“Aerline!” panggil Khayra bangkit dari duduknya seraya melambaikan tangannya. Aerline berjalan mendekati Khayra. “Kakak ipar.” Mereka berpelukan singkat, kemudian duduk di kursi dengan saling berhadapan. “Apa yang terjadi?” tanya Khayra sangat tidak sabar. “Aku pesan kopi dulu, rasanya tenggorokanku sakit,” keluh Aerline. “Baiklah. Aku juga belum memesan apa-apa, sejak tadi terlalu gelisah,” jawab Khayra membuat Aerline merasa kasihan padanya. Mereka memesan kopi kesukaan mereka. “Semalam, Yuda menemui Kakek dan memberikan sebuah amplop dan entah apa yang mereka bicarakan sampai Kakek murka,” jelas Aerline setelah meneguk kopinya sedikit. “Kak, apa Kakak dari keluarga Lohia?” tanya Aerline membuat Khayra mengernyitkan dahinya bingung. “Apa maksud kamu?” tanya Khayra yang juga sama bingungnya. “Kenapa kamu menanyakan hal itu?” “Kak, sebenarnya Dirgantara dan keluarga Lohia sudah lama ber
‘Dan akhirnya, aku harus meninggalkan rumah dan kamu di sini, Mas. Cepatlah bangun, aku dan calon anak kita menunggumu sampai kapan pun,’ batin Khayra menatap nanar rumah yang selama ini dia tempati bersama Kaivan. Khayra keluar dari gerbang dengan menderek satu kopernya, keamanan, asisten rumah tangga dan sopir pribadi di sana menatap Khayra dengan tatapan sedih. “Maafkan kami, Nyonya.” Mereka merasa bersalah pada Khayra dan tidak bisa berbuat apa-apa. Khayra tersenyum pada mereka. “Aku baik-baik saja. Titip rumah, dan sampaikan salamku untuk mas Kaivan,” ucap Khayra. Mereka merasa kasihan pada Khayra dan Kaivan. Bagaimana pun, mereka saksi keharmonisan rumah tangga majikannya. Dan sekarang harus dipisahkan oleh keluarga Kaivan. “Nyonya, saya antarkan anda, ya,” ucap sopir pribadi Kaivan. “Tidak usah. Saya tidak mau kalian mendapat masalah karena saya. Saya akan pergi dengan menggunakan taksi,” tutur Khayra. “Jaga
Duk! Duk! Duk! Brak! Terdengar suara gedoran pintu dengan keras membuat Khayra semakin panik. Yuda berteriak dari luar pintu, penuh amarah. "Khayra, buka pintu ini sekarang!" teriak Yuda dengan suara parau. Khayra merasakan detak jantungnya semakin cepat, tubuhnya bergetar hebat. Di luar pintu, Yuda menendang-nendang pintu dengan kekuatan penuh, berniat untuk mendobraknya agar bisa masuk dan melampiaskan kemarahannya pada Khayra. Dia bersumpah akan membuat Khayra menyesal telah membuatnya marah seperti ini. Khayra mencoba mencari jalan keluar, mengintip melalui jendela untuk melihat apakah ada kesempatan melarikan diri. Namun, dia sadar bahwa mereka berada di lantai yang cukup tinggi dan melarikan diri melalui jendela adalah hal yang mustahil. Sementara itu, Yuda semakin marah karena tak kunjung berhasil membuka pintu. Dia mengambil langkah mundur, lalu berlari dan menendang pintu dengan sekuat tenaga. Suara keras t
“Apa-apaan lagi ini?” tanya Komar menggebrak meja hingga dia meringis merasa dadanya yang sakit. Di hadapannya ada Puput dan Danang. “Bagaimana kalian mendidik anak kalian!” amuk Komar dengan suara parau karena dadanya terasa sakit, hingga akhirnya dia ambruk ke lantai. “Ayah!” Komar segera dilarikan ke rumah sakit dengan ambulance. Dia segera di tangani. Keadaan keluarga Dirgantara sedang kacau dan berita itu tidak luput dari kejaran para jurnalis. Khayra yang saat itu berada di dalam mobil mewah milik keluarga Lohia melihat berita yang tersebar di internet. Setelah beristirahat satu malam di apartemen milik Rossa, mereka pun pergi menuju kediaman Lohia yang berada di luar kota Jakarta, lebih tepatnya di daerah Tangerang. Berita terkini mengenai keluarga Dirgantara yang merupakan pembisnis sukses di Indonesia. Terkuak bahwa orang yang sudah menembak CEO Dirgantara group, Mr. Kaivan Dirgantara adalah sepupunya sendi
“Kamu pasti sangat terkejut, ya?” tanya Adit dengan senyumannya. Khayra mengangguk kecil. “Ya, aku tidak tahu kalau kamu salah satu keluarga Lohia,” jawab Khayra. Ada rasa takut sekaligus gugup melihat keramahan Adit. Dia jadi teringat cerita Kaivan tentang keluarga Lohia. “Ada apa? kamu masih terkejut?” tanya Adit menatap Khayra dengan intens. “Ah, ya. Aku hanya terkejut,” jawab Khayra. “Kamu juga pasti kelelahan setelah perjalanan jauh. Biar Mama antar kamu ke kamar,” ucap Rossa merangkul Khayra. Entah hanya perasaan Khayra saja atau tidak, tetapi Khayra merasa Rossa baru saja menyelamatkannya. “Ya,” jawab Khayra. Akhirnya Khayra berjalan mengikuti Rossa menuju lift yang ada di sana. Rossa menekan tombol angka dua. “Lift ini dibangun untuk memudahkan mas Anthony saat naik turun tangga dengan memakai kursi roda,” jelas Rossa tanpa Khayra bertanya. Mungkin untuk menetralkan situasi yang
“Berita terkini. Telah ditemukan satu mayat laki-laki yang bergelantungan di bawah jembatan di daerah pinggiran. Diduga, korban melakukan aksi bunuh diri.” Khayra cukup terkejut mendengar dan menonton berita yang disiarkan di televisi tersebut. Bahkan ada foto dari mayat tersebut. ‘Pak Sahid?’ batin Khayra yang sangat terkejut melihat berita yang disiarkan tersebut. Khayra berjalan terhuyung-huyung, menyandarkan tubuhnya di dinding saat mendengar berita kematian Sahid. Entah mengapa, perasaan sedih bercampur dengan rasa takut dan kekhawatiran yang mencekam jantungnya. Baru saja kemarin Sahid mengatakan padanya bahwa mengenai pembunuh asli orang tuanya. Bahkan Sahid meminta Khayra untuk berhati-hati dengan keluarga Lohia. Khayra merasa gelisah, tak bisa duduk diam di kamarnya. ‘Aku tidak bisa terus duduk diam di sini. Aku harus cari cara untuk bisa meninggalkan kediaman ini. Tapi bagaimana?’ batin Khayra mengingat bagaimana ke
“Sialan!” amuk Adit melemparkan ponselnya ke lantai dengan penuh emosi. Dia baru saja mendapat kabar kalau Kaivan telah siuman dari komanya. “Tidak ada yang becus hanya membunuh satu orang sakit saja,” keluh Adit. Dia merasa frustrasi dan takut Khayra kembali pada Kaivan dan meninggalkannya. “Tidak bisa. Aku tidak mau kehilangan Khayra lagi. Dia sudah ada dalam genggamanku, dan tidak akan kubiarkan dia lepas dari genggamanku.” Adit bergegas dari ruangannya dan berjalan menuju kamar Anthony. “Paman,” panggil Adit dan Anthony baru saja meminum obatnya dibantu oleh Rossa. “Ada apa?” tanya Anthony. “Kaivan sudah siuman,” ucap Adit. “Bagaimana bisa? Bukankah seseorang sudah memberikan suntikan mematikan itu,” tanya Anthony. “Sialnya, itu gagal karena temannya yang bernama Joel itu,” ucap Adit. Anthony melihat ke arah Rossa. “Kamu keluar dulu, aku mau bicara dengan dengan Adit. Dan
“Kamu dari mana, Rossa?” tanya Anthony saat memergoki Rossa memasuki rumah. “Oh itu, aku membeli sarapan yang populer di sini untuk Khayra,” ucap Rossa menunjukkan kantong keresek yang dia pegang. “Kamu boleh senang karena ada putrimu. Tapi jangan berlebihan, tetap bersikap biasa saja. Kalau bukan karena Adit menginginkan Khayra, aku tidak sudi anakmu ada di sini!” ucap Anthony dengan tajam. Rossa hanya diam dan berjalan meninggalkan Anthony yang terlihat kesal. Rossa sudah terbiasa dengan sikap Anthony, pria itu memiliki dua kepribadian, dia bisa sangat lembut dan penuh perhatian, tetapi di menit selanjutnya, dia bisa menjadi sangat kasar, menakutkan dan membuat Rossa trauma oleh pria bernama Anthony. *** Rossa masuk ke dalam kamar Khayra dengan membawa nampan berisi sarapan untuk Khayra. “Loh, kamu mau pergi ke mana, Nak?” tanya Rossa saat masuk ke dalam kamar Khayra, terlihat wanita itu sudah membereskan semua barangnya ke dala
Lima Tahun Kemudian ... “Wah, kita naik pesawat!” seru Sasa heboh saat mereka berada di pesawat pribadi milik keluarga Dirgantara. Saat ini Kaivan, Khayra dan kedua anak-anak mereka Saga dan Sasa akan pergi liburan ke Maldives sesuai keinginan Khayra. “Kalian senang?” tanya Khayra. “Tentu saja. Kita gak pernah naik pesawat,” seru Sasa. “Kita pernah naik pesawat. Hanya saja saat itu kalian masih bayi,” kekeh Khayra. “Saga, kenapa diam saja?” tanya Kaivan. “Nggak apa-apa. Sasa berisik,” keluh Saga yang terkenal pendiam. “Ih, dasar gak seru,” keluh Sasa. Kalian dan Khayra bersama anak-anak mereka, Saga dan Sasa, tiba di Maldives untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Mereka menginjakkan kaki di pantai berpasir putih yang lembut, dengan air laut yang jernih dan pemandangan yang sangat indah. "Wow, ini sungguh indah!" seru Khayra sambil memandangi keindahan pantai. “Y
“Hati-hati,” ucap Kaivan saat membantu Khayra menuruni brankar. Hari ini Khayra dan kedua bayi kembarnya sudah diperbolehkan untuk pulang. “Di sana Genny dan Rossa sudah menggendong bayi, masing-masing satu. “Kamu duduk di kursi roda,” ucap Kaivan menggendong Khayra dan mendudukkannya di atas kursi roda. “Semuanya sudah siap? Tidak ada yang ketinggalan lagi?” tanya Genny. “Sudah, koper sama tas bayi, aku yang bawa,” ucap Aerline. “Sebagian sama Papa.” “Ya sudah kalau begitu, mobil sudah siap di bawah,” ucap Tommy. Mereka pun berjalan beriringan meninggalkan rumah sakit, setelah berada di rumah sakit selama satu minggu. Saat sampai di lobi rumah sakit, terlihat dua buah mobil suv berwarna putih dan hitam sudah terparkir di sana dengan seorang sopir yang berdiri di dekat mobil, membukakan pintu penumpang. Kaivan membawa Khayra dan Rossa masuk ke dalam mobil putih, sedangkan Tommy, Genny dan Aerlin
“Kamu masih bisa bertahan, kan?” tanya Kaivan. “Ya, Mas.” Khayra menjawab dengan napas tersenggal. Kaivan pun tidak peduli betapa sakitnya kedua lutut dan kedua tangannya. Menggendong Khayra yang sedang mengandung bayi kembar, dia tetap akan berjuang demi keselamatan istri dan kedua anaknya. “Bertahanlah, aku akan memastikan kalian selamat,” bisik Kaivan. Begitu sampai di rumah sakit, Khayra segera ditangani oleh para perawat dan dibawa ke ruangan khusus. Beruntung dokter yang biasa merawat Khayra, Dr. Windi, juga sedang praktek di rumah sakit itu. Khayra merasa lega, karena ia tidak mau ditangani oleh dokter lain selain Dr. Windi. “Sus, kalau saya ingin istri saya kembali ditangani dokter Windi, bisa?” tanya Kaivan. “Bisa, Pak. Kebetulan Dokter Windi ada jadwal hari ini. Tetapi untuk tindakan operasi caesar, akan ada biaya penambahan penanganan dokter,” jelas suster tersebut. “Tidak masalah, Sus. Istri saya terbiasa dir
“Mas, nanti siang aku bawakan makan siang untuk Mas, ya,” ucap Khayra yang sedang membantu memasang dasi di kerah kemeja Kaivan. “Tidak usah, Sayang. Kamu kan sedang hamil besar, istirahat saja, ya. Aku khawatir kamu kelelahan,” tolak Kaivan. “Biasanya juga kamu mau diantarkan makan siang sama aku. Kenapa sekarang gak mau? Ada apa? kamu ada rencana makan siang dengan orang lain, atau seorang wanita? Siapa itu, sampai menolak niat baik istri sendiri?” tanya Khayra memborong penuh kecurigaan dan rasa cemburu. Ya, sejak hamil, Khayra memang semakin lengket dengan Kaivan, dia seakan tidak mau berjauhan dengan suaminya. Ditambah dia juga sangat cemburuan, dan selalu salah paham dan overthinking. “Bukan begitu, Sayang. Aku mengkhawatirkan kamu, kamu sedang hamil besar dan waktu HPL kamu sebentar lagi. Aku sama sekali tidak ada janji makan siang dengan siapa pun, apalagi perempuan,” jelas Kaivan. “Tetap saja, mencurigakan! Kamu meno
“Kamu sudah datang, Mas,” ucap Khayra tersenyum manis ke arah Kaivan yang masih membeku di tempatnya. Kaivan terpana saat melihat Khayra yang tampil anggun dalam gaun indah yang membalut lekuk tubuhnya yang sedang hamil. Rambut Khayra ditata apik dan jatuh membingkai wajahnya yang berseri-seri. Sorot mata Kaivan tak mampu terlepas dari istrinya itu. Tak ada kata yang mampu terucap dari bibir Kaivan saat ia menyaksikan Khayra berjalan perlahan mendekatinya. Wajah Kaivan terlihat terpesona, seolah tak percaya dengan kecantikan istrinya yang sedang mengandung buah hati mereka. “Umm ... Mas Kaivan,” tegur Khayra sekali lagi membuat Kaivan tersadar dari lamunannya. "Khayr, kamu sangat cantik," ucap Kaivan akhirnya, dengan suara gemetar dan mata yang tak bisa berhenti menatap Khayra. Khayra tersenyum malu di depan Kaivan, hingga terlihat roda merah di kedua pipinya. Dia menjawab, "Terima kasih, Mas. Aku juga senang melihatmu begitu terpu
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini? bagaimana respon para pemegang saham? Mereka menyambutmu dengan baik, kan?” tanya Khayra saat membuka pintu rumahnya. Kaivan yang melihat Khayra menyambutnya dengan ceria, membuat rasa lelahnya hilang seketika. Tanpa kata, Kaivan langsung memeluk Khayra. “Nyaman sekali,” ucap Kaivan. “Apa terjadi sesuatu? Apa ada hal yang tidak berjalan dengan baik?” tanya Khayra semakin khawatir di sana. Kaivan melepaskan pelukannya dan tersenyum manis pada Khayra. “Semuanya berjalan dengan lancar,” ucapnya tersenyum merekah, membuat Khayra tidak bisa menyembunyikan senyumannya. “Lalu kenapa kamu malah membuatku khawatir tadi,” keluh Khayra. “Maaf. Aku tadi hanya merasa gemas dengan sikapmu. Selain itu aku juga sangat merindukanmu,” ucap Kaivan tersenyum merekah membuat Khayra membalas senyuman suaminya. “Kalau begitu kita masuk,” ajak Khayra dan mereka berjalan bersama dengan Ka
“Kamu gugup, tidak?” tanya Khayra. “Sedikit,” jawab Kaivan tersenyum. “Tapi aku yakin, bisa menghadapi mereka semua.” Khayra tersenyum melihat kepercayaan penuh dari suaminya. “Mama Rossa kembali ke Tangerang?” tanya Kaivan. “Iya, aku meminta sopir untuk mengantarnya. Katanya ada yang mau melihat-lihat rumah,” jawab Khayra. Kaivan berdiri tegak di depan Khayra yang sedang memasangkan dasi suaminya. Kemudian, Khayra mengambilkan jas hitam dan membantu memasangkan jas di tubuh Kaivan. Dia mengusap kedua pundak lebar Kaivan dengan senyuman manisnya. Kaivan mengernyitkan dahinya melihat Khayra. “Kenapa?” tanya Kaivan. Khayra tersenyum dengan rona merah di pipinya. Matanya tak henti-hentinya memandang sosok yang terlihat begitu elegan dan tampan di hadapannya. Dalam balutan setelan kerja lengkap dengan jas hitam yang terpasang rapi, Khayra tak bisa menyangkal bahwa hari ini suaminya tampak lebih mempesona dari biasanya.
“Menjauh kalian!” teriak Danang masih menempelkan ujung pisau di leher Khayra. Kaivan khawatir, tetapi berusaha tenang. Tatapannya terpaut dengan Khayra seakan mereka berdiskusi melalui tatapan. Kaivan bergerak mendekat. “Paman sangat membenciku, bukan?” tanya Kaivan. “Jangan mendekat!” “Bagaimana kalau aku saja yang Paman tawan, lepaskan Khayra,” ucap Kaivan membuat Khayra mengernyitkan dahinya. “Kamu pikir, Paman bodoh! kamu bisa berkelahi, jangan berusaha menipu Paman!” amuk Danang. “Baiklah begini saja, aku akan ikat kedua tanganku di belakang. Paman tawan aku saja dan lepaskan Khayra,” ucap Kaivan. “Mas,” seru Khayra tidak rela bertukar posisi. “Kalau begitu ikat kedua tanganmu!” perintah Danang. Khayra meminta bantuan polisi untuk meminjamkan borgolnya dan memborgol kedua tangan Kaivan di punggung. “Sekarang lepaskan Khayra,” ucap Kaivan berjalan mendekati Danang yang sed
Puput menatap Danang yang berjalan mondar-mandir di depannya. Pria itu terlihat sangat gelisah, dan berkali-kali mengusap kedua tangannya. “Bisakah kau berhenti mondar-mandir? Membuatku pusing,” keluh Puput. “Diam!” bentak Danang membuat Puput terpekik kaget. Tidak biasanya Danang berkata kasar begitu. “Ada apa denganmu, Pa? Biarkan saja kalau mereka mau melakukan autopsi pada tubuh Ayah,” ucap Puput. “Yang harus kita pikirkan adalah Yuda, bagaimana caranya kita menolong Yuda untuk segera keluar dari sana.” “Diam! Aku bilang diam!” amuk Danang di sana membuat Puput kaget sekaligus kebingungan. “Apa yang terjadi denganmu? Kamu seperti ketakutan. Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan dariku, Pa?” tanya Puput bangkit dari duduknya dengan kesal. “Apa kamu tidak bisa tutup mulut?” tanya Danang terlihat sangat frustrasi. “Sebenarnya apa yang sedang kamu sembunyikan? A-apa ini ada hubungannya dengan kematia