Kaivan sampai di kantor tepat satu jam lebih awal, bahkan sekretarisnya yang tidak diberi tahu tentang rencananya sedikit terkejut. Kaivan tidak mengindahkan sapaan dari para karyawannya, sesekali kepalanya hanya akan menunduk saja untuk menghargai sapaan-sapaan itu. Kaivan menaiki lift khusus dan berhenti di lantai ruangannya, pandangannya tetap lurus selama perjalanan memasuki ruangannya. Begitu sampai, dia bergegas untuk duduk dan membuka layar laptopnya, beruntung saja sekretaris Kaivan cepat tanggap, dia segera menyampaikan jadwal Kaivan untuk hari ini dan menyerahkan beberapa dokumen yang membutuhkan tanda tangan bosnya itu. Kaivan mengerjakan semuanya dengan fokus. Biasanya Kaivan memang fokus, tetapi dia tidak pernah sefokus ini. Hingga setumpuk pekerjaan yang biasanya dikerjakan satu hari dapat selesai begitu jam makan siang tiba. Kaivan sedikit merenggangkan otot-ototnya yang pegal, dia melihat jam dinding yang terdapat di ruangannya.
“Mas, kita mau ke mana? Ini bukan arah pulang?” tanya Khayra yang menatap sekeliling area yang dilewati mobil. “Aku akan membawamu ke tempat yang sejuk dan kamu pasti akan lebih relaks di sana, apalagi setelah perjalanan jauh,” tutur Kaivan. Khayra tersenyum. “Apa kamu punya semacam telepati atau cenayang yang bisa membaca pikiranku? Atau mungkin, apa kamu memiliki kemampuan seperti vampir yang bisa membaca pikiran manusia?” tuduh Khayra dan sontak Kaivan tertawa di sana. “Kenapa kamu bicara begitu?” tanya Kaivan menoleh ke arahnya. “Karena kamu berhasil membaca pikiranku,” ucap Khayra. “Tadi di pesawat, aku melihat ke bawah dari jendela, hamparan hijau yang luas, aku pikir, sepertinya terasa relaks dan nyaman saat bisa menghirup udara segar dari tumbuhan dan pandangan mata yang cerah karena melihat suasana yang serba hijau,” jelas Khayra. “Um, sepertinya kita sehati, dan secara tidak sengaja aku bisa telepati sama kamu,” ser
Khayra membuka matanya saat cahaya matahari sudah masuk ke dalam celah kamarnya. Dia merasa seluruh tubuhnya terasa ngilu, dan sakit. Semalam, dia dan Kaivan melakukan beberapa ronde dengan tempat yang berbeda-beda. Kaivan seakan tidak ada lelahnya, mungkin karena rasa rindu yang membuncah. Khayra melihat Kaivan yang masih terlelap dengan tangannya yang memeluk pinggang Khayra. Wanita itu bangkit dari posisinya dan memindahkan tangan Kaivan dari pinggangnya. Dia menuruni ranjang dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Karena hampir semua pakaiannya kotor dan sudah dikenakannya saat di Balikpapan. Khayra mengambil kemeja putih Kaivan dan memakainnya. Kemeja itu cukup panjang dan menutupi tubuhnya hingga batas paha. Khayra mengeluarkan beberapa bahan untuk sarapan dari kulkas. Kali ini, biarkan dirinya yang membuat sarapan untuk Kaivan, tidak melulu Kaivan yang memasak untuknya. Saat sedang memasak telor, Khay
"Jangan takut, semuanya akan baik-baik saja." Air mata semakin deras membasahi wajah Khayra, dia menangkap tangan Kaivan. Mengangguk berusaha mempercayai ucapan Kaivan, pikirannya berusaha dibuat tenang agar bisa berpikir. Khayra dengan segera meraih ponselnya untuk menghubungi ambulans sembari terus menggenggam erat tangan Kaivan. Setelah menelepon ambulans, Khayra kembali memfokuskan dirinya untuk menatap Kaivan. Pria itu tersenyum tipis, bibir pucatnya tertarik dengan manis. "Khayra?" Panggil Aditya, pandangan Khayra seketika teralihkan padanya. Air mata itu turun dengan deras membasahi wajah cantiknya, dia menatap Aditya dengan memohon. "Tolong aku untuk segera membawanya ke rumah sakit, ambulans terlalu lama," ujar Khayra memohon. Kaivan sudah kehilangan kesadarannya dalam pangkuan Khayra dengan darah yang merembes begitu banyak. Tanpa berpikir panjang, Aditya segera mengambil alih mobil Kaivan. Dia membuka pin
“Selamat untuk keberhasilan kita!” sorak Yuda sambil saling mengangkat gelas mereka. “Ya, untuk keberhasilan kita,” timpal Ziya meneguk minumannya dengan senyuman lebar. “Aku harap, Kaivan tidak akan bangun lagi dan berakhir ke neraka. Setelah menyingkirkan Kaivan, aku akan merebut posisi CEO dan mulai menghancurkan hidup Khayra,” seru Yuda penuh rencana dan sangat bahagia. Ziya tidak berkomentar dan hanya tersenyum kecil saja sambil menghabiskan minumannya. “Kamu yakin semuanya aman? Tidak ada bukti yang akan mencurigai kita, bukan?” tanya Ziya. “Kamu tenang saja, Ziya. Aku seorang pengacara, aku sudah memastikan semuanya aman. Saat aku menembakkan peluru pada Kaivan, semuanya terasa sangat cepat dan kamera cctv pun tidak akan menangkapnya,” ucap Yuda. “Baguslah kalau begitu,” jawab Ziya tersenyum merekah. “Ziya, bagaimana kalau kita pergi ke club malam dan merayakan keberhasilan kita ini,” ajak Yuda.
“Apa ini, Ziya?” tanya Yuda melihat Ziya menyerahkan sebuah amplop coklat padanya. “Serahkan saja Kakek Komar, dan kamu akan tahu setelah melihat reaksinya nanti,” seru Ziya dengan seringainya. “Sungguh mencurigakan. Sebenarnya apa ini?” seru Yuda membuka amplop tersebut dan melihat kertas di dalamnya dan seketika matanya membelalak lebar membaca isi surat itu. “Ini-?” “Kamu bilang, kita tidak bisa bergerak menyakiti Khayra karena perlindungan orang tua Kaivan. Maka serahkan itu pada Kakek Komar, dan kini Khayra tidak akan mendapatkan dukungan dari siapa pun. Dia akan ditendang dari keluarga Dirgantara,” seru Ziya dan di sana Yuda tertawa bahagia. “Kamu memang pintar, Ziya. Bagaimana kamu bisa menemukan semua ini?” tanya Yuda tersenyum bahagia. “Aku hanya membongkar barang masa lalu Khayra,” jawab Ziya mengedikkan bahunya acuh. “Tidak sia-sia kita bekerja sama. Kamu memang partner yang tepat untukku,” tawa
“Aerline!” panggil Khayra bangkit dari duduknya seraya melambaikan tangannya. Aerline berjalan mendekati Khayra. “Kakak ipar.” Mereka berpelukan singkat, kemudian duduk di kursi dengan saling berhadapan. “Apa yang terjadi?” tanya Khayra sangat tidak sabar. “Aku pesan kopi dulu, rasanya tenggorokanku sakit,” keluh Aerline. “Baiklah. Aku juga belum memesan apa-apa, sejak tadi terlalu gelisah,” jawab Khayra membuat Aerline merasa kasihan padanya. Mereka memesan kopi kesukaan mereka. “Semalam, Yuda menemui Kakek dan memberikan sebuah amplop dan entah apa yang mereka bicarakan sampai Kakek murka,” jelas Aerline setelah meneguk kopinya sedikit. “Kak, apa Kakak dari keluarga Lohia?” tanya Aerline membuat Khayra mengernyitkan dahinya bingung. “Apa maksud kamu?” tanya Khayra yang juga sama bingungnya. “Kenapa kamu menanyakan hal itu?” “Kak, sebenarnya Dirgantara dan keluarga Lohia sudah lama ber
‘Dan akhirnya, aku harus meninggalkan rumah dan kamu di sini, Mas. Cepatlah bangun, aku dan calon anak kita menunggumu sampai kapan pun,’ batin Khayra menatap nanar rumah yang selama ini dia tempati bersama Kaivan. Khayra keluar dari gerbang dengan menderek satu kopernya, keamanan, asisten rumah tangga dan sopir pribadi di sana menatap Khayra dengan tatapan sedih. “Maafkan kami, Nyonya.” Mereka merasa bersalah pada Khayra dan tidak bisa berbuat apa-apa. Khayra tersenyum pada mereka. “Aku baik-baik saja. Titip rumah, dan sampaikan salamku untuk mas Kaivan,” ucap Khayra. Mereka merasa kasihan pada Khayra dan Kaivan. Bagaimana pun, mereka saksi keharmonisan rumah tangga majikannya. Dan sekarang harus dipisahkan oleh keluarga Kaivan. “Nyonya, saya antarkan anda, ya,” ucap sopir pribadi Kaivan. “Tidak usah. Saya tidak mau kalian mendapat masalah karena saya. Saya akan pergi dengan menggunakan taksi,” tutur Khayra. “Jaga
Lima Tahun Kemudian ... “Wah, kita naik pesawat!” seru Sasa heboh saat mereka berada di pesawat pribadi milik keluarga Dirgantara. Saat ini Kaivan, Khayra dan kedua anak-anak mereka Saga dan Sasa akan pergi liburan ke Maldives sesuai keinginan Khayra. “Kalian senang?” tanya Khayra. “Tentu saja. Kita gak pernah naik pesawat,” seru Sasa. “Kita pernah naik pesawat. Hanya saja saat itu kalian masih bayi,” kekeh Khayra. “Saga, kenapa diam saja?” tanya Kaivan. “Nggak apa-apa. Sasa berisik,” keluh Saga yang terkenal pendiam. “Ih, dasar gak seru,” keluh Sasa. Kalian dan Khayra bersama anak-anak mereka, Saga dan Sasa, tiba di Maldives untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Mereka menginjakkan kaki di pantai berpasir putih yang lembut, dengan air laut yang jernih dan pemandangan yang sangat indah. "Wow, ini sungguh indah!" seru Khayra sambil memandangi keindahan pantai. “Y
“Hati-hati,” ucap Kaivan saat membantu Khayra menuruni brankar. Hari ini Khayra dan kedua bayi kembarnya sudah diperbolehkan untuk pulang. “Di sana Genny dan Rossa sudah menggendong bayi, masing-masing satu. “Kamu duduk di kursi roda,” ucap Kaivan menggendong Khayra dan mendudukkannya di atas kursi roda. “Semuanya sudah siap? Tidak ada yang ketinggalan lagi?” tanya Genny. “Sudah, koper sama tas bayi, aku yang bawa,” ucap Aerline. “Sebagian sama Papa.” “Ya sudah kalau begitu, mobil sudah siap di bawah,” ucap Tommy. Mereka pun berjalan beriringan meninggalkan rumah sakit, setelah berada di rumah sakit selama satu minggu. Saat sampai di lobi rumah sakit, terlihat dua buah mobil suv berwarna putih dan hitam sudah terparkir di sana dengan seorang sopir yang berdiri di dekat mobil, membukakan pintu penumpang. Kaivan membawa Khayra dan Rossa masuk ke dalam mobil putih, sedangkan Tommy, Genny dan Aerlin
“Kamu masih bisa bertahan, kan?” tanya Kaivan. “Ya, Mas.” Khayra menjawab dengan napas tersenggal. Kaivan pun tidak peduli betapa sakitnya kedua lutut dan kedua tangannya. Menggendong Khayra yang sedang mengandung bayi kembar, dia tetap akan berjuang demi keselamatan istri dan kedua anaknya. “Bertahanlah, aku akan memastikan kalian selamat,” bisik Kaivan. Begitu sampai di rumah sakit, Khayra segera ditangani oleh para perawat dan dibawa ke ruangan khusus. Beruntung dokter yang biasa merawat Khayra, Dr. Windi, juga sedang praktek di rumah sakit itu. Khayra merasa lega, karena ia tidak mau ditangani oleh dokter lain selain Dr. Windi. “Sus, kalau saya ingin istri saya kembali ditangani dokter Windi, bisa?” tanya Kaivan. “Bisa, Pak. Kebetulan Dokter Windi ada jadwal hari ini. Tetapi untuk tindakan operasi caesar, akan ada biaya penambahan penanganan dokter,” jelas suster tersebut. “Tidak masalah, Sus. Istri saya terbiasa dir
“Mas, nanti siang aku bawakan makan siang untuk Mas, ya,” ucap Khayra yang sedang membantu memasang dasi di kerah kemeja Kaivan. “Tidak usah, Sayang. Kamu kan sedang hamil besar, istirahat saja, ya. Aku khawatir kamu kelelahan,” tolak Kaivan. “Biasanya juga kamu mau diantarkan makan siang sama aku. Kenapa sekarang gak mau? Ada apa? kamu ada rencana makan siang dengan orang lain, atau seorang wanita? Siapa itu, sampai menolak niat baik istri sendiri?” tanya Khayra memborong penuh kecurigaan dan rasa cemburu. Ya, sejak hamil, Khayra memang semakin lengket dengan Kaivan, dia seakan tidak mau berjauhan dengan suaminya. Ditambah dia juga sangat cemburuan, dan selalu salah paham dan overthinking. “Bukan begitu, Sayang. Aku mengkhawatirkan kamu, kamu sedang hamil besar dan waktu HPL kamu sebentar lagi. Aku sama sekali tidak ada janji makan siang dengan siapa pun, apalagi perempuan,” jelas Kaivan. “Tetap saja, mencurigakan! Kamu meno
“Kamu sudah datang, Mas,” ucap Khayra tersenyum manis ke arah Kaivan yang masih membeku di tempatnya. Kaivan terpana saat melihat Khayra yang tampil anggun dalam gaun indah yang membalut lekuk tubuhnya yang sedang hamil. Rambut Khayra ditata apik dan jatuh membingkai wajahnya yang berseri-seri. Sorot mata Kaivan tak mampu terlepas dari istrinya itu. Tak ada kata yang mampu terucap dari bibir Kaivan saat ia menyaksikan Khayra berjalan perlahan mendekatinya. Wajah Kaivan terlihat terpesona, seolah tak percaya dengan kecantikan istrinya yang sedang mengandung buah hati mereka. “Umm ... Mas Kaivan,” tegur Khayra sekali lagi membuat Kaivan tersadar dari lamunannya. "Khayr, kamu sangat cantik," ucap Kaivan akhirnya, dengan suara gemetar dan mata yang tak bisa berhenti menatap Khayra. Khayra tersenyum malu di depan Kaivan, hingga terlihat roda merah di kedua pipinya. Dia menjawab, "Terima kasih, Mas. Aku juga senang melihatmu begitu terpu
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini? bagaimana respon para pemegang saham? Mereka menyambutmu dengan baik, kan?” tanya Khayra saat membuka pintu rumahnya. Kaivan yang melihat Khayra menyambutnya dengan ceria, membuat rasa lelahnya hilang seketika. Tanpa kata, Kaivan langsung memeluk Khayra. “Nyaman sekali,” ucap Kaivan. “Apa terjadi sesuatu? Apa ada hal yang tidak berjalan dengan baik?” tanya Khayra semakin khawatir di sana. Kaivan melepaskan pelukannya dan tersenyum manis pada Khayra. “Semuanya berjalan dengan lancar,” ucapnya tersenyum merekah, membuat Khayra tidak bisa menyembunyikan senyumannya. “Lalu kenapa kamu malah membuatku khawatir tadi,” keluh Khayra. “Maaf. Aku tadi hanya merasa gemas dengan sikapmu. Selain itu aku juga sangat merindukanmu,” ucap Kaivan tersenyum merekah membuat Khayra membalas senyuman suaminya. “Kalau begitu kita masuk,” ajak Khayra dan mereka berjalan bersama dengan Ka
“Kamu gugup, tidak?” tanya Khayra. “Sedikit,” jawab Kaivan tersenyum. “Tapi aku yakin, bisa menghadapi mereka semua.” Khayra tersenyum melihat kepercayaan penuh dari suaminya. “Mama Rossa kembali ke Tangerang?” tanya Kaivan. “Iya, aku meminta sopir untuk mengantarnya. Katanya ada yang mau melihat-lihat rumah,” jawab Khayra. Kaivan berdiri tegak di depan Khayra yang sedang memasangkan dasi suaminya. Kemudian, Khayra mengambilkan jas hitam dan membantu memasangkan jas di tubuh Kaivan. Dia mengusap kedua pundak lebar Kaivan dengan senyuman manisnya. Kaivan mengernyitkan dahinya melihat Khayra. “Kenapa?” tanya Kaivan. Khayra tersenyum dengan rona merah di pipinya. Matanya tak henti-hentinya memandang sosok yang terlihat begitu elegan dan tampan di hadapannya. Dalam balutan setelan kerja lengkap dengan jas hitam yang terpasang rapi, Khayra tak bisa menyangkal bahwa hari ini suaminya tampak lebih mempesona dari biasanya.
“Menjauh kalian!” teriak Danang masih menempelkan ujung pisau di leher Khayra. Kaivan khawatir, tetapi berusaha tenang. Tatapannya terpaut dengan Khayra seakan mereka berdiskusi melalui tatapan. Kaivan bergerak mendekat. “Paman sangat membenciku, bukan?” tanya Kaivan. “Jangan mendekat!” “Bagaimana kalau aku saja yang Paman tawan, lepaskan Khayra,” ucap Kaivan membuat Khayra mengernyitkan dahinya. “Kamu pikir, Paman bodoh! kamu bisa berkelahi, jangan berusaha menipu Paman!” amuk Danang. “Baiklah begini saja, aku akan ikat kedua tanganku di belakang. Paman tawan aku saja dan lepaskan Khayra,” ucap Kaivan. “Mas,” seru Khayra tidak rela bertukar posisi. “Kalau begitu ikat kedua tanganmu!” perintah Danang. Khayra meminta bantuan polisi untuk meminjamkan borgolnya dan memborgol kedua tangan Kaivan di punggung. “Sekarang lepaskan Khayra,” ucap Kaivan berjalan mendekati Danang yang sed
Puput menatap Danang yang berjalan mondar-mandir di depannya. Pria itu terlihat sangat gelisah, dan berkali-kali mengusap kedua tangannya. “Bisakah kau berhenti mondar-mandir? Membuatku pusing,” keluh Puput. “Diam!” bentak Danang membuat Puput terpekik kaget. Tidak biasanya Danang berkata kasar begitu. “Ada apa denganmu, Pa? Biarkan saja kalau mereka mau melakukan autopsi pada tubuh Ayah,” ucap Puput. “Yang harus kita pikirkan adalah Yuda, bagaimana caranya kita menolong Yuda untuk segera keluar dari sana.” “Diam! Aku bilang diam!” amuk Danang di sana membuat Puput kaget sekaligus kebingungan. “Apa yang terjadi denganmu? Kamu seperti ketakutan. Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan dariku, Pa?” tanya Puput bangkit dari duduknya dengan kesal. “Apa kamu tidak bisa tutup mulut?” tanya Danang terlihat sangat frustrasi. “Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan? A-apa ini ada hubungannya dengan kematia