"Apa Dean ada di dalam?" Victor bertanya pada Jossy setelah berdiri di depan meja kerja sekretaris Dean."Ada, tapi ...."Ketika melihat wajah ragu Jossy, Victor memajukan tubuhnya dan bertanya dengan pelan padanya. "Kenapa? Dia sedang bersama seseorang di dalam?"Jossy menggeleng, kemudian menjawab dengan suara rendah juga. "Suasana hati CEO Dean sedang tidak baik.""Memangnya apa yang terjadi?"Jossy akhirnya menceritakan saat Dean pergi bersama Rebecca dan ketika kembali bersama asistennya, wajah Dean sudah terlihat sangat menyeramkan.Jossy bahkan tidak berani masuk ke ruangan untuk sekedar meminta tanda tangan pria itu. Akhirnya dia hanya bisa menunggu Dean menghubunginya, tapi sudah 3 jam berlalu, bosnya itu tidak kunjung memanggilnya.Bahkan Dean tidak keluar dari ruangannya untuk makan siang. Padahal, waktu makan siang sudah berlalu dua jam lalu."Kalau begitu, aku akan datang lain kali."Sementara di dalam ruangan, Dean terlihat sedang berdiri di depan dinding kaca yang berada
Pukul setengah 10 pagi, Julian sudah berada di rumah Lucia. Dia sedang berbincang di ruangan tamu bersama dengan ibu Lucia, sementara Lucia sendiri sedang bersiap-siap di kamarnya. Pagi tadi, Lucia sudah memberitahu ibu dan ayahnya mengenai bantuan Julian. Keduanya pun merasa lega karena tidak jadi kehilangan rumah mereka.Ketika Julian datang, ayahnya sempat menemui pria itu dan berterima kasih langsung padanya karena sudah mau membantunya. Ayah Lucia berjanji akan segera membayar hutang tersebut setelah kondisi perusahaannya membaik.Setelah berbincang sebentar dengan Julian, Tuan Mathias kembali ke kamarnya untuk beristirahat, jadi Julian hanya ditemani Nyonya Helia selagi Lucia berganti pakaian."Julian, aku sudah siap. Ayo, kita berangkat."Julian berdiri, lalu berpamitan pada Nyonya Helia. Selain berpamitan, Julian juga meminta izin untuk mengajak Lucia untuk jalan-jalan setelah urusan di bank selesai.Karena besok Julian akan kembali ke kotanya, jadi dia ingin menghabiskan wak
"Lucia, aku akan kembali ke sini minggu depan. Aku akan mencari jalan lain untuk mendapatkan rumah itu sebelum acara lelang dilaksakan," ucap Julian.Saat ini dia dan Lucia tengah berada di bandara. Lucia sengaja mengantar Julian karena mobil yang disewa pria itu selama berada di kota Y sudah dikembalikan oleh pria itu.Sebenarnya, Julian bisa menaiki taksi atau menaiki mobil layanan antar-jemput tamu di tempatnya menginap, tapi Lucia tidak mau itu. Julian sudah baik padanya, jadi dia tidak akan membiarkan pria itu ke bandara sendiri."Kalau kau memiliki banyak pekerjaan, tidak perlu memaksakan diri untuk ke sini. Aku bisa datang ke acara lelang bersama Renata.""Jangan. Akan aku kosongkan jadwalku di hari itu. Kalaupun nanti aku tidak bisa datang karena hal penting, aku akan mengirim orang untuk menemanimu." Julian meraih sebuah kertas berbentuk persegi panjang berukuran kecil lalu memberikan pada Lucia. "Untuk jaga-jaga jika aku tidak bisa datang. Kau bisa menggunakan cek ini. Tulis
"Jika kau menginginkan sertifikat rumah itu, hubungi saja Dean. Jangan pernah menelponku lagi ke depannya. Aku tidak mau lagi berurusan kalian berdua." Ucapan Tuan Jemmy kembali tergiang-ngiang di benaknya. Setelah selesai menelpon Tuan Jemmy, Lucia terus memikirkan tentang tujuan Dean membeli rumahnya. Pantas saja kemarin pihak bank tidak ada yang datang untuk menyegel rumahnya itu. Padahal sebelumnya, Tuan Adrian sudah meminta Lucia dan keluarganya untuk mengosongkan rumahnya pagi kemarin. Ternyata rumah itu sudah dibeli oleh Dean, tapi kalau pria itu sudah membelinya, kenapa dia tidak memberitahunya? Apa jangan-jangan Dean ingin langsung mengusirnya dari rumah tanpa membawa apa pun? Apa dia masih belum puas melihat keluarganya hancur? Apa dia benar-benar ingin membuatnya menderita dan kehilangan semua baru dia mau berhenti mengganggunya? Sebelum terusir dari rumah itu, dia harus membeli kembali rumahnya. Dia tidak mau pergi dari rumah itu. Julian sudah bilang akan membantun
Mendengar itu, bola mata Dean bergerak cepat. Namun, wajahnya terlihat masih datar. "Kakek, sepertinya kau salah paham padaku." Dean menyilangkan kedua kakinya setelah duduk bersandar di sofa. "Aku dan Carlos memang memiliki masalah yang belum terselesaikan sejak dulu. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan Lucia," ungkap Dean dengan santai. "Yang memasukkan dia ke penjara juga bukan aku. Aku hanya memastikan tidak ada yang membantunya lolos dari jerat hukum seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya. Lagi pula, Lucia mau menikah dengan siapa, itu bukan urusanku" Tuan Federick mendengkus kasar, kemudian berkata, "Masih berpura-pura. Kakek tahu kau tidak akan membiarkan Lucia menikah dengan orang lain." Meskipun dituduh seperti itu oleh kakeknya, Dean masih terlihat tenang. Perdebatan seperti itu sudah sering terjadi antara mereka berdua, jadi Dean sudah terbiasa. "Kakek, aku tahu kau sangat menginginkan dia menjadi istriku, tapi hubungan kami sudah berakhir, kau harus terima itu.
"Lucia, kau sudah datang?" Ucapan Tuan Federick, membuat Dean dan ibunya seketika menoleh ke arah wanita bertubuh langsing yang sedang berjalan ke arah mereka. Jantung Lucia serasa ingin melompat keluar ketika tatapannya bertemu dengan iris hitam Dean. Semakin dekat jarak mereka, semakin keras juga debaran jantung Lucia. Apalagi, sejak tadi pandangan Dean terus tertuju padanya. "Kakek, maaf, aku datang terlambat." Jalanan menuju vila keluarga Anderson sedikit macet dan juga lokasinya jauh dari rumah Lucia jadi membutuhkan waktu sekitar 1.5 jam untuk tiba di sana. "Tidak apa-apa. Kau datang ke sini saja kakek sudah senang." Lucia akhirnya berhenti di depan Tuan Federick yang sedang duduk diapit oleh Dean dan Nyonya Arnetta. Ketika tatapannya bertemu dengan Nyonya Arnetta, Lucia segera menyapa dengan sopan, tapi sayangnya hanya ditanggapi dengan anggukan oleh Ibu Dean. "Di mana, Nenek?" tanya Lucia ketika tidak melihar keberadaan Nyonya Sheema di sana. "Dia sedang istirahat di ka
"Bu, cukup." Arnetta menatap putranya dan bertanya padanya dengan tidak senang, "Sampai kapan kau mau menyembunyikan darinya?" Dean merendahkan suaranya agar tidak terdengar jelas oleh Lucia. "Bu, masalah juga tidak akan selesai jika kita memberitahunya." "Setidaknya dia harus tahu kalau Jensen adalah penyebab utamanya. Dia yang sudah mengacaukan semuanya." Mendengar nama kakaknya disebut, Lucia menjadi semakin heran. "Kenapa Bibi menyalahkan kakakku? Sementara anakmu sendiri yang sudah menghancurkan hidupku. Dia yang sudah membatalkan pernikahan kami." Dan juga, pria itu yang sudah mengambil kesuciannya. Tidak terima anaknya disalahkan, Nyonya Arnetta akhirnya melangkah melewati Dean dan berhenti tepat di depan Lucia. "Jika kau tidak lari keluar negeri, kalian pasti sudah menikah saat ini. Jika kau bisa bersabar sedikit saja, hubungan kalian—" "Bu, sudah cukup!" potong Dean, "jangan membahas itu lagi. Semunya sudah berlalu." Meskipun tidak setuju dengan perkataan anaknya, Nyon
"Bibi, di mana Dean?" Rebecca yang sejak tadi mencari keberadaan Dean, akhirnya bertanya pada Nyonya Arnetta ketika melihatnya sedang berjalan menuju kamar Nyonya Sheema. "Dia sepertinya sedang bersama tamu lain," jawab Arnetta. Dia sengaja berbohong pada Rebecca karena tidak ingin dia tahu kalau Dean sedang bersama Lucia saat ini. "Aku sudah mencarinya ke seluruh tempat Bibi, tapi Dean tidak ada." Dia hanya melihat Tuan Federick sedang mengobrol dengan tamunya tadi. "Mungkin dia sedang pergi dengan Nolan. Kau coba saja hubungi dia," saran Nyonya Arnetta. "Aku sudah menghubunginya tadi, tapi tidak diangkat." Dia bahkan sudah menelponnya hingga sepuluh kali, tapi tidak ada satu pun yang dijawab oleh Dean. Begitupun pesan yang dia kirim. "Kau tunggu saja dulu. Nanti bibi bantu hubungi Dean." Nyonya Arnetta menghampiri Tuan Federick setelah berbicara pada Rebecca. Kalau Rebecca mengatakan Dean tidak ada di seluruh tempat, itu artinya putranya itu pergi bersama Lucia. "Ayah, di man
"Bernice, maafkan aku. Aku tidak bisa menepati janjiku untuk membawa Jensen." Lucia memeluk adik Dean dengan mata yang memerah. Setelah pulang dari pusat perbelanjaan, Lucia langsung meminta Dean untuk mengantarnya ke rumah sakit tempat Bernice dirawat. Setelah itu, Dean mengantar ibunya untuk pulang ke apartemen. Jadi saat ini, mereka hanya berdua. "Jensen tidak akan kembali. Dia sudah memiliki kehidupan baru dengan orang lain. Tolong relakan dia. Aku yakin suatu saat nanti, kau akan menemukan pria yang tulus mencintaimu," ucap Lucia dengan suara bergetar. "Kau bisa melampiaskan kemarahanmu padaku, kapan pun kau mau. Aku berjanji akan menebus kesalahan kakakku seumur hidupku." Lucia tidak bisa lagi membendung air mata yang sejak tadi dia berusaha tahan. Tubuh bergetar, karena berusaha meredam suara tangisnya. "Akan kulakukan apa pun demi kesembuhanmu." Hening selama beberapa saat. Setelah itu, tiba-tiba saja Lucia mendengar suara lirih Bernice, "Kak, aku mau pulang." Lucia langs
"Lucia, aku ke toilet dulu," kata Dean sambil berdiri. "Kau tunggu di sini dulu." "Baiklah." Saat ini, mereka sedang berada di restoran yang ada di pusat perbelanjaan di kota Bristol. Mereka baru saja dari rumah sakit sebelum ke sana. Rencananya mereka akan kembali ke kota Y tiga hari lagi. Itu sebabnya, mereka ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan Dokter kandungan sekaligus meminta surat izin untuk melakukan penerbangan jarak jauh. Untuk pulang ke negaranya, Dean sengaja menyewa seorang Dokter Kandungan selama mereka melakukan penerbangan, karena takut terjadi apa-apa dengan istrinya selama penerbangan. Beruntung Dean menggunakan jet pribadi. Jadi, segala sesuatunya sudah diurus sedemikian rupa demi kenyaman Lucia selama penerbangan. Sudah 4 hari Dean berada di Bristol. Jadi, dia harus segera kembali ke kota Y, dikarenakan banyak pekerjaan yang sudah menunggunya. Sebenarnya, Lucia masih ingin di Bristol menemani Bernice dan ibu mertuanya. Hanya saja, Dean melarangnya, karena
"Kau yakin tidak mau dirawat?" tanya Dean setelah keluar dari ruangan Dokter Kandungan. Mereka baru saja selesai memeriksakan kehamilan Lucia. Setelah istrinya bangun dan selesai sarapan, Dean langsung mengajaknya ke rumah sakit. Dia sangat khawatir dengan kondisi janin dalam perut istrinya, mengingat bagaimana semalam dia menggempur istrinya. Selain itu juga, Lucia belum pernah memeriksakan lagi kehamilannya semenjak mengetahui dirinya hamil seminggu yang lalu. Itu sebabnya, dia mengajak istrinya untuk memeriksakan kondisi kehamilannya. Lucia yang juga ingin tahu tentang janin dalam kandunganya, tidak menolak ketika Dean mengajaknya untuk ke rumah sakit. Lagi pula, dia memang sengaja menunggu Dean karena ingin memeriksakan kehamilannya bersama suaminya. "Aku baik-baik saja, Dean. Kau dengar sendiri bukan apa yang dikatakan oleh Dokter tadi?" Dean mengangguk ringan, kemudian tersenyum tipis. Setelah mengetahui tidak terjadi apa-apa dengan kandungan istrinya, dia baru bisa bernapas
"Bu, di mana istriku?" Dean bertanya sembari berjalan mendekati ibunya yang sedang duduk di sofa ruangan keluarga. Dean baru saja tiba di apartemen yang disewa ibunya selama tinggal di Bristol. "Dia di kamarnya," jawab Nyonya Arnetta. "Kenapa kau baru ke sini?"Dean menggulung lengan kemejanya setelah itu berkata, "Ada sedikit masalah di perusahaan. Jadi, terpaksa aku memundurkan penerbanganku.""Istrimu sudah menunggumu sejak dua hari yang lalu. Kasihan dia kecewa saat tahu kau tidak jadi ke sini. Sudah dua hari ini dia nampak sedih dan lesu."Dean sedikit terkejut mendengar itu. Pasalnya, setiap berkomunikasi dengan istrinya, Lucia tidak pernah menampilkan raut wajah sedih dan kecewa. "Apa dia sedang sakit?""Dia sedang tidak enak badan. Sejak kemarin dia—"Belum usai ibunya bicara, Dean langsung memotongnya setelah mendengar istrinya tidak enak badan. "Aku akan menemuinya.""Dean istrimu sedang ..."Dean bergegas menuju kamar yang ditempati Lucia tanpa menunggu penjelasan lengkap
"Di mana Carissa?" tanya Dean setelah asistennya masuk ke ruangan kerjanya."Sedang dalam perjalanan, Tuan.""Lalu Rebecca?""Sudah di tempat yang Tuan perintahkan."Dean berpikir sebentar, lalu berkata, "Tunggu di bawah. Aku hubungi istriku dulu."Nolan menjawab seraya mengangguk, kemudian keluar dari ruangan itu."Sayang, kau sedang apa?" tanya Dean setelah panggilan telponnya tersambung. "Baru selesai makan. Kau kapan ke sini?" Terdengar suara Lucia di ujung telpon."Belum tahu. Pekerjaanku masih banyak."Tidak terdengar apa pun di sebrang sana, hingga Dean kembali membuka suaranya, "Kenapa? Sudah merindukan aku?""Bekerjalah, aku tutup dulu telponnya."Tahu kalau istrinya sedang marah, Dean segera berbicara, "Aku akan ke sana lusa.""Benarkah?" Suara Lucia terdengar antusias, tidak lesu seperti sebelumnya. "Kau tidak berbohong, kan?""Tidak. Setelah urusanku selesai. Aku akan langsung terbang ke sana."Lucia terdengar memekik kegirangan. Sepertinya dia merasa sangat senang saat t
"Sayang, makanlah. Ini sudah sore." Dean sedang berusaha membujuk istrinya untuk makan, karena sejak pulang dari rumah sakit, Lucia langsung mengurung diri kamar hotel. Dia terus berbaring sambil melamun.Sudah berkali-kali Dean mengajaknya untuk makan, tapi Lucia menolak. Alasannya, karena dia tidak selera makan. Akhirnya Dean membiarkan istrinya untuk sendiri dulu. Dia tahu kalau istrinya itu masih terkejut dengan dengan kondisi Bernice. Jadi, butuh waktu untuk menerima kenyataan yang ada."Aku belum lapar," jawab Lucia tanpa menoleh pada Dean. Lucia nampak sedang duduk di dekat dinding kaca kamarnya sembari menatap ke luar dengan tatapan kosong.Dean akhirnya menghampiri istrinya setelah meletakkan makanan yang tadi baru saja diambil dari atas nakas. "Tapi, kau harus tetap makan. Aku tidak mau kau sakit."Lucia memutar tubuhnya ke samping setelah suaminya berdiri tepat di sampingnya. "Nanti aku akan makan jika sudah lapar."Kau masih memikirkan Bernice?”Lucia mengangguk dengan waj
"Jangan terlalu dipikirkan. Aku akan meminta orang untuk mencarinya lagi." Dean akhirnya angkat bicara setelah melihat istrinya sejak tadi diam saja. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat Bernice dirawat. Semenjak tidak berhasil mengikuti mobil hitam yang diduga dinaiki Jensen, Lucia menjandi murung. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi dia lebih banyak diam sejak kemarin."Kita pasti bisa menemukannya. Jangan cemas lagi," ujar Dean sembari menatap istrinya yang duduk di sebelahnya."Aku tidak mencemaskannya, tapi aku marah padanya." Suara Lucia mulai terdengar bergetar. "Bagaimana bisa dia hidup tanpa beban setelah menghancurkan hidup Bernice." Mata Lucia pun mulai berkaca-kaca, dan tidak lama setelahnya, air matanya pun luruh begitu saja. Entah kenapa, belakangan ini, dia merasa sangat sensitif. Mudah sekali menangis. Padahal, dulu dia tidak begitu."Jika dia tidak peduli denganku, aku masih bisa memakluminya, tapi aku tidak bisa memaafkannya, karena
"Kenapa tidak tidur?" tanya Dean lembut usai menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. "Tidak mengantuk?"Lucia menggeleng pelan seraya memainkan jemari tangannya di dada suaminya. Saat ini, dia sedang berbaring miring dengan kepala yang berada di lengan suaminya. Sementara itu, ada tangan Dean melingkar di pinggangnya."Tidur sebentar. Setelah itu kita makan di bawah."Bagaimanapun, mereka belum istirahat. Dia langsung mengajak istrinya ke rumah sakit tempat adiknya dirawat, setelah tiba di Bristol. Setelah itu, baru membawanya ke hotel. Bukannya membiarkan istrinya istirahat, dia justru menghajar istrinya tanpa ampun. Jadi, dia takut istrinya lelah."Aku tidak mengantuk."Lucia sudah lama tidur di pesawat. Jadi, wajar saja kalau tidak mengantuk. Meskipun dia merasa tubuhnya pegal, tapi matanya tidak mau terpejam."Tidak lelah?" tanya Dean seraya menunduk ke bawah untuk melihat wajah istrinya. "Tidak."Tidak?Dean nampak mengerutkan keningnya. Istrinya terlalu tanggguh atau sta
Lucia mengurai pelukan Dean, mendongakkan kepada hingga netranya bertabrakan dengan mata hitam Dean. "Kau belum menjelaskan mengenai pertemuanmu dengan Carissa. Kenapa kau sering sekali bertemu dengannya di hotel berbeda?"Bukannya menjawab pertanyaan Lucia, Dean justru menarik senyuman sangat tipis di bibirnya, kemudian menggodan Lucia. "Kau sungguh berpikir aku memiliki hubungan dengan Carissa?""Sudahlah. Percuma saja bertanya padamu." Wajah Lucia nampak cemberut, dia mendorong dada suaminya dengan pelan. Saat dia akan bangkit, tangan Dean langsung menahan pinggangnya."Mau ke mana?""Tidak ke mana-mana," jawan Lucia acuh tak acuh."Masih cemburu dengannya?" tanya Dean seraya mengamati eskpresi istrinya. Tatapannya begitu lekat hingga membuat Lucia menjadi salah tingkah.Melihat Lucia bungkam, Dean kembali tersenyum tipis. "Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Carissa. Aku bertemu dengannya, karena ada hal penting yang harus aku bicarakan dengannya.""Hal penting apa?"Dean m