Klang! Luther tak kuasa termangu saat melihat belati yang terjatuh ke samping kakinya. Belati ini memang pemberian Raiden. Namun, setelah minum-minum kemarin, dia meletakkannya di kamar.Ketika berangkat ke kediaman Keluarga Hutomo pagi ini, Luther pun tidak memperhatikannya. Tanpa diduga, belati ini malah menjadi senjata yang membunuh Larry. Dengan kata lain, Luther telah menjadi tersangka utama."Kenapa diam saja? Kamu ingin memberitahuku belati ini dicuri seseorang?" tanya Klark dengan raut wajah suram.Luther mengernyit. Jawaban yang sudah dipersiapkannya seketika tidak bisa dilontarkan. Dia memang ingin mengatakan belati itu dicuri, tetapi pasti tidak ada yang memercayainya."Bocah, bukti terpampang jelas sekarang. Kamu masih ingin mengelak?" bentak Kin dengan gusar."Ayah, nggak usah basa-basi dengannya. Langsung bunuh saja dia supaya dendam Kakek terbalaskan," sahut Jaden untuk memanas-manasi."Luther, kamu benar-benar membunuh Tuan Larry?" Raiden yang sedari tadi diam akhirnya
Anggota Keluarga Hutomo dan Aliansi Bela Diri hanya 1.000-an orang. Sementara itu, seluruh Faksi Kirin setidaknya berjumlah 4.000 sampai 5.000 orang. Terlepas dari kemampuan mereka, energi yang ditunjukkan mereka saja sudah cukup mengerikan.Itu sebabnya, para pesilat yang terus berteriak ingin membunuh Luther sontak terdiam. Lagi pula, Faksi Kirin bukan hanya memiliki senjata tajam, tetapi juga senjata api. Begitu mereka menembak, pesilat tingkat sejati tidak akan mampu menahannya."Tuan, kamu baik-baik saja?" tanya Johan yang membawa elite Faksi Kirin mengadang di depan Luther untuk menjadi tameng."Aku baik-baik saja," sahut Luther sembari menggeleng. Tidak akan ada yang bisa menghalanginya jika dia ingin kabur. Namun, takutnya reputasinya akan menjadi buruk."Luther, kamu kira pasukanmu mampu melawan pengawal bayangan Keluarga Hutomo?" bentak Klark dengan murka.Meskipun anggota Faksi Kirin sangat banyak, mereka hanya akan mati kalau pengawal bayangan turun tangan. Tentunya, kerugi
"Pil Tujuh Hari Kematian?" Ketika melihat pil berwarna hitam itu, banyak orang yang menunjukkan ekspresi ketakutan.Pil itu memiliki toksisitas yang sangat tinggi. Begitu dikonsumsi, seseorang sudah pasti akan mati jika tidak mendapatkan penawarnya. Bahkan, basis kultivasi setinggi apa pun tidak akan bisa membantu."Luther, kalau kamu memang nggak bersalah, makan saja pil itu!" bentak Klark."Ya, kami nggak akan pergi sebelum kamu menelan pil itu!" seru anggota Keluarga Hutomo lainnya.Mereka tentu merasa enggan jika Luther bisa bebas begitu saja. Namun, situasi akan berbeda setelah Luther menelan Pil Tujuh Hari Kematian. Tidak peduli tipu muslihat apa yang dimainkan, dia tidak akan terlepas dari kematian sebelum memberi mereka penjelasan."Oke, aku akan memakannya," ujar Luther sambil mengangguk. Kemudian, dia memasukkan pil itu ke mulutnya."Tuan, jangan!" Ronald buru-buru menghentikan saat melihatnya. "Pil ini beracun, kamu akan mati kalau memakannya!""Dia tetap akan mati kalau ngg
Jika Raiden tidak memberikannya waktu untuk menyelidiki insiden ini, mungkin pertempuran besar sudah terjadi sekarang. Ketika saat itu tiba, situasi akan sulit untuk dikendalikan."Luther, aku nggak bisa membantumu secara terang-terangan. Tapi, kamu boleh mencariku kalau ada masalah," ucap Raiden dengan sungguh-sungguh."Terima kasih, Tuan Raiden." Luther menangkupkan tangannya."Masalah sudah seperti ini, jaga dirimu baik-baik." Raiden menggeleng sambil menghela napas.Anggota Keluarga Hutomo dan lainnya datang dan pergi dengan cepat. Ketika melihat Luther menelan pil itu, mereka tahu bahwa dia sudah pasti akan mati. Bisa dibilang, tidak penting lagi apakah Luther adalah pelaku yang sebenarnya atau bukan."Tuan Luther, kamu benar-benar gegabah! Kenapa mengorbankan nyawamu sendiri?" Johan menghela napas, tidak memahami tindakan Luther ini."Semua ahli bela diri dari Jiman dan Jiberia berkumpul di luar. Kemampuan kalian masih belum cukup untuk membuat mereka mundur," sahut Luther dengan
Entah berapa lama kemudian, Luther membuka matanya, lalu mendapati dirinya sudah berada di rumah sakit. Racun dalam tubuhnya berhasil distabilkan untuk sementara waktu, tetapi kondisinya masih buruk."Sayang, akhirnya kamu siuman!" Terdengar seruan kaget dari samping. Begitu menoleh, Luther pun melihat Bianca yang duduk di samping ranjangnya dengan ekspresi cemas."Bianca, kenapa kamu di sini?" tanya Luther yang tertegun melihat kemunculan wanita ini."Ronald bilang kamu jatuh pingsan, aku tentu harus datang. Gimana? Mana yang sakit?" tanya Bianca dengan penuh perhatian."Aku baik-baik saja, hanya kecapekan dan butuh tidur," jawab Luther dengan nada santai."Kecapekan apanya? Jelas-jelas Tuan keracunan," gumam Ronald yang berdiri di samping dengan lirih."Diam!" tegur Luther sambil memelotot dengan galak."Apa? Keracunan? Kok bisa?" tanya Bianca sembari mengerutkan dahinya."Hanya racun kecil, bukan masalah. Aku akan sembuh habis makan obat," ucap Luther yang tersenyum."Kamu yakin?" B
"Hore! Aku akan pergi bermain besok!" Begitu mendapatkan persetujuan dari Luther, Becca sontak berseru kegirangan. Dia pun tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada Luther, "Terima kasih, Paman. Aku doakan Paman panjang umur dan sakit selamanya!""Sakit selamanya?" Bianca termangu mendengarnya, lalu tertawa terbahak-bahak. Anak ini sungguh menarik."Hei, sembarangan saja! Yang benar adalah sehat selamanya!" tegur Ronald sambil memelotot."Tuan, maaf sekali. Putriku masih kecil, belum terlalu pintar bicara. Tolong jangan dimasukkan ke hati, ya." Junifer buru-buru meminta maaf. Luther sedang sakit, tetapi putrinya malah berbicara seperti itu. Kesannya terlalu lancang."Nggak apa-apa, namanya juga anak-anak." Luther tersenyum dan tidak terlalu peduli."Paman, besok aku ulang tahun. Kamu mau merayakannya bersamaku nggak?" tanya Becca sembari memiringkan kepalanya."Oke, Paman akan datang besok," jawab Luther sambil mengelus kepala kecil Becca."Hore!" Becca langsung melompat kegiran
"Sudah, Becca, jangan menyulitkan Paman Luther lagi. Lihat, keningnya sampai seperti air mancur," ucap Bianca yang tidak bisa menahan tawa. Hanya Luther yang bisa dipersulit oleh anak kecil sampai seperti ini."Paman keringatan? Aku akan membantumu menyekanya," tanya Becca dengan penuh perhatian. Dia mengambil tisu, lalu membantu Luther mengelapnya."Becca, hari sudah malam. Kamu dan ibumu pulang dulu," ujar Ronald."Tapi, aku masih ingin mengobrol dengan Paman Luther," sahut Becca yang enggan pulang."Besok hari ulang tahunmu, Paman akan menemanimu ngobrol lagi nanti," ujar Luther segera."Serius?" Becca tampak sangat gembira mendengarnya."Tentu saja." Luther menganggukkan kepalanya dengan sungguh-sungguh."Kalau begitu, kita janji kelingking dulu," kata Becca sambil mengulurkan jari kelingkingnya. Luther pun tersenyum, lalu mengaitkan jari kelingkingnya dan diikuti dengan ibu jari."Paman, ada rahasia yang ingin kuberi tahu." Becca mendekati telinga Luther untuk berbisik, "Ayahku se
"Aku sudah gegabah karena menamparmu malam itu. Aku ingin meminta maaf padamu." Ariana menggigit bibirnya, lalu meneruskan, "Tapi, aku melakukan itu demi kebaikanmu. Jenderal Andrew punya latar belakang yang terhormat. Kamu akan mendapatkan masalah kalau melukainya.""Latar belakang Andrew memang cukup hebat, tapi belum tentu aku takut padanya," sahut Luther dengan tidak acuh."Luther, Andrew bukan orang sembarangan. Kamu nggak bisa menyinggung tokoh besar seperti dia," ujar Ariana untuk memperingatkan.Andrew masih muda, tetapi sudah begitu berprestasi. Dia memiliki status tinggi, juga memiliki banyak pasukan. Hanya dengan satu perintah, Andrew sudah bisa mengerahkan pasukannya. Menyinggung orang seperti ini sama saja dengan mencari mati."Terserah kamu mau gimana. Ya sudah kalau kamu merasa aku nggak boleh menyinggungnya." Luther malas menjelaskan panjang lebar. Dia tahu bahwa Ariana tidak akan memercayainya."Kenapa? Kamu masih marah?" tanya Ariana sambil mengernyit."Untuk apa mara