Davie terlihat sibuk menyiapkan beberapa berkas penting di atas meja ruang rapat. Ia baru saja selesai rapat dengan staf kantor, membahas sebuah rancangan baru untuk kemajuan perusahaan. Beberapa hal penting dari hasil rapat pun sudah ditulis oleh sekretarisnya. Davie membaca catatan itu setelah rapat berakhir dan semua staf sudah keluar dari ruang rapat.Berkas penting tadi, Davie bawa keluar ruangan. Saat dirinya hendak melangkah menuju ruang kerjanya, tiba-tiba saja ia bersenggolan dengan seseorang, sampai membuat berkas itu berjatuhan di lantai. Padahal Davie sudah menyusunnya dengan rapi. Kini, ia harus menyusun ulang semua berkas itu sesuai dengan urutan sebelumnya."Aduh, maaf ya, Mas. Aku nggak sengaja."Davie menatap seseorang yang sedang berbicara padanya. Ternyata orang yang bersenggolan dengannya adalah Ileana. Seketika rasa kesal itu berubah menjadi senang. Bertemu dengan istri di saat jam kerja membuat Davie semakin bersemangat. Inilah enaknya jika kita berada di satu ka
"Itu dia orangnya, Pak!"Davie dan Ileana kompak menatap ke arah pintu yang dibuka secara paksa. Braga datang bersama dua orang polisi dan satu pria lainnya yang berpakaian rapi seperti orang penting.Davie berdiri dan langsung melindungi sang istri yang tampak ketakutan. "Ada apa ini? Apa kalian nggak diajarkan sopan santun saat bertamu?" tanya Davie diiringi sindiran."Alah! Nggak usah banyak cerita!" teriak Braga. "Tangkap aja nih orang, Pak! Dia yang nonjok saya! Dia juga ancam saya tadi!"Ileana mengernyit heran sambil menatap suaminya yang berdiri di depannya. Ia pun berbisik pelan, "Mas, emang bener gitu? Kamu nonjok dia?""Iya, Sayang," jawab Davie jujur tanpa menoleh ke belakang."Ya ampun, Mas. Kenapa ditonjok?""Nggak apa-apa, Sayang. Kamu nggak usah takut. Yang salah dia, bukan kita," ujar Davie tetap tenang di tempatnya.Braga menatap ke arah dua polisi yang ada di belakangnya. "Tunggu apa lagi, Pak? Tangkap dia!"Salah satu polisi mengangguk lalu menghampiri Davie. Polis
"Silahkan masuk, Pak."Davie membuka pintu rumah sambil mempersilahkan dua pria berseragam biasa itu masuk ke dalam rumah. "Kamar saya ada di lantai dua," lanjut Davie."Bisa tunjukkan kamarnya, Pak?""Bisa, Pak. Ayo," ajak Davie.Davie berjalan lebih dulu bersama Ileana, sedangkan dua polisi itu mengikuti dari belakang. Setelah pintu kamar dibuka, dua polisi itu masuk terlebih dulu, disusul Davie dan Ileana.Ileana bergegas menunjukkan jendela yang sengaja dipecahkan oleh Braga. Salah satu polisi mengambil potret untuk barang bukti. Selain itu, kedua polisi itu melihat ke arah luar jendela. Di bawah, ada satu benda tumpul yang mungkin tertinggal di sana. Dan sebuah tangga kayu yang masih berdiri di dekat jendela kamar."Boleh kami periksa bagian luar?""Boleh, Pak."Davie membiarkan kedua polisi itu keluar terlebih dulu. Ia sudah memikirkan rencana lain jika memang kedua polisi itu tidak percaya pada kesaksiannya. Rekaman cctv akan menjadi cara terakhir untuk membuktikan semuanya. Ia
Di kantor polisi, Braga masih berdebat dengan para penyidik. Ia tetap berpendirian teguh bahwa dirinya tidak melakukan apapun pada Ileana. Bahkan ia menyatakan rekaman cctv itu hanya rekayasa. Tidak mungkin ia melakukan hal seperti itu pada istri orang.Tapi para penyidik lebih percaya pada rekaman itu karena sudah dilakukan pemeriksaan sebelumnya. Mereka tetap memaksa Braga untuk mengakui semuanya. Bahkan mereka mengancam akan memasukkan Braga ke penjara jika dia tidak mengakuinya dan meminta maaf pada Ileana dan Davie."Braga, akui aja. Kalau kayak gini, kamu mempersulit dirimu sendiri," ucap Heri selaku pengacara Braga."Aku nggak ngelakuin itu, Pak!" Braga tetap berkilah, meski sudah dipaksa berulang kali. "Emangnya aku cowok murahan? Nggak mungkin aku sentuh istri orang," lanjutnya."Gimana nggak mungkin? Di rekaman itu jelas-jelas kamu sentuh dia, Braga. Jangan buat malu saya ya. Saya udah tunda ketemu sama calon klien baru demi bantu kamu. Tapi nyatanya, kamu malah bohong. Saya
Pukul 20.00 malam, Braga berjalan kaki memasuki area perumahan. Wajahnya tampak kusut sekali. Rambut dan pakaiannya sudah berantakan dan sedikit bau. Itu karena ia sempat frustrasi saat dimasukkan ke dalam sel tahanan, sebelum kedua orang tuanya datang dengan membawa pengacara baru.Berkat bantuan dari orang tuanya, Braga bisa terbebas lagi dari jeratan hukum. Orang tuanya menjaminkan diri dan berjanji anaknya tidak akan mengulangi hal tersebut. Entah bagaimana cara orang tua Braga meyakinkan polisi untuk membebaskan anak mereka.Di perjalanan pulang, Braga sempat mendapatkan omelan dari orang tuanya. Mereka kesal karena sifat Braga masih saja seperti dulu. Melakukan tindakan bodoh yang justru merugikan dirinya sendiri."Papa nggak mau tahu, pokoknya ini yang terakhir kali kamu berurusan sama polisi! Kami udah jadi jaminan buat kamu!""Dengar itu, Braga!""Iya, Pa, Ma," jawab Braga sedikit kesal.Dan sampailah Braga di perumahan itu dengan wajah masam karena orang tuanya enggan mengan
Rossa tampak meringis sambil memegangi siku tangan kanannya yang sedikit terluka karena didorong oleh Braga sampai terjatuh. Ada sedikit memar di sana. Rossa kembali memanggil Braga sambil mengetuk pintu rumah itu dengan kuat. Berharap orang di dalam akan merasa kebisingan dan akhirnya keluar."Braga, buka pintunya! Kita belum selesai bicara!" teriak Rossa. "Beneran aku aduin ke Mama ya! Dan resikonya, kontrak kerjasama perusahaan kita dibatalkan!"Pintu dibuka dengan kasar. Wajah Braga semakin merah padam karena amarah yang membuncah. Kedua tangan mengepal sempurna. Dan setelah itu, tanpa diduga, Braga meninju pintu rumahnya sendiri sampai rusak.Rossa terkejut dan mematung. Ia tidak menyangka Braga akan melukai tangannya sendiri dengan cara seperti itu. "S-Sayang, tangan kamu-""Kenapa?! Itu kan yang lo mau, hah?!" bentak Braga."Nggak gitu, Sayang.""Nggak usah panggil gue dengan sebutan itu! Gue bukan tunangan lo lagi! Pergi dari sini sebelum gue panggil satpam buat ngusir lo!""T
Rossa tiba di depan sebuah gedung besar yang di depannya bertuliskan PT. Derilya Group. Perusahaan itu milik ayah kandung Rossa. Derilya sendiri merupakan nama belakang Rossa dan nama itu dijadikan sebagai nama perusahaan yang dibangun oleh ayah kandung Rossa. Ayah kandung Rossa bernama Gunarto Aditama. Perusahaan itu akan diwarisi Gunarto pada Rossa, sekaligus putri semata-wayangnya.Rossa berjalan memasuki perusahaan itu dengan wajah yang sedikit angkuh. Kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. Bentuk tubuh yang begitu langsing membuat para karyawan pria tertarik untuk melihatnya, tanpa berkedip sedikitpun.Tujuannya datang ke perusahaan itu hanya ingin menemui Gunarto. Rossa ingin menyampaikan perilaku Braga yang telah memutuskan hubungan secara sepihak. Padahal pernikahan dirinya dan Braga akan dilangsungkan dua bulan lagi.Rossa membuka pintu ruangan Gunarto dan melihat Gunarto sedang sibuk menandatangani berkas. Ada sang sekretaris, berdiri di samping kanan Gunarto. Wanit
Dua hari berikutnya, Rossa mendatangi rumah Ileana di malam hari, tepat pukul 20.00 malam. Berbekal informasi yang didapatkan dari Haikal, Rossa memberanikan diri untuk menemui wanita yang menjadi penyebab dirinya putus dengan Braga.Rossa turun dari mobil, lalu menekan bel di dekat pagar rumah yang terkunci. Rossa menekan beberapa kali, sampai akhirnya Bi Tuti keluar untuk membukakan pagar."Maaf, Mbak. Cari siapa ya?" tanya Bi Tuti."Aku mau cari Ileana. Di ada di rumah, kan?"Bi Tuti mengangguk. "Ada, Mbak. Ayo, silahkan masuk."Rossa masuk ke dalam setelah Bi Tuti membuka pagar. Setelah berada di dalam rumah, Rossa dipersilahkan duduk di sofa ruang tamu, sementara Bi Tuti bergegas memanggil Ileana yang berada di kamar.Bi Tuti mengetuk pintu kamar majikannya lalu berkata, "Mbak Ilea, ini ada tamu."Pintu terbuka dan menampilkan Ileana yang sudah memakai piyama tidur berwarna biru. "Siapa, Bi?""Bibi juga nggak tahu, Mbak. Dia cari Mbak Ilea katanya," jawab Bi Tuti."Udah disuruh m
20 tahun kemudian….Braga keluar dari rutan sambil membawa tas berisi pakaian dan peralatan mandinya. Setelah 20 tahun lamanya berada di penjara, akhirnya hari ini, Braga bisa menghirup udara bebas.Tampak dari sisi gerbang rutan, seorang wanita, berusia kurang lebih 25 tahun, melambaikan tangan ke arah Braga. Wanita itu sudah terlihat sukses saat ini.Braga tersenyum manis sambil menghampiri wanita itu. Dipeluknya wanita itu dengan penuh cinta dan kasih sayang."Akhirnya Papa bebas juga."Wanita itu adalah Nisaka. Ia sudah tumbuh menjadi anak yang dewasa dan mandiri. Di usianya yang ke 25 tahun, Nisaka sudah memiliki rumah dan mobil berkat kerja kerasnya selama ini. Dukungan Davie dan Ileana juga sangat berpengaruh pada karirnya."Iya, Nak. Alhamdulillah, Papa bisa bebas sekarang. Papa nggak nyangka, kamu udah sebesar ini, Nak. Kamu juga udah sukses sekarang," ucap Braga sambil melepas pelukannya dan menatap wajah Nisaka.Nisaka tersenyum. "Alhamdulillah, Pa. Nisa bisa sampai di titi
6 tahun kemudian….Davie bersama Adinda yang sudah berusia 6 tahun bermain di taman kota, ditemani oleh Ileana dan Nisaka. Sedangkan Bi Tuti sudah meninggal setahun yang lalu, bersamaan dengan meninggalnya Khairil di dalam tahanan karena bunuh diri.Saat itu, Khairil mengalami depresi karena tidak tahan menjalani hukuman di dalam penjara. Ia memutuskan untuk gantung diri di dalam tahanan. Tahun lalu merupakan tahun terburuk bagi Davie dan Ileana. Mereka harus kehilangan dua orang yang disayang sekaligus. Bi Tuti sudah seperti orang tua sendiri bagi Davie dan Ileana. Setelah kehilangan Bi Tuti, Davie dan Ileana sempat terpuruk. Ditambah lagi ada berita tentang Khairil yang juga tewas gantung diri.Tapi semua itu bisa mereka lewati seiring berjalannya waktu. Mereka baru saja mengunjungi Braga dan Nisaka yang sudah beranjak remaja itu pun semakin memahami kondisi Braga saat ini."Tante," panggil Nisaka setelah selesai berlarian dengan Adinda."Iya, Nisa. Ada apa?" tanya Ileana."Nisa mau
Tiga minggu setelah selesai dengan urusan pernikahan Karina dan Jian, Davie mengajak Ileana untuk kembali ke Jakarta. Sedangkan Karina dan Jian masih akan menetap di Bandung untuk beberapa bulan.Davie dan Ileana sudah berpamitan dengan keluarga besar Karina dan Jian. Mereka pulang ke Jakarta menggunakan pesawat.Dan sekitar beberapa jam, mereka tiba di Jakarta. Davie dan Ileana masuk ke dalam taksi yang akan membawa mereka pulang ke rumah.Sesampainya di depan rumah, Nisaka langsung menghampiri mereka. Nisaka sangat merindukan Om dan Tantenya itu. Bi Tuti juga memasakkan makanan spesial untuk menyambut Davie dan Ileana. Mereka makan bersama setelah Davie dan Ileana selesai membersihkan diri."Nisa, kamu mau ikut Om jalan-jalan nggak?" tanya Davie setelah selesai makan."Mau sih, Om. Tapi Om kan baru pulang. Nanti capek loh.""Nggak masalah. Om mau ngajak kamu ke suatu tempat. Kamu pasti seneng.""Boleh deh kalau gitu. Tante juga ikut, kan?" tanya Nisaka pada Ileana.Ileana langsung m
"Oh iya, gimana sama Braga?" tanya Karina setelah melepas pelukannya pada Ileana.Ileana menghela napas panjang. Haruskah ia mengingat kembali nama itu? Ia masih belum sepenuhnya memaafkan kesalahan Braga, meskipun Braga sudah berusaha untuk menebus semuanya. Tapi tetap saja, luka itu masih terasa sampai sekarang."Dia bilang mau nyerahin diri ke polisi. Surat tanah dan rumah punya mendiang Ayah juga udah dibalikin ke aku. Sebelum Ayah meninggal, Braga sempat ketemu sama Nisaka di taman. Mereka main bareng, terus berpisah lagi. Dan di hari yang sama, aku kehilangan Ayah," ucap Ileana lirih.Karina mengusap punggung tangan Ileana. Berniat menenangkannya. "Aku bisa ngerti perasaan kamu. Aku juga mau minta maaf karena sempat dengar obrolan kamu sama Davie. Dari situ, aku sengaja cari tahu soal Braga, siapa dia sebenarnya, dan apa pekerjaannya. Aku sempat kaget waktu baca kasus pembunuhan yang dia lakuin sama Kakak kamu.""Terus, dia juga udah banyak nipu orang. Uang yang dia dapat itu da
Sepulang dari Bogor, Ileana merasakan nyeri yang teramat dahsyat di area perutnya. Ileana sampai membungkuk untuk berjalan masuk ke rumah."Sayang, kamu kenapa?" tanya Davie cemas."Nggak tahu, Mas. Perut aku sakit banget."Davie bisa melihat bulir-bulir keringat sudah bermunculan di kening Ileana. Segera ia menggendong Ileana masuk ke dalam rumah. Merebahkan tubuhnya di atas kasur.Tapi hal yang paling mengejutkan adalah, noda darah di bagian bawah gamis yang dikenakan Ileana saat ini. Noda darah itu begitu banyak dan kental."Sayang, kok baju kamu banyak darah gini?" tanya Davie.Ileana tidak merespon. Davie pun menatap wajah sang istri yang sudah pucat dan tak sadarkan diri. Hal itu tentunya menimbulkan kepanikan tersendiri bagi Davie. Ada apa ini?"Bi! Bi Tuti!" teriak Davie memanggil Bi Tuti.Bi Tuti yang mendengar teriakan Davie pun bergegas masuk ke dalam kamar. "Ada apa, Mas Davie?""Bi, ini Ileana pingsan. Terus ada darah di gamisnya," jawab Davie panik."Ya Allah! Cepat diba
Malam hari, pukul 20.00 malam, Ileana masih termenung sambil duduk di kursi taman. Pemakaman Ikhwan sudah ia laksanakan sebelum hari gelap. Bahkan ia tak sempat menghubungi keluarga Ikhwan yang lainnya, kecuali Aldi dan Diana. Itupun karena Davie yang berinisiatif menghubungi mereka.Ileana seperti tidak memiliki semangat hidup saat ini. Kepergian Ikhwan masih menjadi mimpi baginya. Tidak menyangka akan secepat ini terjadi. Impian hidup bahagia bersama Ikhwan, Davie dan Nisaka lenyap sudah. Padahal Ileana sudah berhasil mengambil surat-surat penting itu dari Braga. Sampai harus mengorbankan Davie untuk sesaat demi Ikhwan."Ayah…." lirihnya.Sedangkan dari arah pintu masuk, Davie berdiri menatap sang istri yang duduk membelakanginya. Davie bisa merasakan kesedihan istrinya saat ini."Om."Davie menoleh ke samping kanan. Ternyata Nisaka juga ikut memandangi Ileana. "Kamu kok belum tidur, Nisa?""Nisa nggak bisa tidur, Om. Kepikiran sama Tante Ilea. Tante kelihatan sedih banget, Om," uja
Seharian ini, Nisaka tampak bahagia karena bisa bermain bersama Braga di taman hingga menjelang sore. Braga pun pamit sambil menitipkan Nisaka pada Davie dan Ileana. Braga juga meminta maaf untuk kesekian kalinya pada pasangan suami istri itu."Titip dia ya, Ilea, Davie. Gue cuma percaya sama kalian," ucap Braga."Iya, Ga. Dia aman sama kita," kata Davie."Makasih banyak ya. Gue pamit sekarang."Davie hanya mengangguk dan membiarkan Braga pergi. Sedangkan Ileana tidak berkata apapun. Ia hanya diam sambil menatap kepergian Braga. Setelah itu, dipeluknya Nisaka yang menangis karena Braga pergi."Nisa, kamu yang sabar ya. Nanti kalau urusan Papa kamu selesai, dia pasti bakal balik lagi," ujar Ileana menguatkan."Iya, Tante. Nisa bakal nunggu Papa.""Ya udah, sekarang kita jemput Kakek yuk!" ajak Davie penuh semangat.Ileana melepas pelukannya pada Nisaka dan bergegas menuju ke mobil untuk menjemput Ikhwan. Perjalanan kali ini akan sedikit jauh. Itu sebabnya Davie sudah membeli beberapa m
"Nisa, Om mau bicara sebentar."Nisaka menatap Davie dengan senyum terkembang. Saat ini, hatinya sedang bahagia karena bisa melihat wajah sumringah Davie setelah bertemu kembali dengan Ileana."Om mau ngomong apa?"Davie mengelus kepala Nisaka, lalu menjawab, "Kita bicara di taman aja ya. Soalnya ini pembicaraan serius.""Oh, oke."Nisaka berdiri dan melangkah, mengikuti Davie menuju taman di halaman depan rumah. Mereka duduk bersebelahan di kursi taman bercat putih."Nisa, sebelumnya, Om minta maaf karena baru ngasih tahu kamu hari ini. Om harap, kamu bisa nerima dan nggak marah ya," ucap Davie sebelum memulai percakapan seriusnya."Iya, Om."Davie menghembuskan napas panjang dan memulai ceritanya. "Siang ini, kamu ikut Om sama Tante ke taman kota ya. Ada yang mau ketemu sama kamu.""Siapa, Om?""Hhh!" Davie diam sejenak. Sedikit takut untuk mengatakan semuanya pada Nisaka. "Kamu ingat cowok yang narik kamu waktu itu?" tanyanya kemudian."Ingat. Memangnya kenapa, Om?""Ehm, dia itu …
Keesokan harinya, pukul 07.00 pagi, Ileana memasukkan barang-barang Davie ke dalam tas berukuran sedang. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah karena kondisi Davie sudah mulai stabil.Davie memperhatikan sang istri yang sibuk mengurus perlengkapannya. Ia sama sekali tidak diberi izin untuk membantu. Padahal Davie sudah merasa sehat."Udah semua ini kan, Mas?" tanya Ileana sambil memperhatikan setiap sudut ruangan."Udah semua, Sayang. Nggak banyak kok barang yang dibawa. Cuma itu aja," jawab Davie."Ya udah, kita pulang sekarang ya. Kebetulan taksi online-nya udah nunggu di parkiran.""Iya, Sayang."Davie membawa tas itu di tangan kanannya, sementara tangan kiri menggenggam tangan kanan Ileana. Mereka berjalan beriringan. Seluruh biaya rumah sakit sudah diselesaikan.Tapi suara panggilan dari arah belakang membuat mereka terpaksa menghentikan langkah. Keduanya menoleh bersamaan dan mendapati Braga sedang berjalan ke arah mereka sambil mendorong tiang infus dengan tangan kanannya. Sedan