"Apa yang harus ku lakukan sekarang? Perusahaan sudah sangat membutuhkan dana tambahan. Aku pun tidak mungkin mendapatkan pinjaman dalam waktu cepat." Andi mondar-mandir ke kanan dan kiri memikirkan jalan keluar dari masalahnya. "Apa aku minta bantuan ayah Malik? Mungkin saja Ayah bisa membantuku, setidaknya dia punya teman yang bisa membantuku keluar dari masalah ini." Andi pun segera mengambil handphonenya untuk menghubungi Malik. ****"Dia akan pergi tour ke Bandung?" "Iya, Pak Er. Saya pikir anda bisa memanfaatkan waktu itu untuk mendekatinya kembali," ujar Jimmy. "Tanpa harus melanjutkan rencana untuk perusahaan Pak Andi." Jimmy menatap Erlangga dengan penuh harap agar Erlangga tidak melanjutkan rencananya untuk menghancurkan perusahaan Andi. Erlangga menarik nafasnya karena mengerti maksud dari Jimmy. "Saya akan pergi ke Bandung. Tapi ... rencana itu tetap berjalan," ucapnya kekeh pada pendiriannya. Jimmy lagi-lagi hanya bisa menarik nafasnya karena masih belum bisa menyada
"Apa aku pernah menceritakan Pak Erlangga pada Ayah? Tapi aku tidak ingat Ayah," lanjut Andi lagi masih bingung karena Malik seperti sudah Erlangga. 'Apa mungkin dulu mereka sudah begitu dekat? Sampai Ayah pun sudah mengenal Erlangga? Tapi kenapa mereka bisa berpisah ya?' Andi masih terus bergelut dengan pikirannya. "Mungkinkah Zahra pernah memberitahukan hal itu, Nak Andi?" Andi kembali menatap Malik. "Iya Ayah, tapi Zahra bilang mereka sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi." "Nah, itu benar dan kamu tidak perlu khawatir tentang itu bukan? Itu semuanya masa lalu dan kini kamulah calon menantu ayah," ujar Malik meyakinkan Andi untuk tidak memikirkan hubungan Zahra dengan Erlangga dulu. Walaupun baik Zahra maupun Malik sudah mengatakan jika hubungannya dengan Erlangga sudah berakhir. Akan tetapi, entah kenapa Andi merasa jika Erlangga masih menyukai atau bahkan mencintai Zahra. Karena hati tak pernah bisa berbohong akan keadaan. ******"Ra, jangan lupa nanti kabarin aku jika s
Suara kericuhan dari luar ruangan tempat Zahra menginap terdengar begitu kencang karena kabetulan di tempat itu sangat dekat dengan sirkuit yang tidak terlalu besar. Membuat para mahasiswi pun keluar dari kamarnya termasuk Zahra. Mereka pun malah semakin bersorak ramai ketika mereka melihat pertandingan balap motor antar mahasiswa. "Galang, Galang, Galang," teriak para gadis menyemangati Galang, teman campus Zahra. Zahra dan Sinta saling lirik menelisik para pembalap yang kini tengah melajukan motor mereka dengan sangat serius. Mereka tidak mengenali siapa saja para pembalap itu karena tertutup help. Yang mereka tahu hanyalah teman-teman dari campus mereka dari salah satu pembalap itu. "Siapa sih mereka, Ra? Kerren banget ya, apalagi yang pakai motor hitam itu. Wuiiih kerreen," ucap Sinta menakjubi aksi dari salah satu pembalap. Zahra tak menyahuti ucapan Sinta. Zahra terus menatap lurus dan sarius pembalap itu satu persatu dan pandangannya jatuh pada pembalap yang di maksud Sinta.
"Satu ...." "Dua ...." "Tiga ...." Galang dan pria yang menantang itu saling salib saling adu kebolehan. Berkali-kali Galang memimpin. Lalu pria itu kembali menyalib Galang dan berhasil memimpin jauh dari Galang. Sampai di tengah-tengah putaran, pria itu menghentikan aksinya dan menghadang Galang. "Hanya ini kemampuanmu?" ejek pria itu. "Aku akan kasih kamu motor ini, asal kamu bisa memberikan alasan yang tepat saat aku mengalahkan mu," ucapnya lagi. Galang lagi-lagi menatap pria itu dengan bingung. Bagaimana tidak, penawaran yang dia berikan benar-benar membingungkan. Galang pun menoleh pada arah tatapan pria itu dan baru Galang sadari jika tujuan pria itu memang Zahra. "Abang sungguh tidak akan menyakitinya, kan?" Pria itu tersenyum smirk dalam helmnya. "Aku mencintainya, mana mungkin aku menyakitinya." Galang sangat terkejut dengan penuturan pria itu. "Apa Abang sudah mengenal lama, Zahra?" Pria itu menoleh pada Galang yang kini tengah sama melaju pelan. "Dulu kita dekat,
"Ra, kita tunggu kamu di sana ya." Sinta dan Galang pun beranjak untuk memisahkan diri dari Zahra dan Erlangga karena mereka tahu jika Zahra dan Erlangga butuh waktu berdua. "Zahra masih menunduk dan tak mengatakan apapun selain terdiam tak bergeming. Setelah kepergian teman Zahra, Erlangga pun mendekatkan tangannya pada tangan Zahra sedikit meraba namun ragu. Ragu karena takut Zahra malah marah. Akan tetapi, Zahra tak menepis tangan Erlangga yang ingin sudah menggenggam tanggannya. "Ra, aku rindu kamu. Rindu sekali." Erlangga mengelus dan menggenggam tangan Zahra dengan mata memejam mencurahkan rasa rindunya yang sudah menggunung pada Zahra dengan hanya menyentuh tangannya. Zahra pun akhirnya mengangkat wajahnya dan menatap Erlangga dengan mata berembun. Kini wajah tampan yang dirindukan itu terlihat jelas. Dulu Erlangga memang tampan walau penampilan urakan. Kini, wajah tampan itu di sertai dengan keeleganan serta aura khas seorang pemimpin. Entah harus bahagia atau tidak Zahra
"Kamu lah! Kalau sampai Kak Andi tahu itu berarti kamu yang membocorkannya." "Kamu juga kan? Yeeh dasar." "Enggak mungkin lah aku membocorkan rahasia temanku sendiri apalagi ini menyangkut hidup dan mati nya Zahra." "Hey, aku pun sahabatnya Zahra ya. Lagi pula apaan antara hidup dan mati memangnya jurang? Huuuh.""Ck, dasar Lola!" omel Sinta, "gini ya, sekarang itu kan Kak Andi adalah calon suaminya Zahra? Nah kalau sampai dia tahu jika ternyata calon istrinya itu malah bertemu dengan mantan kekasihnya bahkan sampai pelukan, bagaimana perasaannya coba?" "Sakit," sahut Galang."Nah, itu. Tapi, aku kasihan sama si Abang itu. Mau nggak ya dia sama aku?" ucapnya tak serius. "Ngarep saja kamu, apa kamu tuli? Tadi si Abang itu bicara apa? Tidak mau jatuh cinta lagi sama wanita lain, bukan?" "Eh iya, juga ya. Tapi, siapa tahu kalau sama aku mau," ujar Sinta terkekeh. "Ah serah kamu sajalah! Aku mau menonton drama romance lagi," ujar Galang kembali menatap dengan tak berkedip Erlangga
Zahra minta izin pulang duluan karena Andi masuk rumah sakit. Papa mertuanya yang menghubungi Zahra itu adalah mengabarkan jika Andi masuk rumah sakit karena shok banyak demo di perusahaannya. Zahra tentu saja tak mungkin mengabaikan Andi, karena Andi sendiri begitu perhatian saat dirinya sakit. Erlangga langsung menghubungi Jimmy dan baru merasa menyesal dengan apa yang dilakukannya pada Andi setelah Andi masuk rumah sakit. Zahra pulang ke Jakarta di antar supir Erlangga. Karena Erlangga pun tidak ingin jika bertemunya dengan Zahra akan menimbulkan keributan lain. "Apa yang terjadi, Jim?" Jimmy menatap Erlangga sedikit mengejek. "Apa? Bukankah ini yang Anda mau?" "Tapi aku tidak menyuruhmu untuk membuatnya masuk rumah sakit, Jim!" sentak Erlangga dan menarik kerah kemeja Jimmy. "Ya, itu memang benar, tapi apa Anda tahu jika ternyata apa yang anda lakukan padanya membuatnya shok dan masuk rumah sakit?" Erlangga menggusar rambutnya sangat menyesal tak mendengarkan ucapan Jimmy. B
"Pulang ya! Kamu istirahat dulu!" "Apa Kakak tidak mau aku di sini?" Zahra sedikit kesal karena Andi terus saja menyuruhnya untuk pulang. "Ya, Aku tidak mau kamu di sini dalam keadaan lelah menungguku. Kamu pun butuh istirahat, Ra. Aku sudah baik-baik saja apalagi obat ku kini sudah datang," ucapnya lagi dengan sedikit menggoda Zahra. "Pulang lah dulu cintaku, nanti sore kamu bisa kesini lagi membawa obat herbal yang ampuh untukku lagi," godanya lagi membuat Zahra kini merona malu karena Andi terus saja menggodanya. "Ra, pulanglah dulu. Biar Ayah yang nunggu di sini. Nanti setelah kamu istirahat kamu bisa tertarik lagi ke sini sore. Kamu pasti capek kan?" timpal Santosa, ayah dari Andi itu. "Ayah kamu juga nanti ke sini nemenin ayah. Jadi sebaiknya kamu istirahat dulu ya!" "Baiklah Ayah, Zahra pulang dulu nanti sore ke sini lagi." Zahra menoleh pada Andi. "Cepatlah sembuh! Karena aku tidak suka melihat pria yang terbaring rumah di rumah sakit," ucapnya menyindir tak terius Andi.