Tanpa memperdulikan reaksi Lucia, Dean mulai menggerakkan bibirnya, melumat bibir Lucia dengan lembut. Tindakan Dean itu membuat sekujur tubuh Lucia langsung meremang dan jantungnya berdegup dengan kencang. Satu menit berlalu, Dean akhirnya menghentikan lumatannya, kemudian menarik diri dari Lucia. "Tidak mencintaiku?" ujar Dean dengan senyuman miringnya. "Mulutmu berkata tidak, tapi respon tubuhmu justru berkata lain, Lucia. Kau menikmati ciumanku. Itu artinya kau berbohong." Lucia ingin membalas ucapan Dean, tapi mendadak lidahnya menjadi kelu. Tidak bisa dipungkiri kalau dia sempat terbuai dengan permainan bibir pria itu, tapi ketika kesadarannya kembali, Dean sudah lebih dulu menjauhkan diri darinya. "Jika kau sudah tidak mencintaiku, kau pasti sudah mendorong tubuhku dan menamparku sejak tadi," tambah Dean lagi. "Tapi, nyatanya kau diam saja." Sejak dulu, Lucia memang tidak pernah membiarkan dirinya disentuh oleh orang lain. Hanya Dean, pria satu-satunya yang pernah menyentuh
“Lucia, bagaimana pertemuanmu kemarin?” tanya Ibu Lucia ketika melihat anaknya baru saja pulang dengan wajah lelahnya. Dia langsung menarik tangannya putrinya agar duduk bersisian dengannya di sofa ruangan keluarga. Sejak tadi dia cemas menunggu kepulangan putrinya karena ingin tahu apa hasil pertemuan Lucia dengan pihak bank serta pihak investor. Kemarin dia tidak sempat menanyakan pada putrinya karena dia sudah tertidur ketika Lucia pulang ke rumah. Pagi harinya, putrinya langsung pergi terburu-buru setelah selesai sarapan. Dia bilang sudah memiliki janji dengan seseorang. Jadi, Ibu Lucia memutuskan untuk bertanya padanya anaknya setelah dia pulang. Lucia menghela napas berat sebelum menjawab pertanyaan ibunya. “Maafkan aku, Bu. Aku hasilnya tidak memuaskan.”Pertama dia memberitahukan terlebih dahulu mengenai keputusan pihak bank kemudian lanjut dengan pembicaraan Tuan Cheng. Dia juga menjelaskan kalau hari ini, dia berusaha untuk menemui Tuan Cheng kembali, tapi sayangnya, pr
Sudah 2 hari berlalu, tapi Lucia belum juga mendapatkan uang untuk melunasi hutang ayahnya di bank. Dia juga belum bisa bertemu dengan Tuan Cheng sampai saat ini. Setiap kali Lucia pergi ke kantornya, sekretarisnya selalu mengatakan kalau Tuan Cheng sedang sibuk dan tidak bisa diganggu. Padahal, dia pernah melihat ada tamu yang bisa bertemu dengan Tuan Cheng.Sepertinya Tuan Cheng sengaja menghindarinya, tapi Lucia tidak tahu apa alasannya melakukan itu. Padahal, sebelumnya mereka sudah sepakat untuk bertemu kembali. Namun, sampai sekarang Tuan Cheng belum bisa ditemui.Lucia juga sudah beberapa kali mencoba menghubungi Tuan Cheng, tapi tidak pernah diangkat olehnya. Lucia pun memutuskan untuk datang ke kantornya,, tapi sayangnya, pria tua itu tidak pernah mau bertemu dengannya. Meskipun terus ditolak, Lucia tidak pantang menyerah, dia masih berniat untuk mendatangi perusahaan Tuan Cheng sampai pria tua itu mau menemuinya. Seperti pagi ini, Lucia sudah berada di depan kantor Tuan Che
“Permisi, Tuan.” Dean mengangkat kepala sejenak saat mendengar suara asistennya, kemudian melanjutkan pekerjaannya setelah melihat Nolan berjalan ke arahnya. “Ada, apa?” tanya Dean tanpa menatap asistennya itu, dia terlihat sedang memfokuskan pandangannya pada kertas yang ada di meja. “Nona Lucia menemui Tuan Cheng lagi.” Ketika nama Lucia disebut, kelopak mata Dean terangkat dengan cepat. Dia menatap asistennya sebentar kemudian bertanya padanya. “Tuan Cheng, siapa?” Ini pertama kalinya Dean mendengar nama itu. Jadi, dia merasa heran, kenapa Nolan melaporkan padanya kalau Lucia bertemu dengan pria bernama Tuan Cheng itu. “Dia adalah investor yang berpura-pura menanamkan modal perusahaan Tuan Mathias.” Seketika Dean teringat dengan perintah yang dia berikan pada Nolan untuk mencarikan seorang investor untuk berinvestasi di perusahaan Ayah Lucia menggunakan uangnya. “Ah, jadi nama investor itu, Tuan Cheng?” “Benar, Tuan,” jawab Nolan sambil mengangguk mantap. Selama ini, Dean m
Mata Lucia membulat sempurna setelah mendengar ucapan Carissa. Informasi ini tentu sangat mengejutkan baginya. “Dia melarang siapa pun bekerja sama dengan perusaan ayahmu dan melarang insvestor menanamkan modal di perusahaan ayahmu agar perusahaan ayahmu jatuh." “Kau jangan bicara omong kosong Carissa! Dean tidak mungkin melakukan itu.” Dean tidak pernah berselisih dengan ayahnya selama ini. Jadi, tidak ada alasan bagi Dean untuk melakukan itu. “Terserah kalau kau tidak percaya denganku. Kuberitahu satu hal padamu.” Carissa mendekatkan tubuhnya pada Lucia, kemudian berbisik, “Dean mengatakan padaku, itu sebagai balasan karena kau sudah mempermainkan dan juga mempermalukannya.” Melihat Lucia mulai termakan hasutannya, Carissa menarik seringai tipis di bibirnya. “Lucia, lebih baik kau dan keluargamu pindah dari kota ini, dengan begitu, hidup kalian akan lebih damai. Dean tidak akan berhenti sebelum membuat keluargamu hancur.” Lucia mengepalkan kedua tangannya dengan kuat hingga b
"Lucia tidak mungkin melakukan itu! Dia wanita baik-baik Peter," sanggah Victor, tidak terima.Dulu dia juga sempat berpikir sama dengan Victor. Namun, pandangannya berubah setelah vidio panas Lucia tersebar di internet."Wanita baik-baik mana yang tidur dengan pria lain, sementara dia sudah memiliki tunangan, bahkan sebentar lagi akan menikah," sahut Peter dengan ekspresi merendahkan. "Dia itu tipe wanita yang tidak puas hanya dengan satu pria. Wanita sepertinya tidak akan memikirkan baik-buruknya, selama itu menguntungkan baginya, dia rela melakukan apa pun itu. Dia benar-benar bertingkah seperti wanita yang tidak memiliki harga diri. Bahkan wanita murahan saja masih memiliki harga diri. Dia lebih rendah dari wanita muraha—"Craaak ... Pyaaar!Victor dan yang lainnya seketika menoleh ke arah Dean ketika mendengar suara gelas pecah. Ketiganya pun nampak terkejut ketika melihat gelas yang tadi dipegang oleh Dean sudah pecah dan berhamburan di bawah, di dekat kakinya."Dean, itu ... tan
"Lucia, kau dari mana saja?" Nyonya Helia bertanya pada putrinya ketika melihatnya memasuki ruangan keluarga. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam dan dia baru pulang. Padahal, dia sudah berjanji akan pulang cepat."Maaf, Bu. Tadi aku ada sedikit urusan." Lucia menghempaskan punggungnya di sandaran sofa bersebelahan dengan ibunya dengan wajah lelah."Lucia, apa kau sudah menemukan jalan lain untuk masalah hutang ayahmu?"Setelah mendengar pertanyaan ibunya, Lucia segera menegakkan punggung dan menatap ibunya dengan lekat. Rasa bersalah kembali menggelayuti hatinya, tidak tega untuk menyampaikan berita buruk tersebut."Bu, bagaimana kalau kita pindah ke rumah yang berada di pinggir kota?"Kelopak mata Nyonya Helia melebar, tapi hanya sesaat, setelah itu kembali normal. Dia tidak langsung menjawab, melainkan meneliti wajah putrinya selama dua detik, baru berkata, "Apa mereka tidak mau memberikan perpajangan waktu?"Mendapatkan pertanyaan seperti itu dari ibunya membuat Lucia semakin be
“Ayah, tunggu di sini sebentar. Aku akan membayar tagihannya dulu,” ucap Lucia setelah keluar dari ruangan Dokter. Mereka baru saja selesai berkonsultasi.“Ya.”Lucia bergegas menuju loket pembayaran yang berada di ujung. Setelah selesai melakukan pembayaran, Lucia pergi ke bagian apotek untuk menebus obat, baru setelah itu kembali menghampiri ayahnya.“Ayah, apa ada sesuatu yang ingin kau beli sebelum kita pulang?” “Tidak ada. Sebaiknya kita langsung pulang, ayah lelah.”Lucia mengangguk, kemudian mendorong kursi roda ayahnya menuju pintu keluar. Dengan hati-hati, Lucia membantu ayahnya untuk memasuki mobil, setelah itu dia masuk ke kursi kemudi.Saat akan memakai sabuk pengaman, Lucia menoleh ke kanan, tanpa sengaja dia melihat Dean dan Rebecca berjalan ke arah parkiran dan masuk ke dalam mobil yang letaknya tidak jauh dari mobil Lucia.Diam-diam dia memperhatikan dari kaca mobilnya. Netranya tiba-tiba melebar ketika melihat Dean memojokkan Rebecca ke sisi pintu lain dan mengurung t
"Bernice, maafkan aku. Aku tidak bisa menepati janjiku untuk membawa Jensen." Lucia memeluk adik Dean dengan mata yang memerah. Setelah pulang dari pusat perbelanjaan, Lucia langsung meminta Dean untuk mengantarnya ke rumah sakit tempat Bernice dirawat. Setelah itu, Dean mengantar ibunya untuk pulang ke apartemen. Jadi saat ini, mereka hanya berdua. "Jensen tidak akan kembali. Dia sudah memiliki kehidupan baru dengan orang lain. Tolong relakan dia. Aku yakin suatu saat nanti, kau akan menemukan pria yang tulus mencintaimu," ucap Lucia dengan suara bergetar. "Kau bisa melampiaskan kemarahanmu padaku, kapan pun kau mau. Aku berjanji akan menebus kesalahan kakakku seumur hidupku." Lucia tidak bisa lagi membendung air mata yang sejak tadi dia berusaha tahan. Tubuh bergetar, karena berusaha meredam suara tangisnya. "Akan kulakukan apa pun demi kesembuhanmu." Hening selama beberapa saat. Setelah itu, tiba-tiba saja Lucia mendengar suara lirih Bernice, "Kak, aku mau pulang." Lucia langs
"Lucia, aku ke toilet dulu," kata Dean sambil berdiri. "Kau tunggu di sini dulu." "Baiklah." Saat ini, mereka sedang berada di restoran yang ada di pusat perbelanjaan di kota Bristol. Mereka baru saja dari rumah sakit sebelum ke sana. Rencananya mereka akan kembali ke kota Y tiga hari lagi. Itu sebabnya, mereka ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan Dokter kandungan sekaligus meminta surat izin untuk melakukan penerbangan jarak jauh. Untuk pulang ke negaranya, Dean sengaja menyewa seorang Dokter Kandungan selama mereka melakukan penerbangan, karena takut terjadi apa-apa dengan istrinya selama penerbangan. Beruntung Dean menggunakan jet pribadi. Jadi, segala sesuatunya sudah diurus sedemikian rupa demi kenyaman Lucia selama penerbangan. Sudah 4 hari Dean berada di Bristol. Jadi, dia harus segera kembali ke kota Y, dikarenakan banyak pekerjaan yang sudah menunggunya. Sebenarnya, Lucia masih ingin di Bristol menemani Bernice dan ibu mertuanya. Hanya saja, Dean melarangnya, karena
"Kau yakin tidak mau dirawat?" tanya Dean setelah keluar dari ruangan Dokter Kandungan. Mereka baru saja selesai memeriksakan kehamilan Lucia. Setelah istrinya bangun dan selesai sarapan, Dean langsung mengajaknya ke rumah sakit. Dia sangat khawatir dengan kondisi janin dalam perut istrinya, mengingat bagaimana semalam dia menggempur istrinya. Selain itu juga, Lucia belum pernah memeriksakan lagi kehamilannya semenjak mengetahui dirinya hamil seminggu yang lalu. Itu sebabnya, dia mengajak istrinya untuk memeriksakan kondisi kehamilannya. Lucia yang juga ingin tahu tentang janin dalam kandunganya, tidak menolak ketika Dean mengajaknya untuk ke rumah sakit. Lagi pula, dia memang sengaja menunggu Dean karena ingin memeriksakan kehamilannya bersama suaminya. "Aku baik-baik saja, Dean. Kau dengar sendiri bukan apa yang dikatakan oleh Dokter tadi?" Dean mengangguk ringan, kemudian tersenyum tipis. Setelah mengetahui tidak terjadi apa-apa dengan kandungan istrinya, dia baru bisa bernapas
"Bu, di mana istriku?" Dean bertanya sembari berjalan mendekati ibunya yang sedang duduk di sofa ruangan keluarga. Dean baru saja tiba di apartemen yang disewa ibunya selama tinggal di Bristol. "Dia di kamarnya," jawab Nyonya Arnetta. "Kenapa kau baru ke sini?"Dean menggulung lengan kemejanya setelah itu berkata, "Ada sedikit masalah di perusahaan. Jadi, terpaksa aku memundurkan penerbanganku.""Istrimu sudah menunggumu sejak dua hari yang lalu. Kasihan dia kecewa saat tahu kau tidak jadi ke sini. Sudah dua hari ini dia nampak sedih dan lesu."Dean sedikit terkejut mendengar itu. Pasalnya, setiap berkomunikasi dengan istrinya, Lucia tidak pernah menampilkan raut wajah sedih dan kecewa. "Apa dia sedang sakit?""Dia sedang tidak enak badan. Sejak kemarin dia—"Belum usai ibunya bicara, Dean langsung memotongnya setelah mendengar istrinya tidak enak badan. "Aku akan menemuinya.""Dean istrimu sedang ..."Dean bergegas menuju kamar yang ditempati Lucia tanpa menunggu penjelasan lengkap
"Di mana Carissa?" tanya Dean setelah asistennya masuk ke ruangan kerjanya."Sedang dalam perjalanan, Tuan.""Lalu Rebecca?""Sudah di tempat yang Tuan perintahkan."Dean berpikir sebentar, lalu berkata, "Tunggu di bawah. Aku hubungi istriku dulu."Nolan menjawab seraya mengangguk, kemudian keluar dari ruangan itu."Sayang, kau sedang apa?" tanya Dean setelah panggilan telponnya tersambung. "Baru selesai makan. Kau kapan ke sini?" Terdengar suara Lucia di ujung telpon."Belum tahu. Pekerjaanku masih banyak."Tidak terdengar apa pun di sebrang sana, hingga Dean kembali membuka suaranya, "Kenapa? Sudah merindukan aku?""Bekerjalah, aku tutup dulu telponnya."Tahu kalau istrinya sedang marah, Dean segera berbicara, "Aku akan ke sana lusa.""Benarkah?" Suara Lucia terdengar antusias, tidak lesu seperti sebelumnya. "Kau tidak berbohong, kan?""Tidak. Setelah urusanku selesai. Aku akan langsung terbang ke sana."Lucia terdengar memekik kegirangan. Sepertinya dia merasa sangat senang saat t
"Sayang, makanlah. Ini sudah sore." Dean sedang berusaha membujuk istrinya untuk makan, karena sejak pulang dari rumah sakit, Lucia langsung mengurung diri kamar hotel. Dia terus berbaring sambil melamun.Sudah berkali-kali Dean mengajaknya untuk makan, tapi Lucia menolak. Alasannya, karena dia tidak selera makan. Akhirnya Dean membiarkan istrinya untuk sendiri dulu. Dia tahu kalau istrinya itu masih terkejut dengan dengan kondisi Bernice. Jadi, butuh waktu untuk menerima kenyataan yang ada."Aku belum lapar," jawab Lucia tanpa menoleh pada Dean. Lucia nampak sedang duduk di dekat dinding kaca kamarnya sembari menatap ke luar dengan tatapan kosong.Dean akhirnya menghampiri istrinya setelah meletakkan makanan yang tadi baru saja diambil dari atas nakas. "Tapi, kau harus tetap makan. Aku tidak mau kau sakit."Lucia memutar tubuhnya ke samping setelah suaminya berdiri tepat di sampingnya. "Nanti aku akan makan jika sudah lapar."Kau masih memikirkan Bernice?”Lucia mengangguk dengan waj
"Jangan terlalu dipikirkan. Aku akan meminta orang untuk mencarinya lagi." Dean akhirnya angkat bicara setelah melihat istrinya sejak tadi diam saja. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat Bernice dirawat. Semenjak tidak berhasil mengikuti mobil hitam yang diduga dinaiki Jensen, Lucia menjandi murung. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi dia lebih banyak diam sejak kemarin."Kita pasti bisa menemukannya. Jangan cemas lagi," ujar Dean sembari menatap istrinya yang duduk di sebelahnya."Aku tidak mencemaskannya, tapi aku marah padanya." Suara Lucia mulai terdengar bergetar. "Bagaimana bisa dia hidup tanpa beban setelah menghancurkan hidup Bernice." Mata Lucia pun mulai berkaca-kaca, dan tidak lama setelahnya, air matanya pun luruh begitu saja. Entah kenapa, belakangan ini, dia merasa sangat sensitif. Mudah sekali menangis. Padahal, dulu dia tidak begitu."Jika dia tidak peduli denganku, aku masih bisa memakluminya, tapi aku tidak bisa memaafkannya, karena
"Kenapa tidak tidur?" tanya Dean lembut usai menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. "Tidak mengantuk?"Lucia menggeleng pelan seraya memainkan jemari tangannya di dada suaminya. Saat ini, dia sedang berbaring miring dengan kepala yang berada di lengan suaminya. Sementara itu, ada tangan Dean melingkar di pinggangnya."Tidur sebentar. Setelah itu kita makan di bawah."Bagaimanapun, mereka belum istirahat. Dia langsung mengajak istrinya ke rumah sakit tempat adiknya dirawat, setelah tiba di Bristol. Setelah itu, baru membawanya ke hotel. Bukannya membiarkan istrinya istirahat, dia justru menghajar istrinya tanpa ampun. Jadi, dia takut istrinya lelah."Aku tidak mengantuk."Lucia sudah lama tidur di pesawat. Jadi, wajar saja kalau tidak mengantuk. Meskipun dia merasa tubuhnya pegal, tapi matanya tidak mau terpejam."Tidak lelah?" tanya Dean seraya menunduk ke bawah untuk melihat wajah istrinya. "Tidak."Tidak?Dean nampak mengerutkan keningnya. Istrinya terlalu tanggguh atau sta
Lucia mengurai pelukan Dean, mendongakkan kepada hingga netranya bertabrakan dengan mata hitam Dean. "Kau belum menjelaskan mengenai pertemuanmu dengan Carissa. Kenapa kau sering sekali bertemu dengannya di hotel berbeda?"Bukannya menjawab pertanyaan Lucia, Dean justru menarik senyuman sangat tipis di bibirnya, kemudian menggodan Lucia. "Kau sungguh berpikir aku memiliki hubungan dengan Carissa?""Sudahlah. Percuma saja bertanya padamu." Wajah Lucia nampak cemberut, dia mendorong dada suaminya dengan pelan. Saat dia akan bangkit, tangan Dean langsung menahan pinggangnya."Mau ke mana?""Tidak ke mana-mana," jawan Lucia acuh tak acuh."Masih cemburu dengannya?" tanya Dean seraya mengamati eskpresi istrinya. Tatapannya begitu lekat hingga membuat Lucia menjadi salah tingkah.Melihat Lucia bungkam, Dean kembali tersenyum tipis. "Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Carissa. Aku bertemu dengannya, karena ada hal penting yang harus aku bicarakan dengannya.""Hal penting apa?"Dean m