"Aku sudah gegabah karena menamparmu malam itu. Aku ingin meminta maaf padamu." Ariana menggigit bibirnya, lalu meneruskan, "Tapi, aku melakukan itu demi kebaikanmu. Jenderal Andrew punya latar belakang yang terhormat. Kamu akan mendapatkan masalah kalau melukainya.""Latar belakang Andrew memang cukup hebat, tapi belum tentu aku takut padanya," sahut Luther dengan tidak acuh."Luther, Andrew bukan orang sembarangan. Kamu nggak bisa menyinggung tokoh besar seperti dia," ujar Ariana untuk memperingatkan.Andrew masih muda, tetapi sudah begitu berprestasi. Dia memiliki status tinggi, juga memiliki banyak pasukan. Hanya dengan satu perintah, Andrew sudah bisa mengerahkan pasukannya. Menyinggung orang seperti ini sama saja dengan mencari mati."Terserah kamu mau gimana. Ya sudah kalau kamu merasa aku nggak boleh menyinggungnya." Luther malas menjelaskan panjang lebar. Dia tahu bahwa Ariana tidak akan memercayainya."Kenapa? Kamu masih marah?" tanya Ariana sambil mengernyit."Untuk apa mara
"Sudah ketemu? Siapa pelakunya?" tanya Luther dengan ekspresi serius."Anggota Sekte Assassin. Dia sudah lama bersembunyi di kediaman Keluarga Hutomo. Dia membakar dupa untuk membuat Tuan Larry jatuh pingsan dan membunuhnya!" jelas Welton."Sekte Assassin lagi?" Luther mengernyit sambil bertanya, "Di mana pelakunya sekarang? Apa sudah ditemukan?""Menurut hasil penyelidikan, dia sedang bersembunyi di rumah yang terletak di kaki Gunung Akua," jawab Welton."Segera kumpulkan elite Faksi Kirin! Jangan sampai dia kabur!" perintah Luther."Baik!" Welton mengiakan, lalu segera berbalik dan keluar.Dua puluh menit kemudian, Luther memimpin ratusan elite Faksi Kirin untuk pergi ke Gunung Akua. Supaya musuh tidak berwaspada, mereka tidak memberi tahu siapa pun dan bertindak dengan sangat hati-hati.Ketika sekelompok orang itu tiba di Gunung Akua, langit sudah malam. Kemarin, Gunung Akua sangat ramai karena kompetisi seni bela diri. Namun, malam ini justru sangat sunyi.Dilihat dari kejauhan, se
"Cepat naik ke mobil! Bawa Bianca pergi dari sini!" seru Luther langsung."Gimana denganmu?" tanya Bianca sambil mengernyit."Mereka nggak akan bisa melukaiku. Kalian pergi dulu, aku akan melindungi kalian," desak Luther.Sembari berbicara, Luther melemparkan jarum perak di tangannya untuk membunuh para penembak runduk yang bersembunyi. Namun, musuh yang hendak mengepung terlalu banyak sehingga Luther sulit untuk mengendalikan situasi."Jaga dirimu baik-baik!" Bianca mengangguk dan tidak berbasa-basi lagi. Dia bergegas naik ke mobil karena tahu kehadirannya hanya akan membuat Luther sulit berkonsentrasi."Ronald, lindungi Bianca dengan baik!" pesan Luther sambil menoleh menatap Ronald dengan serius."Tuan tenang saja, aku nggak akan membiarkan siapa pun melukai Nona Bianca!" Ronald memanggil beberapa orang kepercayaannya, "Kalian naik ke mobil, ikut aku menerobos kepungan musuh!""Baik!" Setelah mengiakan, beberapa orang itu segera mengemudikan mobil untuk mengawal Ronald. Sebelum bena
Saat ini, di Vila Embun, beberapa mobil yang dipenuhi bekas tembakan dan asap hitam berhenti di depan. Begitu pintu mobil dibuka, Bianca, Ronald, dan lainnya segera keluar."Nona, kamu baik-baik saja, 'kan?" tanya Ronald dengan cemas. Entah berapa banyak peluru yang menembak mobil mereka saat menerobos kepungan barusan."Aku baik-baik saja, cepat utus orang untuk membantu Luther," desak Bianca."Oh, Nona benar." Ronald buru-buru berteriak, "Kerahkan semua anggota Faksi Kirin. Ambil senjata kalian masing-masing. Kalian harus selamatkan Tuan Luther!""Baik!" Anggota kepercayaan Ronald segera mengiakan, lalu berlari masuk untuk memanggil orang. Tidak berselang lama, sekelompok anggota Faksi Kirin langsung menyerbu ke Gunung Akua."Nona, Tuan Luther sangat kuat, apalagi ada begitu banyak orang yang membantunya. Dia pasti akan baik-baik saja. Kamu istirahat dulu di vila ini." Ronald menyeka keringat, lalu membawa Bianca masuk ke ruang rapat."Ronald, sebenarnya Luther sudah menyinggung siap
"Nona Bianca, cepat lari!" Ronald menggertakkan giginya sambil menghunuskan pedangnya untuk membuka jalan demi Bianca. Bianca juga tidak berani ragu-ragu, dia langsung berlari keluar dari ruang rapat. Saat berbalik melihat situasinya lagi, Ronald dan beberapa orang lainnya telah terbaring dalam genangan darah."Tangkap wanita itu, jangan biarkan dia lolos!" teriak Welton. Dalam hatinya sangat mengerti bahwa Bianca adalah kelemahan Luther. Kalaupun Luther tidak meninggal, dia masih menggunakan Bianca sebagai sandera."Kejar!" teriak sekelompok murid Aula Puma saat mengejarnya. Ronald yang tubuhnya telah bersimbah darah, tiba-tiba bangkit. Dia menerobos beberapa orang itu dan berlari hingga ke paling depan untuk menutup pintu ruang rapat."Nona Bianca, cepat lari!" teriak Ronald seraya menutup pintu."Sialan, cari mati kamu!" Welton sangat murka. Dia merebut pisau dari bawahannya, lalu menebas Ronald berulang kali. Namun, Ronald tetap bersikeras menutup pintu. Dia tidak mau melepaskan ta
"Ronald!" panggil Luther setelah bisa bereaksi. Ekspresinya berubah drastis. Dia buru-buru mengeluarkan jarum peraknya untuk mengunci titik meridian Ronald dan menghentikan darah. Namun, luka di tubuh Ronald terlalu banyak, darahnya sama sekali tidak bisa dihentikan.Melihat kondisi seperti ini, Luther bergegas menyalurkan energi sejati ke tubuh Ronald. Dia berusaha memperpanjang hidup Ronald untuk mencari secercah kesempatan agar bisa menyelamatkannya. Saat energi sejati memasuki tubuh, mata Ronald terbuka dengan perlahan-lahan."Tu ... Tuan Luther .... Akhirnya kamu kembali juga." Ronald bertanya dengan suara lirih, "No ... Nona Bianca ... baik-baik saja?""Nggak masalah, dia sangat aman." Luther memaksakan senyuman."Syukurlah ... kalau baik-baik saja." Ronald tersenyum tipis. "Tuan Luther, aku nggak ingkar janji. Sesuai perintahmu, aku telah ... melindungi Nona Bianca.""Ya, kamu sudah bekerja keras. Kamu telah menepati janjimu," kata Luther mengangguk. Meski sudah banyak sekali en
Setelahnya, ponsel Ronald tidak bisa dihubungi sama sekali. Lantaran merasa khawatir, istrinya langsung membawa putrinya untuk bergegas ke sini. Saat melihat darah di depan pintu, hatinya sudah tidak karuan."Kak Ronald! Kak Ronald, di mana kamu?" teriak wanita hamil itu. Namun, semua anggota Faksi Kirin hanya berdiri sambil menunduk, tidak bersuara sama sekali. Keheningan yang mencekam meliputi seluruh Vila Embun."Kak Ronald?" Saat wanita hamil itu tiba di depan pintu ruang rapat, dia langsung mematung di tempat. Jasad yang bermandikan darah di lantai itu suaminya? Wanita itu berjalan perlahan-lahan dengan tercengang. Dia tidak berani percaya dengan apa yang dilihatnya. Saat memastikan wajah Ronald, wanita itu baru menangis histeris karena tertampar kenyataan."Kak Ronald! Sadarlah .... Sadarlah! Buka matamu, lihat kami! Kenapa? Kenapa bisa begini?" Wanita hamil itu menangis tersedu-sedu. Air mata membanjiri wajahnya.Becca juga menangis, dia berlari ke hadapan Ronald dan mengguncang
Di sebuah vila mewah di timur kota. Welton sedang berbaring di sofa sambil merokok. Kakinya diangkat di meja teh. Pergelangan kakinya masih menggantung tangan Ronald yang bersimbah darah. Dua orang bawahannya sedang berjongkok di samping meja untuk melepaskan tangan itu dengan berhati-hati. Karena cengkeramannya terlalu kuat, kuku tangan itu telah menancap di kaki Welton."Sialan, pelan-pelan!" teriak Welton sambil menendang bawahannya karena kesakitan."Sudah hampir selesai," jawab bawahan itu. Setelah berusaha keras, mereka akhirnya berhasil melepaskan tangan itu."Ronald sialan, bahkan sudah mati pun nggak mau lepaskan tangannya. Apa perlu sampai begitu demi seorang bocah sialan?" maki Welton. Setelah Faksi Kirin berdiri, dia selalu menunggu kesempatan ini. Meski jabatannya sebagai ketua saat ini lumayan bagus, bahkan mendapat keuntungan yang lebih besar dibandingkan dulu, tidak berarti Welton rela bekerja di bawah orang lain.Selama ini, Welton adalah orang yang ambisius. Dia selal