To be continue~ Jangan lupa dukungannya ya. Terima kasih đ
Davie berjalan santai menghampiri Dimas yang masih berdiam diri di tempat sebelumnya. Dimas belum menyadari kehadiran Davie di depannya. Sampai Davie terpaksa berdeham untuk mendapatkan perhatian dari Dimas.Melihat wajah Davie, Dimas langsung syok dan mundur satu langkah ke belakang. Bulir-bulir keringat muncul di dahinya. Pria itu merasa gugup karena sudah mengetahui identitas asli Davie. Orang yang ia anggap biasa, ternyata pewaris tunggal perusahaan manufaktur tersebut."Gimana?"Dimas mengernyit. "Apanya?""Ya gimana perasaan kamu sekarang? Udah malu belum?" tanya Davie seakan mencibir Dimas.Dimas menunduk. Berharap Davie segera pergi dari hadapannya. Ia tidak menyangka Davie menguping pembicaraannya dengan Ileana. Mau ditaruh dimana wajahnya itu? Benar yang dikatakan Davie, ia sudah terlanjur malu karena ulahnya sendiri. Ini karma yang pantas untuknya."Kan saya udah ingatin kamu buat jauhi Ileana. Kenapa masih ngotot?" ucap Davie sarkas."Karena saya tahu, Bapak bohong soal hu
Ileana baru saja selesai mengerjakan tugasnya di ruang produksi. Ia menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 17.00. Ileana bergegas ke toilet untuk membersihkan tangannya yang masih kotor. Wanita itu tampak terburu-buru, seperti ada yang sedang ia kejar.Saat Ileana masih sibuk membersihkan kedua tangannya, tiba-tiba saja ada seseorang yang memeluknya dari belakang. Ileana hendak memberontak, namun pria itu mendekapnya dengan erat. Sehingga Ileana tidak bisa bergerak sedikitpun.Pria itu tak lain adalah Dimas. Ia mengikuti Ileana ke toilet dan mengunci pintunya dari dalam. Jelas ini tidak baik bagi Ileana. Dimas bisa saja melakukan hal yang buruk padanya."Lepasin gue," ucap Ileana, berusaha untuk tetap tenang.Dimas menyeringai lalu berbisik, "Gue nggak akan pernah lepasin lo, Ileana. Lo itu punya gue.""Nggak usah mimpi lo. Gue nggak sudi punya pasangan psikopat kayak lo." Ileana mematikan keran air karena telah selesai membersihkan kedua tangannya. "Selagi gue masih baik, mending
Setelah mendapat penanganan dari dokter, Nisaka sudah mulai tertidur. Dokter menyarankan agar Nisaka dirawat selama beberapa hari di rumah sakit karena terkena demam berdarah. Semula, Ileana menolak saran dari dokter tersebut karena ia tidak memiliki banyak uang untuk membayar biaya rumah sakit. Tapi setelah Davie yang menjamin semua biayanya, dengan sangat terpaksa, Ileana membiarkan Nisaka dirawat inap.Nisaka pun dipindahkan ke ruang VVIP, sesuai permintaan Davie. Kini, Ileana dan Davie mengobrol di luar ruangan Nisaka. Mereka masih saling diam. Sesekali, Ileana melirik ke arah Davie yang tampak masih panik."Davie," panggil Ileana.Davie menoleh. "Ya?""Makasih banyak ya udah bantuin aku," ucap Ileana.Davie tersenyum dan berkata, "Nggak perlu bilang makasih. Aku udah anggap Nisa sebagai keponakan aku sendiri. Dia anak yang baik dan manis. Waktu kamu bilang dia sakit, aku langsung cemas. Bahkan sampai sekarang, aku juga masih cemas sama kondisinya.""Iya, aku tahu. Dari tadi kamu
Davie tiba di rumah dengan wajah yang begitu muram. Tubuhnya terasa lelah seharian ini. Entah kemana saja ia pergi dalam sehari. Belum lagi dirinya harus sering menjenguk Naura. Barangkali wanita itu membutuhkan sesuatu, namun malu untuk mengatakannya. Sejujurnya, Davie membantu Naura hanya karena kasihan. Perasaannya untuk Naura sudah lenyap sejak wanita itu mengkhianatinya.Tapi sepertinya, Davie harus tetap menjaga jarak agar Naura tidak mengharapkan perasaan yang lebih dari sekadar teman. Davie memahami karakter Naura. Jika ada pria yang begitu perhatian padanya, maka Naura akan langsung menyukai pria tersebut. Karakter itu tetap sama seperti dulu.Davie menghempaskan tubuh di atas sofa sambil memejamkan mata. Rasanya malas sekali untuk sekadar beranjak ke kamar. Apalagi harus menaiki anak tangga. Kedua kaki Davie terasa pegal dan tidak sanggup lagi untuk berjalan. Ia memutuskan untuk tidur di sofa saja.Baru beberapa detik Davie memejamkan mata, suara tegas tiba-tiba menggema di
Ileana baru saja terbangun dari tidurnya saat pundaknya dipegang oleh seseorang. Semalaman Ileana menjaga Nisaka di rumah sakit dan tertidur dengan kepala menunduk ke bawah sambil bersandar di kursi, tepat di samping tempat tidur Nisaka. Ileana memaksakan kedua matanya untuk terbuka. Ia menoleh ke belakang. Ternyata Ikhwan yang menyentuh pundaknya.Ileana mengusap kedua matanya sejenak, lalu bertanya, "Ayah udah datang dari tadi?""Iya, Nak. Cuma Ayah nggak tega banguni kamu. Kayaknya kamu capek banget. Mending kamu pulang, terus istirahat. Tadi pagi, Davie mampir ke sini dan bilang ke Ayah kalau kamu nggak usah datang ke kantor dulu. Biar kamu istirahat dan fokus jagain Nisa," ucap Ikhwan."Tapi aku harus izin sama kepala ruangan, Ayah. Nanti disangka malas."Ikhwan tersenyum. "Itu nggak perlu. Nak Davie udah izinkan kamu. Jadi, kamu tinggal pulang ke rumah, bersih-bersih, makan, terus istirahat. Biar Ayah yang jagain Nisa di sini.""Iya, Yah. Aku pulang dulu ya. Kalau ada apa-apa, l
Pukul 20.00 malam, Ileana duduk sendiri di teras rumah. Menatap ke arah langit malam yang gelap. Hanya ada beberapa bintang saja yang terlihat. Cuaca sedang hujan saat ini dan Ileana mengenakan jaket agar tidak terkena flu karena udara cukup dingin.Ileana tampak melamun, memikirkan segala ucapan Khairil yang begitu menyesakkan dada. Tidak bisakah pria tua itu berbicara dengan sopan? Bukankah dia memiliki riwayat pendidikan yang bagus? Kenapa cara bicaranya tidak seperti orang yang terdidik?Perasaan Ileana saat ini sudah bercampur-aduk. Ia memikirkan reputasinya di kantor. Mungkinkah Khairil akan menyebarkan fitnah itu pada karyawan lainnya? Ileana tidak bisa membayangkan hal seperti itu akan menimpa dirinya."Susah payah gue bangun karir sampai sejauh ini. Terus, bakal dihancurin gitu aja sama orang lain. Perkara gue dekat sama Davie. Padahal yang dekati gue itu ya Davie sendiri. Udah berapa kali dia gue tolak, tapi masih aja dekati gue."Ileana berbicara sendiri di tengah rintik hu
Mobil sedan hitam milik Davie berhenti di depan pekarangan rumah Ileana. Sebelumnya, ia pergi ke rumah sakit dan berharap akan bertemu dengan Ileana di sana. Tapi Ikhwan mengatakan bahwa Ileana sudah pulang ke rumah untuk beristirahat. Itu sebabnya, mengapa Davie berada di kediaman Ileana saat ini. Ia benar-benar merindukan wanita itu. Davie juga ingin menanyakan alasan Ileana tidak menjawab panggilannya.Davie melangkahkan kaki menuju teras rumah tersebut. Diketuknya pintu rumah yang catnya sedikit memudar. Ketukan berulang tidak mampu membangunkan si pemilik rumah. Ingin menghubungi Ileana, namun nomornya tidak bisa dihubungi.Davie semakin frustrasi. Ia mengetuk pintu itu lebih keras lagi. Berharap Ileana mendengar dan membukakan pintu itu untuknya. Berkali-kali Davie mengetuk dan memanggil nama Ileana. Hingga akhirnya, usaha yang ia lakukan pun berhasil membangunkan si pemilik rumah.Ketika pintu dibuka, Davie langsung tersenyum sumringah dan memeluk tubuh Ileana. Kesadaran Ileana
Pagi hari, tepat di waktu subuh, Ileana terbangun dari tidurnya. Wanita itu memaksa membuka mata untuk segera turun dari ranjang. Ia berjalan keluar kamar dengan perasaan malas karena masih mengantuk.Langkahnya menuntun Ileana menuju kamar mandi dan bergegas mencuci muka serta menyikat gigi. Setelah beberapa menit selesai, barulah Ileana tersadar akan sesuatu. Ia bergegas keluar dari kamar mandi lalu berlari kecil ke arah pintu utama.Sebelum membuka, Ileana menarik nafas dalam lalu membuangnya perlahan. Setelah itu, barulah ia membuka pintu dengan lebar. Pemandangan pertama yang Ileana dapati adalah seorang pria tertidur lelap di teras rumah sambil meringkuk kedinginan. Mata Ileana melebar dan menghampiri pria tersebut."Davie! Davie, bangun!"Davie hanya menggeliat. Tubuhnya terasa gemetar saat Ileana menyentuhnya. Ileana juga memeriksa dahi Davie. Cukup panas. Davie demam karena terlalu lama tidur di luar."Davie, kamu semalaman tidur di sini?"Pria itu hanya mengangguk pelan samb
20 tahun kemudianâŠ.Braga keluar dari rutan sambil membawa tas berisi pakaian dan peralatan mandinya. Setelah 20 tahun lamanya berada di penjara, akhirnya hari ini, Braga bisa menghirup udara bebas.Tampak dari sisi gerbang rutan, seorang wanita, berusia kurang lebih 25 tahun, melambaikan tangan ke arah Braga. Wanita itu sudah terlihat sukses saat ini.Braga tersenyum manis sambil menghampiri wanita itu. Dipeluknya wanita itu dengan penuh cinta dan kasih sayang."Akhirnya Papa bebas juga."Wanita itu adalah Nisaka. Ia sudah tumbuh menjadi anak yang dewasa dan mandiri. Di usianya yang ke 25 tahun, Nisaka sudah memiliki rumah dan mobil berkat kerja kerasnya selama ini. Dukungan Davie dan Ileana juga sangat berpengaruh pada karirnya."Iya, Nak. Alhamdulillah, Papa bisa bebas sekarang. Papa nggak nyangka, kamu udah sebesar ini, Nak. Kamu juga udah sukses sekarang," ucap Braga sambil melepas pelukannya dan menatap wajah Nisaka.Nisaka tersenyum. "Alhamdulillah, Pa. Nisa bisa sampai di titi
6 tahun kemudianâŠ.Davie bersama Adinda yang sudah berusia 6 tahun bermain di taman kota, ditemani oleh Ileana dan Nisaka. Sedangkan Bi Tuti sudah meninggal setahun yang lalu, bersamaan dengan meninggalnya Khairil di dalam tahanan karena bunuh diri.Saat itu, Khairil mengalami depresi karena tidak tahan menjalani hukuman di dalam penjara. Ia memutuskan untuk gantung diri di dalam tahanan. Tahun lalu merupakan tahun terburuk bagi Davie dan Ileana. Mereka harus kehilangan dua orang yang disayang sekaligus. Bi Tuti sudah seperti orang tua sendiri bagi Davie dan Ileana. Setelah kehilangan Bi Tuti, Davie dan Ileana sempat terpuruk. Ditambah lagi ada berita tentang Khairil yang juga tewas gantung diri.Tapi semua itu bisa mereka lewati seiring berjalannya waktu. Mereka baru saja mengunjungi Braga dan Nisaka yang sudah beranjak remaja itu pun semakin memahami kondisi Braga saat ini."Tante," panggil Nisaka setelah selesai berlarian dengan Adinda."Iya, Nisa. Ada apa?" tanya Ileana."Nisa mau
Tiga minggu setelah selesai dengan urusan pernikahan Karina dan Jian, Davie mengajak Ileana untuk kembali ke Jakarta. Sedangkan Karina dan Jian masih akan menetap di Bandung untuk beberapa bulan.Davie dan Ileana sudah berpamitan dengan keluarga besar Karina dan Jian. Mereka pulang ke Jakarta menggunakan pesawat.Dan sekitar beberapa jam, mereka tiba di Jakarta. Davie dan Ileana masuk ke dalam taksi yang akan membawa mereka pulang ke rumah.Sesampainya di depan rumah, Nisaka langsung menghampiri mereka. Nisaka sangat merindukan Om dan Tantenya itu. Bi Tuti juga memasakkan makanan spesial untuk menyambut Davie dan Ileana. Mereka makan bersama setelah Davie dan Ileana selesai membersihkan diri."Nisa, kamu mau ikut Om jalan-jalan nggak?" tanya Davie setelah selesai makan."Mau sih, Om. Tapi Om kan baru pulang. Nanti capek loh.""Nggak masalah. Om mau ngajak kamu ke suatu tempat. Kamu pasti seneng.""Boleh deh kalau gitu. Tante juga ikut, kan?" tanya Nisaka pada Ileana.Ileana langsung m
"Oh iya, gimana sama Braga?" tanya Karina setelah melepas pelukannya pada Ileana.Ileana menghela napas panjang. Haruskah ia mengingat kembali nama itu? Ia masih belum sepenuhnya memaafkan kesalahan Braga, meskipun Braga sudah berusaha untuk menebus semuanya. Tapi tetap saja, luka itu masih terasa sampai sekarang."Dia bilang mau nyerahin diri ke polisi. Surat tanah dan rumah punya mendiang Ayah juga udah dibalikin ke aku. Sebelum Ayah meninggal, Braga sempat ketemu sama Nisaka di taman. Mereka main bareng, terus berpisah lagi. Dan di hari yang sama, aku kehilangan Ayah," ucap Ileana lirih.Karina mengusap punggung tangan Ileana. Berniat menenangkannya. "Aku bisa ngerti perasaan kamu. Aku juga mau minta maaf karena sempat dengar obrolan kamu sama Davie. Dari situ, aku sengaja cari tahu soal Braga, siapa dia sebenarnya, dan apa pekerjaannya. Aku sempat kaget waktu baca kasus pembunuhan yang dia lakuin sama Kakak kamu.""Terus, dia juga udah banyak nipu orang. Uang yang dia dapat itu da
Sepulang dari Bogor, Ileana merasakan nyeri yang teramat dahsyat di area perutnya. Ileana sampai membungkuk untuk berjalan masuk ke rumah."Sayang, kamu kenapa?" tanya Davie cemas."Nggak tahu, Mas. Perut aku sakit banget."Davie bisa melihat bulir-bulir keringat sudah bermunculan di kening Ileana. Segera ia menggendong Ileana masuk ke dalam rumah. Merebahkan tubuhnya di atas kasur.Tapi hal yang paling mengejutkan adalah, noda darah di bagian bawah gamis yang dikenakan Ileana saat ini. Noda darah itu begitu banyak dan kental."Sayang, kok baju kamu banyak darah gini?" tanya Davie.Ileana tidak merespon. Davie pun menatap wajah sang istri yang sudah pucat dan tak sadarkan diri. Hal itu tentunya menimbulkan kepanikan tersendiri bagi Davie. Ada apa ini?"Bi! Bi Tuti!" teriak Davie memanggil Bi Tuti.Bi Tuti yang mendengar teriakan Davie pun bergegas masuk ke dalam kamar. "Ada apa, Mas Davie?""Bi, ini Ileana pingsan. Terus ada darah di gamisnya," jawab Davie panik."Ya Allah! Cepat diba
Malam hari, pukul 20.00 malam, Ileana masih termenung sambil duduk di kursi taman. Pemakaman Ikhwan sudah ia laksanakan sebelum hari gelap. Bahkan ia tak sempat menghubungi keluarga Ikhwan yang lainnya, kecuali Aldi dan Diana. Itupun karena Davie yang berinisiatif menghubungi mereka.Ileana seperti tidak memiliki semangat hidup saat ini. Kepergian Ikhwan masih menjadi mimpi baginya. Tidak menyangka akan secepat ini terjadi. Impian hidup bahagia bersama Ikhwan, Davie dan Nisaka lenyap sudah. Padahal Ileana sudah berhasil mengambil surat-surat penting itu dari Braga. Sampai harus mengorbankan Davie untuk sesaat demi Ikhwan."AyahâŠ." lirihnya.Sedangkan dari arah pintu masuk, Davie berdiri menatap sang istri yang duduk membelakanginya. Davie bisa merasakan kesedihan istrinya saat ini."Om."Davie menoleh ke samping kanan. Ternyata Nisaka juga ikut memandangi Ileana. "Kamu kok belum tidur, Nisa?""Nisa nggak bisa tidur, Om. Kepikiran sama Tante Ilea. Tante kelihatan sedih banget, Om," uja
Seharian ini, Nisaka tampak bahagia karena bisa bermain bersama Braga di taman hingga menjelang sore. Braga pun pamit sambil menitipkan Nisaka pada Davie dan Ileana. Braga juga meminta maaf untuk kesekian kalinya pada pasangan suami istri itu."Titip dia ya, Ilea, Davie. Gue cuma percaya sama kalian," ucap Braga."Iya, Ga. Dia aman sama kita," kata Davie."Makasih banyak ya. Gue pamit sekarang."Davie hanya mengangguk dan membiarkan Braga pergi. Sedangkan Ileana tidak berkata apapun. Ia hanya diam sambil menatap kepergian Braga. Setelah itu, dipeluknya Nisaka yang menangis karena Braga pergi."Nisa, kamu yang sabar ya. Nanti kalau urusan Papa kamu selesai, dia pasti bakal balik lagi," ujar Ileana menguatkan."Iya, Tante. Nisa bakal nunggu Papa.""Ya udah, sekarang kita jemput Kakek yuk!" ajak Davie penuh semangat.Ileana melepas pelukannya pada Nisaka dan bergegas menuju ke mobil untuk menjemput Ikhwan. Perjalanan kali ini akan sedikit jauh. Itu sebabnya Davie sudah membeli beberapa m
"Nisa, Om mau bicara sebentar."Nisaka menatap Davie dengan senyum terkembang. Saat ini, hatinya sedang bahagia karena bisa melihat wajah sumringah Davie setelah bertemu kembali dengan Ileana."Om mau ngomong apa?"Davie mengelus kepala Nisaka, lalu menjawab, "Kita bicara di taman aja ya. Soalnya ini pembicaraan serius.""Oh, oke."Nisaka berdiri dan melangkah, mengikuti Davie menuju taman di halaman depan rumah. Mereka duduk bersebelahan di kursi taman bercat putih."Nisa, sebelumnya, Om minta maaf karena baru ngasih tahu kamu hari ini. Om harap, kamu bisa nerima dan nggak marah ya," ucap Davie sebelum memulai percakapan seriusnya."Iya, Om."Davie menghembuskan napas panjang dan memulai ceritanya. "Siang ini, kamu ikut Om sama Tante ke taman kota ya. Ada yang mau ketemu sama kamu.""Siapa, Om?""Hhh!" Davie diam sejenak. Sedikit takut untuk mengatakan semuanya pada Nisaka. "Kamu ingat cowok yang narik kamu waktu itu?" tanyanya kemudian."Ingat. Memangnya kenapa, Om?""Ehm, dia itu âŠ
Keesokan harinya, pukul 07.00 pagi, Ileana memasukkan barang-barang Davie ke dalam tas berukuran sedang. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah karena kondisi Davie sudah mulai stabil.Davie memperhatikan sang istri yang sibuk mengurus perlengkapannya. Ia sama sekali tidak diberi izin untuk membantu. Padahal Davie sudah merasa sehat."Udah semua ini kan, Mas?" tanya Ileana sambil memperhatikan setiap sudut ruangan."Udah semua, Sayang. Nggak banyak kok barang yang dibawa. Cuma itu aja," jawab Davie."Ya udah, kita pulang sekarang ya. Kebetulan taksi online-nya udah nunggu di parkiran.""Iya, Sayang."Davie membawa tas itu di tangan kanannya, sementara tangan kiri menggenggam tangan kanan Ileana. Mereka berjalan beriringan. Seluruh biaya rumah sakit sudah diselesaikan.Tapi suara panggilan dari arah belakang membuat mereka terpaksa menghentikan langkah. Keduanya menoleh bersamaan dan mendapati Braga sedang berjalan ke arah mereka sambil mendorong tiang infus dengan tangan kanannya. Sedan