Pagi-pagi sekali, Davie sudah keluar dari rumah, berkeliling di perumahan itu menggunakan sepeda gunungnya. Sudah lama ia tidak menggunakan sepeda itu. Tujuannya berkeliling seperti ini hanya untuk mencari rumah Braga. Ia masih memendam amarah untuk pria itu karena sudah berani bertindak kurang ajar pada Ileana.Ileana tidak mengetahui tujuan Davie. Setelah sholat subuh, Davie berdalih ingin bersepeda di sekitar perumahan sebelum berangkat kerja.Sudah hampir 15 menit Davie memutari perumahan, namun belum menemukan rumah Braga. Karena merasa putus asa dan sudah lelah, Davie berniat untuk kembali ke rumah."Hhh! Mending pulang aja deh. Besok dilanjut lagi," gumamnya pelan sambil memutar arah sepedanya.Setelah sepeda sudah berputar arah, di sebelah kanan, ada seorang pria yang baru saja keluar dari dalam rumah sambil memegangi pipinya yang terlihat memar. Davie menoleh ke arah pria itu tanpa disengaja. Senyum seringai pun muncul di sudut bibirnya."Oh, ternyata dia baru keluar." Davie
Davie terlihat sibuk menyiapkan beberapa berkas penting di atas meja ruang rapat. Ia baru saja selesai rapat dengan staf kantor, membahas sebuah rancangan baru untuk kemajuan perusahaan. Beberapa hal penting dari hasil rapat pun sudah ditulis oleh sekretarisnya. Davie membaca catatan itu setelah rapat berakhir dan semua staf sudah keluar dari ruang rapat.Berkas penting tadi, Davie bawa keluar ruangan. Saat dirinya hendak melangkah menuju ruang kerjanya, tiba-tiba saja ia bersenggolan dengan seseorang, sampai membuat berkas itu berjatuhan di lantai. Padahal Davie sudah menyusunnya dengan rapi. Kini, ia harus menyusun ulang semua berkas itu sesuai dengan urutan sebelumnya."Aduh, maaf ya, Mas. Aku nggak sengaja."Davie menatap seseorang yang sedang berbicara padanya. Ternyata orang yang bersenggolan dengannya adalah Ileana. Seketika rasa kesal itu berubah menjadi senang. Bertemu dengan istri di saat jam kerja membuat Davie semakin bersemangat. Inilah enaknya jika kita berada di satu ka
"Itu dia orangnya, Pak!"Davie dan Ileana kompak menatap ke arah pintu yang dibuka secara paksa. Braga datang bersama dua orang polisi dan satu pria lainnya yang berpakaian rapi seperti orang penting.Davie berdiri dan langsung melindungi sang istri yang tampak ketakutan. "Ada apa ini? Apa kalian nggak diajarkan sopan santun saat bertamu?" tanya Davie diiringi sindiran."Alah! Nggak usah banyak cerita!" teriak Braga. "Tangkap aja nih orang, Pak! Dia yang nonjok saya! Dia juga ancam saya tadi!"Ileana mengernyit heran sambil menatap suaminya yang berdiri di depannya. Ia pun berbisik pelan, "Mas, emang bener gitu? Kamu nonjok dia?""Iya, Sayang," jawab Davie jujur tanpa menoleh ke belakang."Ya ampun, Mas. Kenapa ditonjok?""Nggak apa-apa, Sayang. Kamu nggak usah takut. Yang salah dia, bukan kita," ujar Davie tetap tenang di tempatnya.Braga menatap ke arah dua polisi yang ada di belakangnya. "Tunggu apa lagi, Pak? Tangkap dia!"Salah satu polisi mengangguk lalu menghampiri Davie. Polis
"Silahkan masuk, Pak."Davie membuka pintu rumah sambil mempersilahkan dua pria berseragam biasa itu masuk ke dalam rumah. "Kamar saya ada di lantai dua," lanjut Davie."Bisa tunjukkan kamarnya, Pak?""Bisa, Pak. Ayo," ajak Davie.Davie berjalan lebih dulu bersama Ileana, sedangkan dua polisi itu mengikuti dari belakang. Setelah pintu kamar dibuka, dua polisi itu masuk terlebih dulu, disusul Davie dan Ileana.Ileana bergegas menunjukkan jendela yang sengaja dipecahkan oleh Braga. Salah satu polisi mengambil potret untuk barang bukti. Selain itu, kedua polisi itu melihat ke arah luar jendela. Di bawah, ada satu benda tumpul yang mungkin tertinggal di sana. Dan sebuah tangga kayu yang masih berdiri di dekat jendela kamar."Boleh kami periksa bagian luar?""Boleh, Pak."Davie membiarkan kedua polisi itu keluar terlebih dulu. Ia sudah memikirkan rencana lain jika memang kedua polisi itu tidak percaya pada kesaksiannya. Rekaman cctv akan menjadi cara terakhir untuk membuktikan semuanya. Ia
Di kantor polisi, Braga masih berdebat dengan para penyidik. Ia tetap berpendirian teguh bahwa dirinya tidak melakukan apapun pada Ileana. Bahkan ia menyatakan rekaman cctv itu hanya rekayasa. Tidak mungkin ia melakukan hal seperti itu pada istri orang.Tapi para penyidik lebih percaya pada rekaman itu karena sudah dilakukan pemeriksaan sebelumnya. Mereka tetap memaksa Braga untuk mengakui semuanya. Bahkan mereka mengancam akan memasukkan Braga ke penjara jika dia tidak mengakuinya dan meminta maaf pada Ileana dan Davie."Braga, akui aja. Kalau kayak gini, kamu mempersulit dirimu sendiri," ucap Heri selaku pengacara Braga."Aku nggak ngelakuin itu, Pak!" Braga tetap berkilah, meski sudah dipaksa berulang kali. "Emangnya aku cowok murahan? Nggak mungkin aku sentuh istri orang," lanjutnya."Gimana nggak mungkin? Di rekaman itu jelas-jelas kamu sentuh dia, Braga. Jangan buat malu saya ya. Saya udah tunda ketemu sama calon klien baru demi bantu kamu. Tapi nyatanya, kamu malah bohong. Saya
Pukul 20.00 malam, Braga berjalan kaki memasuki area perumahan. Wajahnya tampak kusut sekali. Rambut dan pakaiannya sudah berantakan dan sedikit bau. Itu karena ia sempat frustrasi saat dimasukkan ke dalam sel tahanan, sebelum kedua orang tuanya datang dengan membawa pengacara baru.Berkat bantuan dari orang tuanya, Braga bisa terbebas lagi dari jeratan hukum. Orang tuanya menjaminkan diri dan berjanji anaknya tidak akan mengulangi hal tersebut. Entah bagaimana cara orang tua Braga meyakinkan polisi untuk membebaskan anak mereka.Di perjalanan pulang, Braga sempat mendapatkan omelan dari orang tuanya. Mereka kesal karena sifat Braga masih saja seperti dulu. Melakukan tindakan bodoh yang justru merugikan dirinya sendiri."Papa nggak mau tahu, pokoknya ini yang terakhir kali kamu berurusan sama polisi! Kami udah jadi jaminan buat kamu!""Dengar itu, Braga!""Iya, Pa, Ma," jawab Braga sedikit kesal.Dan sampailah Braga di perumahan itu dengan wajah masam karena orang tuanya enggan mengan
Rossa tampak meringis sambil memegangi siku tangan kanannya yang sedikit terluka karena didorong oleh Braga sampai terjatuh. Ada sedikit memar di sana. Rossa kembali memanggil Braga sambil mengetuk pintu rumah itu dengan kuat. Berharap orang di dalam akan merasa kebisingan dan akhirnya keluar."Braga, buka pintunya! Kita belum selesai bicara!" teriak Rossa. "Beneran aku aduin ke Mama ya! Dan resikonya, kontrak kerjasama perusahaan kita dibatalkan!"Pintu dibuka dengan kasar. Wajah Braga semakin merah padam karena amarah yang membuncah. Kedua tangan mengepal sempurna. Dan setelah itu, tanpa diduga, Braga meninju pintu rumahnya sendiri sampai rusak.Rossa terkejut dan mematung. Ia tidak menyangka Braga akan melukai tangannya sendiri dengan cara seperti itu. "S-Sayang, tangan kamu-""Kenapa?! Itu kan yang lo mau, hah?!" bentak Braga."Nggak gitu, Sayang.""Nggak usah panggil gue dengan sebutan itu! Gue bukan tunangan lo lagi! Pergi dari sini sebelum gue panggil satpam buat ngusir lo!""T
Rossa tiba di depan sebuah gedung besar yang di depannya bertuliskan PT. Derilya Group. Perusahaan itu milik ayah kandung Rossa. Derilya sendiri merupakan nama belakang Rossa dan nama itu dijadikan sebagai nama perusahaan yang dibangun oleh ayah kandung Rossa. Ayah kandung Rossa bernama Gunarto Aditama. Perusahaan itu akan diwarisi Gunarto pada Rossa, sekaligus putri semata-wayangnya.Rossa berjalan memasuki perusahaan itu dengan wajah yang sedikit angkuh. Kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. Bentuk tubuh yang begitu langsing membuat para karyawan pria tertarik untuk melihatnya, tanpa berkedip sedikitpun.Tujuannya datang ke perusahaan itu hanya ingin menemui Gunarto. Rossa ingin menyampaikan perilaku Braga yang telah memutuskan hubungan secara sepihak. Padahal pernikahan dirinya dan Braga akan dilangsungkan dua bulan lagi.Rossa membuka pintu ruangan Gunarto dan melihat Gunarto sedang sibuk menandatangani berkas. Ada sang sekretaris, berdiri di samping kanan Gunarto. Wanit