Pukul setengah 10 pagi, Julian sudah berada di rumah Lucia. Dia sedang berbincang di ruangan tamu bersama dengan ibu Lucia, sementara Lucia sendiri sedang bersiap-siap di kamarnya. Pagi tadi, Lucia sudah memberitahu ibu dan ayahnya mengenai bantuan Julian. Keduanya pun merasa lega karena tidak jadi kehilangan rumah mereka.Ketika Julian datang, ayahnya sempat menemui pria itu dan berterima kasih langsung padanya karena sudah mau membantunya. Ayah Lucia berjanji akan segera membayar hutang tersebut setelah kondisi perusahaannya membaik.Setelah berbincang sebentar dengan Julian, Tuan Mathias kembali ke kamarnya untuk beristirahat, jadi Julian hanya ditemani Nyonya Helia selagi Lucia berganti pakaian."Julian, aku sudah siap. Ayo, kita berangkat."Julian berdiri, lalu berpamitan pada Nyonya Helia. Selain berpamitan, Julian juga meminta izin untuk mengajak Lucia untuk jalan-jalan setelah urusan di bank selesai.Karena besok Julian akan kembali ke kotanya, jadi dia ingin menghabiskan wak
"Lucia, aku akan kembali ke sini minggu depan. Aku akan mencari jalan lain untuk mendapatkan rumah itu sebelum acara lelang dilaksakan," ucap Julian.Saat ini dia dan Lucia tengah berada di bandara. Lucia sengaja mengantar Julian karena mobil yang disewa pria itu selama berada di kota Y sudah dikembalikan oleh pria itu.Sebenarnya, Julian bisa menaiki taksi atau menaiki mobil layanan antar-jemput tamu di tempatnya menginap, tapi Lucia tidak mau itu. Julian sudah baik padanya, jadi dia tidak akan membiarkan pria itu ke bandara sendiri."Kalau kau memiliki banyak pekerjaan, tidak perlu memaksakan diri untuk ke sini. Aku bisa datang ke acara lelang bersama Renata.""Jangan. Akan aku kosongkan jadwalku di hari itu. Kalaupun nanti aku tidak bisa datang karena hal penting, aku akan mengirim orang untuk menemanimu." Julian meraih sebuah kertas berbentuk persegi panjang berukuran kecil lalu memberikan pada Lucia. "Untuk jaga-jaga jika aku tidak bisa datang. Kau bisa menggunakan cek ini. Tulis
"Jika kau menginginkan sertifikat rumah itu, hubungi saja Dean. Jangan pernah menelponku lagi ke depannya. Aku tidak mau lagi berurusan kalian berdua." Ucapan Tuan Jemmy kembali tergiang-ngiang di benaknya. Setelah selesai menelpon Tuan Jemmy, Lucia terus memikirkan tentang tujuan Dean membeli rumahnya. Pantas saja kemarin pihak bank tidak ada yang datang untuk menyegel rumahnya itu. Padahal sebelumnya, Tuan Adrian sudah meminta Lucia dan keluarganya untuk mengosongkan rumahnya pagi kemarin. Ternyata rumah itu sudah dibeli oleh Dean, tapi kalau pria itu sudah membelinya, kenapa dia tidak memberitahunya? Apa jangan-jangan Dean ingin langsung mengusirnya dari rumah tanpa membawa apa pun? Apa dia masih belum puas melihat keluarganya hancur? Apa dia benar-benar ingin membuatnya menderita dan kehilangan semua baru dia mau berhenti mengganggunya? Sebelum terusir dari rumah itu, dia harus membeli kembali rumahnya. Dia tidak mau pergi dari rumah itu. Julian sudah bilang akan membantun
Mendengar itu, bola mata Dean bergerak cepat. Namun, wajahnya terlihat masih datar. "Kakek, sepertinya kau salah paham padaku." Dean menyilangkan kedua kakinya setelah duduk bersandar di sofa. "Aku dan Carlos memang memiliki masalah yang belum terselesaikan sejak dulu. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan Lucia," ungkap Dean dengan santai. "Yang memasukkan dia ke penjara juga bukan aku. Aku hanya memastikan tidak ada yang membantunya lolos dari jerat hukum seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya. Lagi pula, Lucia mau menikah dengan siapa, itu bukan urusanku" Tuan Federick mendengkus kasar, kemudian berkata, "Masih berpura-pura. Kakek tahu kau tidak akan membiarkan Lucia menikah dengan orang lain." Meskipun dituduh seperti itu oleh kakeknya, Dean masih terlihat tenang. Perdebatan seperti itu sudah sering terjadi antara mereka berdua, jadi Dean sudah terbiasa. "Kakek, aku tahu kau sangat menginginkan dia menjadi istriku, tapi hubungan kami sudah berakhir, kau harus terima itu.
"Lucia, kau sudah datang?" Ucapan Tuan Federick, membuat Dean dan ibunya seketika menoleh ke arah wanita bertubuh langsing yang sedang berjalan ke arah mereka. Jantung Lucia serasa ingin melompat keluar ketika tatapannya bertemu dengan iris hitam Dean. Semakin dekat jarak mereka, semakin keras juga debaran jantung Lucia. Apalagi, sejak tadi pandangan Dean terus tertuju padanya. "Kakek, maaf, aku datang terlambat." Jalanan menuju vila keluarga Anderson sedikit macet dan juga lokasinya jauh dari rumah Lucia jadi membutuhkan waktu sekitar 1.5 jam untuk tiba di sana. "Tidak apa-apa. Kau datang ke sini saja kakek sudah senang." Lucia akhirnya berhenti di depan Tuan Federick yang sedang duduk diapit oleh Dean dan Nyonya Arnetta. Ketika tatapannya bertemu dengan Nyonya Arnetta, Lucia segera menyapa dengan sopan, tapi sayangnya hanya ditanggapi dengan anggukan oleh Ibu Dean. "Di mana, Nenek?" tanya Lucia ketika tidak melihar keberadaan Nyonya Sheema di sana. "Dia sedang istirahat di ka
"Bu, cukup." Arnetta menatap putranya dan bertanya padanya dengan tidak senang, "Sampai kapan kau mau menyembunyikan darinya?" Dean merendahkan suaranya agar tidak terdengar jelas oleh Lucia. "Bu, masalah juga tidak akan selesai jika kita memberitahunya." "Setidaknya dia harus tahu kalau Jensen adalah penyebab utamanya. Dia yang sudah mengacaukan semuanya." Mendengar nama kakaknya disebut, Lucia menjadi semakin heran. "Kenapa Bibi menyalahkan kakakku? Sementara anakmu sendiri yang sudah menghancurkan hidupku. Dia yang sudah membatalkan pernikahan kami." Dan juga, pria itu yang sudah mengambil kesuciannya. Tidak terima anaknya disalahkan, Nyonya Arnetta akhirnya melangkah melewati Dean dan berhenti tepat di depan Lucia. "Jika kau tidak lari keluar negeri, kalian pasti sudah menikah saat ini. Jika kau bisa bersabar sedikit saja, hubungan kalian—" "Bu, sudah cukup!" potong Dean, "jangan membahas itu lagi. Semunya sudah berlalu." Meskipun tidak setuju dengan perkataan anaknya, Nyon
"Bibi, di mana Dean?" Rebecca yang sejak tadi mencari keberadaan Dean, akhirnya bertanya pada Nyonya Arnetta ketika melihatnya sedang berjalan menuju kamar Nyonya Sheema. "Dia sepertinya sedang bersama tamu lain," jawab Arnetta. Dia sengaja berbohong pada Rebecca karena tidak ingin dia tahu kalau Dean sedang bersama Lucia saat ini. "Aku sudah mencarinya ke seluruh tempat Bibi, tapi Dean tidak ada." Dia hanya melihat Tuan Federick sedang mengobrol dengan tamunya tadi. "Mungkin dia sedang pergi dengan Nolan. Kau coba saja hubungi dia," saran Nyonya Arnetta. "Aku sudah menghubunginya tadi, tapi tidak diangkat." Dia bahkan sudah menelponnya hingga sepuluh kali, tapi tidak ada satu pun yang dijawab oleh Dean. Begitupun pesan yang dia kirim. "Kau tunggu saja dulu. Nanti bibi bantu hubungi Dean." Nyonya Arnetta menghampiri Tuan Federick setelah berbicara pada Rebecca. Kalau Rebecca mengatakan Dean tidak ada di seluruh tempat, itu artinya putranya itu pergi bersama Lucia. "Ayah, di man
Dean meneliti wajah Lucia sejenak sebelum menjawab pertanyaannya. "Karena kakakmu yang memintaku untuk membatalkan pernikahan kita." Mata Lucia langsung membelalak setelah mendengar jawaban dari Dean. "Dia melarangku untuk menikahimu." "Tidak mungkin," sanggah Lucia seraya menggeleng kuat. "Kakakku tidak mungkin melakukan itu." Jensen dan Dean berteman dekat, tidak mungkin kakaknya menentang pernikahan mereka. Dan lagi, Jensen sudah lama menghilang. Kakaknya itu, tidak tahu mengenai hubungannya dengan Dean, karena keduanya menjalin hubungan setelah kakaknya menghilang. "Aku sudah mengatakan yang sesungguhnya. Terserah kau mau percaya atau tidak," ujar Dean dengan acuh tak acuh. Menjelaskan secara panjang lebar bukanlah kebiasaannya. "Kakakku tidak tahu kalau kita akan menikah. Jensen sudah menghilang sebelum kita menjalin hubungan Bagaimana mungkin dia melarangmu menikahiku?" Dean menatap Lucia cukup lama, sebelum akhirnya dia membuka suara dengan ekspresi datarnya. "Lucia, penj