Luther menuju ke puncak Gunung Talaka tanpa halangan apa pun. Pada akhirnya, dia berdiri di depan pintu biara. Di atas pintu itu, terlihat tulisan yang besar, yaitu Biara Isikala.Biara Isikala tidak kecil ataupun besar. Dari penampilan luarnya, biara ini sudah tua sehingga banyak bagian bangunan yang terlihat rusak.Tanpa diduga, Raja Toraba yang hebat malah bersembunyi di biara seperti ini. Luther maju sembari mengetuk pintu dengan ringan.Alhasil, tidak ada respons apa pun dari dalam. Sesaat kemudian, Luther mengetuk dengan lebih kuat dan terdengar suara kekanak-kanakan dari dalam. "Ya, sebentar."Pintu biara akhirnya dibuka. Terlihat seorang biksu kecil yang berusia 7 atau 8 tahun menjulurkan kepala ke luar. Dia menatap Luther dengan penasaran dan bertanya, "Tuan, ada yang bisa kubantu?""Aku tersesat di gunung ini dan kebetulan melihat biara ini. Aku ingin minta air minum, apa boleh?" Luther berbohong."Boleh, silakan masuk." Biksu kecil itu tidak mencurigai Luther sehingga langsu
"Siapa kamu? Apa tujuanmu kemari?" Kedua biksu itu sontak berpindah posisi. Mereka berdiri di depan dan belakang Luther untuk menghalangi jalannya.Mereka telah mengasingkan diri selama bertahun-tahun dan jarang berinteraksi dengan orang luar. Kini, tiba-tiba muncul orang asing yang mengatakan ingin bertemu dengan raja mereka. Jelas, orang ini punya niat jahat."Namaku Gerald. Aku datang untuk menemui Raja Toraba. Aku harap kalian bisa memberiku jalan," sahut Luther dengan nada datar."Gerald?" Kedua biksu itu bertatapan, lalu terkejut. Mereka tidak menduga Gerald yang menghilang 10 tahun lalu akan tiba-tiba datang kemari."Tuan, ini biara, nggak ada raja di sini. Kamu salah tempat," ujar biksu berwajah bulat dengan suara rendah."Aku datang jauh-jauh kemari. Aku tulus ingin menemuinya. Tolong laporkan kedatanganku," ucap Luther sambil menangkupkan tangannya."Tuan, tolong jangan persulit kami. Biara kami sangat kecil, nggak cocok untuk orang sepertimu," ujar biksu berwajah bulat lagi.
Aula di Biara Isikala tidak termasuk besar dan tidak ada dekorasi mewah. Di depan sana, hanya terdapat patung Buddha Sakyamuni setinggi 3 hingga 4 meter. Tempat ini cukup rapi dan bersih.Di depan patung itu, duduk seorang pria paruh baya bertubuh kurus. Biksu itu mengenakan jubah berwarna kuning dan merah. Dia memejamkan mata sambil memukul ikan kayu dan melafalkan kitab suci."Master, Tuan Gerald sudah tiba," ujar biksu berjubah kuning itu sambil maju.Esmond akhirnya menghentikan gerakan tangannya. Dia perlahan-lahan berdiri, lalu menangkupkan tangan kepada Luther dan menyapa, "Tuan Gerald, lama nggak berjumpa.""Benar, sudah 10 tahun berlalu." Luther mengangguk, lalu bertanya, "Aku seharusnya memanggilmu Master Esmond atau Raja Toraba?""Aku sudah memutuskan seluruh hasrat duniawi. Panggil saja aku Esmond," timpal Esmond sembari menunduk."Oke." Luther tersenyum tipis, lalu berkata, "Master Esmond, aku datang untuk mencari jawaban atas keraguanku.""Kamu ingin bertanya tentang insi
"Oke." Luther tidak berbasa-basi lagi. Dia langsung bertanya ke intinya, "Aku hanya punya satu pertanyaan, siapa dalang di balik insiden itu? Siapa yang ingin membunuh kami?"Esmond mengangguk karena sudah menduga akan pertanyaan ini. Akan tetapi, dia tidak langsung menjawab, melainkan bertanya balik, "Apa kamu pernah mendengar tentang Paviliun Lingga?""Paviliun Lingga?" Luther memicingkan mata sambil menyahut, "Walter pernah membahasnya, tapi aku nggak tahu apa-apa tentang kelompok itu.""Kalau begitu, biar kujelaskan." Ekspresi Esmond tampak serius. "Paviliun Lingga sudah ada sebelum Negara Drago didirikan. Kelompok ini berada di atas kekaisaran dan memiliki banyak ahli bela diri, terutama Master Paviliun Lingga yang bernama Deska. Kemampuannya sungguh tak terprediksi.""Di seluruh dunia, selain ahli bela diri hebat dari Gunung Narima yang nggak pernah menampakkan diri itu, nggak ada yang bisa bersanding dengan Deska. Selain itu, kaisar sekarang juga diangkat oleh Deska. Dengan kata
Luther tidak pernah meminta siapa pun mempertaruhkan nyawa demi dirinya. Esmond memilih untuk berpangku tangan demi keselamatan sendiri. Menurut Luther, pria ini tidak bersalah."Ayahmu menolongku berkali-kali dan begitu memercayaiku, tapi aku malah nggak bisa membantu di saat kritis seperti itu. Aku benar-benar malu pada diriku sendiri," ujar Esmond dengan sedih.Esmond akan merasa lebih baik jika Luther memaki atau menghajarnya. Namun, Luther malah tidak menyalahkannya sedikit pun. Hal ini membuatnya merasa makin bersalah."Aku punya pertanyaan lagi. Kami dan Paviliun Lingga nggak punya dendam apa pun. Kenapa Deska ingin membunuh kami?" tanya Luther."Karena posisi kalian membuat mereka merasa terancam!" Esmond menjelaskan dengan tanpa daya, "Sepuluh tahun lalu, kekuasaan Raja Atlandia sangat besar. Reputasi kalian ada di mana-mana dan melampaui kekaisaran. Bagi Paviliun Lingga, eksistensi kalian telah mengancam posisi mereka.""Hanya karena sedikit ancaman, Paviliun Lingga sudah ing
"Pengkhianat?" Luther mengernyit mendengarnya. Dia sepertinya pernah mendengar tentang ini sebelumnya, tetapi tidak menganggapnya serius. Setelah mendengar Esmond mengatakannya, dia menjadi penasaran. Dia bertanya, "Siapa pengkhianat itu?""Kenji, jenderal yang berada di bawah komando ayahmu," sahut Esmond."Paman Kenji? Gimana mungkin? Bukannya dia sudah gugur?" tanya Luther dengan bingung. Kenji adalah orang kepercayaan ayahnya. Keduanya selalu terjun ke medan perang bersama, bahkan sudah seperti saudara kandung.Sepuluh tahun lalu, Kenji mengawal mereka sekeluarga ke ibu kota dengan status komandan. Dia pun membunuh banyak musuh sepanjang perjalanan.Terutama setelah terjadi kekacauan besar di Kota Terlarang, Kenji bahkan mengorbankan nyawanya untuk mengawal ibu Luther, Emily, keluar dari kota. Bagaimana bisa pahlawan seperti ini disebut sebagai pengkhianat?"Aku juga sangat terkejut saat mengetahuinya. Aku menyelidikinya berkali-kali, tapi petunjuk akhir yang kudapatkan tertuju pad
Mihran masih ingin mengatakan sesuatu, tetapi Esmond sudah mengangkat tangan dan menyela, "Jangan basa-basi lagi, cepat pergi.""Baik." Mihran memelototi Luther, lalu pergi dengan terburu-buru."Ladho, bawa Tuan ini turun dari gunung belakang. Kamu harus melindunginya dengan baik," ucap Esmond."Master, gimana denganmu?" tanya biksu berjubah kuning itu sambil mengernyit. Sebelum menjadi biksu, Ladho adalah seorang komandan. Kemudian, dia mengikuti Esmond menjadi biksu untuk melindunginya. Selama bertahun-tahun ini, dia tidak pernah meninggalkan Esmond. Dia tentu tidak rela jika harus melakukannya demi mengawal orang asing."Ada Mihran dan Mibhar di sini. Aku akan baik-baik saja. Cepat pergi, jangan menunda waktu," desak Esmond."Baik." Ladho menangkupkan tangan, lalu segera membawa Luther pergi. Sebelum pergi, Luther menoleh melirik Esmond. Dia mendapati pria ini melafalkan paritta lagi, seperti telah membulatkan tekad."Silakan, Tuan." Ladho membawa Luther memasuki halaman belakang bi
Begitu pintu batu tertutup rapat, alis Luther menjadi makin berkerut. Dia bukan merasa takut, melainkan tidak menyukai tindakan Ladho. Esmond menyuruh Ladho membawanya turun gunung, tetapi pria ini malah mencampakkannya ke lubang api. Tindakan seperti ini jauh lebih menyebalkan daripada orang yang tidak melakukan apa pun."Gerald, nggak usah dilihat lagi. Nggak bakal ada yang menolongmu di sini. Kamu pasti mati hari ini," ucap seorang pria bertopeng serigala sambil melangkah maju dari kerumunan."Roman, ngapain kamu memakai topeng? Kamu merasa malu bertemu denganku?" sindir Luther dengan dingin.Begitu ucapan ini dilontarkan, pria bertopeng itu tertegun sesaat sebelum tertawa terbahak-bahak. Dia tidak menyangkal, melainkan melepaskan topengnya. Orang itu memang Roman."Hebat juga kamu. Kamu berhasil membongkar penyamaranku," ucap Roman yang merasa terkejut. Dia sudah menyimpan auranya dan mengubah suaranya, tetapi Luther bisa langsung mengenalinya."Kamu bisa mengubah penampilan dan su