Saat memasuki jam makan siang, Davie berencana akan makan di kantin. Pria itu berjalan dengan santai menuju kantin perusahaan. Davie menghampiri salah satu etalase penjual soto ayam. Ia memesan untuk satu porsi beserta minuman untuk dirinya sendiri. Sebelum ke kantin, Davie sempat mengirim pesan singkat pada Ileana dan mengajaknya makan siang bersama. Tapi sayang, wanita itu menolaknya. Davie mengerti maksud dari penolakan Ileana tadi. Ia juga tidak bisa memaksakan keinginannya.
Sembari menunggu hidangan datang, Davie melihat ponselnya dan duduk di sudut kantin yang dekat dengan jendela. Ada beberapa pesan singkat dari teman-teman lamanya yang mengajaknya untuk ikut dalam acara reuni SMA. Selain melalui pesan singkat, pengumuman acara reuni itu juga ada di grup alumni SMAnya. Davie membaca satu per satu isi pesan yang ada dalam grup tersebut. Banyak yang menyetujui dan ikut berpartisipasi dalam acara reuni yang akan berlangsung minggu depan."Hhh!" Davie menghela napas berat. Hatinya bimbang untuk menerima ajakan dari teman-temannya itu. Ia memang tidak terlalu suka menghadiri acara-acara seperti itu. Apalagi ada Naura. Davie sudah malas melihat Naura semenjak kejadian Ileana difitnah oleh Naura sebagai pelakor."Pak Davie."Davie masih melamun. Belum menyadari ada seseorang yang sedang memanggilnya berulang kali."Pak Davie."Lagi-lagi tidak ada jawaban. Sampai akhirnya, Davie tersentak saat lengannya sedikit digoyang oleh seorang wanita yang sudah duduk berhadapan dengannya. Davie menatap Tiara yang tengah tersenyum manis padanya. Seketika ekspresi Davie berubah menjadi dingin."Ada apa?""Bapak sendirian aja di sini? Ileana mana?" tanya Tiara yang selalu berusaha akrab dengan Davie.Davie menatap ponsel lalu berkata, "Bukan urusanmu.""Pak, saya kan cuma tanya." Tiara berusaha sabar menghadapi sikap dingin Davie. "Oh iya, saya boleh makan di sini nggak, Pak?"Davie kembali menatap Tiara sekilas, kemudian melihat ke sekeliling kantin. Setelah itu ia menatap Tiara lagi dan berkata, "Masih banyak kursi kosong. Silakan cari kursi yang lain. Jangan ganggu saya.""Bapak kok gitu sih sama saya? Coba kalau sama Ilea, Bapak pasti lebih peduli. Bapak nggak boleh pilih kasih loh sama karyawan," protes Tiara.Davie meletakkan ponselnya ke atas meja, lalu menatap Tiara dengan tatapan yang tak kalah tajam dari pisau. Begitu tajam dan menusuk. "Kamu siapa? Kamu nggak berhak atur-atur saya mau dekat sama siapapun. Itu hak saya. Jadi, jangan paksa saya untuk dekat sama kamu. Ilea itu beda. Dia istimewa bagi saya.""Tapi, apa bagusnya dia, Pak? Dia itu bau oli, terus kotor. Dia nggak pantes dapat perlakuan istimewa dari Bapak loh. Selain itu, sifatnya juga arogan dan nggak sopan sama Bapak.""Terus, siapa yang pantes menurut kamu?" tanya Davie dengan nada bicara tidak suka."Saya." Tiara menunjuk dirinya sendiri dengan penuh percaya diri yang tinggi. "Menurut saya, Bapak itu harus istimewain saya. Saya lebih pantes karena saya termasuk tipe cewek yang Bapak suka, kan?"Davie justru mendecih sambil menyeringai. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan seorang wanita yang begitu percaya diri mengatakan dirinya pantas diistimewakan seperti itu. "Memangnya nggak ada kandidat lain selain kamu?""Enggak ada, Pak. Cuma saya doang," jawab Tiara dengan mantap."Hhh!" Davie menghela napas berat. "Saran saya, jangan terlalu percaya diri. Nanti kamu bisa sakit sendiri. Tipe cewek yang saya suka itu bukan kamu, tapi Ilea."Tiara langsung menggenggam tangan kanan Davie yang terletak di atas meja. Ia menggenggamnya dengan erat sampai membuat Davie terkejut. "Pak, saya mohon, jadiin saya pacar Bapak. Saya sukaaa banget sama Bapak. Dari awal ketemu Bapak, saya udah naksir berat. Saya mohon, Pak, jadian sama saya ya.""Kamu udah nggak waras ya?" Davie berbicara sambil berusaha menarik tangannya dari genggaman Tiara. "Lepasin tangan saya!"Tiara menggeleng. "Enggak, Pak. Saya nggak akan lepasin Bapak sampai kapanpun. Saya udah coba tahan untuk nggak paksa Bapak. Tapi kali ini, saya nggak bisa tahan lagi. Perasaan saya udah mendarah-daging buat Bapak.""Tiara, lepasin saya!" ucap Davie tegas sambil berdiri. "Jangan paksa saya untuk suka sama kamu. Saya nggak ada rasa apapun untuk kamu. Jadi, apa yang kamu lakuin ini percuma aja. Buang-buang waktu.""Enggak, Pak. Ini nggak buang-buang waktu. Saya tulus cinta sama Bapak. Saya nggak rela kalau Bapak sampai dekat ataupun jalin hubungan sama cewek lain. Saya nggak akan pernah rela, Pak."Davie menarik paksa tangannya dari genggaman Tiara sampai akhirnya terlepas. "Dengar ya, saya ini bukan tipe cowok yang mudah dipaksa. Kalau saya bilang nggak suka, selamanya bakal tetap kayak gitu. Kamu nggak berhak minta saya supaya suka sama kamu. Permisi."Pria itu hendak pergi dari kantin, namun tanpa disangka, Tiara justru berlutut di hadapan Davie sambil memohon dan menangis. Bahkan Tiara memeluk kaki jenjang Davie dengan erat sekali. Davie meminta untuk dilepaskan, namun Tiara enggan melepasnya."Saya nggak akan biarin Bapak pergi, sebelum Bapak terima cinta saya. Bapak harus jadi pacar saya sekarang juga. Harus," ucap Tiara."Ini pemaksaan namanya!""Saya nggak peduli apa yang Bapak bilang. Pokoknya saya bakal tetap kayak gini sampai Bapak terima cinta saya." Tiara tetap bersikeras.Davie tidak menanggapi ucapan Tiara lagi. Ia masih terus berusaha melepaskan diri dari Tiara. Dekapan wanita itu di kakinya sangat kuat. Tapi Davie berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan dekapan itu. Sampai akhirnya, Tiara tersungkur ke lantai setelah Davie mendorong paksa tubuh wanita itu.Sebelum beranjak pergi, Davie berkata tegas pada Tiara, "Saya nggak akan pernah maafin kesalahan kamu hari ini!"Davie bergegas pergi sebelum Tiara menahannya lagi. Ia mengabaikan teriakan Tiara yang memanggil namanya dan mengancam akan bunuh diri jika permintaannya tidak dikabulkan oleh Davie. Beberapa karyawan kantor yang melihat kejadian itupun tampak menatap Tiara sambil mencibir. Bukan hanya Davie yang tidak suka dengan pemaksaan itu, para karyawan yang melihat juga tidak suka. Mereka memang menyukai dan menganggumi Davie. Tapi tidak pernah memaksa Davie untuk membalas perasaan mereka. Tidak seperti Tiara yang memang selalu berusaha mendekati Davie dan mencari perhatian dengan cara apapun.Davie masuk ke ruangannya dan menutup pintu dengan keras. Pria itu terlihat kesal karena ulah Tiara. Padahal tadi perutnya sudah sangat lapar. Tapi setelah adegan pemaksaan yang dilakukan Tiara, Davie kehilangan nafsu makannya. Bahkan makanan yang dipesannya sudah tak dihiraukan lagi. Untung saja Davie sudah membayarnya terlebih dulu.Pria itu duduk bersandar di kursi sambil menghela napas berat dan menyibakkan rambut depannya ke belakang. Kedua matanya terpejam. "Sial banget hari ini. Bisa-bisanya Tiara berbuat nekad kayak gitu. Bikin malu aja."Suara dering telepon mampu menyadarkan Davie yang tengah frustrasi saat ini. Ponsel yang ada di saku celananya langsung ia ambil dan menerima panggilan telepon dari Ileana."Halo, Ilea," jawabnya."Halo. Itu Tiara beneran nembak kamu di kantin?"Pertanyaan Ileana langsung membuat Davie mendengus kesal. "Iya.""Terus, kamu tolak?""Iya. Kenapa?""Ya nggak apa-apa sih."Davie mendecak kesal. "Terus, ngapain kamu tanya?""Dih, kok sewot? Aku cuma mau pastiin gosip yang beredar aja. Emang salah?"Davie langsung mengernyit dan menegakkan tubuhnya di kursi. "Gosip?""Iya. Emang kamu nggak tahu?""Enggak. Gosip apa?" tanya Davie penasaran."Gosip soal kamu ditembak sama Tiara di kantin loh. Aku dengar dari beberapa karyawan yang lewat dekat ruang engineering."Davie mendecak kesal lalu berkata, "Ya ampun. Gitu aja langsung jadi gosip ya. Heran.""Ya elah. Kamu tuh famous di sini. Jadi, jangan heran soal itu. Waktu kita makan siang bareng aja, gosipnya langsung nyebar.""Hhh! Memang susah ya jadi orang famous. Ngelakuin apa aja pasti jadi sorotan. Capek juga kadang-kadang," ucap Davie."Dih, sok narsis!"Davie langsung tertawa. Seketika moodnya membaik karena Ileana. "Oh iya, nanti malam kamu sibuk nggak?""Sibuk. Kenapa emangnya?""Sibuk apa?" tanya Davie."Kepo."Davie tersenyum mendengar jawaban Ileana. "Aku nggak kepo kok. Cuma mau tahu aja kesibukan kamu.""Sama aja itu. Udah ah, aku mau istirahat dulu. Bye!"Panggilan langsung diakhiri oleh Ileana. Padahal Davie masih mau mengobrol tentang banyak hal dengan wanita itu. Mungkin nanti malam, Davie akan mengunjungi rumah Ileana. Mereka akan lebih leluasa mengobrol di sana.Pukul 20.00 malam, Davie tiba di halaman rumah Ileana sambil membawa martabak untuk calon mertuanya. Sebelum turun dari mobil, Davie memperbaiki bentuk rambut dan merapikan jaket hitam garis putih yang ada di tubuhnya. Setelah semuanya dipastikan rapi, barulah Davie turun dari mobil. Ia melangkah menuju teras rumah tersebut dengan penuh keyakinan. Berharap, Ileana akan terkejut dengan kehadirannya. Tapi sayangnya, yang terkejut bukanlah Ileana, melainkan Davie sendiri.Davie mendengar percakapan dua orang pria yang tengah membicarakan soal perjodohan Ileana dengan pria lain. Tentu hal itu membuat Davie syok. Merasa tidak terima jika wanita yang dicintainya menikah dengan pria lain. Davie tidak siap menerima itu semua.Davie terus mendengarkan percakapan itu, sampai tidak sadar ada Nisaka di dekatnya. Nisaka menepuk tangan Davie sebanyak dua kali. Seketika Davie terkejut dan hampir berteriak. Untungnya Nisaka langsung memberi isyarat pada Davie untuk tidak berisik. Nisaka menarik paksa
Setelah berbincang cukup lama dengan Ikhwan, Davie pun mohon izin untuk pulang karena hari sudah malam. Davie menyalami Ikhwan dengan sopan dan pamit. Ikhwan pun meminta Ileana untuk mengantarkan Davie sampai ke halaman rumah. Sementara Nisaka sudah terlelap di kamar sejak tadi. Davie melarang Ikhwan untuk membangunkan Nisaka karena kasihan jika harus mengganggu tidur gadis itu.Davie berjalan mendekati mobil, diikuti Ileana dari belakang. Ileana masih bersidekap sambil memasang wajah kesal. Apalagi setelah mendengar pembicaraan Davie dengan Ikhwan yang terbilang serius tentang hubungan pura-pura yang dikarang oleh Davie."Kamu tuh ngapain sih pakai ngaku jadi pacar aku?" tanya Ileana dengan nada kesal.Davie menatap Ileana dengan satu alis yang naik ke atas. Setelah itu, ia tersenyum. "Aku ngelakuin ini demi kamu.""Apa maksud kamu?Davie mengajak Ileana untuk duduk di kursi yang sempat ia duduki bersama Nisaka. Ileana hanya menurut dan tetap memasang wajah kesal. "Tadi waktu aku dat
Sepulang kerja, Davie benar-benar mengajak Ileana untuk berkunjung ke rumah Emma, sahabat baik Annisa. Davie masih ingat alamat rumah Emma. Mereka pergi ke rumah Emma membutuhkan waktu sekitar 30 menit dari perusahaan milik Ayahnya Davie. Ditambah lagi jalanan yang cukup padat sore ini. Sehingga membuat mereka sempat terjebak cukup lama di jalan. Dan setelah terjebak selama kurang lebih 10 menit, akhirnya Davie dan Ileana bisa melanjutkan perjalanan.Setelah mobil berhenti di depan rumah Emma, Davie dan Ileana turun bersamaan. Suasana rumah Emma cukup sepi. Davie menjadi ragu untuk masuk. Mungkin saja Emma sedang tidak berada di rumah. Sudah lama sekali Davie tidak berkunjung ke rumah sahabat lama mendiang Ibunya itu.Davie berjalan lebih dulu memasuki pekarangan rumah Emma, sementara Ileana berjalan di belakang Davie. Pria itu mengetuk pintu rumah tersebut beberapa kali. Sampai akhirnya ada satu wanita paruh baya muncul dari balik pintu yang sedang terbuka itu."Halo, Tante," Davie m
Pukul sebelas malam, Davie masih belum bisa memejamkan mata. Ucapan Emma mengenai Ayahnya, Khairil Handaru, selalu terngiang di telinganya. Apa yang sebenarnya terjadi? Hal besar apa yang sedang disembunyikan oleh Khairil? Lalu, siapa wanita yang menjadi selingkuhan Khairil? Pertanyaan itu tentu saja terus berputar di kepala Davie.Berulang kali Davie mencoba memejamkan mata, namun tetap tidak bisa. Karena kesal tidak bisa tidur nyenyak, Davie memutuskan untuk pergi ke dapur. Ia berniat membuat susu cokelat hangat. Biasanya ia selalu melakukan itu saat dirinya tidak bisa tidur.Tapi, baru beberapa langkah Davie turun dari tangga, tak sengaja ia mendengar suara Khairil sedang mengobrol dengan seseorang. "Papa lagi ngomong sama siapa ya?"Davie melangkah pelan menuruni anak tangga. Ia mengintip sedikit dari balik sekat tembok yang mengarah ke ruang keluarga. Setelah mengintip, ternyata Khairil sedang menghubungi seseorang. Nada bicara Khairil juga terlalu intim dan sesekali pria itu ter
Davie masuk ke ruangan dengan wajah kusut. Ia bahkan mengabaikan beberapa sapaan dari para karyawan yang berpapasan di lobi. Davie benar-benar tidak bersemangat hari ini. Ia kesal pada sikap Khairil yang jauh berbeda dari sebelumnya. Baru kali ini Davie melihat karakter asli Khairil.Pria itu duduk di kursi kerja sambil menghela napas lelah. Ia mengusap wajahnya dengan kasar lalu beralih mengusap pipi yang sempat ditampar oleh Khairil."Aku nggak nyangka sama sikap Papa. Apa selama ini, Mama selalu nutupin keburukan Papa dari aku? Aku nggak bisa bayangin gimana tertekannya Mama ngelihat sikap Papa yang kayak gitu," gumamnya kesal.Beberapa saat kemudian, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Davie melihat ke arah pintu dan meminta si pengetuk itu masuk ke dalam. Ternyata yang masuk adalah Ileana. Seketika amarah yang membuncah, mereda saat melihat wajah cantik Ileana.Davie berdiri dari kursinya dan menghampiri Ileana. "Kamu kok tumben mau ke ruangan aku tanpa disuruh?" tanyanya de
Davie keluar dari ruangan setelah selesai berbicara dengan Naura. Untuk sementara, wanita itu ia biarkan istirahat di dalam ruangannya. Sedangkan dirinya memutuskan untuk pergi ke ruang produksi, sekadar ingin melihat calon istri idamannya, Ileana.Pria bertubuh maskulin itu berjalan santai menyusuri lorong menuju ruang produksi. Beberapa karyawan wanita yang tak sengaja berpapasan dengannya pun langsung salah tingkah saat menyapanya. Tapi sayang, Davie tidak menanggapi tingkah mereka dan terus saja berjalan menyusuri lorong.Setelah tiba di ruang produksi, semua pekerja tampak sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, termasuk Ileana. Davie memperhatikan wajah Ileana yang sedikit kotor saat memperbaiki mesin produksi. Senyum simpul terukir di bibirnya.Saat hendak mendekati Ileana, ada seorang pria yang mendekati wanitanya lalu memberikan beberapa lembar tisu pada Ileana. Tentu saja hal itu membuat Davie cemburu setengah mati. Ia juga baru pertama kali melihat pria
"Karena dia itu, calon istri saya. Jadi, kamu harus jaga jarak."Mendengar pernyataan Davie, Dimas pun terlihat syok. Pasalnya, Ileana tidak menceritakan tentang ini padanya. Ia menganggap Ileana wanita single yang tidak memiliki hubungan apapun dengan pria lain. Itu sebabnya Dimas tidak canggung untuk mendekati Ileana.Davie yang melihat perubahan ekspresi Dimas pun langsung menyeringai. "Kenapa? Kaget ya?"Dimas pun tersadar dan merubah ekspresinya menjadi lebih tenang. Ia berdeham pelan, lalu berkata, "Maaf, Pak. Saya nggak tahu kalau dia calon istri Bapak. Saya kira, dia masih single.""Oke. Saya bisa maklum," ucap Davie. "Tapi setelah ini, jangan dekati dia lagi. Kalau kamu masih dekati dia, kamu bakal berurusan sama aku. Paham?"Dimas mengangguk. "Paham, Pak."Davie berdiri dari kursi, kemudian beranjak pergi dari ruangan itu. Davie merasa puas telah memberi peringatan keras pada Dimas. Ia tidak akan menyerah untuk mendapatkan Ileana. Setelah semua
Baru saja selesai makan siang, Davie tiba-tiba teringat akan Naura. Bahkan Davie mengingat percakapan telepon dirinya dengan Naura sebelum Naura datang menemuinya. Saat itu, Naura mengatakan bahwa dirinya baru saja mengajukan gugatan cerai kepada suaminya dan mengajak Davie untuk berbalikan dengannya.Davie mengernyitkan dahi. Merasa heran dengan keanehan ini. Kenapa ia baru menyadarinya? Harusnya sejak tadi Davie mengingat hal itu."Ya ampun. Kok aku nggak kepikiran soal itu ya? Kenapa baru ingat sekarang?" Davie menepuk dahinya sendiri. "Apa mungkin dia dipukul suaminya karena gugatan cerai itu? Ya bisa aja sih. Aku ke sana aja kali ya. Sekalian tanyain soal gugatan itu."Davie pun memutuskan untuk menemui Naura di kontrakan yang sengaja ia sewa untuk Naura. Niatnya hanya untuk membantu wanita itu saja.Pria itu keluar dari ruangan dan bergegas menuju parkiran perusahaan. Saat dirinya ingin masuk ke dalam mobil, secara tak sengaja ia melihat Ileana tengah berdebat dengan Dimas. Dari
20 tahun kemudian….Braga keluar dari rutan sambil membawa tas berisi pakaian dan peralatan mandinya. Setelah 20 tahun lamanya berada di penjara, akhirnya hari ini, Braga bisa menghirup udara bebas.Tampak dari sisi gerbang rutan, seorang wanita, berusia kurang lebih 25 tahun, melambaikan tangan ke arah Braga. Wanita itu sudah terlihat sukses saat ini.Braga tersenyum manis sambil menghampiri wanita itu. Dipeluknya wanita itu dengan penuh cinta dan kasih sayang."Akhirnya Papa bebas juga."Wanita itu adalah Nisaka. Ia sudah tumbuh menjadi anak yang dewasa dan mandiri. Di usianya yang ke 25 tahun, Nisaka sudah memiliki rumah dan mobil berkat kerja kerasnya selama ini. Dukungan Davie dan Ileana juga sangat berpengaruh pada karirnya."Iya, Nak. Alhamdulillah, Papa bisa bebas sekarang. Papa nggak nyangka, kamu udah sebesar ini, Nak. Kamu juga udah sukses sekarang," ucap Braga sambil melepas pelukannya dan menatap wajah Nisaka.Nisaka tersenyum. "Alhamdulillah, Pa. Nisa bisa sampai di titi
6 tahun kemudian….Davie bersama Adinda yang sudah berusia 6 tahun bermain di taman kota, ditemani oleh Ileana dan Nisaka. Sedangkan Bi Tuti sudah meninggal setahun yang lalu, bersamaan dengan meninggalnya Khairil di dalam tahanan karena bunuh diri.Saat itu, Khairil mengalami depresi karena tidak tahan menjalani hukuman di dalam penjara. Ia memutuskan untuk gantung diri di dalam tahanan. Tahun lalu merupakan tahun terburuk bagi Davie dan Ileana. Mereka harus kehilangan dua orang yang disayang sekaligus. Bi Tuti sudah seperti orang tua sendiri bagi Davie dan Ileana. Setelah kehilangan Bi Tuti, Davie dan Ileana sempat terpuruk. Ditambah lagi ada berita tentang Khairil yang juga tewas gantung diri.Tapi semua itu bisa mereka lewati seiring berjalannya waktu. Mereka baru saja mengunjungi Braga dan Nisaka yang sudah beranjak remaja itu pun semakin memahami kondisi Braga saat ini."Tante," panggil Nisaka setelah selesai berlarian dengan Adinda."Iya, Nisa. Ada apa?" tanya Ileana."Nisa mau
Tiga minggu setelah selesai dengan urusan pernikahan Karina dan Jian, Davie mengajak Ileana untuk kembali ke Jakarta. Sedangkan Karina dan Jian masih akan menetap di Bandung untuk beberapa bulan.Davie dan Ileana sudah berpamitan dengan keluarga besar Karina dan Jian. Mereka pulang ke Jakarta menggunakan pesawat.Dan sekitar beberapa jam, mereka tiba di Jakarta. Davie dan Ileana masuk ke dalam taksi yang akan membawa mereka pulang ke rumah.Sesampainya di depan rumah, Nisaka langsung menghampiri mereka. Nisaka sangat merindukan Om dan Tantenya itu. Bi Tuti juga memasakkan makanan spesial untuk menyambut Davie dan Ileana. Mereka makan bersama setelah Davie dan Ileana selesai membersihkan diri."Nisa, kamu mau ikut Om jalan-jalan nggak?" tanya Davie setelah selesai makan."Mau sih, Om. Tapi Om kan baru pulang. Nanti capek loh.""Nggak masalah. Om mau ngajak kamu ke suatu tempat. Kamu pasti seneng.""Boleh deh kalau gitu. Tante juga ikut, kan?" tanya Nisaka pada Ileana.Ileana langsung m
"Oh iya, gimana sama Braga?" tanya Karina setelah melepas pelukannya pada Ileana.Ileana menghela napas panjang. Haruskah ia mengingat kembali nama itu? Ia masih belum sepenuhnya memaafkan kesalahan Braga, meskipun Braga sudah berusaha untuk menebus semuanya. Tapi tetap saja, luka itu masih terasa sampai sekarang."Dia bilang mau nyerahin diri ke polisi. Surat tanah dan rumah punya mendiang Ayah juga udah dibalikin ke aku. Sebelum Ayah meninggal, Braga sempat ketemu sama Nisaka di taman. Mereka main bareng, terus berpisah lagi. Dan di hari yang sama, aku kehilangan Ayah," ucap Ileana lirih.Karina mengusap punggung tangan Ileana. Berniat menenangkannya. "Aku bisa ngerti perasaan kamu. Aku juga mau minta maaf karena sempat dengar obrolan kamu sama Davie. Dari situ, aku sengaja cari tahu soal Braga, siapa dia sebenarnya, dan apa pekerjaannya. Aku sempat kaget waktu baca kasus pembunuhan yang dia lakuin sama Kakak kamu.""Terus, dia juga udah banyak nipu orang. Uang yang dia dapat itu da
Sepulang dari Bogor, Ileana merasakan nyeri yang teramat dahsyat di area perutnya. Ileana sampai membungkuk untuk berjalan masuk ke rumah."Sayang, kamu kenapa?" tanya Davie cemas."Nggak tahu, Mas. Perut aku sakit banget."Davie bisa melihat bulir-bulir keringat sudah bermunculan di kening Ileana. Segera ia menggendong Ileana masuk ke dalam rumah. Merebahkan tubuhnya di atas kasur.Tapi hal yang paling mengejutkan adalah, noda darah di bagian bawah gamis yang dikenakan Ileana saat ini. Noda darah itu begitu banyak dan kental."Sayang, kok baju kamu banyak darah gini?" tanya Davie.Ileana tidak merespon. Davie pun menatap wajah sang istri yang sudah pucat dan tak sadarkan diri. Hal itu tentunya menimbulkan kepanikan tersendiri bagi Davie. Ada apa ini?"Bi! Bi Tuti!" teriak Davie memanggil Bi Tuti.Bi Tuti yang mendengar teriakan Davie pun bergegas masuk ke dalam kamar. "Ada apa, Mas Davie?""Bi, ini Ileana pingsan. Terus ada darah di gamisnya," jawab Davie panik."Ya Allah! Cepat diba
Malam hari, pukul 20.00 malam, Ileana masih termenung sambil duduk di kursi taman. Pemakaman Ikhwan sudah ia laksanakan sebelum hari gelap. Bahkan ia tak sempat menghubungi keluarga Ikhwan yang lainnya, kecuali Aldi dan Diana. Itupun karena Davie yang berinisiatif menghubungi mereka.Ileana seperti tidak memiliki semangat hidup saat ini. Kepergian Ikhwan masih menjadi mimpi baginya. Tidak menyangka akan secepat ini terjadi. Impian hidup bahagia bersama Ikhwan, Davie dan Nisaka lenyap sudah. Padahal Ileana sudah berhasil mengambil surat-surat penting itu dari Braga. Sampai harus mengorbankan Davie untuk sesaat demi Ikhwan."Ayah…." lirihnya.Sedangkan dari arah pintu masuk, Davie berdiri menatap sang istri yang duduk membelakanginya. Davie bisa merasakan kesedihan istrinya saat ini."Om."Davie menoleh ke samping kanan. Ternyata Nisaka juga ikut memandangi Ileana. "Kamu kok belum tidur, Nisa?""Nisa nggak bisa tidur, Om. Kepikiran sama Tante Ilea. Tante kelihatan sedih banget, Om," uja
Seharian ini, Nisaka tampak bahagia karena bisa bermain bersama Braga di taman hingga menjelang sore. Braga pun pamit sambil menitipkan Nisaka pada Davie dan Ileana. Braga juga meminta maaf untuk kesekian kalinya pada pasangan suami istri itu."Titip dia ya, Ilea, Davie. Gue cuma percaya sama kalian," ucap Braga."Iya, Ga. Dia aman sama kita," kata Davie."Makasih banyak ya. Gue pamit sekarang."Davie hanya mengangguk dan membiarkan Braga pergi. Sedangkan Ileana tidak berkata apapun. Ia hanya diam sambil menatap kepergian Braga. Setelah itu, dipeluknya Nisaka yang menangis karena Braga pergi."Nisa, kamu yang sabar ya. Nanti kalau urusan Papa kamu selesai, dia pasti bakal balik lagi," ujar Ileana menguatkan."Iya, Tante. Nisa bakal nunggu Papa.""Ya udah, sekarang kita jemput Kakek yuk!" ajak Davie penuh semangat.Ileana melepas pelukannya pada Nisaka dan bergegas menuju ke mobil untuk menjemput Ikhwan. Perjalanan kali ini akan sedikit jauh. Itu sebabnya Davie sudah membeli beberapa m
"Nisa, Om mau bicara sebentar."Nisaka menatap Davie dengan senyum terkembang. Saat ini, hatinya sedang bahagia karena bisa melihat wajah sumringah Davie setelah bertemu kembali dengan Ileana."Om mau ngomong apa?"Davie mengelus kepala Nisaka, lalu menjawab, "Kita bicara di taman aja ya. Soalnya ini pembicaraan serius.""Oh, oke."Nisaka berdiri dan melangkah, mengikuti Davie menuju taman di halaman depan rumah. Mereka duduk bersebelahan di kursi taman bercat putih."Nisa, sebelumnya, Om minta maaf karena baru ngasih tahu kamu hari ini. Om harap, kamu bisa nerima dan nggak marah ya," ucap Davie sebelum memulai percakapan seriusnya."Iya, Om."Davie menghembuskan napas panjang dan memulai ceritanya. "Siang ini, kamu ikut Om sama Tante ke taman kota ya. Ada yang mau ketemu sama kamu.""Siapa, Om?""Hhh!" Davie diam sejenak. Sedikit takut untuk mengatakan semuanya pada Nisaka. "Kamu ingat cowok yang narik kamu waktu itu?" tanyanya kemudian."Ingat. Memangnya kenapa, Om?""Ehm, dia itu …
Keesokan harinya, pukul 07.00 pagi, Ileana memasukkan barang-barang Davie ke dalam tas berukuran sedang. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah karena kondisi Davie sudah mulai stabil.Davie memperhatikan sang istri yang sibuk mengurus perlengkapannya. Ia sama sekali tidak diberi izin untuk membantu. Padahal Davie sudah merasa sehat."Udah semua ini kan, Mas?" tanya Ileana sambil memperhatikan setiap sudut ruangan."Udah semua, Sayang. Nggak banyak kok barang yang dibawa. Cuma itu aja," jawab Davie."Ya udah, kita pulang sekarang ya. Kebetulan taksi online-nya udah nunggu di parkiran.""Iya, Sayang."Davie membawa tas itu di tangan kanannya, sementara tangan kiri menggenggam tangan kanan Ileana. Mereka berjalan beriringan. Seluruh biaya rumah sakit sudah diselesaikan.Tapi suara panggilan dari arah belakang membuat mereka terpaksa menghentikan langkah. Keduanya menoleh bersamaan dan mendapati Braga sedang berjalan ke arah mereka sambil mendorong tiang infus dengan tangan kanannya. Sedan