sel tahanan. “Tolong Papa, Ziya. Papa mohon, tolong Papa,” ucap Andi dengan wajah memelas dan pucat. Brak! Ziya menggebrak meja dengan kesal. “Kamu yang menghancurkan keluarga kita. Karena ulahmu, Mama meninggal dunia!” pekik Ziya penuh kebencian. “Semua bukan salahku. Kamu sendiri sangat membenci Khayra, begitupun denganku. Aku hanya membutuhkan sedikit bantuannya untuk bisnisku, tetapi mereka mempermalukan dan merendahkanku. Apa salah kalau Papa ingin dia mati?” tanya Andi. Ziya menghela napasnya. “Kamu juga sangat ingin dia mati, bukan? Makanya kamu menabraknya, beruntung ada orang yang menolongmu hingga bebas dari penjara.” Andi menatap Ziya dengan tatapan memelas. “Tolong Papa, Ziya. Papa sungguh tidak bersalah, bagaimana bisa percobaan pembunuhan mendapatkan hukuman seberat ini,” keluh Andi. “
“Lyman, gue akan hubungi lu lagi nanti,” seru Kaivan memutuskan sambungan telepon. “Khayra?” panggil Kaivan lirih dengan tatapan tertuju pada Khayra. “Kamu menyembunyikan sesuatu dariku, Mas?” tanya Khayra dengan tatapan penasaran. “Mas-“ “Abang!” panggil Aerline. “Aku akan mengatakannya nanti. Sekarang kita temui Mama dan Papa,” bujuk Kaivan merangkul Khayra dan membawanya pergi dari sana.*** “Apa maksud Kakek? Kenapa dengan mudah melepaskan Kaivan?” tanya Yuda sangat emosi. “Tidak perlu menanyakan hal itu padaku!” bentak Komar terlihat kesal. Baru kali ini dia merasa dibantah dan dia tidak bisa berkutik. “Kakek sudah bilang kalau aku akan menggantikan posisi Kaivan?” seru Yuda sangat kesal di sana. “Kamu ingin mengganti posisi Kaivan? kalau begitu buat proyek yang keuntungannya bisa dua kali lipat dari hasil Kaivan. Maka kamu akan bisa menggantikan Kaivan,” ucap Komar. Yuda mengernyi
"Ini perjalanan bisnis, Mas." Entah sudah berapa kali Khayra mengatakan itu, dan entah sudah berapa kali juga Kaivan tetap gigih dengan jawabannya. "Tidak boleh." "Kenapa tidak boleh? Aku bisa di pecat kalau menolak pekerjaan." Khayra kembali mengeluh. Terkadang menghadapi sikap keras kepala Kaivan sangat melelahkan, bahkan sekarang lebih melelahkan karena pria itu menyita kopernya juga. Khayra baru saja meminta izin untuk melakukan perjalanan bisnis ke Balik papan, ada klien yang harus mereka temui di sana. Sebagai asisten manager, Khayra harus pergi dengan Aditya. Mereka akan menghabiskan waktu beberapa hari di sana. Namun, Kaivan selalu melarangnya tanpa memberikan alasan kepada Khayra, pria itu begitu gigih melarang Khayra bahkan sampai menyita kopernya. Khayra tidak masalah jika tidak pergi, tetapi pekerjaannya akan terancam jika dia benar-benar melakukan itu. Khayra memutar pikirannya, bagaimana caranya untuk membujuk
Pria itu tersenyum kecil dan mengangguk, Kaivan mengambil alih koper Khayra dan menemani istrinya itu hingga sudah berada di dalam taksi dengan aman. "Tolong berkendara dengan hati-hati." Entah sudah berapa kali Kaivan mengucapkan itu kepada sang sopir taksi, pria paruh baya itu tersenyum hangat sekali lagi dan mengangguk. Dia memaklumi sikap Kaivan, baginya Kaivan adalah suami yang begitu sayang dan perhatian kepada istrinya. Menurut sang sopir, Khayra adalah salah satu wanita yang sangat beruntung menikah dengan pria seperti Kaivan. Ya, Khayra mengakui itu. Setelah beberapa pesan 'hati-hati' Kaivan sekali lagi, akhirnya taksi Khayra sudah dapat melaju membelah jalanan yang cukup padat pagi itu. Kaivan menatap taksi yang ditumpangi Khayra hingga taksi itu menghilang dari pandangannya, barulah dia menaiki mobilnya sendiri dan ikut melaju berbaur dengan kendaraan lain. Di dalam taksi, Khayra tetap sibuk menanggapi segala pesan Kaivan ya
Aditya menyetir mobil dengan santai, dia terus mengajak Khayra berbicara. Sedangkan wanita itu masih memiliki rasa malas, tetapi ya sudahlah. Mereka tiba di tempat yang sudah di tentukan lebih awal sekitar tujuh menitan lagi. Aditya dan Khayra memilih untuk duduk bersisian dan menunggu klien mereka datang, Khayra mulai sibuk mempersiapkan ulang berkas-berkas yang mereka gunakan. Tidak lama kemudian seorang pria berjas hitam dengan dasi biru dongkernya datang, di sebelahnya sudah ada wanita yang juga menggunakan kemeja putih bermotif bunga-bunga dan rok berwarna senada. Khayra dan Aditya dengan cepat ikut berdiri, mereka menyambut klien dengan senyuman yang merekah. "Kalian sudah menunggu lama? Maafkan kami, di luar sangat macet." Aditya terkekeh, dia menggeleng singkat untuk membalas kliennya itu. "Ah tidak apa, kami juga baru sampai," balas Aditya. "Oh benarkah? Syukurlah kalau seperti itu, ayo, silakan duduk kemba
“Benar-benar tidak bisa tenang,” gumam Kaivan. Dia berguling-guling di atas kasur, mencoba mencari posisi yang nyaman untuk tidur, namun tak kunjung berhasil. Rasa gelisah dan rindu pada istrinya begitu menyiksa hati dan pikirannya. Malam ini adalah malam pertama Kaivan tidur sendiri tanpa kehadiran istrinya yang biasa ada di sisinya, padahal baru beberapa jam mereka berpisah. Dia mencoba mengalihkan pikirannya dengan memandangi foto pernikahan mereka yang terpajang di meja. Senyuman manis istrinya yang tergambar dalam foto itu seolah memberikan keteduhan di hati Kaivan, namun rasa rindu yang menyergapnya semakin menjadi. Kedua tangannya meremas kasur dengan erat, mencoba menahan rasa rindu yang hampir membuatnya tak mampu bernapas. Kaivan akhirnya mengambil ponselnya dan membuka galeri foto, mengenang kenangan indah bersama istrinya. Setiap foto menggambarkan kebahagiaan mereka berdua, namun justru semakin membuat Kaivan merasa hampa tanpa keha
Lima Tahun Kemudian ... “Wah, kita naik pesawat!” seru Sasa heboh saat mereka berada di pesawat pribadi milik keluarga Dirgantara. Saat ini Kaivan, Khayra dan kedua anak-anak mereka Saga dan Sasa akan pergi liburan ke Maldives sesuai keinginan Khayra. “Kalian senang?” tanya Khayra. “Tentu saja. Kita gak pernah naik pesawat,” seru Sasa. “Kita pernah naik pesawat. Hanya saja saat itu kalian masih bayi,” kekeh Khayra. “Saga, kenapa diam saja?” tanya Kaivan. “Nggak apa-apa. Sasa berisik,” keluh Saga yang terkenal pendiam. “Ih, dasar gak seru,” keluh Sasa. Kalian dan Khayra bersama anak-anak mereka, Saga dan Sasa, tiba di Maldives untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Mereka menginjakkan kaki di pantai berpasir putih yang lembut, dengan air laut yang jernih dan pemandangan yang sangat indah. "Wow, ini sungguh indah!" seru Khayra sambil memandangi keindahan pantai. “Y
“Hati-hati,” ucap Kaivan saat membantu Khayra menuruni brankar. Hari ini Khayra dan kedua bayi kembarnya sudah diperbolehkan untuk pulang. “Di sana Genny dan Rossa sudah menggendong bayi, masing-masing satu. “Kamu duduk di kursi roda,” ucap Kaivan menggendong Khayra dan mendudukkannya di atas kursi roda. “Semuanya sudah siap? Tidak ada yang ketinggalan lagi?” tanya Genny. “Sudah, koper sama tas bayi, aku yang bawa,” ucap Aerline. “Sebagian sama Papa.” “Ya sudah kalau begitu, mobil sudah siap di bawah,” ucap Tommy. Mereka pun berjalan beriringan meninggalkan rumah sakit, setelah berada di rumah sakit selama satu minggu. Saat sampai di lobi rumah sakit, terlihat dua buah mobil suv berwarna putih dan hitam sudah terparkir di sana dengan seorang sopir yang berdiri di dekat mobil, membukakan pintu penumpang. Kaivan membawa Khayra dan Rossa masuk ke dalam mobil putih, sedangkan Tommy, Genny dan Aerlin
“Kamu masih bisa bertahan, kan?” tanya Kaivan. “Ya, Mas.” Khayra menjawab dengan napas tersenggal. Kaivan pun tidak peduli betapa sakitnya kedua lutut dan kedua tangannya. Menggendong Khayra yang sedang mengandung bayi kembar, dia tetap akan berjuang demi keselamatan istri dan kedua anaknya. “Bertahanlah, aku akan memastikan kalian selamat,” bisik Kaivan. Begitu sampai di rumah sakit, Khayra segera ditangani oleh para perawat dan dibawa ke ruangan khusus. Beruntung dokter yang biasa merawat Khayra, Dr. Windi, juga sedang praktek di rumah sakit itu. Khayra merasa lega, karena ia tidak mau ditangani oleh dokter lain selain Dr. Windi. “Sus, kalau saya ingin istri saya kembali ditangani dokter Windi, bisa?” tanya Kaivan. “Bisa, Pak. Kebetulan Dokter Windi ada jadwal hari ini. Tetapi untuk tindakan operasi caesar, akan ada biaya penambahan penanganan dokter,” jelas suster tersebut. “Tidak masalah, Sus. Istri saya terbiasa dir
“Mas, nanti siang aku bawakan makan siang untuk Mas, ya,” ucap Khayra yang sedang membantu memasang dasi di kerah kemeja Kaivan. “Tidak usah, Sayang. Kamu kan sedang hamil besar, istirahat saja, ya. Aku khawatir kamu kelelahan,” tolak Kaivan. “Biasanya juga kamu mau diantarkan makan siang sama aku. Kenapa sekarang gak mau? Ada apa? kamu ada rencana makan siang dengan orang lain, atau seorang wanita? Siapa itu, sampai menolak niat baik istri sendiri?” tanya Khayra memborong penuh kecurigaan dan rasa cemburu. Ya, sejak hamil, Khayra memang semakin lengket dengan Kaivan, dia seakan tidak mau berjauhan dengan suaminya. Ditambah dia juga sangat cemburuan, dan selalu salah paham dan overthinking. “Bukan begitu, Sayang. Aku mengkhawatirkan kamu, kamu sedang hamil besar dan waktu HPL kamu sebentar lagi. Aku sama sekali tidak ada janji makan siang dengan siapa pun, apalagi perempuan,” jelas Kaivan. “Tetap saja, mencurigakan! Kamu meno
“Kamu sudah datang, Mas,” ucap Khayra tersenyum manis ke arah Kaivan yang masih membeku di tempatnya. Kaivan terpana saat melihat Khayra yang tampil anggun dalam gaun indah yang membalut lekuk tubuhnya yang sedang hamil. Rambut Khayra ditata apik dan jatuh membingkai wajahnya yang berseri-seri. Sorot mata Kaivan tak mampu terlepas dari istrinya itu. Tak ada kata yang mampu terucap dari bibir Kaivan saat ia menyaksikan Khayra berjalan perlahan mendekatinya. Wajah Kaivan terlihat terpesona, seolah tak percaya dengan kecantikan istrinya yang sedang mengandung buah hati mereka. “Umm ... Mas Kaivan,” tegur Khayra sekali lagi membuat Kaivan tersadar dari lamunannya. "Khayr, kamu sangat cantik," ucap Kaivan akhirnya, dengan suara gemetar dan mata yang tak bisa berhenti menatap Khayra. Khayra tersenyum malu di depan Kaivan, hingga terlihat roda merah di kedua pipinya. Dia menjawab, "Terima kasih, Mas. Aku juga senang melihatmu begitu terpu
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini? bagaimana respon para pemegang saham? Mereka menyambutmu dengan baik, kan?” tanya Khayra saat membuka pintu rumahnya. Kaivan yang melihat Khayra menyambutnya dengan ceria, membuat rasa lelahnya hilang seketika. Tanpa kata, Kaivan langsung memeluk Khayra. “Nyaman sekali,” ucap Kaivan. “Apa terjadi sesuatu? Apa ada hal yang tidak berjalan dengan baik?” tanya Khayra semakin khawatir di sana. Kaivan melepaskan pelukannya dan tersenyum manis pada Khayra. “Semuanya berjalan dengan lancar,” ucapnya tersenyum merekah, membuat Khayra tidak bisa menyembunyikan senyumannya. “Lalu kenapa kamu malah membuatku khawatir tadi,” keluh Khayra. “Maaf. Aku tadi hanya merasa gemas dengan sikapmu. Selain itu aku juga sangat merindukanmu,” ucap Kaivan tersenyum merekah membuat Khayra membalas senyuman suaminya. “Kalau begitu kita masuk,” ajak Khayra dan mereka berjalan bersama dengan Ka
“Kamu gugup, tidak?” tanya Khayra. “Sedikit,” jawab Kaivan tersenyum. “Tapi aku yakin, bisa menghadapi mereka semua.” Khayra tersenyum melihat kepercayaan penuh dari suaminya. “Mama Rossa kembali ke Tangerang?” tanya Kaivan. “Iya, aku meminta sopir untuk mengantarnya. Katanya ada yang mau melihat-lihat rumah,” jawab Khayra. Kaivan berdiri tegak di depan Khayra yang sedang memasangkan dasi suaminya. Kemudian, Khayra mengambilkan jas hitam dan membantu memasangkan jas di tubuh Kaivan. Dia mengusap kedua pundak lebar Kaivan dengan senyuman manisnya. Kaivan mengernyitkan dahinya melihat Khayra. “Kenapa?” tanya Kaivan. Khayra tersenyum dengan rona merah di pipinya. Matanya tak henti-hentinya memandang sosok yang terlihat begitu elegan dan tampan di hadapannya. Dalam balutan setelan kerja lengkap dengan jas hitam yang terpasang rapi, Khayra tak bisa menyangkal bahwa hari ini suaminya tampak lebih mempesona dari biasanya.
“Menjauh kalian!” teriak Danang masih menempelkan ujung pisau di leher Khayra. Kaivan khawatir, tetapi berusaha tenang. Tatapannya terpaut dengan Khayra seakan mereka berdiskusi melalui tatapan. Kaivan bergerak mendekat. “Paman sangat membenciku, bukan?” tanya Kaivan. “Jangan mendekat!” “Bagaimana kalau aku saja yang Paman tawan, lepaskan Khayra,” ucap Kaivan membuat Khayra mengernyitkan dahinya. “Kamu pikir, Paman bodoh! kamu bisa berkelahi, jangan berusaha menipu Paman!” amuk Danang. “Baiklah begini saja, aku akan ikat kedua tanganku di belakang. Paman tawan aku saja dan lepaskan Khayra,” ucap Kaivan. “Mas,” seru Khayra tidak rela bertukar posisi. “Kalau begitu ikat kedua tanganmu!” perintah Danang. Khayra meminta bantuan polisi untuk meminjamkan borgolnya dan memborgol kedua tangan Kaivan di punggung. “Sekarang lepaskan Khayra,” ucap Kaivan berjalan mendekati Danang yang sed
Puput menatap Danang yang berjalan mondar-mandir di depannya. Pria itu terlihat sangat gelisah, dan berkali-kali mengusap kedua tangannya. “Bisakah kau berhenti mondar-mandir? Membuatku pusing,” keluh Puput. “Diam!” bentak Danang membuat Puput terpekik kaget. Tidak biasanya Danang berkata kasar begitu. “Ada apa denganmu, Pa? Biarkan saja kalau mereka mau melakukan autopsi pada tubuh Ayah,” ucap Puput. “Yang harus kita pikirkan adalah Yuda, bagaimana caranya kita menolong Yuda untuk segera keluar dari sana.” “Diam! Aku bilang diam!” amuk Danang di sana membuat Puput kaget sekaligus kebingungan. “Apa yang terjadi denganmu? Kamu seperti ketakutan. Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan dariku, Pa?” tanya Puput bangkit dari duduknya dengan kesal. “Apa kamu tidak bisa tutup mulut?” tanya Danang terlihat sangat frustrasi. “Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan? A-apa ini ada hubungannya dengan kematia