"Siapa pun dirimu, nggak ada hubungannya denganku," kata Luther sambil mengangkat bahunya."Lancang sekali! Aku ini adalah murid langsung dari Dokter Benji! Kalau kamu berani bersikap nggak sopan padaku, artinya kamu sedang menentang Sekte Dokter Sakti! Percaya nggak, hanya dengan satu perintah dariku saja, aku sudah bisa menghabisimu!" ancam Declan.Orang yang bisa hadir di sini adalah orang yang berhubungan dalam dunia medis. Sementara itu, kekuasaan Sekte Dokter Sakti sangat besar di segala penjuru. Bahkan semua orang berkuasa dalam dunia medis juga harus menghormatinya. Menghancurkan seorang tokoh kecil adalah hal yang sangat mudah."Wah, aku takut sekali. Coba saja hancurkan aku," balas Luther dengan tak acuh. Gayanya yang semena-mena ini membuat Declan kesal bukan main. "Kamu ... benar-benar menjengkelkan! Tunggu saja!""Sudah selesai bicaranya? Kalau sudah, silakan pergi," kata Luther dengan tak sabaran. Dia melambaikan tangannya, seolah-olah sedang mengusir lalat."Kamu ...!" D
"Diam semuanya!" Saat semua orang sedang sibuk membicarakan masalah ini, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang sangat berwibawa. Selanjutnya, muncul sekumpulan petinggi Lembah Obat dari luar aula. Pemimpin dari gerombolan tersebut tentunya adalah Ketua Lembah Obat yang dijuluki sebagai "Raja Obat", Paulo! Orang-orang di belakang yang mengikutinya adalah beberapa tetua dari Lembah Obat dan beberapa pengawas."Orang itu Raja Obat, ya? Ternyata memang berwibawa sesuai reputasinya!""Kalau bisa menang hari ini, kita akan bisa menjadi murid langsung Raja Obat. Masa depan kita juga pasti akan sangat cerah!"Kehadiran Paulo membuat seisi ruangan itu menjadi sangat serius. Semua orang memandangnya dengan tatapan hormat. Raja Obat adalah salah satu dari tiga dokter sakti di Jiman. Bukan hanya ilmu medisnya yang hebat, muridnya juga tersebar di berbagai penjuru. Siapa pun harus bersikap hormat terhadap pria itu. Begitu menjadi murid Raja Obat, masa depan mereka juga akan sangat terjamin."Hari i
Setelah mencicipi obat tersebut tiga kali, Declan tak kuasa menahan senyumannya. Dia langsung mulai menuliskan bahan-bahan obat itu dalam kertas ujiannya. Setelah menulis beberapa baris, dia kembali mencicipinya untuk memastikan. Declan melanjutkan untuk menulis setelah merasa yakin dengan jawabannya. Waktu yang dibutuhkannya bahkan kurang dari sepertiga waktu yang diberikan."Aku sudah selesai," ujar Declan sambil mengangkat tangan. Suaranya tidak keras, tetapi menarik perhatian semua orang di sana."Serius? Waktunya masih kurang dari setengah jalan, dia sudah selesai?""Huh! Aku nggak percaya dia bisa sehebat itu. Pasti hanya asal-asalan menuliskannya!" Semua orang mulai sibuk membicarakannya. Ada yang merasa kaget, ada juga yang meragukannya."Coba kulihat." Pengawas berbaju hitam maju untuk memeriksa kertasnya. Seketika, matanya berbinar dan memuji Declan, "Hebat juga. Jawabannya benar semua, kamu dapat nilai sempurna!"Mendengar hal itu, suasana mulai riuh. "Sialan, nilai sempurna
"Nilai nol?" Mendengar ucapan itu, semua orang terbengong sesaat, lalu tertawa terbahak-bahak. Semua orang memandang Luther seakan-akan sedang melihat orang bodoh."Hahaha ... lucu sekali. Berani-beraninya dia memamerkan nilai nol? Kenapa bisa tebal muka begini?""Dari gayanya tadi kelihatannya sangat hebat, ternyata cuma berlagak.""Aku tulis asal-asalan saja mungkin masih bisa benar satu atau dua jenis. Kenapa dia bisa sampai nilai nol? Coba bagi tipsnya biar kita bisa tertawa."Semua orang mulai mengejek Luther. Saat melihatnya menulis dengan lancar tadi, semua orang menganggapnya adalah seorang ahli. Namun, apa hasilnya? Nilai nol itu langsung membuat Luther menjadi bahan tertawaan seisi aula."Nak, harus kuakui, kamu benar-benar tebal muka. Sudah nilai nol masih bisa selantang itu, salut!" kata Declan sambil mengacungkan jempol."Bilang saja kalau nggak ada kemampuan, kenapa harus berlagak seperti ini? Buat malu diri sendiri saja," timpal Vania."Nilai nol?" Luther tidak memedulik
"Dia nggak salah, memang ada Aconitum di dalam obat itu," timpal Paulo. Ucapannya ini sekali lagi membuat semua orang terkejut."Apa?!" Pengawas berbaju hitam sontak terperanjat. "Ketua, Anda tidak salah, 'kan? Seingatku, tidak ada Aconitum dalam resep obat ini. Meskipun para tetua di sana tidak mengatakan apa pun, wajah mereka menunjukkan kebingungan. Obat yang direbus ini sesuai dengan resep yang ditentukan, tidak ada yang berani sembarangan mengubahnya. Jadi, mana mungkin ada Aconitum di dalamnya?"Awalnya memang nggak ada, tapi aku tiba-tiba kepikiran untuk menambahkannya," kata Paulo."Tiba-tiba kepikiran?" Mendengar ucapannya, semua orang langsung saling memandang. Bukankah jawaban ini terlalu sembrono?"Ketua, Aconitum sangat kontradiktif dengan bahan di dalam obat ini. Kenapa Anda menambahkannya?" Pengawas berbaju hitam mengerutkan keningnya dan bertanya dengan ucapan yang sama dengan seperti yang dikatakannya pada Luther barusan. Tak disangka, hanya dalam sekejap, dia langsung
"Apa?" Begitu mendengar perkataan itu, ekspresi semua orang sontak berubah. Botol obat di tangan mereka terjatuh ke tanah dan pecah menjadi serpihan. Tidak ada yang menyangka, apa yang mereka cicip tadi adalah racun. Jelas-jelas ini hanya ujian masuk sekte untuk mengidentifikasi komponen obat, kenapa sekarang malah nyawa mereka jadi terancam? Apakah semuanya harus seekstrem itu?"Ketua, apa ini nggak terlalu berlebihan?" kata pengawas berbaju hitam sambil mengernyitkan alisnya. Tanggung jawab utama Lembah Obat adalah untuk menyelamatkan orang, menggunakan racun sebagai ujian tampaknya menjadi ambigu."Obat dan racun tak memiliki batasan yang jelas. Terkadang, racun juga bisa menyelamatkan orang tergantung bagaimana kalian menggunakannya. Asalkan efektif, metodenya tak penting," kata Paulo dengan tenang."Tapi ....""Sudahlah."Pengawas berbaju hitam itu masih ingin mengatakan sesuatu, tetapi Paulo malah mengangkat tangan dan menghentikannya. "Lembah Obat tidak menerima orang yang tak
Pada saat ini, banyak orang mulai mengalami reaksi keracunan. Ada yang pusing, perutnya sakit, tangan dan kakinya kejang. Gejalanya berbeda-beda, tetapi semua itu berdampak besar pada proses meracik pil. Sayangnya, mereka tidak bisa mundur lagi sekarang. Jalan satu-satunya adalah tetap bertahan untuk melanjutkan meracik pil.Saat itu, seorang tetua berjenggot putih tiba-tiba bertanya, "Ketua, menurut Anda, siapa yang akan menjadi peringkat pertama hari ini?""Declan dan Vania cukup bagus. Mereka punya bakat yang mencolok dalam bidang medis, tapi aku lebih tertarik dengan pemuda itu," kata Paulo sambil mengalihkan pandangannya ke Luther."Dia?"Tetua berjenggot putih melirik ke arah Luther dan merasa aneh. "Ketua, pemuda itu hanya orang yang nggak terkenal, tadi dia hanya beruntung bisa menebaknya. Dibandingkan dengan genius seperti Declan dan Vania, dia masih kalah jauh."Baik dari latar belakang keluarga, bakat alami, atau keahlian medis, kedua belah pihak berada pada tingkat yang ber
Duar!Saat tungku pemurnian pil Luther meledak, semua orang secara refleks menoleh ke arahnya. Ada yang terkejut, bingung, dan bahkan ada yang merasa senang melihatnya. Terutama Declan dan Vania yang tertawa terbahak-bahak."Hahaha .... Tungku pemurnianmu meledak, ya? Aku pikir kamu sehebat apa, ternyata hanya begini saja?" sindir Declan.Saat melihat penampilan Luther yang mengesankan sebelumnya, Declan menganggap Luther sebagai saingannya, sehingga dia meracik pil tadi dengan seluruh kemampuannya. Namun sekarang, Declan merasa dirinya terlalu berlebihan. Orang yang tungku pemurniannya meledak tidak pantas menjadi saingannya."Ternyata, sampah tetap sampah. Keberuntungan sesaat tidak akan mengubah apa pun. Menerima sedikit tekanan saja, dia sudah kembali ke bentuk aslinya," kata Vania dengan cuek.Vania berpikir bagaimana seorang dokter desa rendahan seperti ini bisa dibandingkan dengan genius dari Sekte Dokter Sakti sepertinya?"Ketua, selama ini Anda pandai menilai orang, tapi hari