"Kamu ngapain sih cium dia segala?"
Davie menoleh ke belakang. Naura sudah berdiri sambil memasang raut wajah masam. Pria itu justru sedikit menyeringai diiringi senyuman. Davie pun membalikkan tubuhnya untuk berhadapan dengan wanita itu. "Kenapa? Dia pacar aku. Jadi wajar kalau aku cium dia."Naura mengernyit. "Pacar?""Iya. Apa perlu aku ulangi supaya kamu dengar omongan aku tadi?"Naura menggeleng. "Itu nggak perlu. Aku dengar kok. Cuma heran aja sama selera kamu sekarang.""Emangnya kenapa sama selera aku?" tanya Davie seraya mengernyit."Selera kamu itu rendahan."Davie tertawa mendengar ucapan Naura. Ia sudah menduga wanita itu akan menilai Ileana dari penampilannya saja. Inilah yang membuat Davie tidak terlalu peduli dengan masalah Naura tadi. Bisa saja Naura mengarang cerita mengenai suaminya."Naura Adisty, mungkin penampilannya kelihatan sederhana. Tapi aku suka," ucap Davie dengan santai.Naura mengubah raut wajahnya menjadi semakin kesal. Seakan dirinya tidak suka Davie memuji wanita lain. "Tapi, dia nggak lebih baik dari aku, Vie. Kamu buka dong mata kamu. Lihat penampilannya. Stylenya kayak cowok. Bandingkan sama penampilan aku yang lebih elegan. Kalau kamu sama dia, keluarga kamu pasti malu karena punya menantu kayak gitu.""Apa urusannya sama kamu? Ini urusan aku. Mending kamu urus aja suami sama anak-anak kamu yang ada di rumah. Nggak perlu urusin urusanku. Mau aku sama cewek tomboy atau feminim, itu hak aku. Itu pilihanku. Ngerti?""Davie, kamu bakal nyesel loh," ucap Naura. Masih saja berusaha untuk menghasut Davie agar menjauh dari Ileana. "Dia beneran nggak cocok sama kamu. Kamu itu anak orang kaya. Masa nikah sama cewek kayak gitu sih? Nggak seimbang."Davie mengepalkan kedua tangannya. Rasa sabar itu mendadak hilang. Apalagi ucapan Naura seakan merendahkan status sosial Ileana, wanita yang sangat dicintainya itu.Tanpa banyak bicara, Davie menarik Naura dan memaksanya untuk keluar dari ruangan. Ia benar-benar tidak bisa memaafkan wanita itu. Padahal awalnya Davie sangat senang bisa bertemu dan mengobrol kembali dengan Naura. Tapi itu tidak lagi berlaku setelah Naura berkata tidak sopan seperti itu."Pergi kamu dari sini. Aku udah nggak mau lihat muka kamu lagi," usir Davie. "Dan satu lagi yang harus kamu ingat, Ra. Memang Ilea hanya dari kalangan orang biasa, tapi setidaknya dia nggak murahan yang mau sana-sini."Davie menutup pintu dengan keras hingga membuat Naura sedikit terkejut. Wanita itu mencoba mengetuk pintu ruangan Davie lagi dan memohon untuk kembali masuk ke dalam. Tapi permintaannya tidak digubris oleh Davie sama sekali."Davie, buka dulu pintunya!"Saat Naura memohon seperti itu, beberapa karyawan yang lewat pun tampak menatapnya dan terdengar bisikan kecil yang terdengar menyudutkan wanita itu. Karena merasa malu, Naura segera berlalu dari tempat itu sambil menghapus airmatanya.Naura berjalan dengan cepat menuju parkiran mobil. Dan saat menuruni tangga keluar, secara tak sengaja ia menabrak bahu seseorang. Terdengar suara pekikan dari orang yang ditabrak."Awh!"Naura menoleh ke arah orang tersebut. Ternyata orang yang ia tabrak adalah Ileana. Bibirnya menyeringai. "Oh, ternyata kamu toh."Ileana berdiri sambil memegangi bahunya yang sedikit sakit. Ia menatap Naura. "Kamu cewek yang ada di ruangan Davie kan?""Iya, Pelakor."Ileana melotot. Apa yang baru saja ia dengar? Pelakor? Ileana langsung bertanya, "Maksud kamu apa? Kenapa bilang pelakor? Emang siapa yang aku rebut, hah?""Siapa lagi kalau bukan Davie? Kamu pasti pakai pelet kan biar Davie kepincut sama cewek kayak kamu? Lihat aja tampilan kamu. Nggak menarik sama sekali. Kalau aku tawari temen cowokku yang lain, mungkin mereka bakal ketawa dan tinggalin kamu."Ileana semakin bingung dengan ucapan wanita yang baru dikenalnya itu. "Sumpah ya, aku nggak ngerti kamu lagi ngoceh apa. Maksud dari omongan kamu aja aku nggak ngerti loh. Kamu pernah sekolah kan? Harusnya kamu tahu gimana cara ngomong sama orang yang baru dikenal.""Menuduh seseorang sebagai pelakor tanpa bukti, bisa dipidanakan loh. Kamu mau aku pidanakan? Di sini ada saksi loh," lanjut Ileana.Naura langsung melirik ke arah sekitar. Ada banyak mata yang sedang memperhatikan mereka, terutama dirinya. Ileana benar. Di sini ada banyak saksi dan dia menuduh Ileana sebagai pelakor karena dirinya tidak suka wanita itu berdekatan dengan Davie.Naura melengos dan bergegas pergi dari hadapan Ileana tanpa mengucapkan kata maaf sedikitpun. Seketika ia mendapat sorakan dari karyawan lain yang berujung pada rasa malu dalam diri Naura."Sialan! Cewek itu bener-bener ganggu rencana aku. Padahal aku udah buang airmata supaya dapat simpati dari Davie," Naura mengumpat sambil menjalankan mobilnya meninggalkan tempat itu.Ileana berjalan masuk ke dalam lobi dan tak sengaja ia berpapasan dengan Davie. Ini saat yang tepat baginya untuk meminta penjelasan pada pria itu mengenai ucapan Naura. Dihadangnya langkah Davie sambil merentangkan kedua tangannya. Tatapannya sudah sangat tajam."Ada apa? Kamu kangen ya sama aku?"Ileana mendecih. Kedua tangannya sudah terlipat di atas perut. "Nggak usah kepedean. Aku mau minta penjelasan sama kamu tentang cewek tadi.""Naura?""Siapapun namanya, aku nggak peduli," ucap Ileana dengan lantang. "Yang jelas dia udah tuduh aku sebagai pelakor. Kamu bilang apa ke dia tentang aku? Pasti kamu kan yang udah bikin jelek nama baik aku?"Davie menaikkan salah satu alisnya. Merasa heran dengan yang diceritakan oleh Ileana. "Pelakor?""Iya. Pe-la-kor." Ileana mengeja kata tersebut agar Davie memahaminya."Tapi aku nggak ada bahas apapun sama Naura tentang kamu. Kenapa dia sebut kamu pelakor ya? Aku beneran nggak ada ngomong gitu ke dia."Ileana memutar bola matanya. Merasa lelah menghadapi pria itu. Tanggapan Davie benar-benar membuatnya kesal. "Kalau kamu nggak ada bilang apa-apa, kenapa dia sampai katain aku pelakor? Udah deh nggak usah banyak alasan. Akui aja kalau emang kamu yang fitnah aku.""Ilea, aku beneran nggak ada fitnah kamu. Ini cuma salah paham," ucap Davie sambil memegang kedua pundah Ileana.Wanita itu menepis tangan Davie, kemudian berlalu begitu saja dengan perasaan kesal. Davie berusaha mengejar, namun panggilan dari seseorang yang sejak tadi menunggunya di lobi pun membuat langkahnya terhenti. Dengan sangat terpaksa, Davie harus menemui orang tersebut. Dan mungkin setelah ini, Davie akan menemui Ileana untuk menjelaskan semuanya.***Setelah selesai berbincang dengan tamunya, Davie bergegas menemui Ileana di ruang engineering Sekilas ia melirik jam tangannya, sudah menunjukkan pukul 12.00 siang. Sudah waktunya untuk makan siang. Ini kesempatan bagus bagi Davie untuk mengajak Ileana mengobrol lebih banyak.Davie membuka salah satu pintu untuk mencari keberadaan Ileana. Tapi ia tidak menemukan wanita itu. Hanya ada Jian beserta rekan yang lainnya."Loh? Pak Davie? Ada apa, Pak?" tanya Jian saat menghampiri Davie."Jian, kamu lihat Ilea?"Jian mengernyit. "Enggak, Pak. Dari tadi nggak ada masuk ke sini. Ini lagi saya tungguin buat makan siang bareng. Ada apa ya, Pak?""Oh, nggak ada apa-apa. Cuma ada perlu aja," jawab Davie. "Makasih ya. Silakan dilanjut istirahatnya."Jian mengangguk diiringi senyuman. "Baik, Pak."Davie bergegas pergi dari tempat itu untuk mencari keberadaan Ileana. Kemana perginya wanita itu? Jelas sekali Davie melihatnya pergi menuju ruangan engineering. Tapi saat dicari, ternyata tidak ada di sana."Jangan-jangan dia pulang waktu aku lagi sibuk ngobrol sama Pak Tara tadi," gumam Davie.Pria itu mengambil ponsel yang ada di saku celana, kemudian memanggil nomor Ileana. Tapi sayang, nomor Ileana justru tidak aktif. Davie merasa putus asa. Apa yang sudah dilakukan oleh Naura? Mengapa wanita itu mengatai Ileana sebagai pelakor?"Pak Davie."Davie sedikit terkejut lalu menoleh ke belakang. Ternyata salah satu pihak keamanan yang memanggilnya. "Ada apa, Pak Jono?""Bapak lagi cari Mbak Ilea?"Davie mengangguk antusias. "Iya, Pak. Bapak tahu dia dimana?""Tadi saya lihat Mbak Ilea naik lift ke lantai paling atas, Pak. Dia duduk di balkon. Kayaknya lagi murung, Pak. Mau saya samperin, takutnya Mbak Ilea marah," ucap Jono."Oh, ya udah, biar saya aja yang samperin. Makasih ya infonya, Pak."Jono mengangguk. "Iya, sama-sama, Pak."Davie bergegas masuk ke dalam lift menuju lantai paling atas kantor tersebut. Ia takut Ileana melakukan hal yang mengerikan karena masalah ini. Ia harus bisa menenangkan wanita itu.Davie tiba di lantai paling atas, membuka pintu menuju balkon kantor. Tampak Ileana sedang melamun di sana. Perlahan, Davie mendekati wanita yang saat ini berusia 27 tahun itu dengan perasaan yang campur-aduk. Baru kali ini, ia melihat Ileana sesedih itu sampai harus menyendiri di balkon kantor.Davie berdiri tepat di belakang Ileana. Sedikit dehaman mampu menarik perhatian Ileana. Wanita itu menoleh ke belakang. Kedua matanya melotot karena terkejut dengan kehadiran Davie."Kamu ngapain ke sini?" tanya Ileana ketus."Aku cuma mau ngajak makan siang sambil ngobrol soal tadi. Aku bisa jelasin semuanya. Ini cuma salah paham."Ileana mendecih diiringi senyuman tipis. "Nggak perlu dijelasin. Semuanya udah jelas. Cewek itu nggak mungkin katain aku pelakor kalau nggak ada sebabnya. Kalau salah, ngaku aja salah. Nggak perlu ngeles.""Ilea, aku serius. Aku nggak ada bilang apa-apa ke dia, kecuali...."Ileana mengernyit saat Davie menghentikan kalimatnya. "Kecuali apa, hah?""Kecuali... aku bi
Ileana berjalan menuju ruang engineering. Wanita itu baru saja selesai makan siang bersama Davie. Davie berniat mengantarnya sampai ke ruang engineering, namun Ileana menolak dengan tegas agar pria itu tidak memaksa. Di sepanjang lorong menuju ruang engineering, terlihat beberapa karyawan saling memberi tatapan aneh pada Ileana. Awalnya, Ileana hanya diam dan mengabaikan mereka. Tapi lama kelamaan, tatapan itu berubah menjadi sebuah sindiran pedas untuknya, terutama di kalangan karyawan wanita.Tatapan menelisik serta sindiran yang diberikan membuat telinga Ileana semakin panas. Kedua tangannya sudah mengepal karena kesal. Tapi masih berusaha untuk mengabaikan mereka. Hingga tiba saatnya ia dihalangi oleh dua orang wanita. Padahal Ileana hampir tiba di depan ruang engineering.Dengan sangat terpaksa, Ileana berhenti dan menatap dua wanita berjas hitam itu. Ditatapnya mereka dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ileana dengan gaya tomboynya itu terlihat memberi tatapan menantang sambil m
Ileana izin pulang lebih cepat dari biasanya karena kepalanya terasa pusing. Cukup lama ia menangis di ruang engineering setelah rumor itu beredar. Bahkan Ileana tidak fokus pada pekerjaannya untuk kali ini. Untung saja, kepala ruang engineering memberinya izin untuk pulang lebih awal dan mengerti kondisi Ileana saat ini. Jian ditugaskan untuk mengantar Ileana pulang, namun wanita itu menolak dan tidak ingin merepotkan Jian. Jian pun tidak bisa memaksa. Hanya saja, Jian tetap mengantarkan Ileana sampai ke lobi kantor untuk menjaga Ileana dari cemoohan para karyawan di sana.Saat melewati ruangan Davie, Ileana hanya melirik sekilas ketika pintu ruangan itu dibuka oleh seseorang dari dalam. Ileana mempercepat langkahnya dan Jian pun mengikuti langkah cepat wanita itu. Belum jauh Ileana melangkah, namanya sudah disebut dari arah belakang."Ilea, tunggu!"Ileana masih tetap melangkah, namun Jian menahan lengannya. "Ilea, nggak boleh gitu. Lo dipanggil sama Pak Davie," bisik Jian."Ileana.
Pagi ini, Ileana terlihat menata beberapa makanan yang baru selesai ia masak. Nisaka sudah duduk tenang di meja makan, menunggu Kakeknya yang masih bersiap di kamar. Ileana memberikan segelas susu pada Nisaka lalu menaruh nasi serta ayam goreng dan sayur di atas piring keponakannya itu. Bekal makan siang juga disiapkan untuk Nisaka. Ileana tidak ingin Nisaka jajan sembarangan di sekolah. Ia hanya ingin menjaga amanah dari mendiang Yoanna."Kamu mau Tante anterin ke sekolah?" tanya Ileana pada Nisaka.Sambil mengunyah ayam goreng, Nisaka menjawab, "Mau, Tante. Tapi nanti Tante telat kerjanya. Nisa nggak mau Tante dimarahi sama atasan Tante."Ileana tersenyum. Diusapnya rambut Nisaka yang sudah diikat rapi. Tidak terasa, keponakannya itu sudah beranjak remaja dan sudah mengerti bagaimana repotnya Ileana mengurus Nisaka serta pekerjaannya di perusahaan besar itu."Nggak masalah, Nisa. Tante juga khawatir kalau kamu pergi sendirian. Sekarang kan jaman penculikan," ujar Ileana tetap diirin
Davie terlihat begitu lesu pagi ini. Wajah cerianya tidak terlihat sama sekali. Yang ada hanya wajah pucat saja. Dan semua perubahan itu dilihat jelas oleh Ileana yang kebetulan berpapasan dengan Davie. Ileana yang terbiasa melihat keceriaan Davie pun merasa aneh dengan perubahan itu. Ingin menyapa, namun Ileana terlalu gengsi.Ileana memutuskan untuk melewati pria itu. Tidak ingin bertanya apapun. Tapi tangannya ditahan dengan cepat oleh Davie. Ternyata Davie sudah menyadari kehadiran Ileana. Pria itu sangat menandai wangi parfum yang digunakan Ileana."Jangan pergi."Ileana menoleh dan menatap mata Davie yang terlihat sembab. Sejak tadi, ia tidak menyadari mata sembab itu. Ileana mulai menerka apa yang sedang terjadi pada Davie. Ia teringat akan ucapan kasarnya berapa hari yang lalu. Mungkinkah itu penyebabnya? Ileana juga belum yakin dengan dugaannya."Aku mohon, jangan pergi."Kini, Davie memeluk Ileana sambil menangis terisak. Ileana menjadi tidak tega pada Davie. "Aku antar ke r
Saat memasuki jam makan siang, Davie berencana akan makan di kantin. Pria itu berjalan dengan santai menuju kantin perusahaan. Davie menghampiri salah satu etalase penjual soto ayam. Ia memesan untuk satu porsi beserta minuman untuk dirinya sendiri. Sebelum ke kantin, Davie sempat mengirim pesan singkat pada Ileana dan mengajaknya makan siang bersama. Tapi sayang, wanita itu menolaknya. Davie mengerti maksud dari penolakan Ileana tadi. Ia juga tidak bisa memaksakan keinginannya.Sembari menunggu hidangan datang, Davie melihat ponselnya dan duduk di sudut kantin yang dekat dengan jendela. Ada beberapa pesan singkat dari teman-teman lamanya yang mengajaknya untuk ikut dalam acara reuni SMA. Selain melalui pesan singkat, pengumuman acara reuni itu juga ada di grup alumni SMAnya. Davie membaca satu per satu isi pesan yang ada dalam grup tersebut. Banyak yang menyetujui dan ikut berpartisipasi dalam acara reuni yang akan berlangsung minggu depan."Hhh!" Davie menghela napas berat. Hatinya
Pukul 20.00 malam, Davie tiba di halaman rumah Ileana sambil membawa martabak untuk calon mertuanya. Sebelum turun dari mobil, Davie memperbaiki bentuk rambut dan merapikan jaket hitam garis putih yang ada di tubuhnya. Setelah semuanya dipastikan rapi, barulah Davie turun dari mobil. Ia melangkah menuju teras rumah tersebut dengan penuh keyakinan. Berharap, Ileana akan terkejut dengan kehadirannya. Tapi sayangnya, yang terkejut bukanlah Ileana, melainkan Davie sendiri.Davie mendengar percakapan dua orang pria yang tengah membicarakan soal perjodohan Ileana dengan pria lain. Tentu hal itu membuat Davie syok. Merasa tidak terima jika wanita yang dicintainya menikah dengan pria lain. Davie tidak siap menerima itu semua.Davie terus mendengarkan percakapan itu, sampai tidak sadar ada Nisaka di dekatnya. Nisaka menepuk tangan Davie sebanyak dua kali. Seketika Davie terkejut dan hampir berteriak. Untungnya Nisaka langsung memberi isyarat pada Davie untuk tidak berisik. Nisaka menarik paksa
Setelah berbincang cukup lama dengan Ikhwan, Davie pun mohon izin untuk pulang karena hari sudah malam. Davie menyalami Ikhwan dengan sopan dan pamit. Ikhwan pun meminta Ileana untuk mengantarkan Davie sampai ke halaman rumah. Sementara Nisaka sudah terlelap di kamar sejak tadi. Davie melarang Ikhwan untuk membangunkan Nisaka karena kasihan jika harus mengganggu tidur gadis itu.Davie berjalan mendekati mobil, diikuti Ileana dari belakang. Ileana masih bersidekap sambil memasang wajah kesal. Apalagi setelah mendengar pembicaraan Davie dengan Ikhwan yang terbilang serius tentang hubungan pura-pura yang dikarang oleh Davie."Kamu tuh ngapain sih pakai ngaku jadi pacar aku?" tanya Ileana dengan nada kesal.Davie menatap Ileana dengan satu alis yang naik ke atas. Setelah itu, ia tersenyum. "Aku ngelakuin ini demi kamu.""Apa maksud kamu?Davie mengajak Ileana untuk duduk di kursi yang sempat ia duduki bersama Nisaka. Ileana hanya menurut dan tetap memasang wajah kesal. "Tadi waktu aku dat
20 tahun kemudian….Braga keluar dari rutan sambil membawa tas berisi pakaian dan peralatan mandinya. Setelah 20 tahun lamanya berada di penjara, akhirnya hari ini, Braga bisa menghirup udara bebas.Tampak dari sisi gerbang rutan, seorang wanita, berusia kurang lebih 25 tahun, melambaikan tangan ke arah Braga. Wanita itu sudah terlihat sukses saat ini.Braga tersenyum manis sambil menghampiri wanita itu. Dipeluknya wanita itu dengan penuh cinta dan kasih sayang."Akhirnya Papa bebas juga."Wanita itu adalah Nisaka. Ia sudah tumbuh menjadi anak yang dewasa dan mandiri. Di usianya yang ke 25 tahun, Nisaka sudah memiliki rumah dan mobil berkat kerja kerasnya selama ini. Dukungan Davie dan Ileana juga sangat berpengaruh pada karirnya."Iya, Nak. Alhamdulillah, Papa bisa bebas sekarang. Papa nggak nyangka, kamu udah sebesar ini, Nak. Kamu juga udah sukses sekarang," ucap Braga sambil melepas pelukannya dan menatap wajah Nisaka.Nisaka tersenyum. "Alhamdulillah, Pa. Nisa bisa sampai di titi
6 tahun kemudian….Davie bersama Adinda yang sudah berusia 6 tahun bermain di taman kota, ditemani oleh Ileana dan Nisaka. Sedangkan Bi Tuti sudah meninggal setahun yang lalu, bersamaan dengan meninggalnya Khairil di dalam tahanan karena bunuh diri.Saat itu, Khairil mengalami depresi karena tidak tahan menjalani hukuman di dalam penjara. Ia memutuskan untuk gantung diri di dalam tahanan. Tahun lalu merupakan tahun terburuk bagi Davie dan Ileana. Mereka harus kehilangan dua orang yang disayang sekaligus. Bi Tuti sudah seperti orang tua sendiri bagi Davie dan Ileana. Setelah kehilangan Bi Tuti, Davie dan Ileana sempat terpuruk. Ditambah lagi ada berita tentang Khairil yang juga tewas gantung diri.Tapi semua itu bisa mereka lewati seiring berjalannya waktu. Mereka baru saja mengunjungi Braga dan Nisaka yang sudah beranjak remaja itu pun semakin memahami kondisi Braga saat ini."Tante," panggil Nisaka setelah selesai berlarian dengan Adinda."Iya, Nisa. Ada apa?" tanya Ileana."Nisa mau
Tiga minggu setelah selesai dengan urusan pernikahan Karina dan Jian, Davie mengajak Ileana untuk kembali ke Jakarta. Sedangkan Karina dan Jian masih akan menetap di Bandung untuk beberapa bulan.Davie dan Ileana sudah berpamitan dengan keluarga besar Karina dan Jian. Mereka pulang ke Jakarta menggunakan pesawat.Dan sekitar beberapa jam, mereka tiba di Jakarta. Davie dan Ileana masuk ke dalam taksi yang akan membawa mereka pulang ke rumah.Sesampainya di depan rumah, Nisaka langsung menghampiri mereka. Nisaka sangat merindukan Om dan Tantenya itu. Bi Tuti juga memasakkan makanan spesial untuk menyambut Davie dan Ileana. Mereka makan bersama setelah Davie dan Ileana selesai membersihkan diri."Nisa, kamu mau ikut Om jalan-jalan nggak?" tanya Davie setelah selesai makan."Mau sih, Om. Tapi Om kan baru pulang. Nanti capek loh.""Nggak masalah. Om mau ngajak kamu ke suatu tempat. Kamu pasti seneng.""Boleh deh kalau gitu. Tante juga ikut, kan?" tanya Nisaka pada Ileana.Ileana langsung m
"Oh iya, gimana sama Braga?" tanya Karina setelah melepas pelukannya pada Ileana.Ileana menghela napas panjang. Haruskah ia mengingat kembali nama itu? Ia masih belum sepenuhnya memaafkan kesalahan Braga, meskipun Braga sudah berusaha untuk menebus semuanya. Tapi tetap saja, luka itu masih terasa sampai sekarang."Dia bilang mau nyerahin diri ke polisi. Surat tanah dan rumah punya mendiang Ayah juga udah dibalikin ke aku. Sebelum Ayah meninggal, Braga sempat ketemu sama Nisaka di taman. Mereka main bareng, terus berpisah lagi. Dan di hari yang sama, aku kehilangan Ayah," ucap Ileana lirih.Karina mengusap punggung tangan Ileana. Berniat menenangkannya. "Aku bisa ngerti perasaan kamu. Aku juga mau minta maaf karena sempat dengar obrolan kamu sama Davie. Dari situ, aku sengaja cari tahu soal Braga, siapa dia sebenarnya, dan apa pekerjaannya. Aku sempat kaget waktu baca kasus pembunuhan yang dia lakuin sama Kakak kamu.""Terus, dia juga udah banyak nipu orang. Uang yang dia dapat itu da
Sepulang dari Bogor, Ileana merasakan nyeri yang teramat dahsyat di area perutnya. Ileana sampai membungkuk untuk berjalan masuk ke rumah."Sayang, kamu kenapa?" tanya Davie cemas."Nggak tahu, Mas. Perut aku sakit banget."Davie bisa melihat bulir-bulir keringat sudah bermunculan di kening Ileana. Segera ia menggendong Ileana masuk ke dalam rumah. Merebahkan tubuhnya di atas kasur.Tapi hal yang paling mengejutkan adalah, noda darah di bagian bawah gamis yang dikenakan Ileana saat ini. Noda darah itu begitu banyak dan kental."Sayang, kok baju kamu banyak darah gini?" tanya Davie.Ileana tidak merespon. Davie pun menatap wajah sang istri yang sudah pucat dan tak sadarkan diri. Hal itu tentunya menimbulkan kepanikan tersendiri bagi Davie. Ada apa ini?"Bi! Bi Tuti!" teriak Davie memanggil Bi Tuti.Bi Tuti yang mendengar teriakan Davie pun bergegas masuk ke dalam kamar. "Ada apa, Mas Davie?""Bi, ini Ileana pingsan. Terus ada darah di gamisnya," jawab Davie panik."Ya Allah! Cepat diba
Malam hari, pukul 20.00 malam, Ileana masih termenung sambil duduk di kursi taman. Pemakaman Ikhwan sudah ia laksanakan sebelum hari gelap. Bahkan ia tak sempat menghubungi keluarga Ikhwan yang lainnya, kecuali Aldi dan Diana. Itupun karena Davie yang berinisiatif menghubungi mereka.Ileana seperti tidak memiliki semangat hidup saat ini. Kepergian Ikhwan masih menjadi mimpi baginya. Tidak menyangka akan secepat ini terjadi. Impian hidup bahagia bersama Ikhwan, Davie dan Nisaka lenyap sudah. Padahal Ileana sudah berhasil mengambil surat-surat penting itu dari Braga. Sampai harus mengorbankan Davie untuk sesaat demi Ikhwan."Ayah…." lirihnya.Sedangkan dari arah pintu masuk, Davie berdiri menatap sang istri yang duduk membelakanginya. Davie bisa merasakan kesedihan istrinya saat ini."Om."Davie menoleh ke samping kanan. Ternyata Nisaka juga ikut memandangi Ileana. "Kamu kok belum tidur, Nisa?""Nisa nggak bisa tidur, Om. Kepikiran sama Tante Ilea. Tante kelihatan sedih banget, Om," uja
Seharian ini, Nisaka tampak bahagia karena bisa bermain bersama Braga di taman hingga menjelang sore. Braga pun pamit sambil menitipkan Nisaka pada Davie dan Ileana. Braga juga meminta maaf untuk kesekian kalinya pada pasangan suami istri itu."Titip dia ya, Ilea, Davie. Gue cuma percaya sama kalian," ucap Braga."Iya, Ga. Dia aman sama kita," kata Davie."Makasih banyak ya. Gue pamit sekarang."Davie hanya mengangguk dan membiarkan Braga pergi. Sedangkan Ileana tidak berkata apapun. Ia hanya diam sambil menatap kepergian Braga. Setelah itu, dipeluknya Nisaka yang menangis karena Braga pergi."Nisa, kamu yang sabar ya. Nanti kalau urusan Papa kamu selesai, dia pasti bakal balik lagi," ujar Ileana menguatkan."Iya, Tante. Nisa bakal nunggu Papa.""Ya udah, sekarang kita jemput Kakek yuk!" ajak Davie penuh semangat.Ileana melepas pelukannya pada Nisaka dan bergegas menuju ke mobil untuk menjemput Ikhwan. Perjalanan kali ini akan sedikit jauh. Itu sebabnya Davie sudah membeli beberapa m
"Nisa, Om mau bicara sebentar."Nisaka menatap Davie dengan senyum terkembang. Saat ini, hatinya sedang bahagia karena bisa melihat wajah sumringah Davie setelah bertemu kembali dengan Ileana."Om mau ngomong apa?"Davie mengelus kepala Nisaka, lalu menjawab, "Kita bicara di taman aja ya. Soalnya ini pembicaraan serius.""Oh, oke."Nisaka berdiri dan melangkah, mengikuti Davie menuju taman di halaman depan rumah. Mereka duduk bersebelahan di kursi taman bercat putih."Nisa, sebelumnya, Om minta maaf karena baru ngasih tahu kamu hari ini. Om harap, kamu bisa nerima dan nggak marah ya," ucap Davie sebelum memulai percakapan seriusnya."Iya, Om."Davie menghembuskan napas panjang dan memulai ceritanya. "Siang ini, kamu ikut Om sama Tante ke taman kota ya. Ada yang mau ketemu sama kamu.""Siapa, Om?""Hhh!" Davie diam sejenak. Sedikit takut untuk mengatakan semuanya pada Nisaka. "Kamu ingat cowok yang narik kamu waktu itu?" tanyanya kemudian."Ingat. Memangnya kenapa, Om?""Ehm, dia itu …
Keesokan harinya, pukul 07.00 pagi, Ileana memasukkan barang-barang Davie ke dalam tas berukuran sedang. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah karena kondisi Davie sudah mulai stabil.Davie memperhatikan sang istri yang sibuk mengurus perlengkapannya. Ia sama sekali tidak diberi izin untuk membantu. Padahal Davie sudah merasa sehat."Udah semua ini kan, Mas?" tanya Ileana sambil memperhatikan setiap sudut ruangan."Udah semua, Sayang. Nggak banyak kok barang yang dibawa. Cuma itu aja," jawab Davie."Ya udah, kita pulang sekarang ya. Kebetulan taksi online-nya udah nunggu di parkiran.""Iya, Sayang."Davie membawa tas itu di tangan kanannya, sementara tangan kiri menggenggam tangan kanan Ileana. Mereka berjalan beriringan. Seluruh biaya rumah sakit sudah diselesaikan.Tapi suara panggilan dari arah belakang membuat mereka terpaksa menghentikan langkah. Keduanya menoleh bersamaan dan mendapati Braga sedang berjalan ke arah mereka sambil mendorong tiang infus dengan tangan kanannya. Sedan