Pagi ini, Ileana terlihat menata beberapa makanan yang baru selesai ia masak. Nisaka sudah duduk tenang di meja makan, menunggu Kakeknya yang masih bersiap di kamar. Ileana memberikan segelas susu pada Nisaka lalu menaruh nasi serta ayam goreng dan sayur di atas piring keponakannya itu. Bekal makan siang juga disiapkan untuk Nisaka. Ileana tidak ingin Nisaka jajan sembarangan di sekolah. Ia hanya ingin menjaga amanah dari mendiang Yoanna.
"Kamu mau Tante anterin ke sekolah?" tanya Ileana pada Nisaka.Sambil mengunyah ayam goreng, Nisaka menjawab, "Mau, Tante. Tapi nanti Tante telat kerjanya. Nisa nggak mau Tante dimarahi sama atasan Tante."Ileana tersenyum. Diusapnya rambut Nisaka yang sudah diikat rapi. Tidak terasa, keponakannya itu sudah beranjak remaja dan sudah mengerti bagaimana repotnya Ileana mengurus Nisaka serta pekerjaannya di perusahaan besar itu."Nggak masalah, Nisa. Tante juga khawatir kalau kamu pergi sendirian. Sekarang kan jaman penculikan," ujar Ileana tetap diiringi senyuman manis."Ya udah deh kalau Tante maksa," kelakar Nisaka.Tak lama Ikhwan muncul dengan penampilan yang cukup rapi. Ileana dan Nisaka saling bertatapan, merasa heran dengan penampilan Ikhwan pagi ini. Ileana hendak bertanya, namun sudah didahului oleh Nisaka."Kakek mau kemana?"Ikhwan duduk di kursi dan menjawab, "Mau nganterin kamu dong. Sekalian mau jumpa sama calon suaminya Tante kamu."Ileana tersedak air putih saat Ikhwan berkata seperti itu. Ia langsung menatap Ikhwan. "Ayah, mau ngapain lagi sih? Kan aku udah bilang nggak mau dijodohin kayak gitu. Aku bisa kok cari sendiri. Nggak harus dijodohin.""Udah deh, Ilea. Kamu tuh nurut aja apa kata Ayah. Jangan ngebantah. Ini juga demi kebaikan kamu," kata Ikhwan tidak mau kalah. "Kamu itu mau sampai kapan sendiri terus? Udah tua. Malu sama tetangga. Kamu udah dicap jadi perawan tua loh."Ileana menghembuskan napas panjang. "Yah, udah berapa kali aku bilang. Jangan pernah tanggapi omongan tetangga. Ini hidup aku, bukan hidup mereka. Mereka nggak berhak suruh aku nikah cepat. Aku yang tentuin jalan hidup aku loh. Kenapa Ayah lebih percaya omongan orang dibanding anak sendiri?"Nada bicara Ileana sudah mulai terdengar kesal. Memang ia begitu kesal jika Ikhwan terus membahas masalah pernikahan, sementara dirinya juga belum siap untuk menikah. Ia juga masih punya tanggungan yaitu Nisaka. Ileana sudah berjanji akan membuat Nisaka sukses dan mandiri. Tapi Ikhwan tidak mau mengerti ucapan Ileana. Selalu saja menanggapi ocehan para tetangga yang memang selalu ikut campur urusan keluarga Ileana.Ikhwan yang kesal mendengar penolakan Ileana pun menggebrak meja, sehingga membuat Nisaka terkejut. Suasana tenang pagi ini berubah menjadi tegang. Nisaka bahkan menundukkan kepala saat melihat Ikhwan marah. Meskipun kemarahan itu tidak tertuju pada Nisaka."Kamu tuh kalau dibilangi orang tua nggak pernah mau nurut! Kamu nggak pernah dengar omongan tetangga! Setiap hari, Ayah yang dengar! Tapi kamu selalu keras kepala!" teriak Ikhwan."Yang keras kepala itu Ayah. Aku belum siap nikah. Titik." Ileana beranjak dari kursinya lalu mengajak Nisaka untuk segera berangkat ke sekolah. "Ayo, Nisa. Kita berangkat sekarang," ajaknya.Nisaka hanya menurut dan mengikuti langkah Ileana sambil menggandeng tangannya. Sementara Ikhwan terus saja berteriak meminta Ileana untuk kembali."Anak kurang ajar kamu! Ayah belum selesai bicara, Ilea! Pokoknya nanti malam kamu harus ketemu sama calon suami kamu!"Ileana mengabaikan teriakan Ikhwan. Para tetangga yang selalu ingin tahu masalah di keluarga Ileana pun mulai berkumpul sambil berbisik. Ileana tidak peduli. Ia terus saja jalan melewati kumpulan ibu-ibu yang terus menatapnya.Ileana dan Nisaka duduk di halte yang kebetulan sepi pagi ini. Sambil menggenggam tangan Nisaka, Ileana menangis. Ia lelah menghadapi sang ayah yang setiap hari terus mendesaknya seperti itu. Nisaka juga memahami bagaimana perasaan Ileana."Tante yang sabar ya," ucap Nisaka dengan mata yang berkaca-kaca. "Nisa jadi sedih lihat Tante dimarahi kayak gitu sama Kakek. Kasihan Tante. Udah capek ngurusin Nisa sama kerjaan, eh Kakek malah kayak gitu sama Tante. Nisa jadi benci sama Kakek."Ileana menghapus airmatanya lalu menatap Nisaka. Ia pun berucap, "Nisa, kamu nggak boleh benci sama Kakek ya. Kakek memang keras kepala. Dia kayak gitu karena sayang sama Tante. Takut Tante jauh dari jodoh. Nanti kalau udah reda emosinya, Kakek pasti baik lagi kok sama Tante.""Tapi kan Kakek nggak bisa paksain Tante juga. Tiap hari Nisa dengar Kakek selalu ngomongin hal yang sama. Bosan dengarnya," ucap Nisaka jujur."Kamu nggak usah pikirin itu ya. Soal Kakek, biar Tante yang urus. Kamu fokus aja sama sekolah kamu biar jadi orang yang sukses dan bikin bangga mendiang Mama kamu. Ngerti?"Nisaka mengangguk. "Ngerti, Tante.""Ya udah, sekarang kita naik angkutan umum ya. Biar kamu Tante anterin sampai depan gerbang sekolah."Nisaka pun ikut berdiri ketika Ileana mulai menghentikan salah satu angkutan umum yang melintas. Jarak sekolah Nisaka dari halte itu menempuh waktu sekitar 20 menit saja. Tidak terlalu jauh.***Beberapa menit kemudian, sampailah Ileana di depan perusahaan manufaktur yang menjadi tempat kerjanya selama ini. Ia tiba di perusahaan itu sekitar 30 menit setelah mengantarkan Nisaka ke sekolah. Saat memasuki area lobi, beberapa karyawan tampak melirik ke arah Ileana, terutama Tiara. Sebagian dari mereka ada yang sedang berbisik, namun Ileana berusaha mengabaikannya.Fokus Ileana saat ini hanyalah bekerja dan dapat uang agar dirinya bisa menyekolahkan Nisaka sampai ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Ia harus kembali menjadi Ileana yang cuek dalam segala hal. Ileana juga sudah bersumpah untuk mengabaikan Davie, meskipun itu mustahil ia lakukan. Tapi Ileana harus melakukannya demi nama baiknya."Loh, kok lo udah masuk, Ilea? Kan dikasih izin dua hari sama atasan," kata Jian saat Ileana baru masuk ke ruang engineering.Ileana duduk di kursi yang berhadapan dengan Jian. Wajahnya terlihat masam. Pikirannya masih tertuju pada ucapan sang ayah. "Gue lagi males di rumah, Ji.""Lah, kenapa?" tanya Jian mulai serius."Hhh! Ayah mau jodohin gue sama cowok pilihannya, Ji. Padahal gue udah bilang nggak mau. Tapi tetap aja dipaksa," kata Ileana dengan helaan napas lelahnya."Lagian lo sih, bukannya cari pacar kek biar nggak dijodohin mulu. Kalau lo punya pacar, otomatis Ayah lo nggak bakalan cariin jodoh buat lo. Percaya deh sama gue."Ileana mendengus. "Males percaya sama lo. Musyrik.""Ck! Dibilangin nggak percaya sih.""Gue aja belum mau nikah, Ji. Apalagi pacaran. Ogah gue," ucap Ileana.Jian menatap Ileana dengan serius. Pria itu tahu alasan Ileana tidak siap untuk menjalin hubungan. Tapi alasan itu tidak baik untuk masa depan Ileana nantinya. Tidak mungkin Ileana selamanya hidup sendirian. Ia juga pasti membutuhkan pendamping yang bisa menjaganya dengan baik sampai tua nanti."Ilea, menurut gue, alasan lo nggak mau pacaran ataupun nikah itu salah. Takdir orang itu beda-beda. Mungkin emang takdir Kakak lo kayak gitu. Meninggal karena dapet suami yang nggak baik. Tapi lo kan nggak tahu gimana jodoh lo nanti. Bisa aja jodoh lo lebih baik dan sayang sama lo. Bahkan mungkin sayang juga sama keluarga lo," nasehat Jian."Ji, gue ke kantor buat hilangin stres karena pembahasan ini. Jadi jangan lo tambahin lagi. Gue nggak minta pendapat lo. Gue cuma mau lo dengar curhatan gue. Itu aja."Jian harus menghela napas lelah mendengar perkataan Ileana. "Terserah lo deh. Gue males nasehatin lagi. Capek. Batu banget lo jadi cewek.""Emang sifat gue kayak gini dari dulu. Kalau nggak suka ya itu urusan lo. Bukan urusan gue," ucap Ileana lalu beranjak pergi untuk mengecek mesin produksi.Davie terlihat begitu lesu pagi ini. Wajah cerianya tidak terlihat sama sekali. Yang ada hanya wajah pucat saja. Dan semua perubahan itu dilihat jelas oleh Ileana yang kebetulan berpapasan dengan Davie. Ileana yang terbiasa melihat keceriaan Davie pun merasa aneh dengan perubahan itu. Ingin menyapa, namun Ileana terlalu gengsi.Ileana memutuskan untuk melewati pria itu. Tidak ingin bertanya apapun. Tapi tangannya ditahan dengan cepat oleh Davie. Ternyata Davie sudah menyadari kehadiran Ileana. Pria itu sangat menandai wangi parfum yang digunakan Ileana."Jangan pergi."Ileana menoleh dan menatap mata Davie yang terlihat sembab. Sejak tadi, ia tidak menyadari mata sembab itu. Ileana mulai menerka apa yang sedang terjadi pada Davie. Ia teringat akan ucapan kasarnya berapa hari yang lalu. Mungkinkah itu penyebabnya? Ileana juga belum yakin dengan dugaannya."Aku mohon, jangan pergi."Kini, Davie memeluk Ileana sambil menangis terisak. Ileana menjadi tidak tega pada Davie. "Aku antar ke r
Saat memasuki jam makan siang, Davie berencana akan makan di kantin. Pria itu berjalan dengan santai menuju kantin perusahaan. Davie menghampiri salah satu etalase penjual soto ayam. Ia memesan untuk satu porsi beserta minuman untuk dirinya sendiri. Sebelum ke kantin, Davie sempat mengirim pesan singkat pada Ileana dan mengajaknya makan siang bersama. Tapi sayang, wanita itu menolaknya. Davie mengerti maksud dari penolakan Ileana tadi. Ia juga tidak bisa memaksakan keinginannya.Sembari menunggu hidangan datang, Davie melihat ponselnya dan duduk di sudut kantin yang dekat dengan jendela. Ada beberapa pesan singkat dari teman-teman lamanya yang mengajaknya untuk ikut dalam acara reuni SMA. Selain melalui pesan singkat, pengumuman acara reuni itu juga ada di grup alumni SMAnya. Davie membaca satu per satu isi pesan yang ada dalam grup tersebut. Banyak yang menyetujui dan ikut berpartisipasi dalam acara reuni yang akan berlangsung minggu depan."Hhh!" Davie menghela napas berat. Hatinya
Pukul 20.00 malam, Davie tiba di halaman rumah Ileana sambil membawa martabak untuk calon mertuanya. Sebelum turun dari mobil, Davie memperbaiki bentuk rambut dan merapikan jaket hitam garis putih yang ada di tubuhnya. Setelah semuanya dipastikan rapi, barulah Davie turun dari mobil. Ia melangkah menuju teras rumah tersebut dengan penuh keyakinan. Berharap, Ileana akan terkejut dengan kehadirannya. Tapi sayangnya, yang terkejut bukanlah Ileana, melainkan Davie sendiri.Davie mendengar percakapan dua orang pria yang tengah membicarakan soal perjodohan Ileana dengan pria lain. Tentu hal itu membuat Davie syok. Merasa tidak terima jika wanita yang dicintainya menikah dengan pria lain. Davie tidak siap menerima itu semua.Davie terus mendengarkan percakapan itu, sampai tidak sadar ada Nisaka di dekatnya. Nisaka menepuk tangan Davie sebanyak dua kali. Seketika Davie terkejut dan hampir berteriak. Untungnya Nisaka langsung memberi isyarat pada Davie untuk tidak berisik. Nisaka menarik paksa
Setelah berbincang cukup lama dengan Ikhwan, Davie pun mohon izin untuk pulang karena hari sudah malam. Davie menyalami Ikhwan dengan sopan dan pamit. Ikhwan pun meminta Ileana untuk mengantarkan Davie sampai ke halaman rumah. Sementara Nisaka sudah terlelap di kamar sejak tadi. Davie melarang Ikhwan untuk membangunkan Nisaka karena kasihan jika harus mengganggu tidur gadis itu.Davie berjalan mendekati mobil, diikuti Ileana dari belakang. Ileana masih bersidekap sambil memasang wajah kesal. Apalagi setelah mendengar pembicaraan Davie dengan Ikhwan yang terbilang serius tentang hubungan pura-pura yang dikarang oleh Davie."Kamu tuh ngapain sih pakai ngaku jadi pacar aku?" tanya Ileana dengan nada kesal.Davie menatap Ileana dengan satu alis yang naik ke atas. Setelah itu, ia tersenyum. "Aku ngelakuin ini demi kamu.""Apa maksud kamu?Davie mengajak Ileana untuk duduk di kursi yang sempat ia duduki bersama Nisaka. Ileana hanya menurut dan tetap memasang wajah kesal. "Tadi waktu aku dat
Sepulang kerja, Davie benar-benar mengajak Ileana untuk berkunjung ke rumah Emma, sahabat baik Annisa. Davie masih ingat alamat rumah Emma. Mereka pergi ke rumah Emma membutuhkan waktu sekitar 30 menit dari perusahaan milik Ayahnya Davie. Ditambah lagi jalanan yang cukup padat sore ini. Sehingga membuat mereka sempat terjebak cukup lama di jalan. Dan setelah terjebak selama kurang lebih 10 menit, akhirnya Davie dan Ileana bisa melanjutkan perjalanan.Setelah mobil berhenti di depan rumah Emma, Davie dan Ileana turun bersamaan. Suasana rumah Emma cukup sepi. Davie menjadi ragu untuk masuk. Mungkin saja Emma sedang tidak berada di rumah. Sudah lama sekali Davie tidak berkunjung ke rumah sahabat lama mendiang Ibunya itu.Davie berjalan lebih dulu memasuki pekarangan rumah Emma, sementara Ileana berjalan di belakang Davie. Pria itu mengetuk pintu rumah tersebut beberapa kali. Sampai akhirnya ada satu wanita paruh baya muncul dari balik pintu yang sedang terbuka itu."Halo, Tante," Davie m
Pukul sebelas malam, Davie masih belum bisa memejamkan mata. Ucapan Emma mengenai Ayahnya, Khairil Handaru, selalu terngiang di telinganya. Apa yang sebenarnya terjadi? Hal besar apa yang sedang disembunyikan oleh Khairil? Lalu, siapa wanita yang menjadi selingkuhan Khairil? Pertanyaan itu tentu saja terus berputar di kepala Davie.Berulang kali Davie mencoba memejamkan mata, namun tetap tidak bisa. Karena kesal tidak bisa tidur nyenyak, Davie memutuskan untuk pergi ke dapur. Ia berniat membuat susu cokelat hangat. Biasanya ia selalu melakukan itu saat dirinya tidak bisa tidur.Tapi, baru beberapa langkah Davie turun dari tangga, tak sengaja ia mendengar suara Khairil sedang mengobrol dengan seseorang. "Papa lagi ngomong sama siapa ya?"Davie melangkah pelan menuruni anak tangga. Ia mengintip sedikit dari balik sekat tembok yang mengarah ke ruang keluarga. Setelah mengintip, ternyata Khairil sedang menghubungi seseorang. Nada bicara Khairil juga terlalu intim dan sesekali pria itu ter
Davie masuk ke ruangan dengan wajah kusut. Ia bahkan mengabaikan beberapa sapaan dari para karyawan yang berpapasan di lobi. Davie benar-benar tidak bersemangat hari ini. Ia kesal pada sikap Khairil yang jauh berbeda dari sebelumnya. Baru kali ini Davie melihat karakter asli Khairil.Pria itu duduk di kursi kerja sambil menghela napas lelah. Ia mengusap wajahnya dengan kasar lalu beralih mengusap pipi yang sempat ditampar oleh Khairil."Aku nggak nyangka sama sikap Papa. Apa selama ini, Mama selalu nutupin keburukan Papa dari aku? Aku nggak bisa bayangin gimana tertekannya Mama ngelihat sikap Papa yang kayak gitu," gumamnya kesal.Beberapa saat kemudian, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Davie melihat ke arah pintu dan meminta si pengetuk itu masuk ke dalam. Ternyata yang masuk adalah Ileana. Seketika amarah yang membuncah, mereda saat melihat wajah cantik Ileana.Davie berdiri dari kursinya dan menghampiri Ileana. "Kamu kok tumben mau ke ruangan aku tanpa disuruh?" tanyanya de
Davie keluar dari ruangan setelah selesai berbicara dengan Naura. Untuk sementara, wanita itu ia biarkan istirahat di dalam ruangannya. Sedangkan dirinya memutuskan untuk pergi ke ruang produksi, sekadar ingin melihat calon istri idamannya, Ileana.Pria bertubuh maskulin itu berjalan santai menyusuri lorong menuju ruang produksi. Beberapa karyawan wanita yang tak sengaja berpapasan dengannya pun langsung salah tingkah saat menyapanya. Tapi sayang, Davie tidak menanggapi tingkah mereka dan terus saja berjalan menyusuri lorong.Setelah tiba di ruang produksi, semua pekerja tampak sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, termasuk Ileana. Davie memperhatikan wajah Ileana yang sedikit kotor saat memperbaiki mesin produksi. Senyum simpul terukir di bibirnya.Saat hendak mendekati Ileana, ada seorang pria yang mendekati wanitanya lalu memberikan beberapa lembar tisu pada Ileana. Tentu saja hal itu membuat Davie cemburu setengah mati. Ia juga baru pertama kali melihat pria
20 tahun kemudian….Braga keluar dari rutan sambil membawa tas berisi pakaian dan peralatan mandinya. Setelah 20 tahun lamanya berada di penjara, akhirnya hari ini, Braga bisa menghirup udara bebas.Tampak dari sisi gerbang rutan, seorang wanita, berusia kurang lebih 25 tahun, melambaikan tangan ke arah Braga. Wanita itu sudah terlihat sukses saat ini.Braga tersenyum manis sambil menghampiri wanita itu. Dipeluknya wanita itu dengan penuh cinta dan kasih sayang."Akhirnya Papa bebas juga."Wanita itu adalah Nisaka. Ia sudah tumbuh menjadi anak yang dewasa dan mandiri. Di usianya yang ke 25 tahun, Nisaka sudah memiliki rumah dan mobil berkat kerja kerasnya selama ini. Dukungan Davie dan Ileana juga sangat berpengaruh pada karirnya."Iya, Nak. Alhamdulillah, Papa bisa bebas sekarang. Papa nggak nyangka, kamu udah sebesar ini, Nak. Kamu juga udah sukses sekarang," ucap Braga sambil melepas pelukannya dan menatap wajah Nisaka.Nisaka tersenyum. "Alhamdulillah, Pa. Nisa bisa sampai di titi
6 tahun kemudian….Davie bersama Adinda yang sudah berusia 6 tahun bermain di taman kota, ditemani oleh Ileana dan Nisaka. Sedangkan Bi Tuti sudah meninggal setahun yang lalu, bersamaan dengan meninggalnya Khairil di dalam tahanan karena bunuh diri.Saat itu, Khairil mengalami depresi karena tidak tahan menjalani hukuman di dalam penjara. Ia memutuskan untuk gantung diri di dalam tahanan. Tahun lalu merupakan tahun terburuk bagi Davie dan Ileana. Mereka harus kehilangan dua orang yang disayang sekaligus. Bi Tuti sudah seperti orang tua sendiri bagi Davie dan Ileana. Setelah kehilangan Bi Tuti, Davie dan Ileana sempat terpuruk. Ditambah lagi ada berita tentang Khairil yang juga tewas gantung diri.Tapi semua itu bisa mereka lewati seiring berjalannya waktu. Mereka baru saja mengunjungi Braga dan Nisaka yang sudah beranjak remaja itu pun semakin memahami kondisi Braga saat ini."Tante," panggil Nisaka setelah selesai berlarian dengan Adinda."Iya, Nisa. Ada apa?" tanya Ileana."Nisa mau
Tiga minggu setelah selesai dengan urusan pernikahan Karina dan Jian, Davie mengajak Ileana untuk kembali ke Jakarta. Sedangkan Karina dan Jian masih akan menetap di Bandung untuk beberapa bulan.Davie dan Ileana sudah berpamitan dengan keluarga besar Karina dan Jian. Mereka pulang ke Jakarta menggunakan pesawat.Dan sekitar beberapa jam, mereka tiba di Jakarta. Davie dan Ileana masuk ke dalam taksi yang akan membawa mereka pulang ke rumah.Sesampainya di depan rumah, Nisaka langsung menghampiri mereka. Nisaka sangat merindukan Om dan Tantenya itu. Bi Tuti juga memasakkan makanan spesial untuk menyambut Davie dan Ileana. Mereka makan bersama setelah Davie dan Ileana selesai membersihkan diri."Nisa, kamu mau ikut Om jalan-jalan nggak?" tanya Davie setelah selesai makan."Mau sih, Om. Tapi Om kan baru pulang. Nanti capek loh.""Nggak masalah. Om mau ngajak kamu ke suatu tempat. Kamu pasti seneng.""Boleh deh kalau gitu. Tante juga ikut, kan?" tanya Nisaka pada Ileana.Ileana langsung m
"Oh iya, gimana sama Braga?" tanya Karina setelah melepas pelukannya pada Ileana.Ileana menghela napas panjang. Haruskah ia mengingat kembali nama itu? Ia masih belum sepenuhnya memaafkan kesalahan Braga, meskipun Braga sudah berusaha untuk menebus semuanya. Tapi tetap saja, luka itu masih terasa sampai sekarang."Dia bilang mau nyerahin diri ke polisi. Surat tanah dan rumah punya mendiang Ayah juga udah dibalikin ke aku. Sebelum Ayah meninggal, Braga sempat ketemu sama Nisaka di taman. Mereka main bareng, terus berpisah lagi. Dan di hari yang sama, aku kehilangan Ayah," ucap Ileana lirih.Karina mengusap punggung tangan Ileana. Berniat menenangkannya. "Aku bisa ngerti perasaan kamu. Aku juga mau minta maaf karena sempat dengar obrolan kamu sama Davie. Dari situ, aku sengaja cari tahu soal Braga, siapa dia sebenarnya, dan apa pekerjaannya. Aku sempat kaget waktu baca kasus pembunuhan yang dia lakuin sama Kakak kamu.""Terus, dia juga udah banyak nipu orang. Uang yang dia dapat itu da
Sepulang dari Bogor, Ileana merasakan nyeri yang teramat dahsyat di area perutnya. Ileana sampai membungkuk untuk berjalan masuk ke rumah."Sayang, kamu kenapa?" tanya Davie cemas."Nggak tahu, Mas. Perut aku sakit banget."Davie bisa melihat bulir-bulir keringat sudah bermunculan di kening Ileana. Segera ia menggendong Ileana masuk ke dalam rumah. Merebahkan tubuhnya di atas kasur.Tapi hal yang paling mengejutkan adalah, noda darah di bagian bawah gamis yang dikenakan Ileana saat ini. Noda darah itu begitu banyak dan kental."Sayang, kok baju kamu banyak darah gini?" tanya Davie.Ileana tidak merespon. Davie pun menatap wajah sang istri yang sudah pucat dan tak sadarkan diri. Hal itu tentunya menimbulkan kepanikan tersendiri bagi Davie. Ada apa ini?"Bi! Bi Tuti!" teriak Davie memanggil Bi Tuti.Bi Tuti yang mendengar teriakan Davie pun bergegas masuk ke dalam kamar. "Ada apa, Mas Davie?""Bi, ini Ileana pingsan. Terus ada darah di gamisnya," jawab Davie panik."Ya Allah! Cepat diba
Malam hari, pukul 20.00 malam, Ileana masih termenung sambil duduk di kursi taman. Pemakaman Ikhwan sudah ia laksanakan sebelum hari gelap. Bahkan ia tak sempat menghubungi keluarga Ikhwan yang lainnya, kecuali Aldi dan Diana. Itupun karena Davie yang berinisiatif menghubungi mereka.Ileana seperti tidak memiliki semangat hidup saat ini. Kepergian Ikhwan masih menjadi mimpi baginya. Tidak menyangka akan secepat ini terjadi. Impian hidup bahagia bersama Ikhwan, Davie dan Nisaka lenyap sudah. Padahal Ileana sudah berhasil mengambil surat-surat penting itu dari Braga. Sampai harus mengorbankan Davie untuk sesaat demi Ikhwan."Ayah…." lirihnya.Sedangkan dari arah pintu masuk, Davie berdiri menatap sang istri yang duduk membelakanginya. Davie bisa merasakan kesedihan istrinya saat ini."Om."Davie menoleh ke samping kanan. Ternyata Nisaka juga ikut memandangi Ileana. "Kamu kok belum tidur, Nisa?""Nisa nggak bisa tidur, Om. Kepikiran sama Tante Ilea. Tante kelihatan sedih banget, Om," uja
Seharian ini, Nisaka tampak bahagia karena bisa bermain bersama Braga di taman hingga menjelang sore. Braga pun pamit sambil menitipkan Nisaka pada Davie dan Ileana. Braga juga meminta maaf untuk kesekian kalinya pada pasangan suami istri itu."Titip dia ya, Ilea, Davie. Gue cuma percaya sama kalian," ucap Braga."Iya, Ga. Dia aman sama kita," kata Davie."Makasih banyak ya. Gue pamit sekarang."Davie hanya mengangguk dan membiarkan Braga pergi. Sedangkan Ileana tidak berkata apapun. Ia hanya diam sambil menatap kepergian Braga. Setelah itu, dipeluknya Nisaka yang menangis karena Braga pergi."Nisa, kamu yang sabar ya. Nanti kalau urusan Papa kamu selesai, dia pasti bakal balik lagi," ujar Ileana menguatkan."Iya, Tante. Nisa bakal nunggu Papa.""Ya udah, sekarang kita jemput Kakek yuk!" ajak Davie penuh semangat.Ileana melepas pelukannya pada Nisaka dan bergegas menuju ke mobil untuk menjemput Ikhwan. Perjalanan kali ini akan sedikit jauh. Itu sebabnya Davie sudah membeli beberapa m
"Nisa, Om mau bicara sebentar."Nisaka menatap Davie dengan senyum terkembang. Saat ini, hatinya sedang bahagia karena bisa melihat wajah sumringah Davie setelah bertemu kembali dengan Ileana."Om mau ngomong apa?"Davie mengelus kepala Nisaka, lalu menjawab, "Kita bicara di taman aja ya. Soalnya ini pembicaraan serius.""Oh, oke."Nisaka berdiri dan melangkah, mengikuti Davie menuju taman di halaman depan rumah. Mereka duduk bersebelahan di kursi taman bercat putih."Nisa, sebelumnya, Om minta maaf karena baru ngasih tahu kamu hari ini. Om harap, kamu bisa nerima dan nggak marah ya," ucap Davie sebelum memulai percakapan seriusnya."Iya, Om."Davie menghembuskan napas panjang dan memulai ceritanya. "Siang ini, kamu ikut Om sama Tante ke taman kota ya. Ada yang mau ketemu sama kamu.""Siapa, Om?""Hhh!" Davie diam sejenak. Sedikit takut untuk mengatakan semuanya pada Nisaka. "Kamu ingat cowok yang narik kamu waktu itu?" tanyanya kemudian."Ingat. Memangnya kenapa, Om?""Ehm, dia itu …
Keesokan harinya, pukul 07.00 pagi, Ileana memasukkan barang-barang Davie ke dalam tas berukuran sedang. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah karena kondisi Davie sudah mulai stabil.Davie memperhatikan sang istri yang sibuk mengurus perlengkapannya. Ia sama sekali tidak diberi izin untuk membantu. Padahal Davie sudah merasa sehat."Udah semua ini kan, Mas?" tanya Ileana sambil memperhatikan setiap sudut ruangan."Udah semua, Sayang. Nggak banyak kok barang yang dibawa. Cuma itu aja," jawab Davie."Ya udah, kita pulang sekarang ya. Kebetulan taksi online-nya udah nunggu di parkiran.""Iya, Sayang."Davie membawa tas itu di tangan kanannya, sementara tangan kiri menggenggam tangan kanan Ileana. Mereka berjalan beriringan. Seluruh biaya rumah sakit sudah diselesaikan.Tapi suara panggilan dari arah belakang membuat mereka terpaksa menghentikan langkah. Keduanya menoleh bersamaan dan mendapati Braga sedang berjalan ke arah mereka sambil mendorong tiang infus dengan tangan kanannya. Sedan