Pukul 20.00 malam, Davie tiba di halaman rumah Ileana sambil membawa martabak untuk calon mertuanya. Sebelum turun dari mobil, Davie memperbaiki bentuk rambut dan merapikan jaket hitam garis putih yang ada di tubuhnya. Setelah semuanya dipastikan rapi, barulah Davie turun dari mobil. Ia melangkah menuju teras rumah tersebut dengan penuh keyakinan. Berharap, Ileana akan terkejut dengan kehadirannya. Tapi sayangnya, yang terkejut bukanlah Ileana, melainkan Davie sendiri.
Davie mendengar percakapan dua orang pria yang tengah membicarakan soal perjodohan Ileana dengan pria lain. Tentu hal itu membuat Davie syok. Merasa tidak terima jika wanita yang dicintainya menikah dengan pria lain. Davie tidak siap menerima itu semua.Davie terus mendengarkan percakapan itu, sampai tidak sadar ada Nisaka di dekatnya. Nisaka menepuk tangan Davie sebanyak dua kali. Seketika Davie terkejut dan hampir berteriak. Untungnya Nisaka langsung memberi isyarat pada Davie untuk tidak berisik. Nisaka menarik paksa Davie untuk menjauh dari pintu menuju halaman. Di sana ada kursi panjang yang memang sengaja diletakkan di bawah pohon rindang."Kakak siapa?" tanya Nisaka."Kamu nggak kenal sama saya?"Nisaka langsung menggeleng. "Enggak. Emang Kakak siapa? Pacarnya Tante Ilea ya?""Pacar?" Davie tersenyum manis lalu mengusap pelan puncak kepala Nisaka. "Bukan. Saya ini temen kerjanya Tante Ilea.""Oh, temen kerja ya. Kirain pacarnya Tante."Seketika Davie melihat perubahan ekspresi Nisaka. Gadis kecil itu mendadak murung dengan mata yang berkaca-kaca. "Kamu kenapa? Kok murung gitu?" tanya Davie."Nisa lagi sedih, Kak.""Sedih kenapa?"Nisaka mulai terisak. "Tante mau dijodohin sama cowok yang umurnya lebih tua dari Tante.""Hah? Lebih tua?" Davie terkejut setengah mati. "Kok bisa? Kan masih banyak cowok lain yang lebih muda.""Kakek yang salah, Kak. Dia maunya Tante itu nikah sama cowok yang berduit. Tua pun nggak masalah, yang penting ada duitnya. Biar kalau udah nikah nanti, Tante nggak capek-capek kerja."Davie langsung lemas mendengar penjelasan Nisaka. Gadis kecil itu tidak mungkin berbohong saat membicarakan hal serius ini."Nisa berharapnya, Kakak itu pacarnya Tante. Biar perjodohan ini dibatalin. Soalnya kan Kakak punya mobil terus tampilannya kayak orang kaya. Otomatis Kakek bakalan setuju," lanjut Nisaka."Maksud kamu, Kakek mata duitan?"Nisaka mengangguk pelan. "Iya, Kak. Kasihan Tante Ilea kalau sampai nikah sama cowok itu.""Emang kamu setuju kalau saya jadi calon suaminya Tante Ilea?" tanya Davie penasaran."Banget, Kak. Kakak bisa jadi Omnya Nisa," jawab Nisaka jujur. "Lagian Kakak juga cocok kok sama Tante Ilea. Nisa lihat, Kakak orang baik."Davie sedikit tersipu mendengar pujian itu. Ia menggaruk tengkuknya sambil tersenyum malu. "Ehm, terus, sekarang kita harus gimana dong?""Kita masuk, terus Kakak bilang deh ke Kakek kalau Kakak pacarnya Tante. Nisa yakin, Tante pasti setuju sama ide ini, Kak," ucap Nisaka penuh percaya diri."Ehm, Tante kamu itu susah diajak kerjasama."Nisaka terkekeh pelan. "Kayaknya, Kakak sering dicuekin ya sama Tante?""Iya." Davie menyengir. "Tiap hari dicuekin.""Pokoknya Kakak tenang aja. Kali ini, Tante pasti bakalan setuju. Tante emang nggak suka sama perjodohan ini. Makanya kita harus bantu dia."Davie berpikir sejenak. Rencana Nisaka memang ada benarnya. Tapi ia masih tidak yakin dengan Ileana. Wanita itu sangat keras kepala. Tidak bisa diajak kompromi sedikitpun."Oh iya, Nisa sampai lupa tanya nama Kakak," celetuk Nisaka. "Nama Kakak siapa?""Nama saya Davie. Nama kamu Nisa, kan?"Nisaka mengangguk. "Lebih tepatnya Nisaka, Kak. Tapi emang sering dipanggil Nisa sama Tante.""Oh gitu.""Kita masuk sekarang yuk," ajak Nisaka sambil berdiri dari kursi dan menarik tangan Davie.Davie yang masih ragu pun terpaksa berdiri dan mengikuti langkah Nisaka. Sesampainya di teras, Davie berhenti dan berbisik pada Nisaka, "Kamu yakin sama rencana ini?""Yakin banget, Om.""Om?" Davie terkejut.Nisaka justru tersenyum. "Boleh kan Nisa panggil Om? Kan sebentar lagi bakal jadi Omnya Nisa juga.""Terlalu percaya diri nih anak. Aku aja nggak yakin sama rencana ini," batin Davie."Om, ayo buruan masuk." Nisaka memaksa Davie untuk masuk ke dalam rumah.Karena desakan Nisaka, Davie pun terpaksa masuk ke dalam. Semua mata pun langsung tertuju padanya. Orang yang paling terkejut adalah Ileana. Wanita itu langsung berdiri dan menghampiri Davie."Hai," Davie menyapa sambil tersenyum kikuk."Mau ngapain kamu ke sini," bisik Ileana."Mau ketemu kamu," jawab Davie dengan wajah polos. "Emangnya nggak boleh ya?"Ikhwan yang memang baru melihat Davie pun langsung menghampiri Davie dan Ileana. "Dia siapa, Ilea?""Bukan....""Saya pacarnya, Om," Davie menyela kalimat Ileana.Ileana yang mendengar itu memberi tatapan tajam pada Davie. Tapi sayangnya, Davie tidak peduli. Ia terus saja mengoceh sesuai dengan rencana yang dibuat oleh Nisaka. Sementara Nisaka hanya berusaha menahan tawa di balik tubuh Davie, merasa bangga pada Davie karena telah mengikuti kemauannya untuk menyelamatkan Ileana dari perjodohan tersebut."Loh? Kamu pacarnya Ilea?"Davie mengangguk mantap. "Iya, Om. Ilea nggak pernah cerita ya sama Om?""Enggak pernah.""Wah." Davie menatap Ileana dengan tatapan kecewa. "Kamu kok jahat banget sih, Sayang. Kenapa nggak kasih tahu ke Papa kamu tentang hubungan kita?"Ikhwan juga ikut menatap Ileana. "Iya, Ilea. Kenapa kamu nggak cerita sama Ayah? Kalau kamu udah punya pacar, harusnya bilang dong. Jangan diam-diam aja.""Ayah, ini nggak....""Ilea emang suka gitu, Om," Lagi-lagi Davie menyela kalimat Ileana. Tidak memberi kesempatan pada wanita itu untuk berbicara pada Ikhwan. "Dikerjaan aja, saya selalu dicuekin sama dia. Untung saya orangnya sabar, Om."Ileana semakin menajamkan tatapannya kepada Davie. Bagaimana bisa pria itu mengarang cerita mengenai hubungan mereka? Jika hal ini dianggap serius oleh Ikhwan, bisa panjang urusannya."Oh, jadi kalian satu kantor?" tanya Ikhwan.Davie mengangguk. "Iya, Om. Tapi beda divisi.""Kamu kerja di bagian mana?""Saya Human Resource di kantor itu, Om," jawab Davie jujur. "Kalau Ilea kan di bagian Engineering."Ikhwan mengangguk paham. "Terus, udah berapa lama kalian pacaran?""Baru tiga bulan, Om.""Hah?! Apa-apaan ini?!" batin Ileana kesal."Oh, masih baru ya. Om kira udah lama," ucap Ikhwan. "Ayo, kita duduk dulu di sini."Ikhwan mengajak Davie untuk duduk bersamanya di sofa. Sementara Ileana masih berdiri di dekat pintu sambil tetap menatap Davie dengan kesal. Nisaka yang melihat drama itu pun merasa lucu dan ingin sekali tertawa. Tapi waktunya tidak tepat."Nama kamu siapa?" tanya Ikhwan."Nama saya Davie, Om.""Nama yang bagus," puji Ikhwan. "Kalau Om lihat, dari segi materi, kamu udah mapan ya."Davie mengangguk. "Iya, Om. Setidaknya bisa menafkahi Ilea nantinya.""Kamu mau nikahi Ilea?" tanya Ikhwan dengan raut wajah terkejut."Iya, Om.""Yakin?""Yakin banget, Om," jawab Ikhwan. "Saya siap nikahin dia kapanpun, Om.""Loh, nggak bisa gitu dong, Wan. Ilea kan mau dinikahkan sama aku. Kalau kamu iyakan, berarti kamu melanggar perjanjian dong. Aku bisa bawa ke jalur hukum kalau kayak gini ceritanya," protes pria paruh baya yang hendak dijodohkan pada Ileana.Davie pura-pura terkejut mendengar pernyataan itu. "Om, emang Ilea mau dijodohin sama dia? Dia kan umurnya lebih tua dari Ilea. Bahkan lebih tua dari saya, Om. Nggak pantes aja dilihatnya.""Heh, Bocah! Jaga omongan kamu ya!""Loh, saya kan bicara fakta," balas Davie kepada pria paruh baya yang tak ia kenali itu. "Kamu nggak pantes nikah sama pacar saya. Mending cari aja deh cewek lain yang lebih pantes sama usia kamu. Jangan ganggu pacar saya.""Sialan nih orang!"Pria paruh baya itu ingin menghampiri Davie, namun dicegah langsung oleh Ikhwan. Ikhwan meminta pria itu untuk tetap tenang. "Udah, jangan berantem. Wandi, aku nggak ada maksud buat batalin perjodohan ini. Tapi kamu lihat sendiri, kan? Ternyata Ilea udah punya pacar dan pacarnya mau nikahin Ilea.""Tapi aku orang kaya. Aku bisa kasih apapun yang Ilea mau. Ngapain kamu nikahkan Ilea sama bocah ingusan kayak dia? Nggak ada gunanya," ucap pria bernama Wandi itu."Saya juga orang kaya. Tapi saya nggak pernah beli cintanya Ilea. Uang itu bukan segalanya. Mau sebanyak apapun uang kamu kalau pasangan kamu nggak bahagia, percuma aja. Semuanya sia-sia. Mending hidup sederhana tapi bisa bikin pasangan bahagia dunia-akhirat."Kata-kata bijak Davie seakan menohok hati Ikhwan. Ia menyadari tujuannya sejak awal menjodohkan Ileana dengan beberapa pria kaya agar hidupnya Ileana terjamin bersama suaminya.Ileana masih memperhatikan sang Ayah yang tiba-tiba terdiam dengan ekspresi tak biasa. Mungkin kata-kata bijak Davie telah mengubah pola pikir Ikhwan. Pikir Ileana sambil bersidekap di dekat pintu."Bodo amat! Pokoknya aku mau Ilea nikah sama aku!"Wandi masih tetap bersikeras ingin menikahi Ileana. Dia bahkan berani mendekati Ileana lalu merangkulnya. Melihat hal itu, Davie geram dan langsung menarik Wandi secara paksa untuk menjauh dari wanita yang dicintainya."Jangan coba-coba sentuh pacar saya!" Davie berucap tegas. "Harusnya kamu sadar diri! Udah tua itu cari pasangan yang sesuai sama umur! Jangan paksa pacar saya untuk nikah sama kamu yang bahkan umurnya jauh di bawah kamu!"Wandi menatap garang. "Aku bakal tuntut kalian semua!""Silakan! Saya nggak takut," tantang Davie. "Tapi kalau tuntutan kamu ditolak, siap-siap kamu yang saya tuntut balik."Mendengar tantangan Davie, Wandi terdiam. Ia tidak percaya pemuda itu mampu melawannya. Sementara Ikhwan tersenyum bangga melihat keberanian Davie yang begitu membela keluarganya."Kenapa diam? Takut?" lanjut Davie.Wandi menunjuk Davie lalu mengepalkan tangannya di depan wajah Davie sambil menunjukkan ekspresi geram. Tidak bisa berkata sedikitpun setelah Davie menantangnya. Wandi memilih pergi dari rumah itu hingga membuat Davie tersenyum senang. Davie merasa menang malam ini.Setelah berbincang cukup lama dengan Ikhwan, Davie pun mohon izin untuk pulang karena hari sudah malam. Davie menyalami Ikhwan dengan sopan dan pamit. Ikhwan pun meminta Ileana untuk mengantarkan Davie sampai ke halaman rumah. Sementara Nisaka sudah terlelap di kamar sejak tadi. Davie melarang Ikhwan untuk membangunkan Nisaka karena kasihan jika harus mengganggu tidur gadis itu.Davie berjalan mendekati mobil, diikuti Ileana dari belakang. Ileana masih bersidekap sambil memasang wajah kesal. Apalagi setelah mendengar pembicaraan Davie dengan Ikhwan yang terbilang serius tentang hubungan pura-pura yang dikarang oleh Davie."Kamu tuh ngapain sih pakai ngaku jadi pacar aku?" tanya Ileana dengan nada kesal.Davie menatap Ileana dengan satu alis yang naik ke atas. Setelah itu, ia tersenyum. "Aku ngelakuin ini demi kamu.""Apa maksud kamu?Davie mengajak Ileana untuk duduk di kursi yang sempat ia duduki bersama Nisaka. Ileana hanya menurut dan tetap memasang wajah kesal. "Tadi waktu aku dat
Sepulang kerja, Davie benar-benar mengajak Ileana untuk berkunjung ke rumah Emma, sahabat baik Annisa. Davie masih ingat alamat rumah Emma. Mereka pergi ke rumah Emma membutuhkan waktu sekitar 30 menit dari perusahaan milik Ayahnya Davie. Ditambah lagi jalanan yang cukup padat sore ini. Sehingga membuat mereka sempat terjebak cukup lama di jalan. Dan setelah terjebak selama kurang lebih 10 menit, akhirnya Davie dan Ileana bisa melanjutkan perjalanan.Setelah mobil berhenti di depan rumah Emma, Davie dan Ileana turun bersamaan. Suasana rumah Emma cukup sepi. Davie menjadi ragu untuk masuk. Mungkin saja Emma sedang tidak berada di rumah. Sudah lama sekali Davie tidak berkunjung ke rumah sahabat lama mendiang Ibunya itu.Davie berjalan lebih dulu memasuki pekarangan rumah Emma, sementara Ileana berjalan di belakang Davie. Pria itu mengetuk pintu rumah tersebut beberapa kali. Sampai akhirnya ada satu wanita paruh baya muncul dari balik pintu yang sedang terbuka itu."Halo, Tante," Davie m
Pukul sebelas malam, Davie masih belum bisa memejamkan mata. Ucapan Emma mengenai Ayahnya, Khairil Handaru, selalu terngiang di telinganya. Apa yang sebenarnya terjadi? Hal besar apa yang sedang disembunyikan oleh Khairil? Lalu, siapa wanita yang menjadi selingkuhan Khairil? Pertanyaan itu tentu saja terus berputar di kepala Davie.Berulang kali Davie mencoba memejamkan mata, namun tetap tidak bisa. Karena kesal tidak bisa tidur nyenyak, Davie memutuskan untuk pergi ke dapur. Ia berniat membuat susu cokelat hangat. Biasanya ia selalu melakukan itu saat dirinya tidak bisa tidur.Tapi, baru beberapa langkah Davie turun dari tangga, tak sengaja ia mendengar suara Khairil sedang mengobrol dengan seseorang. "Papa lagi ngomong sama siapa ya?"Davie melangkah pelan menuruni anak tangga. Ia mengintip sedikit dari balik sekat tembok yang mengarah ke ruang keluarga. Setelah mengintip, ternyata Khairil sedang menghubungi seseorang. Nada bicara Khairil juga terlalu intim dan sesekali pria itu ter
Davie masuk ke ruangan dengan wajah kusut. Ia bahkan mengabaikan beberapa sapaan dari para karyawan yang berpapasan di lobi. Davie benar-benar tidak bersemangat hari ini. Ia kesal pada sikap Khairil yang jauh berbeda dari sebelumnya. Baru kali ini Davie melihat karakter asli Khairil.Pria itu duduk di kursi kerja sambil menghela napas lelah. Ia mengusap wajahnya dengan kasar lalu beralih mengusap pipi yang sempat ditampar oleh Khairil."Aku nggak nyangka sama sikap Papa. Apa selama ini, Mama selalu nutupin keburukan Papa dari aku? Aku nggak bisa bayangin gimana tertekannya Mama ngelihat sikap Papa yang kayak gitu," gumamnya kesal.Beberapa saat kemudian, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Davie melihat ke arah pintu dan meminta si pengetuk itu masuk ke dalam. Ternyata yang masuk adalah Ileana. Seketika amarah yang membuncah, mereda saat melihat wajah cantik Ileana.Davie berdiri dari kursinya dan menghampiri Ileana. "Kamu kok tumben mau ke ruangan aku tanpa disuruh?" tanyanya de
Davie keluar dari ruangan setelah selesai berbicara dengan Naura. Untuk sementara, wanita itu ia biarkan istirahat di dalam ruangannya. Sedangkan dirinya memutuskan untuk pergi ke ruang produksi, sekadar ingin melihat calon istri idamannya, Ileana.Pria bertubuh maskulin itu berjalan santai menyusuri lorong menuju ruang produksi. Beberapa karyawan wanita yang tak sengaja berpapasan dengannya pun langsung salah tingkah saat menyapanya. Tapi sayang, Davie tidak menanggapi tingkah mereka dan terus saja berjalan menyusuri lorong.Setelah tiba di ruang produksi, semua pekerja tampak sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, termasuk Ileana. Davie memperhatikan wajah Ileana yang sedikit kotor saat memperbaiki mesin produksi. Senyum simpul terukir di bibirnya.Saat hendak mendekati Ileana, ada seorang pria yang mendekati wanitanya lalu memberikan beberapa lembar tisu pada Ileana. Tentu saja hal itu membuat Davie cemburu setengah mati. Ia juga baru pertama kali melihat pria
"Karena dia itu, calon istri saya. Jadi, kamu harus jaga jarak."Mendengar pernyataan Davie, Dimas pun terlihat syok. Pasalnya, Ileana tidak menceritakan tentang ini padanya. Ia menganggap Ileana wanita single yang tidak memiliki hubungan apapun dengan pria lain. Itu sebabnya Dimas tidak canggung untuk mendekati Ileana.Davie yang melihat perubahan ekspresi Dimas pun langsung menyeringai. "Kenapa? Kaget ya?"Dimas pun tersadar dan merubah ekspresinya menjadi lebih tenang. Ia berdeham pelan, lalu berkata, "Maaf, Pak. Saya nggak tahu kalau dia calon istri Bapak. Saya kira, dia masih single.""Oke. Saya bisa maklum," ucap Davie. "Tapi setelah ini, jangan dekati dia lagi. Kalau kamu masih dekati dia, kamu bakal berurusan sama aku. Paham?"Dimas mengangguk. "Paham, Pak."Davie berdiri dari kursi, kemudian beranjak pergi dari ruangan itu. Davie merasa puas telah memberi peringatan keras pada Dimas. Ia tidak akan menyerah untuk mendapatkan Ileana. Setelah semua
Baru saja selesai makan siang, Davie tiba-tiba teringat akan Naura. Bahkan Davie mengingat percakapan telepon dirinya dengan Naura sebelum Naura datang menemuinya. Saat itu, Naura mengatakan bahwa dirinya baru saja mengajukan gugatan cerai kepada suaminya dan mengajak Davie untuk berbalikan dengannya.Davie mengernyitkan dahi. Merasa heran dengan keanehan ini. Kenapa ia baru menyadarinya? Harusnya sejak tadi Davie mengingat hal itu."Ya ampun. Kok aku nggak kepikiran soal itu ya? Kenapa baru ingat sekarang?" Davie menepuk dahinya sendiri. "Apa mungkin dia dipukul suaminya karena gugatan cerai itu? Ya bisa aja sih. Aku ke sana aja kali ya. Sekalian tanyain soal gugatan itu."Davie pun memutuskan untuk menemui Naura di kontrakan yang sengaja ia sewa untuk Naura. Niatnya hanya untuk membantu wanita itu saja.Pria itu keluar dari ruangan dan bergegas menuju parkiran perusahaan. Saat dirinya ingin masuk ke dalam mobil, secara tak sengaja ia melihat Ileana tengah berdebat dengan Dimas. Dari
Davie berjalan santai menghampiri Dimas yang masih berdiam diri di tempat sebelumnya. Dimas belum menyadari kehadiran Davie di depannya. Sampai Davie terpaksa berdeham untuk mendapatkan perhatian dari Dimas.Melihat wajah Davie, Dimas langsung syok dan mundur satu langkah ke belakang. Bulir-bulir keringat muncul di dahinya. Pria itu merasa gugup karena sudah mengetahui identitas asli Davie. Orang yang ia anggap biasa, ternyata pewaris tunggal perusahaan manufaktur tersebut."Gimana?"Dimas mengernyit. "Apanya?""Ya gimana perasaan kamu sekarang? Udah malu belum?" tanya Davie seakan mencibir Dimas.Dimas menunduk. Berharap Davie segera pergi dari hadapannya. Ia tidak menyangka Davie menguping pembicaraannya dengan Ileana. Mau ditaruh dimana wajahnya itu? Benar yang dikatakan Davie, ia sudah terlanjur malu karena ulahnya sendiri. Ini karma yang pantas untuknya."Kan saya udah ingatin kamu buat jauhi Ileana. Kenapa masih ngotot?" ucap Davie sarkas."Karena saya tahu, Bapak bohong soal hu
20 tahun kemudian….Braga keluar dari rutan sambil membawa tas berisi pakaian dan peralatan mandinya. Setelah 20 tahun lamanya berada di penjara, akhirnya hari ini, Braga bisa menghirup udara bebas.Tampak dari sisi gerbang rutan, seorang wanita, berusia kurang lebih 25 tahun, melambaikan tangan ke arah Braga. Wanita itu sudah terlihat sukses saat ini.Braga tersenyum manis sambil menghampiri wanita itu. Dipeluknya wanita itu dengan penuh cinta dan kasih sayang."Akhirnya Papa bebas juga."Wanita itu adalah Nisaka. Ia sudah tumbuh menjadi anak yang dewasa dan mandiri. Di usianya yang ke 25 tahun, Nisaka sudah memiliki rumah dan mobil berkat kerja kerasnya selama ini. Dukungan Davie dan Ileana juga sangat berpengaruh pada karirnya."Iya, Nak. Alhamdulillah, Papa bisa bebas sekarang. Papa nggak nyangka, kamu udah sebesar ini, Nak. Kamu juga udah sukses sekarang," ucap Braga sambil melepas pelukannya dan menatap wajah Nisaka.Nisaka tersenyum. "Alhamdulillah, Pa. Nisa bisa sampai di titi
6 tahun kemudian….Davie bersama Adinda yang sudah berusia 6 tahun bermain di taman kota, ditemani oleh Ileana dan Nisaka. Sedangkan Bi Tuti sudah meninggal setahun yang lalu, bersamaan dengan meninggalnya Khairil di dalam tahanan karena bunuh diri.Saat itu, Khairil mengalami depresi karena tidak tahan menjalani hukuman di dalam penjara. Ia memutuskan untuk gantung diri di dalam tahanan. Tahun lalu merupakan tahun terburuk bagi Davie dan Ileana. Mereka harus kehilangan dua orang yang disayang sekaligus. Bi Tuti sudah seperti orang tua sendiri bagi Davie dan Ileana. Setelah kehilangan Bi Tuti, Davie dan Ileana sempat terpuruk. Ditambah lagi ada berita tentang Khairil yang juga tewas gantung diri.Tapi semua itu bisa mereka lewati seiring berjalannya waktu. Mereka baru saja mengunjungi Braga dan Nisaka yang sudah beranjak remaja itu pun semakin memahami kondisi Braga saat ini."Tante," panggil Nisaka setelah selesai berlarian dengan Adinda."Iya, Nisa. Ada apa?" tanya Ileana."Nisa mau
Tiga minggu setelah selesai dengan urusan pernikahan Karina dan Jian, Davie mengajak Ileana untuk kembali ke Jakarta. Sedangkan Karina dan Jian masih akan menetap di Bandung untuk beberapa bulan.Davie dan Ileana sudah berpamitan dengan keluarga besar Karina dan Jian. Mereka pulang ke Jakarta menggunakan pesawat.Dan sekitar beberapa jam, mereka tiba di Jakarta. Davie dan Ileana masuk ke dalam taksi yang akan membawa mereka pulang ke rumah.Sesampainya di depan rumah, Nisaka langsung menghampiri mereka. Nisaka sangat merindukan Om dan Tantenya itu. Bi Tuti juga memasakkan makanan spesial untuk menyambut Davie dan Ileana. Mereka makan bersama setelah Davie dan Ileana selesai membersihkan diri."Nisa, kamu mau ikut Om jalan-jalan nggak?" tanya Davie setelah selesai makan."Mau sih, Om. Tapi Om kan baru pulang. Nanti capek loh.""Nggak masalah. Om mau ngajak kamu ke suatu tempat. Kamu pasti seneng.""Boleh deh kalau gitu. Tante juga ikut, kan?" tanya Nisaka pada Ileana.Ileana langsung m
"Oh iya, gimana sama Braga?" tanya Karina setelah melepas pelukannya pada Ileana.Ileana menghela napas panjang. Haruskah ia mengingat kembali nama itu? Ia masih belum sepenuhnya memaafkan kesalahan Braga, meskipun Braga sudah berusaha untuk menebus semuanya. Tapi tetap saja, luka itu masih terasa sampai sekarang."Dia bilang mau nyerahin diri ke polisi. Surat tanah dan rumah punya mendiang Ayah juga udah dibalikin ke aku. Sebelum Ayah meninggal, Braga sempat ketemu sama Nisaka di taman. Mereka main bareng, terus berpisah lagi. Dan di hari yang sama, aku kehilangan Ayah," ucap Ileana lirih.Karina mengusap punggung tangan Ileana. Berniat menenangkannya. "Aku bisa ngerti perasaan kamu. Aku juga mau minta maaf karena sempat dengar obrolan kamu sama Davie. Dari situ, aku sengaja cari tahu soal Braga, siapa dia sebenarnya, dan apa pekerjaannya. Aku sempat kaget waktu baca kasus pembunuhan yang dia lakuin sama Kakak kamu.""Terus, dia juga udah banyak nipu orang. Uang yang dia dapat itu da
Sepulang dari Bogor, Ileana merasakan nyeri yang teramat dahsyat di area perutnya. Ileana sampai membungkuk untuk berjalan masuk ke rumah."Sayang, kamu kenapa?" tanya Davie cemas."Nggak tahu, Mas. Perut aku sakit banget."Davie bisa melihat bulir-bulir keringat sudah bermunculan di kening Ileana. Segera ia menggendong Ileana masuk ke dalam rumah. Merebahkan tubuhnya di atas kasur.Tapi hal yang paling mengejutkan adalah, noda darah di bagian bawah gamis yang dikenakan Ileana saat ini. Noda darah itu begitu banyak dan kental."Sayang, kok baju kamu banyak darah gini?" tanya Davie.Ileana tidak merespon. Davie pun menatap wajah sang istri yang sudah pucat dan tak sadarkan diri. Hal itu tentunya menimbulkan kepanikan tersendiri bagi Davie. Ada apa ini?"Bi! Bi Tuti!" teriak Davie memanggil Bi Tuti.Bi Tuti yang mendengar teriakan Davie pun bergegas masuk ke dalam kamar. "Ada apa, Mas Davie?""Bi, ini Ileana pingsan. Terus ada darah di gamisnya," jawab Davie panik."Ya Allah! Cepat diba
Malam hari, pukul 20.00 malam, Ileana masih termenung sambil duduk di kursi taman. Pemakaman Ikhwan sudah ia laksanakan sebelum hari gelap. Bahkan ia tak sempat menghubungi keluarga Ikhwan yang lainnya, kecuali Aldi dan Diana. Itupun karena Davie yang berinisiatif menghubungi mereka.Ileana seperti tidak memiliki semangat hidup saat ini. Kepergian Ikhwan masih menjadi mimpi baginya. Tidak menyangka akan secepat ini terjadi. Impian hidup bahagia bersama Ikhwan, Davie dan Nisaka lenyap sudah. Padahal Ileana sudah berhasil mengambil surat-surat penting itu dari Braga. Sampai harus mengorbankan Davie untuk sesaat demi Ikhwan."Ayah…." lirihnya.Sedangkan dari arah pintu masuk, Davie berdiri menatap sang istri yang duduk membelakanginya. Davie bisa merasakan kesedihan istrinya saat ini."Om."Davie menoleh ke samping kanan. Ternyata Nisaka juga ikut memandangi Ileana. "Kamu kok belum tidur, Nisa?""Nisa nggak bisa tidur, Om. Kepikiran sama Tante Ilea. Tante kelihatan sedih banget, Om," uja
Seharian ini, Nisaka tampak bahagia karena bisa bermain bersama Braga di taman hingga menjelang sore. Braga pun pamit sambil menitipkan Nisaka pada Davie dan Ileana. Braga juga meminta maaf untuk kesekian kalinya pada pasangan suami istri itu."Titip dia ya, Ilea, Davie. Gue cuma percaya sama kalian," ucap Braga."Iya, Ga. Dia aman sama kita," kata Davie."Makasih banyak ya. Gue pamit sekarang."Davie hanya mengangguk dan membiarkan Braga pergi. Sedangkan Ileana tidak berkata apapun. Ia hanya diam sambil menatap kepergian Braga. Setelah itu, dipeluknya Nisaka yang menangis karena Braga pergi."Nisa, kamu yang sabar ya. Nanti kalau urusan Papa kamu selesai, dia pasti bakal balik lagi," ujar Ileana menguatkan."Iya, Tante. Nisa bakal nunggu Papa.""Ya udah, sekarang kita jemput Kakek yuk!" ajak Davie penuh semangat.Ileana melepas pelukannya pada Nisaka dan bergegas menuju ke mobil untuk menjemput Ikhwan. Perjalanan kali ini akan sedikit jauh. Itu sebabnya Davie sudah membeli beberapa m
"Nisa, Om mau bicara sebentar."Nisaka menatap Davie dengan senyum terkembang. Saat ini, hatinya sedang bahagia karena bisa melihat wajah sumringah Davie setelah bertemu kembali dengan Ileana."Om mau ngomong apa?"Davie mengelus kepala Nisaka, lalu menjawab, "Kita bicara di taman aja ya. Soalnya ini pembicaraan serius.""Oh, oke."Nisaka berdiri dan melangkah, mengikuti Davie menuju taman di halaman depan rumah. Mereka duduk bersebelahan di kursi taman bercat putih."Nisa, sebelumnya, Om minta maaf karena baru ngasih tahu kamu hari ini. Om harap, kamu bisa nerima dan nggak marah ya," ucap Davie sebelum memulai percakapan seriusnya."Iya, Om."Davie menghembuskan napas panjang dan memulai ceritanya. "Siang ini, kamu ikut Om sama Tante ke taman kota ya. Ada yang mau ketemu sama kamu.""Siapa, Om?""Hhh!" Davie diam sejenak. Sedikit takut untuk mengatakan semuanya pada Nisaka. "Kamu ingat cowok yang narik kamu waktu itu?" tanyanya kemudian."Ingat. Memangnya kenapa, Om?""Ehm, dia itu …
Keesokan harinya, pukul 07.00 pagi, Ileana memasukkan barang-barang Davie ke dalam tas berukuran sedang. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah karena kondisi Davie sudah mulai stabil.Davie memperhatikan sang istri yang sibuk mengurus perlengkapannya. Ia sama sekali tidak diberi izin untuk membantu. Padahal Davie sudah merasa sehat."Udah semua ini kan, Mas?" tanya Ileana sambil memperhatikan setiap sudut ruangan."Udah semua, Sayang. Nggak banyak kok barang yang dibawa. Cuma itu aja," jawab Davie."Ya udah, kita pulang sekarang ya. Kebetulan taksi online-nya udah nunggu di parkiran.""Iya, Sayang."Davie membawa tas itu di tangan kanannya, sementara tangan kiri menggenggam tangan kanan Ileana. Mereka berjalan beriringan. Seluruh biaya rumah sakit sudah diselesaikan.Tapi suara panggilan dari arah belakang membuat mereka terpaksa menghentikan langkah. Keduanya menoleh bersamaan dan mendapati Braga sedang berjalan ke arah mereka sambil mendorong tiang infus dengan tangan kanannya. Sedan