Davie tiba di lantai paling atas, membuka pintu menuju balkon kantor. Tampak Ileana sedang melamun di sana. Perlahan, Davie mendekati wanita yang saat ini berusia 27 tahun itu dengan perasaan yang campur-aduk. Baru kali ini, ia melihat Ileana sesedih itu sampai harus menyendiri di balkon kantor.
Davie berdiri tepat di belakang Ileana. Sedikit dehaman mampu menarik perhatian Ileana. Wanita itu menoleh ke belakang. Kedua matanya melotot karena terkejut dengan kehadiran Davie."Kamu ngapain ke sini?" tanya Ileana ketus."Aku cuma mau ngajak makan siang sambil ngobrol soal tadi. Aku bisa jelasin semuanya. Ini cuma salah paham."Ileana mendecih diiringi senyuman tipis. "Nggak perlu dijelasin. Semuanya udah jelas. Cewek itu nggak mungkin katain aku pelakor kalau nggak ada sebabnya. Kalau salah, ngaku aja salah. Nggak perlu ngeles.""Ilea, aku serius. Aku nggak ada bilang apa-apa ke dia, kecuali...."Ileana mengernyit saat Davie menghentikan kalimatnya. "Kecuali apa, hah?""Kecuali... aku bilang kalau kamu pacar aku," ucap Davie. "Tapi tujuannya supaya dia pergi dari ruangan aku. Dia itu mantan pacar aku waktu SMA dan udah menikah. Dia datang cuma mau curhat masalah suaminya yang kasar, tapi dia malah peluk-peluk aku terus cemburu waktu aku cium kamu. Makanya aku terpaksa ngomong gitu."Ileana mendesah pelan. Tidak menyangka pria itu akan berkata bohong pada mantan kekasihnya. Sampai akhirnya, Ileana menjadi sasaran kemarahan Naura. "Maaf ya. Apapun alasan kamu, harusnya kamu nggak libatin aku. Itu masalah kamu sama dia. Aku beneran nggak suka sama cara kamu," ucapnya."Iya, aku tahu itu salah. Aku minta maaf," kata Davie sambil menunduk."Apa? Minta maaf?"Davie mengangguk. "Iya. Aku minta maaf.""Kamu pikir, dengan kata maaf, semuanya bakalan beres? Enggak semudah itu. Gara-gara kelakuan mantan kamu, semua karyawan di sini jadi berburuk sangka sama aku. Nama baik aku jadi hancur cuma karena ucapan bodoh mantan kamu itu.""Ya terus, aku harus apa?" tanya Davie bingung sambil menatap Ileana. "Aku juga nggak tahu kalau kejadiannya bakal kayak gini."Ileana kembali mendecih. "Makanya, lain kali sebelum ngomong itu dipikir dulu resikonya apa. Jangan asal aja. Kamu lihat sekarang. Karyawan cewek di sini pada lihatin aku pakai sebelah mata. Apalagi mereka semua suka sama kamu. Terus aku dicap sebagai pelakor.""Jadi, mau kamu gimana?"Ileana menaikkan kedua bahunya seraya berkata, "Ya kamu pikir aja sendiri. Yang penting nama baik aku bisa balik lagi kayak semula. Kalau kamu berhasil, aku bakal maafin kamu."Ileana beranjak pergi dari hadapan Davie. Davie pun segera mengekori Ileana sampai mereka berdua berada dalam lift. Hanya mereka berdua. Entah kenapa, jantung Davie berdetak lebih kencang saat dirinya berada di dekat Ileana. Ia benar-benar mencintai wanita itu."Ilea."Saat Ileana menoleh, Davie langsung mendekat hingga membuat Ileana terpaksa mundur ke belakang. Perasaan Ileana mulai tidak karuan. Wanita itu takut terjadi sesuatu karena mereka hanya berdua di dalam lift.Ileana semakin mundur dan mulai terpojok di sudut lift. Di depannya sudah ada Davie dalam jarak yang begitu dekat. Bahkan hembusan napas Davie juga menerpa wajah cantik Ileana."Jangan macam-macam kamu," ucap Ileana mengingatkan.Davie tersenyum sambil memiringkan sedikit kepalanya ke arah kiri, lalu mencium sudut bibir tipis milik Ileana tanpa izin. Ileana melotot karena terkejut. Seketika tubuhnya membeku, tidak berdaya. Ciuman itu hanya sekilas saja, namun mampu membuat Ileana tak bisa berkutik."Maaf, Ilea. Aku nggak bisa kontrol perasaan aku sendiri. Aku beneran cinta sama kamu. Aku rela ngelakuin apapun, asalkan kamu mau terima aku jadi pacar kamu," ucap Davie dengan suara yang begitu lembut.Ileana tidak menanggapi. Ia masih terdiam sambil menunggu lift tersebut sampai ke lantai dasar. Ingin marah, namun Ileana masih sedikit syok dengan perlakuan Davie. Itu adalah ciuman pertamanya. Selama bertahun-tahun ia menjaga diri dari beberapa pria kurang ajar dan sekarang Davie dengan mudahnya mengambil ciuman pertama itu. Anehnya, Ileana tidak mampu mendorong Davie untuk menjauh darinya. Padahal biasanya, ia jauh lebih galak kepada pria lain."Ilea, aku mohon. Terima aku sebagai pacar kamu. Aku janji bakal jadi pacar yang baik buat kamu," lanjut Davie.Saat Davie menunggu jawaban dari Ileana, pintu lift sudah terbuka. Sebelum dilihat orang lain, Ileana memberanikan diri untuk mendorong tubuh Davie agar menjauh darinya. Posisi mereka tadi sangat intim dan mampu membuat siapa saja yang melihatnya akan berpikir negatif.Davie terlihat sedih karena cintanya belum dibalas oleh Ileana. Ia memutuskan masuk ke dalam ruangannya untuk merenung di sana. Diraihnya sebuah foto yang ia letakkan di atas meja kerja. Sambil duduk di kursi, Davie berbicara sendiri pada foto tersebut."Mam, kenapa susah banget dapetin cewek yang aku suka? Cewek itu mirip banget sama Mama. Senyumnya, matanya. Semuanya sama persis kayak Mama," ucap Davie dengan airmata yang sudah mengalir di pipinya. "Kalau Mama lihat dia, pasti Mama bakalan sayang juga sama dia."Annisa Handaru adalah ibu kandung Davie yang telah meninggal 13 tahun lalu. Saat itu usia Davie masih 17 tahun. Annisa ditemukan meninggal di kamarnya dalam kondisi yang cukup mengenaskan. Ada beberapa luka tusuk di bagian dada dan perut Annisa. Ibunya menjadi korban pembunuhan. Tapi sampai detik ini, pelaku tak kunjung ditemukan oleh pihak kepolisian. Kasusnya masih berjalan hingga detik ini.Davie sempat bersumpah, siapapun pelakunya, harus Davie sendiri yang memberi hukumannya. Ia sangat marah saat itu. Apalagi posisi Davie saat itu tidak berada di rumah. Ia sedang berada di sekolah bahkan sedang ujian. Davie tidak menyangka ada orang yang tega membunuh Ibunya tanpa sebab.Davie menghapus airmatanya. Mengingat kejadian itu membuat hatinya merasa sakit. Jika Ibunya meninggal karena sakit, mungkin Davie masih bisa ikhlas. Tapi pada kenyataannya, Annisa meninggal karena dibunuh. Sampai kapanpun Davie tidak akan bisa mengikhlaskannya."Mam, maafin aku karena belum bisa cari tahu siapa pelakunya. Aku janji bakal terus cari dia sampai ketemu, Mam."Suara ketukan pintu terdengar dari luar. Davie dengan cepat merapikan dirinya dan menghapus sisa-sisa airmata di pipi. Ia tidak ingin siapapun melihatnya menangis."Masuk."Pintu dibuka dari luar dan muncullah Ileana di sana. Davie langsung berdiri dari kursinya dengan senyum sumringah. Ia berharap, Ileana akan membalas pernyataan cintanya tadi."Ilea.""Aku ke sini cuma mau tepatin janji," ucap Ileana tanpa basa-basi. "Sebelumnya aku udah janji mau makan siang bareng kamu. Setelah itu, aku minta sama kamu buat jauhi aku. Jangan pernah dekat-dekat aku lagi."Davie merasa sedih mendengar hal itu. Lebih baik dirinya tidak makan siang bersama daripada harus menjauhi wanita itu untuk selamanya. "Ilea, aku nggak bisa jauh dari kamu. Aku nggak masalah kalau kamu nggak terima cinta aku. Tapi aku mohon, jangan minta aku buat jauh dari kamu. Aku beneran nggak bisa."Wajah Davie tampak memelas, membuat hati kecil Ileana seakan iba. Ileana juga memperhatikan kelopak mata Davie yang sedikit sembab. Mungkinkah pria itu baru saja menangis? Pikir Ileana."Ck!" Ileana mendecak. Ia sangat membenci hal ini. Dirinya memang masih memiliki rasa iba pada orang lain, meskipun banyak yang mengatakan bahwa dirinya wanita tercuek. "Terserah kamu aja deh. Capek ngasih tahu kamu."Davie kembali tersenyum. "Makasih, Ilea.""Hhh! Ini jadi makan siang nggak? Aku laper. Kalau nggak jadi, biar aku ke kantin sendirian," ucap Ileana dengan nada cueknya."Jadi dong. Ayo," ajak Davie.Ileana berjalan menuju ruang engineering. Wanita itu baru saja selesai makan siang bersama Davie. Davie berniat mengantarnya sampai ke ruang engineering, namun Ileana menolak dengan tegas agar pria itu tidak memaksa. Di sepanjang lorong menuju ruang engineering, terlihat beberapa karyawan saling memberi tatapan aneh pada Ileana. Awalnya, Ileana hanya diam dan mengabaikan mereka. Tapi lama kelamaan, tatapan itu berubah menjadi sebuah sindiran pedas untuknya, terutama di kalangan karyawan wanita.Tatapan menelisik serta sindiran yang diberikan membuat telinga Ileana semakin panas. Kedua tangannya sudah mengepal karena kesal. Tapi masih berusaha untuk mengabaikan mereka. Hingga tiba saatnya ia dihalangi oleh dua orang wanita. Padahal Ileana hampir tiba di depan ruang engineering.Dengan sangat terpaksa, Ileana berhenti dan menatap dua wanita berjas hitam itu. Ditatapnya mereka dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ileana dengan gaya tomboynya itu terlihat memberi tatapan menantang sambil m
Ileana izin pulang lebih cepat dari biasanya karena kepalanya terasa pusing. Cukup lama ia menangis di ruang engineering setelah rumor itu beredar. Bahkan Ileana tidak fokus pada pekerjaannya untuk kali ini. Untung saja, kepala ruang engineering memberinya izin untuk pulang lebih awal dan mengerti kondisi Ileana saat ini. Jian ditugaskan untuk mengantar Ileana pulang, namun wanita itu menolak dan tidak ingin merepotkan Jian. Jian pun tidak bisa memaksa. Hanya saja, Jian tetap mengantarkan Ileana sampai ke lobi kantor untuk menjaga Ileana dari cemoohan para karyawan di sana.Saat melewati ruangan Davie, Ileana hanya melirik sekilas ketika pintu ruangan itu dibuka oleh seseorang dari dalam. Ileana mempercepat langkahnya dan Jian pun mengikuti langkah cepat wanita itu. Belum jauh Ileana melangkah, namanya sudah disebut dari arah belakang."Ilea, tunggu!"Ileana masih tetap melangkah, namun Jian menahan lengannya. "Ilea, nggak boleh gitu. Lo dipanggil sama Pak Davie," bisik Jian."Ileana.
Pagi ini, Ileana terlihat menata beberapa makanan yang baru selesai ia masak. Nisaka sudah duduk tenang di meja makan, menunggu Kakeknya yang masih bersiap di kamar. Ileana memberikan segelas susu pada Nisaka lalu menaruh nasi serta ayam goreng dan sayur di atas piring keponakannya itu. Bekal makan siang juga disiapkan untuk Nisaka. Ileana tidak ingin Nisaka jajan sembarangan di sekolah. Ia hanya ingin menjaga amanah dari mendiang Yoanna."Kamu mau Tante anterin ke sekolah?" tanya Ileana pada Nisaka.Sambil mengunyah ayam goreng, Nisaka menjawab, "Mau, Tante. Tapi nanti Tante telat kerjanya. Nisa nggak mau Tante dimarahi sama atasan Tante."Ileana tersenyum. Diusapnya rambut Nisaka yang sudah diikat rapi. Tidak terasa, keponakannya itu sudah beranjak remaja dan sudah mengerti bagaimana repotnya Ileana mengurus Nisaka serta pekerjaannya di perusahaan besar itu."Nggak masalah, Nisa. Tante juga khawatir kalau kamu pergi sendirian. Sekarang kan jaman penculikan," ujar Ileana tetap diirin
Davie terlihat begitu lesu pagi ini. Wajah cerianya tidak terlihat sama sekali. Yang ada hanya wajah pucat saja. Dan semua perubahan itu dilihat jelas oleh Ileana yang kebetulan berpapasan dengan Davie. Ileana yang terbiasa melihat keceriaan Davie pun merasa aneh dengan perubahan itu. Ingin menyapa, namun Ileana terlalu gengsi.Ileana memutuskan untuk melewati pria itu. Tidak ingin bertanya apapun. Tapi tangannya ditahan dengan cepat oleh Davie. Ternyata Davie sudah menyadari kehadiran Ileana. Pria itu sangat menandai wangi parfum yang digunakan Ileana."Jangan pergi."Ileana menoleh dan menatap mata Davie yang terlihat sembab. Sejak tadi, ia tidak menyadari mata sembab itu. Ileana mulai menerka apa yang sedang terjadi pada Davie. Ia teringat akan ucapan kasarnya berapa hari yang lalu. Mungkinkah itu penyebabnya? Ileana juga belum yakin dengan dugaannya."Aku mohon, jangan pergi."Kini, Davie memeluk Ileana sambil menangis terisak. Ileana menjadi tidak tega pada Davie. "Aku antar ke r
Saat memasuki jam makan siang, Davie berencana akan makan di kantin. Pria itu berjalan dengan santai menuju kantin perusahaan. Davie menghampiri salah satu etalase penjual soto ayam. Ia memesan untuk satu porsi beserta minuman untuk dirinya sendiri. Sebelum ke kantin, Davie sempat mengirim pesan singkat pada Ileana dan mengajaknya makan siang bersama. Tapi sayang, wanita itu menolaknya. Davie mengerti maksud dari penolakan Ileana tadi. Ia juga tidak bisa memaksakan keinginannya.Sembari menunggu hidangan datang, Davie melihat ponselnya dan duduk di sudut kantin yang dekat dengan jendela. Ada beberapa pesan singkat dari teman-teman lamanya yang mengajaknya untuk ikut dalam acara reuni SMA. Selain melalui pesan singkat, pengumuman acara reuni itu juga ada di grup alumni SMAnya. Davie membaca satu per satu isi pesan yang ada dalam grup tersebut. Banyak yang menyetujui dan ikut berpartisipasi dalam acara reuni yang akan berlangsung minggu depan."Hhh!" Davie menghela napas berat. Hatinya
Pukul 20.00 malam, Davie tiba di halaman rumah Ileana sambil membawa martabak untuk calon mertuanya. Sebelum turun dari mobil, Davie memperbaiki bentuk rambut dan merapikan jaket hitam garis putih yang ada di tubuhnya. Setelah semuanya dipastikan rapi, barulah Davie turun dari mobil. Ia melangkah menuju teras rumah tersebut dengan penuh keyakinan. Berharap, Ileana akan terkejut dengan kehadirannya. Tapi sayangnya, yang terkejut bukanlah Ileana, melainkan Davie sendiri.Davie mendengar percakapan dua orang pria yang tengah membicarakan soal perjodohan Ileana dengan pria lain. Tentu hal itu membuat Davie syok. Merasa tidak terima jika wanita yang dicintainya menikah dengan pria lain. Davie tidak siap menerima itu semua.Davie terus mendengarkan percakapan itu, sampai tidak sadar ada Nisaka di dekatnya. Nisaka menepuk tangan Davie sebanyak dua kali. Seketika Davie terkejut dan hampir berteriak. Untungnya Nisaka langsung memberi isyarat pada Davie untuk tidak berisik. Nisaka menarik paksa
Setelah berbincang cukup lama dengan Ikhwan, Davie pun mohon izin untuk pulang karena hari sudah malam. Davie menyalami Ikhwan dengan sopan dan pamit. Ikhwan pun meminta Ileana untuk mengantarkan Davie sampai ke halaman rumah. Sementara Nisaka sudah terlelap di kamar sejak tadi. Davie melarang Ikhwan untuk membangunkan Nisaka karena kasihan jika harus mengganggu tidur gadis itu.Davie berjalan mendekati mobil, diikuti Ileana dari belakang. Ileana masih bersidekap sambil memasang wajah kesal. Apalagi setelah mendengar pembicaraan Davie dengan Ikhwan yang terbilang serius tentang hubungan pura-pura yang dikarang oleh Davie."Kamu tuh ngapain sih pakai ngaku jadi pacar aku?" tanya Ileana dengan nada kesal.Davie menatap Ileana dengan satu alis yang naik ke atas. Setelah itu, ia tersenyum. "Aku ngelakuin ini demi kamu.""Apa maksud kamu?Davie mengajak Ileana untuk duduk di kursi yang sempat ia duduki bersama Nisaka. Ileana hanya menurut dan tetap memasang wajah kesal. "Tadi waktu aku dat
Sepulang kerja, Davie benar-benar mengajak Ileana untuk berkunjung ke rumah Emma, sahabat baik Annisa. Davie masih ingat alamat rumah Emma. Mereka pergi ke rumah Emma membutuhkan waktu sekitar 30 menit dari perusahaan milik Ayahnya Davie. Ditambah lagi jalanan yang cukup padat sore ini. Sehingga membuat mereka sempat terjebak cukup lama di jalan. Dan setelah terjebak selama kurang lebih 10 menit, akhirnya Davie dan Ileana bisa melanjutkan perjalanan.Setelah mobil berhenti di depan rumah Emma, Davie dan Ileana turun bersamaan. Suasana rumah Emma cukup sepi. Davie menjadi ragu untuk masuk. Mungkin saja Emma sedang tidak berada di rumah. Sudah lama sekali Davie tidak berkunjung ke rumah sahabat lama mendiang Ibunya itu.Davie berjalan lebih dulu memasuki pekarangan rumah Emma, sementara Ileana berjalan di belakang Davie. Pria itu mengetuk pintu rumah tersebut beberapa kali. Sampai akhirnya ada satu wanita paruh baya muncul dari balik pintu yang sedang terbuka itu."Halo, Tante," Davie m
20 tahun kemudian….Braga keluar dari rutan sambil membawa tas berisi pakaian dan peralatan mandinya. Setelah 20 tahun lamanya berada di penjara, akhirnya hari ini, Braga bisa menghirup udara bebas.Tampak dari sisi gerbang rutan, seorang wanita, berusia kurang lebih 25 tahun, melambaikan tangan ke arah Braga. Wanita itu sudah terlihat sukses saat ini.Braga tersenyum manis sambil menghampiri wanita itu. Dipeluknya wanita itu dengan penuh cinta dan kasih sayang."Akhirnya Papa bebas juga."Wanita itu adalah Nisaka. Ia sudah tumbuh menjadi anak yang dewasa dan mandiri. Di usianya yang ke 25 tahun, Nisaka sudah memiliki rumah dan mobil berkat kerja kerasnya selama ini. Dukungan Davie dan Ileana juga sangat berpengaruh pada karirnya."Iya, Nak. Alhamdulillah, Papa bisa bebas sekarang. Papa nggak nyangka, kamu udah sebesar ini, Nak. Kamu juga udah sukses sekarang," ucap Braga sambil melepas pelukannya dan menatap wajah Nisaka.Nisaka tersenyum. "Alhamdulillah, Pa. Nisa bisa sampai di titi
6 tahun kemudian….Davie bersama Adinda yang sudah berusia 6 tahun bermain di taman kota, ditemani oleh Ileana dan Nisaka. Sedangkan Bi Tuti sudah meninggal setahun yang lalu, bersamaan dengan meninggalnya Khairil di dalam tahanan karena bunuh diri.Saat itu, Khairil mengalami depresi karena tidak tahan menjalani hukuman di dalam penjara. Ia memutuskan untuk gantung diri di dalam tahanan. Tahun lalu merupakan tahun terburuk bagi Davie dan Ileana. Mereka harus kehilangan dua orang yang disayang sekaligus. Bi Tuti sudah seperti orang tua sendiri bagi Davie dan Ileana. Setelah kehilangan Bi Tuti, Davie dan Ileana sempat terpuruk. Ditambah lagi ada berita tentang Khairil yang juga tewas gantung diri.Tapi semua itu bisa mereka lewati seiring berjalannya waktu. Mereka baru saja mengunjungi Braga dan Nisaka yang sudah beranjak remaja itu pun semakin memahami kondisi Braga saat ini."Tante," panggil Nisaka setelah selesai berlarian dengan Adinda."Iya, Nisa. Ada apa?" tanya Ileana."Nisa mau
Tiga minggu setelah selesai dengan urusan pernikahan Karina dan Jian, Davie mengajak Ileana untuk kembali ke Jakarta. Sedangkan Karina dan Jian masih akan menetap di Bandung untuk beberapa bulan.Davie dan Ileana sudah berpamitan dengan keluarga besar Karina dan Jian. Mereka pulang ke Jakarta menggunakan pesawat.Dan sekitar beberapa jam, mereka tiba di Jakarta. Davie dan Ileana masuk ke dalam taksi yang akan membawa mereka pulang ke rumah.Sesampainya di depan rumah, Nisaka langsung menghampiri mereka. Nisaka sangat merindukan Om dan Tantenya itu. Bi Tuti juga memasakkan makanan spesial untuk menyambut Davie dan Ileana. Mereka makan bersama setelah Davie dan Ileana selesai membersihkan diri."Nisa, kamu mau ikut Om jalan-jalan nggak?" tanya Davie setelah selesai makan."Mau sih, Om. Tapi Om kan baru pulang. Nanti capek loh.""Nggak masalah. Om mau ngajak kamu ke suatu tempat. Kamu pasti seneng.""Boleh deh kalau gitu. Tante juga ikut, kan?" tanya Nisaka pada Ileana.Ileana langsung m
"Oh iya, gimana sama Braga?" tanya Karina setelah melepas pelukannya pada Ileana.Ileana menghela napas panjang. Haruskah ia mengingat kembali nama itu? Ia masih belum sepenuhnya memaafkan kesalahan Braga, meskipun Braga sudah berusaha untuk menebus semuanya. Tapi tetap saja, luka itu masih terasa sampai sekarang."Dia bilang mau nyerahin diri ke polisi. Surat tanah dan rumah punya mendiang Ayah juga udah dibalikin ke aku. Sebelum Ayah meninggal, Braga sempat ketemu sama Nisaka di taman. Mereka main bareng, terus berpisah lagi. Dan di hari yang sama, aku kehilangan Ayah," ucap Ileana lirih.Karina mengusap punggung tangan Ileana. Berniat menenangkannya. "Aku bisa ngerti perasaan kamu. Aku juga mau minta maaf karena sempat dengar obrolan kamu sama Davie. Dari situ, aku sengaja cari tahu soal Braga, siapa dia sebenarnya, dan apa pekerjaannya. Aku sempat kaget waktu baca kasus pembunuhan yang dia lakuin sama Kakak kamu.""Terus, dia juga udah banyak nipu orang. Uang yang dia dapat itu da
Sepulang dari Bogor, Ileana merasakan nyeri yang teramat dahsyat di area perutnya. Ileana sampai membungkuk untuk berjalan masuk ke rumah."Sayang, kamu kenapa?" tanya Davie cemas."Nggak tahu, Mas. Perut aku sakit banget."Davie bisa melihat bulir-bulir keringat sudah bermunculan di kening Ileana. Segera ia menggendong Ileana masuk ke dalam rumah. Merebahkan tubuhnya di atas kasur.Tapi hal yang paling mengejutkan adalah, noda darah di bagian bawah gamis yang dikenakan Ileana saat ini. Noda darah itu begitu banyak dan kental."Sayang, kok baju kamu banyak darah gini?" tanya Davie.Ileana tidak merespon. Davie pun menatap wajah sang istri yang sudah pucat dan tak sadarkan diri. Hal itu tentunya menimbulkan kepanikan tersendiri bagi Davie. Ada apa ini?"Bi! Bi Tuti!" teriak Davie memanggil Bi Tuti.Bi Tuti yang mendengar teriakan Davie pun bergegas masuk ke dalam kamar. "Ada apa, Mas Davie?""Bi, ini Ileana pingsan. Terus ada darah di gamisnya," jawab Davie panik."Ya Allah! Cepat diba
Malam hari, pukul 20.00 malam, Ileana masih termenung sambil duduk di kursi taman. Pemakaman Ikhwan sudah ia laksanakan sebelum hari gelap. Bahkan ia tak sempat menghubungi keluarga Ikhwan yang lainnya, kecuali Aldi dan Diana. Itupun karena Davie yang berinisiatif menghubungi mereka.Ileana seperti tidak memiliki semangat hidup saat ini. Kepergian Ikhwan masih menjadi mimpi baginya. Tidak menyangka akan secepat ini terjadi. Impian hidup bahagia bersama Ikhwan, Davie dan Nisaka lenyap sudah. Padahal Ileana sudah berhasil mengambil surat-surat penting itu dari Braga. Sampai harus mengorbankan Davie untuk sesaat demi Ikhwan."Ayah…." lirihnya.Sedangkan dari arah pintu masuk, Davie berdiri menatap sang istri yang duduk membelakanginya. Davie bisa merasakan kesedihan istrinya saat ini."Om."Davie menoleh ke samping kanan. Ternyata Nisaka juga ikut memandangi Ileana. "Kamu kok belum tidur, Nisa?""Nisa nggak bisa tidur, Om. Kepikiran sama Tante Ilea. Tante kelihatan sedih banget, Om," uja
Seharian ini, Nisaka tampak bahagia karena bisa bermain bersama Braga di taman hingga menjelang sore. Braga pun pamit sambil menitipkan Nisaka pada Davie dan Ileana. Braga juga meminta maaf untuk kesekian kalinya pada pasangan suami istri itu."Titip dia ya, Ilea, Davie. Gue cuma percaya sama kalian," ucap Braga."Iya, Ga. Dia aman sama kita," kata Davie."Makasih banyak ya. Gue pamit sekarang."Davie hanya mengangguk dan membiarkan Braga pergi. Sedangkan Ileana tidak berkata apapun. Ia hanya diam sambil menatap kepergian Braga. Setelah itu, dipeluknya Nisaka yang menangis karena Braga pergi."Nisa, kamu yang sabar ya. Nanti kalau urusan Papa kamu selesai, dia pasti bakal balik lagi," ujar Ileana menguatkan."Iya, Tante. Nisa bakal nunggu Papa.""Ya udah, sekarang kita jemput Kakek yuk!" ajak Davie penuh semangat.Ileana melepas pelukannya pada Nisaka dan bergegas menuju ke mobil untuk menjemput Ikhwan. Perjalanan kali ini akan sedikit jauh. Itu sebabnya Davie sudah membeli beberapa m
"Nisa, Om mau bicara sebentar."Nisaka menatap Davie dengan senyum terkembang. Saat ini, hatinya sedang bahagia karena bisa melihat wajah sumringah Davie setelah bertemu kembali dengan Ileana."Om mau ngomong apa?"Davie mengelus kepala Nisaka, lalu menjawab, "Kita bicara di taman aja ya. Soalnya ini pembicaraan serius.""Oh, oke."Nisaka berdiri dan melangkah, mengikuti Davie menuju taman di halaman depan rumah. Mereka duduk bersebelahan di kursi taman bercat putih."Nisa, sebelumnya, Om minta maaf karena baru ngasih tahu kamu hari ini. Om harap, kamu bisa nerima dan nggak marah ya," ucap Davie sebelum memulai percakapan seriusnya."Iya, Om."Davie menghembuskan napas panjang dan memulai ceritanya. "Siang ini, kamu ikut Om sama Tante ke taman kota ya. Ada yang mau ketemu sama kamu.""Siapa, Om?""Hhh!" Davie diam sejenak. Sedikit takut untuk mengatakan semuanya pada Nisaka. "Kamu ingat cowok yang narik kamu waktu itu?" tanyanya kemudian."Ingat. Memangnya kenapa, Om?""Ehm, dia itu …
Keesokan harinya, pukul 07.00 pagi, Ileana memasukkan barang-barang Davie ke dalam tas berukuran sedang. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah karena kondisi Davie sudah mulai stabil.Davie memperhatikan sang istri yang sibuk mengurus perlengkapannya. Ia sama sekali tidak diberi izin untuk membantu. Padahal Davie sudah merasa sehat."Udah semua ini kan, Mas?" tanya Ileana sambil memperhatikan setiap sudut ruangan."Udah semua, Sayang. Nggak banyak kok barang yang dibawa. Cuma itu aja," jawab Davie."Ya udah, kita pulang sekarang ya. Kebetulan taksi online-nya udah nunggu di parkiran.""Iya, Sayang."Davie membawa tas itu di tangan kanannya, sementara tangan kiri menggenggam tangan kanan Ileana. Mereka berjalan beriringan. Seluruh biaya rumah sakit sudah diselesaikan.Tapi suara panggilan dari arah belakang membuat mereka terpaksa menghentikan langkah. Keduanya menoleh bersamaan dan mendapati Braga sedang berjalan ke arah mereka sambil mendorong tiang infus dengan tangan kanannya. Sedan