“Kau pandai berdansa, ya,” puji Ailyn, mengikuti alunan musik dan langkah kaki sang suami yang tampak luwes.
“Aku sering berdansa di Amerika,” jawab Karan, memutar tubuh Ailyn. Digenggamnya tangan kanan, sementara tangan kirinya berada di pinggang sang istri.Jadilah acara ulang tahun Kiran bertukar menjadi pesta dansa. Jelas tak seperti perayaan pada umumnya yang pasti mengutamakan si empunya acara yang tak lain anak-anak.“Oh, ya? Siapa saja yang pernah berdansa denganmu? Apa wanita itu juga?” Ailyn teringat pada Bella yang sudah lama tak terdengar kabarnya.“Siapa yang kau maksud?” Karan sedikit mengintimidasi, memeluk dari belakang. Beberapa orang tampak melakukan hal yang sama.Lampu yang bersinar agak redup, membuat Alex merasa lebih leluasa mendekat. Ditambah topeng pada wajahnya, ia menyamarkan diri dengan membuka jas.“Wanita yang mengecupmu itu,” ujar Ailyn, melepaskan tangan Karan di pinggangnya.Karan merasa ada yang aneh sejak pulang dari rumah Alex. Ailyn banyak termenung dan terkesan menjauhi. “Sayang, kau baik-baik saja? Apa ada masalah? Atau kau memikirkan apa yang wanita-wanita itu katakan?” Karan menghampiri Ailyn yang berdiri di balkon, memandangi area taman dan kolam di bawahnya. Semilir angin petang menampar wajahnya pelan. Ailyn diam. Mustahil dia memberi tahu apa yang sudah Alex lakukan. Itu bukan hanya sekadar kecupan belaka. Dia yakin akan ada hal lain terjadi. “Aku hanya lelah. Aku mau pulang. Bisakah kita menemui Ayah? Sudah beberapa hari Ayah tidak bisa dihubungi. Aku khawatir,” kata Ailyn. Karan mengangguk, mengecup lengan Ailyn dengan mesra. Pria itu memeluk dari belakang. “Tidak ada masalah lain?” tanyanya. Ailyn menggeleng. Ditepuknya pelan kepala sang suami. Semua bisa dilewati dan dihadapi sendiri tanpa melibatkan Karan walaupun dia suaminya. “Ayo, kita ke sana.” Karan mengge
Ailyn merasa semakin tak nyaman saat di dekat Yunita. Wanita itu membuatnya merasa aneh dan sedikit canggung. Saat hendak duduk, sang mertua malah memberi perintah tanpa menoleh. “Ailyn, ambilkan air dingin! Aku haus.” Yunita sibuk menggulir layar ponsel dengan kaki menyilang. “Baik, Ma.” Terpaksa ia berdiri lagi dan menuju ke dapur. Dibukanya lemari pendingin, lalu menuang air ke dalam gelas. Pelayan tua yang melihatnya berada di dapur, hanya tersenyum. “Tidak syuting, Non?” tanyanya. Wanita itu meletakkan pisau di atas meja beserta buah-buahan. “Tidak, Mbok. Kemarin sudah syuting sampai malam. Lelah sekali, makanya hari ini cuti.” Ailyn tersenyum, lantas keluar untuk memberikan apa yang Yunita perintah. “Ma, airnya.” Tak ada jawaban. Yunita sedikit melirik. “Astaga! Apa kau tidak tahu definisi dari air dingin? Apa kau pikir air dingin hanya berarti air putih yang dingin?” Yunita meletakkan ponsel di
Krishna memasuki kantor Athena Corporation bersama Farel. Keduanya disambut tatapan sinis para karyawan yang memang terkenal judesnya. “Selamat siang. Kami dari PT Sanjaya dan K2 Company, ingin bertemu dengan CEO. Apa beliau ada?” Krishna berusaha tersenyum pada wanita yang kebetulan berbincang dengan beberapa orang. Namun, senyuman itu hanya dibalas tatapan. “Hari ini CEO ada rapat sampai sore, tidak bisa diganggu. Silakan kembali Minggu depan,” ujar seorang wanita, memerhatikan ponsel setelah memberi perintah pada yang lain untuk pergi. “Apa? Minggu depan? Lama sekali.” Farel mengeluh. Ia tak punya banyak waktu untuk segera mendapatkan kerja sama dengan Athena Corporation sesuai kesepakatan. “Memang kau siapa? Kau CEO di tempatmu bekerja?” Wanita itu meneliti setiap ekspresi Krishna dan Farel yang langsung gelagapan. “Ah, ti-tidak. Kami hanya Sekretaris,” jawabnya, meringis. Wanita itu langsung pergi tanpa bicara la
Ailyn melangkah bersama Hadid memasuki restoran tempat reuni diadakan. Beberapa orang sudah pun berkumpul dan menikmati hidangan yang disediakan. “Hai, Ailyn!” Seorang wanita melambaikan tangan. Ailyn pun membalasnya sembari mempercepat langkah. “Wah, kau makin cantik, ya,” puji wanita itu. “Tentu. Dia kan model.” Temannya ikut menimpali, bergantian memeluk. “Ah, kalian bisa saja.” Ailyn tersenyum lebar. Dilihatnya Hadid berbincang bersama para pria yang rata-rata sudah memiliki pasangan. “Kau sudah punya anak, Lina?” tanya Ailyn pada wanita yang tadi memujinya. “Iya. Sudah dua, malah. Mereka ikut Papanya. Aku kan ... bercerai.” Lina melekatkan jari pada bibir. Ailyn hanya mengangguk, baru tahu sebab sudah lama tak bertemu. Acara reuni ini pun diketahuinya saat membuka laman media sosial. Diadakan oleh seorang pria yang sukses memimpin perusahaan. Entah siapa, Ailyn belum tahu. “Kalau kau bagaiman
Alex memukul anak buahnya yang kedapatan melalaikan tugas sampai nyaris ditangkap polisi. “Bodoh!” Alex memelototi. Pria yang kini lebam itu meringis saat Alex menendang kakinya dengan keras. “Kau sudah membuat keberadaan kami tidak aman. Akan lebih baik kalau kau dihabisi,” katanya, meremas kerah. “Ja-jangan , Bos! Maafkan aku. A-aku akan mengatasi semua,” lirihnya, ketakutan. Alex tak peduli. Siapa pun yang sudah membahayakan pekerjaannya, maka mati adalah balasan. Tidak ada ampun bagi yang bersalah. Alex mengambil pistol dari balik punggung dan mengarahkannya pada dahi pria itu. “Bos, jangan!” Lusi mendekat. “Katakan padaku, siapa yang tahu kau mengirim narkoba? Cepat!” Alex tak mengindahkan Gandhi dan Lusi yang berusaha mencegah. “A-aku tidak tahu, Bos. Dia ... dia hanya mengintai dari jauh. Aku yakin, dia tidak tahu siapa aku,” jawabnya. “Ya, ya. Jangankan dia, seluruh dunia juga tak akan tah
Karan memasuki rumah Alex dengan tergesa-gesa. Kaki panjangnya berlari menaiki tangga menuju ke kamar, di mana pintunya terbuka. “Kiran!” Karan berhenti ketika melihat Alex mencoba membuka pintu kamar mandi. Pria itu menoleh, dengan tatapan kesal. Perlahan Karan mendekat. Diaturnya napas yang sejak tadi memburu. Panik, ditambah berlari membuatnya bernapas tersengal. “Bagaimana?” bisiknya. Alex menaikkan pundak. Bisa saja dia mendobrak pintu agar Kiran keluar. Namun, itu terlalu beresiko. Bisa jadi nanti Kiran semakin takut padanya. “Apa yang sebenarnya terjadi?” Karan ikut menguping dengan mendekatkan telinga pada pintu. “Kiran melihatku menembak seseorang.” Alex memelankan suara, setengah berbisik. “Dasar! Ceroboh sekali!” gerutu Karan, yang malah membuat Alex berdecak. “Kau ke sini untuk membantu mengeluarkan Kiran, atau memarahiku? Aku ini Ayah tirimu. Setidaknya, begitu kenyataannya.” Bahu Alex sedikit
Ailyn turun dari mobil Bima. Wanita itu merasa resah, mengingat apa yang mereka bicarakan di rumah pohon tadi. Bisa-bisanya Bima menawarkan kesepakatan tak masuk akal. Asal dia kembali pada Bima, maka kontrak kerja sama dengan Karan akan berjalan lancar. “Titip salam pada suamimu, minta dia temui aku besok di kantor,” ujar Bima, menurunkan kaca mobil. Ailyn menoleh, tak menjawab. Dilihatnya Bima mengedipkan sebelah mata padanya, terkesan sangat nakal. “Kau ... tidak akan macam-macam dengannya, kan?” Ailyn mendekat. Pria itu menaikkan pundak, meminta sopir untuk segera pergi. “Kalau kau berani macam-macam padanya, aku akan membuat perhitungan!” teriak Ailyn. Ia menghentakkan kaki, merasa sangat kesal. Sesaat dicobanya mengatur napas. Dirasa tenang, Ailyn berbalik menatap rumah mewah itu. Apa pun yang akan dikatakan nanti, dia harus berbicara sebaik mungkin agar Karan tidak marah. Kala hendak melangkah, menda
"Sayang, kau mau bilang apa? Jangan membuatku mati penasaran.” Karan sudah tak sabar menunggu penjelasan. “Begini. Sebenarnya, ada temanku yang namanya Bima. Dia ... dia ternyata CEO Athena Corporation,” ujarnya, memulai dengan memberi tahu hal yang juga baru diketahuinya. “Apa? Dia temanmu? Kenapa kau baru bilang sekarang?” Karan membetulkan posisi duduk sampai Ailyn bersandar padanya. “Aku baru tahu tadi. Kami sudah lama tak ada komunikasi,” lirihnya. Jelas mustahil memberi tahu Karan bahwa Bima yang sama juga adalah mantannya yang masih berharap. “Lalu? Apa yang kau takutkan sampai memintaku untuk tidak marah?” Karan mengecup pundak Ailyn dengan keras hingga wanita itu melonjat kaget. “Dia menawarkan kesepakatan kerja dengan syarat aku harus kembali padanya, maka kontrak kerja itu akan disetujui.” Ailyn bicara lewat mata, sedangkan bibirnya kelu. “Apa? Kenapa menatapku?" Karan menyandarkan kepala pada leher sang is