Semua orang tercengang melihat tubuh Colin yang meledak dan berubah menjadi kabut darah. Dalam keadaan mematung, mereka melihat semua adegan ini seakan-akan melihat hantu. Bahkan ada beberapa orang yang curiga bahwa dirinya sedang bermimpi. Jika ini bukan mimpi, mana mungkin bisa terjadi hal yang semustahil ini?Seorang murid tertua Sekte Bangau dan genius pedang yang terkenal di Fanlandia, eksistensi yang bahkan bisa menekan semua murid Sekte Akasa, malah kalah dari seorang bocah tak terkenal?Tidak, bukan hanya kalah. Lebih tepatnya, dia dihancurkan langsung oleh tinju Luther! Hanya dengan satu tinju, tubuh dan pedang Colin hancur tak bersisa. Apakah orang itu benar-benar manusia? Bukankah dia itu monster?"Ke ... kenapa bisa begitu? Kak Colin ... mati?" Melihat darah yang tergenang di lantai, semua orang merasa kaget dan ketakutan. Mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa kakak senior mereka yang disebut-sebut sebagai genius itu dihabisi Luther hanya dalam hitungan detik. Ini sung
Tanah yang terbentuk dari campuran batu dan tanah liat itu membentuk lubang besar berbentuk lima jari. Di bawah lubang itu, belasan murid Sekte Bangau telah tergeletak. Ada yang muntah darah dan luka parah, ada juga yang langsung tewas di tempat. Hanya dengan sebuah pukulan, hampir seluruh murid Sekte Bangau hancur."Guru!" Setelah melihat pria tua itu, semua murid Sekte Akasa langsung bersemangat. Bagaikan melihat penyelamatnya, semua orang langsung buru-buru menghampiri pria tua itu. Pria itu tidak lain adalah ketua dari Sekte Akasa, Edur!"Ayah! Akhirnya kamu datang juga! Kami hampir saja mati!" teriak Chelliny yang langsung menghampirinya dengan mata berkaca-kaca."Dasar kamu ini! Biasanya aku menyuruhmu banyak latihan, kamu malah nggak mau. Sekarang setelah bertemu bahaya, kamu baru ketakutan!" tegur Edur sambil meletakkan tangannya di punggung."Ayah, musuhnya terlalu kuat! Bahkan Kak Kansan saja nggak bisa melawannya, apa yang bisa kulakukan?" kata Chelliny sambil mencibir."Ben
Melihat sikap Edur yang memprovokasi ini, Luther juga tampaknya tidak sabar lagi. Berguru pada seseorang itu harus tergantung niat seseorang, mana bisa dipaksakan? Lagi pula, hanya seorang semi-master sepertinya, mana mungkin berhak jadi guru Luther?"Guru, kemampuan Anda sangat hebat, mana mungkin sobat ini berani merendahkan Anda? Mungkin dia belum mempertimbangkannya dengan baik. Beri dia sedikit waktu untuk memikirkannya lagi. Setelah melihat kehebatan Anda nanti, dia akan mengerti." Alvie langsung melerai keduanya begitu melihat situasinya semakin canggung."Benar, Ayah. Saat ini yang paling penting bukan merekrut murid, melainkan mencari harta karun itu. Jangan sampai menunda hal yang penting," sahut Chelliny yang ikut mencairkan suasana. Meski merasa agak menyayangkannya, Chelliny tetap tidak ingin memaksa Luther. Jika sampai kedua belah pihak bermusuhan, ini tidak akan menguntungkannya."Anak muda, kuberi waktu 3 hari untuk mempertimbangkannya. Kalau dalam 3 hari ini kamu berub
Dengan kekuatannya, Yohan bahkan bisa mengangkat beban ratusan kilogram. Namun, kenapa dia bahkan tidak bisa mencabut pedang ini?"Coba lagi," desak Edur.Yohan tidak berani ragu-ragu. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menggenggam pegangan pedang dengan kedua tangan dan menariknya sekuat tenaga. Dengan wajah yang merah padam, Yohan mengerahkan seluruh kekuatannya. Akan tetapi, pedang hitam itu malah tidak bergerak sama ssekali."Guru, nggak bisa. Aku nggak bisa mencabutnya," ujar Yohan dengan keringat bercucuran."Dasar tak berguna! Mencabut pedang saja nggak bisa, biar aku saja!" Kansan tidak tahan lagi melihat hal ini. Dia mengajukan diri dan mendorong Yohan ke samping. Kansan meludah ke kedua tangannya dan menggosoknya. Setelah mempersiapkan diri, Kansan meraih gagang pedang itu dan menarik napas dalam-dalam. Dengan menggerakkan energi sejati di tubuhnya, Kansan menarik dengan sekuat tenaga. Namun, pedang hitam itu tetap tidak bergerak sama sekali."Sialan, aku nggak percaya!" Kan
Melihat pedang hitam yang dipegang Luther, semua orang membelalak dengan tak percaya. Mereka benar-benar tidak menyangka pedang yang tadinya tidak bisa digerakkan sama sekali itu malah melontar keluar dengan sendirinya. Bahkan, pedang itu terbang ke tangan Luther sendiri.Yang paling mengejutkan lagi adalah Luther sama sekali tidak memegang pedang pusaka itu. Dia hanya menjulurkan kedua jarinya untuk mengendalikan pedang itu. Seakan-akan terpanggil oleh sesuatu, pedang itu tiba-tiba melontar dan mendarat di tangan Luther.Kenapa bisa begitu? Bahkan setelah bersusah payah mengerahkan sekuat tenaga pun, mereka tidak bisa mencabut pedang itu. Kenapa pedang itu langsung terbang begitu Luther mengulurkan jarinya? Beda perlakuan? Diskriminasi? Memangnya mereka bukan manusia?"Nggak! Nggak mungkin! Mana mungkin semudah itu!" Kansan membelalakan matanya dengan kaget. Pedang yang bahkan tidak bisa dicabut gurunya, kenapa malah menyerahkan dirinya kepada Luther? Situasi macam apa ini?"Astaga, a
Pria tua di hadapannya ini benar-benar tak tahu berterima kasih. Dia malah menjadi serakah ingin memonopoli pedang pusaka ini."Anak muda, kamu harus tahu, aku bukan sedang menanyakan pendapatmu." Ekspresi Edur menjadi dingin saat berkata, "Benda pusaka akan menarik perhatian dari berbagai pihak. Pedang pusaka ini nggak cocok untukmu. Kamu baru bisa selamat kalau menyerahkannya padaku.""Ketua Edur, didengar dari ucapanmu, kamu sedang mengancamku?" tanya Luther seraya menyipitkan matanya."Aku sedang menasihatimu. Orang bijak bisa mengenali peluang. Kamu masih muda, masih banyak kesempatan di masa depan. Tidak perlu mengorbankan masa depanmu hanya untuk sebuah pedang, bukan?" Edur terus memberikan nasihat. Dia benar-benar bertekad untuk mendapatkan pedang ini.Jika bukan karena takut malu, dia pasti sudah merebut pedang ini sedari tadi."Guru, pedang pusaka ini hanya cocok untuk orang yang berjodoh. Luther berjodoh dengannya, bukankah nggak pantas Guru melakukan hal ini?" tanya Alvie.
"Nih, kalau kamu sanggup, cabut saja sendiri," tantang Luther. Luther malas berdebat dengan pria tua itu. Setelah menempatkan pedang itu ke tempatnya semula, Luther langsung berbalik ke arah pintu batu. Di dalam ruangan batu itu ada 3 pintu batu, Luther memilih salah satunya dan langsung masuk.Demi menghargai Chelliny dan Alvie, Luther tidak ingin terlibat dalam keributan dengan mereka. Dia lebih memilih untuk pergi begitu saja. Lagi pula, Edur juga tidak mungkin bisa mencabut pedang itu. Tidak masalah jika dia meninggalkan pedang itu di tempatnya semula.Hal terpenting saat ini adalah menemukan bunga bakung lelabah hitam. Setelah menemukan bunga itu, masih belum terlambat bagi Luther untuk kembali mengambil pedang tersebut."Bocah sialan, berhenti!" Melihat Luther hendak pergi, Edur kesal bukan main. Dia mengangkat telapak tangannya dan hendak melayangkan serangan mematikan."Berhenti!" Chelliny tiba-tiba menghalanginya lagi. Edur terkejut sejenak. Dia takut akan melukai anaknya sehi
"Paman, kita bukan murid Istana Hawa, apa perlu bersujud?" tanya Charlotte."Kita harus hormati orang yang sudah meninggal, bersujudlah." Luther menganggukkan kepalanya. Vernita dulunya adalah ahli berbakat yang sangat dihormati. Meski sekarang telah meninggal, mereka tetap harus menghargainya."Oh." Charlotte menanggapi dengan singkat, lalu bersujud tiga kali.Gluduk, gluduk! Tiba-tiba batu nisan itu bergetar dan mulai runtuh, hingga akhirnya menghilang. Pada saat bersamaan, muncul sebuah kotak kayu yang sangat indah menggantikan batu nisan tersebut."Paman, ada sesuatu!" teriak Charlotte dengan mata berbinar. Dia segera membuka kotak itu dan melihat isinya. Di dalamnya ada sebuah mutiara berwarna emas. Mutiara ini sangat indah dan memukau. Cairan berwarna keemasan di dalamnya terus berputar membentuk sebuah pusaran yang menyerap energi dari langit dan bumi."Astaga! Ternyata ini Mutiara Spiritual?" Maple membelalakkan matanya dengan kaget. Bahkan Luther yang selalu terlihat tenang pu