Rossa melangkah lemas menuju ruang keberangkatan malam ini. Gunarto kembali memesankan tiket penerbangan malam menuju New York. Tujuan Gunarto agar putrinya itu tidak bertindak bodoh. Rossa hampir saja terjebak oleh niatan buruknya. Itu sebabnya Gunarto bersikap keras."Kabari Papa ya!" seru Gunarto saat Rossa hampir masuk ke ruang keberangkatan.Rossa mengangguk perlahan dan tersenyum getir. Ingin rasanya menangis, namun air mata tak mampu menetes. Harapan yang ia bangun, mendadak hilang hanya karena tentangan dari Gunarto. Di mata Rossa, Davie adalah pria idaman. Ia bisa melihat bagaimana rasa sayang Davie pada Ileana. Itu terbukti dari sikapnya yang berusaha menghindar saat Rossa dekati. Dan karena hal itu pula, Rossa jatuh hati pada Davie.Wanita itu masuk ke dalam pesawat yang sebentar lagi akan take off. Rossa membuang napas perlahan saat duduk di kursi penumpang eksklusif. Beberapa saat lagi, ia akan meninggalkan Indonesia demi menuruti keinginan Gunarto.Menjadi miskin tidak p
Malam berikutnya, tepat pukul 20.00 malam, Davie izin pada Ileana untuk pergi sebentar menghadiri pertemuan penting yang diadakan oleh investor. Sejujurnya, Davie ingin menolak hadir di pertemuan itu, namun tidak enak pada Rudy yang telah banyak berjasa dalam memajukan perusahaan. Acara itu dibuat bertujuan untuk merayakan keberhasilan Davie dalam mempertahankan perusahaan agar tidak gulung tikar.Davie mengenakan jas berwarna hitam sambil merapikannya di depan cermin. Ia memastikan penampilannya rapi atau tidak. Sedangkan Ileana memperhatikan Davie sambil duduk di tepi kasur."Sayang, udah rapi belum?" tanya Davie sambil menunjukkan penampilannya pada Ileana."Udah kok, Mas. Kamu tampan banget malam ini," puji Ileana.Davie tersenyum malu. "Masa sih?""Iya, Mas. Kamu emang selalu tampan sih. Nggak heran kalau Rossa sampai kepincut sama kamu."Davie menghela napas panjang. "Kalau gitu, aku nggak mau jadi tampan deh.""Loh, kenapa?""Biar nggak ditaksir sama cewek lain, selain kamu."I
Ileana memarkirkan mobil di depan salah satu hotel yang menjadi tempat pertemuan Davie dengan para investor. Dengan jantung yang berdegup kencang, Ileana meyakinkan diri untuk masuk ke dalam hotel dan menghampiri meja resepsionis."Permisi, Mbak," sapa Ileana sopan."Iya, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis bernama Mozza itu."Saya mau tanya, apa bener ada acara pertemuan di sini semalam?"Mozza lantas mengangguk. "Ada, Mbak. Tapi pertemuannya udah selesai dari jam sebelas, Mbak. Semua tamu undangan udah pulang, kecuali satu orang.""Boleh saya tahu siapa satu orang itu, Mbak?" tanya Ileana penasaran.Detak jantung Ileana semakin tak karuan ketika Mozza menyebutkan nama lengkap suaminya. "Namanya Davie Valerian, Mbak."Seketika tubuh Ileana melemas. Ternyata suaminya menginap di hotel tanpa memberi kabar padanya. Ada apa ini? Kenapa sikap Davie mendadak berubah?"Maaf, Mbak. Kalau boleh tahu, ada apa ya?" tanya Mozza bingung."Ehm, itu suami saya, Mbak. Dia nggak pulang
"Bohong!"Davie meremas rambutnya. Ia tampak frustrasi dengan semua ini. "Kamu bohong! Aku nggak ada kasih uang apapun sama kamu!""Loh, terus ini uang apa? Kamu kan mabuk. Jadi kamu nggak ingat pas kasih uang ini," ujar Widi sambil berjalan ke arah Davie.Davie mengarahkan tangannya ke depan. Mengisyaratkan Widi untuk tidak mendekatinya. "Jangan dekati aku!" teriaknya."Kenapa sih galak banget? Padahal semalam kamu romantis sama aku. Kita udah bercinta dua kali loh. Soal istri kamu nggak usah dipikirin. Tinggalin aja dia. Terus kita nikah. Beres, kan?"Davie yang sudah gelap mata, mendekati Widi dan menarik rambut panjang terurai itu. Widi sampai mendongak ke atas karena tarikan kuat di rambutnya."Jaga omongan kamu!" teriaknya di telinga Widi. "Aku cinta sama istri aku. Dan aku nggak mungkin pisah dari dia. Sedangkan kamu, aku sendiri nggak tahu siapa kamu. Bahkan nama kamu aja aku nggak tahu!""Awh! Lepasin!""Sekarang, kasih tahu siapa yang nyuruh kamu buat jebak aku!""Aku nggak
Ileana melajukan mobil entah kemana. Sudah setengah jam ia berada di jalan, setelah pergi meninggalkan Davie bersama wanita selingkuhannya di hotel itu. Ia tak tahu harus apa. Dikhianati itu rasanya sangat sakit. Hal inilah yang paling ditakutkan Ileana saat hendak menjalin hubungan serius. Dan sekarang hal buruk itu terjadi padanya. Pria yang ia percaya justru mengkhianatinya.Ileana terus menangis di sepanjang perjalanan. Tak tahu sekarang ini ia melintas di daerah mana. Yang jelas ia hanya ingin berkeliling, menumpahkan segala kesedihannya sendirian.Hingga fokusnya terpecah saat sorot lampu sebuah mobil dari arah berlawanan membuatnya terpaksa membanting setir ke kiri untuk menghindari kecelakaan. Mobilnya sudah berada di tepi jalan. Untunglah dirinya masih diberi keselamatan. Tidak terjadi apa-apa.Ileana mengatur napas sejenak sambil bersandar di kursi. Air mata masih tetap berlinang di pipi. Sampai akhirnya ada suara ketukan dari jendela mobilnya. Ileana menoleh dan langsung me
Saat ini, Ileana sudah hampir tiba di perumahan yang menjadi tempat tinggalnya setelah menikah. Sekitar 50 meter lagi, ia akan melewati pos keamanan yang ada di depan perumahan. Tapi Ileana mendadak menginjak rem karena ada sebuah mobil minibus hitam menyalip dan berhenti tepat di depan mobilnya. Hampir saja body mobilnya menabrak minibus tersebut.Ileana yang masih mengatur napas, justru kembali dikejutkan oleh segerombol pria yang turun dari dalam minibus itu. Mereka menghampiri mobil Ileana dan mengetuk jendela mobil itu, memaksanya untuk segera keluar. Bahkan salah satu dari mereka bersiap memecahkan jendela mobil dengan batu jika Ileana tak mau keluar.Dengan sangat terpaksa, Ileana menuruti permintaan mereka. Meskipun dirinya bisa membela diri, Ileana merasa takut kali ini. Beberapa dari mereka membawa benda tajam yang bisa saja mereka tancapkan ke tubuh Ileana jika Ileana berusaha memberontak."Masuk ke mobil kami!" perintah salah satu pria berkacamata dengan kepala plontos dan
Pagi ini, Ileana meminta izin pada Ikhwan untuk pergi menemui Braga. Ia akan berbicara empat mata dengan pria itu. Untung saja Ileana diizinkan oleh Ikhwan. Wanita itu pergi ditemani oleh dua orang suruhan Braga yang selalu berjaga di rumah panggung itu. Ileana tidak sempat bertanya siapa pemilik rumah panggung itu. Lokasinya saat ini pun sudah jauh dari tempat tinggalnya sendiri.Selama di perjalanan, Ileana terus memikirkan sesuatu. Ia lebih banyak melamun sambil menatap ke jendela mobil di sebelah kanan. Sedangkan dua orang pria yang menemaninya duduk di depan.Hingga beberapa jam kemudian, sampailah Ileana di depan sebuah gedung bertingkat, bertuliskan Braga Company. Sudah dapat dipastikan perusahaan itu milik Braga. Ileana turun ditemani dua pria yang mengantarnya ke perusahaan tersebut."Pak Braga ada di dalam, Bu. Anda diperbolehkan masuk," ucap resepsionis yang mengantarkan Ileana sampai ke depan ruangan Braga."Makasih, Mbak."Ileana masuk ke dalam sendirian. Dua pria tadi me
Ileana tiba di rumahnya setelah bertemu dengan Braga dan berkunjung ke pengadilan agama untuk menanyakan perihal perceraian. Ia menaiki taksi untuk sampai di perumahan dan mobil yang sempat ia tinggalkan di dekat perumahan sudah tidak ada.Saat masuk ke dalam, mobilnya sudah ada di garasi. Kemungkinan besar, Davie yang membawanya karena kunci mobil masih tertinggal ketika dirinya dibawa paksa oleh anggota Braga."Sayang!"Seruan Davie membuat Ileana sedikit tersentak. Pria itu langsung berlari menghampiri Ileana dan memeluknya dengan erat. Raut wajah Davie menunjukkan rasa rindu yang teramat besar pada istrinya. Bahkan kondisi Davie saat ini cukup berantakan. Rambut yang biasanya rapi, kini terlihat berantakan dan tubuhnya sedikit bau karena tidak mandi.Ileana yang melihat suaminya begitu kacau pun tampak iba. Ia melepas pelukan sang suami dan membawanya masuk ke dalam rumah."Mas, kita bicara di dalam aja ya," ajak Ileana.Davie hanya mengangguk dan mengikuti langkah sang istri tanp
20 tahun kemudian….Braga keluar dari rutan sambil membawa tas berisi pakaian dan peralatan mandinya. Setelah 20 tahun lamanya berada di penjara, akhirnya hari ini, Braga bisa menghirup udara bebas.Tampak dari sisi gerbang rutan, seorang wanita, berusia kurang lebih 25 tahun, melambaikan tangan ke arah Braga. Wanita itu sudah terlihat sukses saat ini.Braga tersenyum manis sambil menghampiri wanita itu. Dipeluknya wanita itu dengan penuh cinta dan kasih sayang."Akhirnya Papa bebas juga."Wanita itu adalah Nisaka. Ia sudah tumbuh menjadi anak yang dewasa dan mandiri. Di usianya yang ke 25 tahun, Nisaka sudah memiliki rumah dan mobil berkat kerja kerasnya selama ini. Dukungan Davie dan Ileana juga sangat berpengaruh pada karirnya."Iya, Nak. Alhamdulillah, Papa bisa bebas sekarang. Papa nggak nyangka, kamu udah sebesar ini, Nak. Kamu juga udah sukses sekarang," ucap Braga sambil melepas pelukannya dan menatap wajah Nisaka.Nisaka tersenyum. "Alhamdulillah, Pa. Nisa bisa sampai di titi
6 tahun kemudian….Davie bersama Adinda yang sudah berusia 6 tahun bermain di taman kota, ditemani oleh Ileana dan Nisaka. Sedangkan Bi Tuti sudah meninggal setahun yang lalu, bersamaan dengan meninggalnya Khairil di dalam tahanan karena bunuh diri.Saat itu, Khairil mengalami depresi karena tidak tahan menjalani hukuman di dalam penjara. Ia memutuskan untuk gantung diri di dalam tahanan. Tahun lalu merupakan tahun terburuk bagi Davie dan Ileana. Mereka harus kehilangan dua orang yang disayang sekaligus. Bi Tuti sudah seperti orang tua sendiri bagi Davie dan Ileana. Setelah kehilangan Bi Tuti, Davie dan Ileana sempat terpuruk. Ditambah lagi ada berita tentang Khairil yang juga tewas gantung diri.Tapi semua itu bisa mereka lewati seiring berjalannya waktu. Mereka baru saja mengunjungi Braga dan Nisaka yang sudah beranjak remaja itu pun semakin memahami kondisi Braga saat ini."Tante," panggil Nisaka setelah selesai berlarian dengan Adinda."Iya, Nisa. Ada apa?" tanya Ileana."Nisa mau
Tiga minggu setelah selesai dengan urusan pernikahan Karina dan Jian, Davie mengajak Ileana untuk kembali ke Jakarta. Sedangkan Karina dan Jian masih akan menetap di Bandung untuk beberapa bulan.Davie dan Ileana sudah berpamitan dengan keluarga besar Karina dan Jian. Mereka pulang ke Jakarta menggunakan pesawat.Dan sekitar beberapa jam, mereka tiba di Jakarta. Davie dan Ileana masuk ke dalam taksi yang akan membawa mereka pulang ke rumah.Sesampainya di depan rumah, Nisaka langsung menghampiri mereka. Nisaka sangat merindukan Om dan Tantenya itu. Bi Tuti juga memasakkan makanan spesial untuk menyambut Davie dan Ileana. Mereka makan bersama setelah Davie dan Ileana selesai membersihkan diri."Nisa, kamu mau ikut Om jalan-jalan nggak?" tanya Davie setelah selesai makan."Mau sih, Om. Tapi Om kan baru pulang. Nanti capek loh.""Nggak masalah. Om mau ngajak kamu ke suatu tempat. Kamu pasti seneng.""Boleh deh kalau gitu. Tante juga ikut, kan?" tanya Nisaka pada Ileana.Ileana langsung m
"Oh iya, gimana sama Braga?" tanya Karina setelah melepas pelukannya pada Ileana.Ileana menghela napas panjang. Haruskah ia mengingat kembali nama itu? Ia masih belum sepenuhnya memaafkan kesalahan Braga, meskipun Braga sudah berusaha untuk menebus semuanya. Tapi tetap saja, luka itu masih terasa sampai sekarang."Dia bilang mau nyerahin diri ke polisi. Surat tanah dan rumah punya mendiang Ayah juga udah dibalikin ke aku. Sebelum Ayah meninggal, Braga sempat ketemu sama Nisaka di taman. Mereka main bareng, terus berpisah lagi. Dan di hari yang sama, aku kehilangan Ayah," ucap Ileana lirih.Karina mengusap punggung tangan Ileana. Berniat menenangkannya. "Aku bisa ngerti perasaan kamu. Aku juga mau minta maaf karena sempat dengar obrolan kamu sama Davie. Dari situ, aku sengaja cari tahu soal Braga, siapa dia sebenarnya, dan apa pekerjaannya. Aku sempat kaget waktu baca kasus pembunuhan yang dia lakuin sama Kakak kamu.""Terus, dia juga udah banyak nipu orang. Uang yang dia dapat itu da
Sepulang dari Bogor, Ileana merasakan nyeri yang teramat dahsyat di area perutnya. Ileana sampai membungkuk untuk berjalan masuk ke rumah."Sayang, kamu kenapa?" tanya Davie cemas."Nggak tahu, Mas. Perut aku sakit banget."Davie bisa melihat bulir-bulir keringat sudah bermunculan di kening Ileana. Segera ia menggendong Ileana masuk ke dalam rumah. Merebahkan tubuhnya di atas kasur.Tapi hal yang paling mengejutkan adalah, noda darah di bagian bawah gamis yang dikenakan Ileana saat ini. Noda darah itu begitu banyak dan kental."Sayang, kok baju kamu banyak darah gini?" tanya Davie.Ileana tidak merespon. Davie pun menatap wajah sang istri yang sudah pucat dan tak sadarkan diri. Hal itu tentunya menimbulkan kepanikan tersendiri bagi Davie. Ada apa ini?"Bi! Bi Tuti!" teriak Davie memanggil Bi Tuti.Bi Tuti yang mendengar teriakan Davie pun bergegas masuk ke dalam kamar. "Ada apa, Mas Davie?""Bi, ini Ileana pingsan. Terus ada darah di gamisnya," jawab Davie panik."Ya Allah! Cepat diba
Malam hari, pukul 20.00 malam, Ileana masih termenung sambil duduk di kursi taman. Pemakaman Ikhwan sudah ia laksanakan sebelum hari gelap. Bahkan ia tak sempat menghubungi keluarga Ikhwan yang lainnya, kecuali Aldi dan Diana. Itupun karena Davie yang berinisiatif menghubungi mereka.Ileana seperti tidak memiliki semangat hidup saat ini. Kepergian Ikhwan masih menjadi mimpi baginya. Tidak menyangka akan secepat ini terjadi. Impian hidup bahagia bersama Ikhwan, Davie dan Nisaka lenyap sudah. Padahal Ileana sudah berhasil mengambil surat-surat penting itu dari Braga. Sampai harus mengorbankan Davie untuk sesaat demi Ikhwan."Ayah…." lirihnya.Sedangkan dari arah pintu masuk, Davie berdiri menatap sang istri yang duduk membelakanginya. Davie bisa merasakan kesedihan istrinya saat ini."Om."Davie menoleh ke samping kanan. Ternyata Nisaka juga ikut memandangi Ileana. "Kamu kok belum tidur, Nisa?""Nisa nggak bisa tidur, Om. Kepikiran sama Tante Ilea. Tante kelihatan sedih banget, Om," uja
Seharian ini, Nisaka tampak bahagia karena bisa bermain bersama Braga di taman hingga menjelang sore. Braga pun pamit sambil menitipkan Nisaka pada Davie dan Ileana. Braga juga meminta maaf untuk kesekian kalinya pada pasangan suami istri itu."Titip dia ya, Ilea, Davie. Gue cuma percaya sama kalian," ucap Braga."Iya, Ga. Dia aman sama kita," kata Davie."Makasih banyak ya. Gue pamit sekarang."Davie hanya mengangguk dan membiarkan Braga pergi. Sedangkan Ileana tidak berkata apapun. Ia hanya diam sambil menatap kepergian Braga. Setelah itu, dipeluknya Nisaka yang menangis karena Braga pergi."Nisa, kamu yang sabar ya. Nanti kalau urusan Papa kamu selesai, dia pasti bakal balik lagi," ujar Ileana menguatkan."Iya, Tante. Nisa bakal nunggu Papa.""Ya udah, sekarang kita jemput Kakek yuk!" ajak Davie penuh semangat.Ileana melepas pelukannya pada Nisaka dan bergegas menuju ke mobil untuk menjemput Ikhwan. Perjalanan kali ini akan sedikit jauh. Itu sebabnya Davie sudah membeli beberapa m
"Nisa, Om mau bicara sebentar."Nisaka menatap Davie dengan senyum terkembang. Saat ini, hatinya sedang bahagia karena bisa melihat wajah sumringah Davie setelah bertemu kembali dengan Ileana."Om mau ngomong apa?"Davie mengelus kepala Nisaka, lalu menjawab, "Kita bicara di taman aja ya. Soalnya ini pembicaraan serius.""Oh, oke."Nisaka berdiri dan melangkah, mengikuti Davie menuju taman di halaman depan rumah. Mereka duduk bersebelahan di kursi taman bercat putih."Nisa, sebelumnya, Om minta maaf karena baru ngasih tahu kamu hari ini. Om harap, kamu bisa nerima dan nggak marah ya," ucap Davie sebelum memulai percakapan seriusnya."Iya, Om."Davie menghembuskan napas panjang dan memulai ceritanya. "Siang ini, kamu ikut Om sama Tante ke taman kota ya. Ada yang mau ketemu sama kamu.""Siapa, Om?""Hhh!" Davie diam sejenak. Sedikit takut untuk mengatakan semuanya pada Nisaka. "Kamu ingat cowok yang narik kamu waktu itu?" tanyanya kemudian."Ingat. Memangnya kenapa, Om?""Ehm, dia itu …
Keesokan harinya, pukul 07.00 pagi, Ileana memasukkan barang-barang Davie ke dalam tas berukuran sedang. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah karena kondisi Davie sudah mulai stabil.Davie memperhatikan sang istri yang sibuk mengurus perlengkapannya. Ia sama sekali tidak diberi izin untuk membantu. Padahal Davie sudah merasa sehat."Udah semua ini kan, Mas?" tanya Ileana sambil memperhatikan setiap sudut ruangan."Udah semua, Sayang. Nggak banyak kok barang yang dibawa. Cuma itu aja," jawab Davie."Ya udah, kita pulang sekarang ya. Kebetulan taksi online-nya udah nunggu di parkiran.""Iya, Sayang."Davie membawa tas itu di tangan kanannya, sementara tangan kiri menggenggam tangan kanan Ileana. Mereka berjalan beriringan. Seluruh biaya rumah sakit sudah diselesaikan.Tapi suara panggilan dari arah belakang membuat mereka terpaksa menghentikan langkah. Keduanya menoleh bersamaan dan mendapati Braga sedang berjalan ke arah mereka sambil mendorong tiang infus dengan tangan kanannya. Sedan