Tatapan Lucia pun langsung bertemu dengan netra hitam milik Dean. Dadanya berdebar tidak terkendali ketika Dean menatap lekat dirinya. Ini pertama kalinya, pria itu menatapnya seperti itu. Sebenarnya dulu, Dean sering menatapnya seperti itu, tapi semenjak hubungan keduanya putus, hanya tatapan dingin dan tajam yang selalu dia lihat dari mata pria itu."Silahkan masuk, Tuan Anderson," ucap Manager toko itu dengan ramah sambil mengarahkan tangannya ke dalam toko.Setelah Manager itu berbicara, Dean masih bergeming di pintu masuk. Entah dia tidak mendengar ucapan Manager itu, atau dia memang enggan masuk.Disisi lain, Rebecca yang melihat Dean hanya diam, akhirnya menyentuh lengannya. "Dean, ayo kita masuk." Ucapan Rebecca memutuskan kontak mata antara Dean dan Lucia. "Aku ingin membeli baju untukmu."Rebecca mengapit lengan Dean masuk ke dalam toko dengan wajah gembira, berbeda sekali dengan Dean yang hanya menampilkan ekspresi acuh tak acuhnya. Setelah berada di dalam toko, Dean memi
"Apa Dean ada di dalam?" Victor bertanya pada Jossy setelah berdiri di depan meja kerja sekretaris Dean."Ada, tapi ...."Ketika melihat wajah ragu Jossy, Victor memajukan tubuhnya dan bertanya dengan pelan padanya. "Kenapa? Dia sedang bersama seseorang di dalam?"Jossy menggeleng, kemudian menjawab dengan suara rendah juga. "Suasana hati CEO Dean sedang tidak baik.""Memangnya apa yang terjadi?"Jossy akhirnya menceritakan saat Dean pergi bersama Rebecca dan ketika kembali bersama asistennya, wajah Dean sudah terlihat sangat menyeramkan.Jossy bahkan tidak berani masuk ke ruangan untuk sekedar meminta tanda tangan pria itu. Akhirnya dia hanya bisa menunggu Dean menghubunginya, tapi sudah 3 jam berlalu, bosnya itu tidak kunjung memanggilnya.Bahkan Dean tidak keluar dari ruangannya untuk makan siang. Padahal, waktu makan siang sudah berlalu dua jam lalu."Kalau begitu, aku akan datang lain kali."Sementara di dalam ruangan, Dean terlihat sedang berdiri di depan dinding kaca yang berada
Pukul setengah 10 pagi, Julian sudah berada di rumah Lucia. Dia sedang berbincang di ruangan tamu bersama dengan ibu Lucia, sementara Lucia sendiri sedang bersiap-siap di kamarnya. Pagi tadi, Lucia sudah memberitahu ibu dan ayahnya mengenai bantuan Julian. Keduanya pun merasa lega karena tidak jadi kehilangan rumah mereka.Ketika Julian datang, ayahnya sempat menemui pria itu dan berterima kasih langsung padanya karena sudah mau membantunya. Ayah Lucia berjanji akan segera membayar hutang tersebut setelah kondisi perusahaannya membaik.Setelah berbincang sebentar dengan Julian, Tuan Mathias kembali ke kamarnya untuk beristirahat, jadi Julian hanya ditemani Nyonya Helia selagi Lucia berganti pakaian."Julian, aku sudah siap. Ayo, kita berangkat."Julian berdiri, lalu berpamitan pada Nyonya Helia. Selain berpamitan, Julian juga meminta izin untuk mengajak Lucia untuk jalan-jalan setelah urusan di bank selesai.Karena besok Julian akan kembali ke kotanya, jadi dia ingin menghabiskan wak
"Lucia, aku akan kembali ke sini minggu depan. Aku akan mencari jalan lain untuk mendapatkan rumah itu sebelum acara lelang dilaksakan," ucap Julian.Saat ini dia dan Lucia tengah berada di bandara. Lucia sengaja mengantar Julian karena mobil yang disewa pria itu selama berada di kota Y sudah dikembalikan oleh pria itu.Sebenarnya, Julian bisa menaiki taksi atau menaiki mobil layanan antar-jemput tamu di tempatnya menginap, tapi Lucia tidak mau itu. Julian sudah baik padanya, jadi dia tidak akan membiarkan pria itu ke bandara sendiri."Kalau kau memiliki banyak pekerjaan, tidak perlu memaksakan diri untuk ke sini. Aku bisa datang ke acara lelang bersama Renata.""Jangan. Akan aku kosongkan jadwalku di hari itu. Kalaupun nanti aku tidak bisa datang karena hal penting, aku akan mengirim orang untuk menemanimu." Julian meraih sebuah kertas berbentuk persegi panjang berukuran kecil lalu memberikan pada Lucia. "Untuk jaga-jaga jika aku tidak bisa datang. Kau bisa menggunakan cek ini. Tulis
"Jika kau menginginkan sertifikat rumah itu, hubungi saja Dean. Jangan pernah menelponku lagi ke depannya. Aku tidak mau lagi berurusan kalian berdua." Ucapan Tuan Jemmy kembali tergiang-ngiang di benaknya. Setelah selesai menelpon Tuan Jemmy, Lucia terus memikirkan tentang tujuan Dean membeli rumahnya. Pantas saja kemarin pihak bank tidak ada yang datang untuk menyegel rumahnya itu. Padahal sebelumnya, Tuan Adrian sudah meminta Lucia dan keluarganya untuk mengosongkan rumahnya pagi kemarin. Ternyata rumah itu sudah dibeli oleh Dean, tapi kalau pria itu sudah membelinya, kenapa dia tidak memberitahunya? Apa jangan-jangan Dean ingin langsung mengusirnya dari rumah tanpa membawa apa pun? Apa dia masih belum puas melihat keluarganya hancur? Apa dia benar-benar ingin membuatnya menderita dan kehilangan semua baru dia mau berhenti mengganggunya? Sebelum terusir dari rumah itu, dia harus membeli kembali rumahnya. Dia tidak mau pergi dari rumah itu. Julian sudah bilang akan membantun
Mendengar itu, bola mata Dean bergerak cepat. Namun, wajahnya terlihat masih datar. "Kakek, sepertinya kau salah paham padaku." Dean menyilangkan kedua kakinya setelah duduk bersandar di sofa. "Aku dan Carlos memang memiliki masalah yang belum terselesaikan sejak dulu. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan Lucia," ungkap Dean dengan santai. "Yang memasukkan dia ke penjara juga bukan aku. Aku hanya memastikan tidak ada yang membantunya lolos dari jerat hukum seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya. Lagi pula, Lucia mau menikah dengan siapa, itu bukan urusanku" Tuan Federick mendengkus kasar, kemudian berkata, "Masih berpura-pura. Kakek tahu kau tidak akan membiarkan Lucia menikah dengan orang lain." Meskipun dituduh seperti itu oleh kakeknya, Dean masih terlihat tenang. Perdebatan seperti itu sudah sering terjadi antara mereka berdua, jadi Dean sudah terbiasa. "Kakek, aku tahu kau sangat menginginkan dia menjadi istriku, tapi hubungan kami sudah berakhir, kau harus terima itu.
"Lucia, kau sudah datang?" Ucapan Tuan Federick, membuat Dean dan ibunya seketika menoleh ke arah wanita bertubuh langsing yang sedang berjalan ke arah mereka. Jantung Lucia serasa ingin melompat keluar ketika tatapannya bertemu dengan iris hitam Dean. Semakin dekat jarak mereka, semakin keras juga debaran jantung Lucia. Apalagi, sejak tadi pandangan Dean terus tertuju padanya. "Kakek, maaf, aku datang terlambat." Jalanan menuju vila keluarga Anderson sedikit macet dan juga lokasinya jauh dari rumah Lucia jadi membutuhkan waktu sekitar 1.5 jam untuk tiba di sana. "Tidak apa-apa. Kau datang ke sini saja kakek sudah senang." Lucia akhirnya berhenti di depan Tuan Federick yang sedang duduk diapit oleh Dean dan Nyonya Arnetta. Ketika tatapannya bertemu dengan Nyonya Arnetta, Lucia segera menyapa dengan sopan, tapi sayangnya hanya ditanggapi dengan anggukan oleh Ibu Dean. "Di mana, Nenek?" tanya Lucia ketika tidak melihar keberadaan Nyonya Sheema di sana. "Dia sedang istirahat di ka
"Bu, cukup." Arnetta menatap putranya dan bertanya padanya dengan tidak senang, "Sampai kapan kau mau menyembunyikan darinya?" Dean merendahkan suaranya agar tidak terdengar jelas oleh Lucia. "Bu, masalah juga tidak akan selesai jika kita memberitahunya." "Setidaknya dia harus tahu kalau Jensen adalah penyebab utamanya. Dia yang sudah mengacaukan semuanya." Mendengar nama kakaknya disebut, Lucia menjadi semakin heran. "Kenapa Bibi menyalahkan kakakku? Sementara anakmu sendiri yang sudah menghancurkan hidupku. Dia yang sudah membatalkan pernikahan kami." Dan juga, pria itu yang sudah mengambil kesuciannya. Tidak terima anaknya disalahkan, Nyonya Arnetta akhirnya melangkah melewati Dean dan berhenti tepat di depan Lucia. "Jika kau tidak lari keluar negeri, kalian pasti sudah menikah saat ini. Jika kau bisa bersabar sedikit saja, hubungan kalian—" "Bu, sudah cukup!" potong Dean, "jangan membahas itu lagi. Semunya sudah berlalu." Meskipun tidak setuju dengan perkataan anaknya, Nyon