"Ke ... kenapa bisa begitu? Mustahil!" Malcolm membelalakkan mata dengan tak percaya. Meskipun tidak punya prestasi apa pun, selama ini Malcolm tidak pernah membuat kesalahan. Ditambah lagi dengan pendukungnya yang selalu melindunginya, kehidupan Malcolm di perusahaan ini sangat tenang dan berkuasa.Dengan koneksinya saat ini, bahkan jika perusahaan harus melakukan PHK pun, Malcolm tidak mungkin dipecat. Apa yang telah terjadi sebenarnya?"Kak Malcolm, kamu dipecat?" Melihat ekspresi Malcolm yang berubah drastis, Roselyn juga ikut tercengang. Bukankah Malcolm mengatakan dia bisa menangani transaksi ini dengan mudah? Sekarang bukan hanya transaksinya yang gagal, bahkan Malcolm juga sudah dipecat?"Kelihatannya ada masalah." Ariana merenung sambil mengernyit. Awalnya dia mengira Malcolm akan bisa membantunya. Kini tampaknya cara ini tidak akan bisa berhasil."Okto! Katakan sejujurnya, apakah ini ulahmu?!" bentak Malcolm dengan tatapan tajam."Aku nggak ada dendam apa pun denganmu, untuk
Menyenangkan sekali rasanya bisa membanggakan diri di depan begitu banyak orang.Ding!Pada saat ini, muncul sebuah pesan pada layar ponsel Okto. Begitu melihat isi pesan tersebut, dia tampak kaget. Setelah memastikan beberapa kali, wajahnya terhias senyuman semringah."Apa yang kamu tertawakan?" tanya Malcolm dengan wajah kesal."Malcolm, mimpi indahmu sepertinya akan hancur. Aku baru dapat pesan dari manajemen, katanya pamanmu juga sudah dipecat. Sekarang kalian berdua senasib," kata Okto dengan tenang."Omong kosong!" Malcolm memelototinya dan berkata, "Pamanku itu Presdir. Siapa yang punya kuasa untuk memecatnya?""Tentu saja Pak Fernando," jawab Okto dengan lantang.Malcolm sama sekali tidak percaya. "Pamanku adalah tangan kanan Pak Fernando, mana mungkin dia dipecat begitu saja tiba-tiba? Jangan bicara omong kosong!""Terserah kamu mau percaya apa nggak," jawab Okto. Dia malas berdebat dengan orang seperti ini. Meski tidak tahu apa yang terjadi, jelas sekali Malcolm dan pendukung
"Kenapa bisa begitu?" Malcolm terduduk di lantai dengan putus asa. Bahkan mimpi pun dia tidak akan menyangka bahwa orang yang dimakinya kemarin itu benar-benar Pak Fernando. Kini, dia bukan hanya dipecat, Malcolm bahkan menyeret pamannya dalam masalah. Kedua orang ini kini berada di titik terendah."Bajingan! Kenapa masih bengong di sini? Ikut aku pergi meminta maaf pada Pak Fernando!" Pria botak itu langsung menarik rambut Malcolm. Lalu, dia menyeret Malcolm dengan kasar keluar dari ruangan itu. Malcolm yang diseret itu pun tidak berani melawan sama sekali."Hah?" Melihat adegan ini, Roselyn terdiam seribu bahasa. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Malcolm yang tadinya masih begitu sombong, kini berakhir begitu mengenaskan."Orang sombong pasti akan kena karmanya sendiri, rasakan!" Okto mendengus sekilas, lalu berbalik dan masuk ke ruangannya."Sepertinya Kak Malcolm-mu itu sudah cukup banyak masalah," celetuk Luther."Semua ini gara-gara mulut busukmu itu! Kalau bukan karena kam
Begitu ucapan itu dilontarkan, ruangan pintu manajer tiba-tiba terbuka. Selanjutnya, Okto tiba-tiba keluar dengan tergesa-gesa. Saking paniknya, dia bahkan hampir saja terjatuh."Maaf, siapa yang namanya Tuan Luther?" tanya Okto sambil melihat ke sekeliling dengan gugup."Aku," jawab Luther sambil melangkah maju."Maafkan aku, Tuan Luther. Aku tidak mengenalimu tadi dan membuat kalian menunggu. Semoga Tuan tidak mempermasalahkan hal ini denganku," kata Okto sambil berlari kecil ke hadapan Luther. Sikapnya tidak lagi seangkuh sebelumnya. Dia membungkuk terhadap Luther dengan hormat."Hah?" Melihat sikapnya yang segan ini, Roselyn dan Ariana tertegun seketika. Sikap Okto tadinya sangat kejam, dia bahkan tidak menganggap serius Malcolm. Namun hanya dalam sekejap, kenapa sikapnya jadi begitu hormat terhadap Luther? Ada apa ini?"Pak Okto terlalu sungkan. Kita mulai saja bahas bisnisnya," ujar Luther berterus terang."Baik, baik ...." Okto mengangguk terus-menerus dan berkata dengan senyum
Sore hari di vila Keluarga Caonata. Saat Luther mendapat kabar itu dan bergegas ke lokasi, dia menemukan bahwa seluruh Keluarga Caonata telah dikepung oleh tentara bersenjata lengkap. Ratusan elite Keluarga Caonata telah berjaga di depan gerbang dan bersitegang dengan pasukan bersenjata tersebut, tanpa ada tanda-tanda mau mengalah sama sekali."Dengarkan baik-baik, semua anggota Keluarga Caonata, cepat serahkan pelakunya. Kalau tidak, kita akan menghukum kalian semua!" teriak seorang perwira yang menjadi pemimpin mereka. Suaranya sangat lantang dan bergema. Pasukan di belakangnya bersiap-siap memegang senjata masing-masing dengan ekspresi yang dingin. Begitu komandannya memberi perintah, mereka akan langsung menembak tanpa ragu-ragu."Hm?" Melihat situasi yang tegang di antara kedua pihak, Luther mengerutkan alisnya. Kenapa Keluarga Caonata bisa tiba-tiba berurusan dengan kemiliteran?"Komandan, ada masalah apa kalian sampai mengerahkan pasukan penuh seperti ini?" tanya Luther."Kami h
"Ayah, selain minum, apa kamu juga melakukan hal lain?" tanya Bianca lagi."Apa maksudmu?" tanya Kevin dengan heran."Ayah, coba pikirkan lagi dengan cermat. Jangan sampai ada kesalahan sedikit pun!" kata Bianca dengan wajah serius."Sepertinya aku terlalu mabuk semalam sehingga tidak ingat apa pun lagi. Ada apa sebenarnya?" Kevin mengerutkan alisnya."Ayah, putri Pak Derrick semalam meninggal!" kata Bianca."Apa? Meninggal?" Kevin tertegun sejenak, lalu bertanya, "Kenapa bisa begitu?""Detailnya masih belum diketahui, tapi orang luar semua mengatakan bahwa putri Pak Derrick itu dibunuh olehmu!" kata Bianca menjelaskan."Aku membunuhnya?" Kevin membelalakkan mata dengan heran dan menggeleng sambil berkata, "Tidak! Nggak mungkin! Meskipun mabuk, aku nggak mungkin membunuh orang!" Meskipun toleransi alkohol Kevin cukup rendah, setidaknya dia tidak pernah berbuat onar saat mabuk. Biasanya setelah mabuk, dia akan tertidur pulas tanpa melakukan apa pun."Aku juga nggak percaya, tapi ada sak
"Mereka sudah masuk?" Ekspresi Bianca langsung berubah drastis. "Cepat, suruh pengawal untuk menghalangi mereka!" Sebelum menyelidiki masalah ini, Bianca tidak mungkin akan membiarkan ayahnya ditangkap."Tunggu!" Kevin tiba-tiba memanggil kepala pelayan yang hendak keluar itu, "Biarkan mereka masuk. Jangan ada yang menghalangi mereka!""Ayah! Apa maksudmu?" Bianca mengernyitkan alisnya."Untuk apa takut? Aku nggak pernah melakukan kesalahan," kata Kevin dengan lantang."Tapi ....""Apa kamu pernah kepikiran, begitu kamu turun tangan melawan mereka, nama baikku nggak akan bisa dipulihkan lagi," kata Kevin dengan serius. Derrick adalah seorang wakil jenderal, melawannya secara terang-terangan sama saja dengan tindakan pemberontakan. Keluarga Caonata tidak akan bisa menanggung semua ini."Benar kata Kevin, kita nggak boleh melawan kekerasan dengan kekerasan. Turunkan perintah, suruh semua anggota Keluarga Caonata untuk menyingkir!" perintah Billy."Baik!" Kepala pelayan itu tidak berdaya,
Susan selalu percaya dengan suaminya ini. Namun, kenyataan saat ini membuat hatinya hancur berkeping-keping."Kevin! Lihat apa yang kamu perbuat!" Juno berteriak dengan marah."Kamu ... kamu benar-benar bajingan! Kamu nggak pantas jadi kepala keluarga!" Billy naik pitam dan melayangkan tinju ke wajah Kevin. Perbuatannya ini benar-benar mempermalukan nama baik keluarga."Ayah, kamu ...." Bianca mengerutkan alis dengan dalam dan menghentikan ucapannya. Awalnya, dia sangat yakin ayahnya telah dijebak seseorang. Namun, kini saksi mata dan bukti konkret sudah di depan mata, Bianca benar-benar tidak tahu harus bagaimana berdalih.Saat ini, Kevin juga merasa sangat terkejut. Orang yang muncul di video itu memang benar wajahnya sendiri. Selain itu, pakaian yang dikenakannya juga sama. Jangan-jangan, dia memang membunuh orang dalam keadaan mabuk?"Pfft!!" Kevin tidak sanggup menerima kenyataan ini, dia langsung memuntahkan darah dan wajahnya berubah menjadi pucat pasi."Ayah!" Bianca memapahnya