"Sayang, kau mau bilang apa? Jangan membuatku mati penasaran.” Karan sudah tak sabar menunggu penjelasan.
“Begini. Sebenarnya, ada temanku yang namanya Bima. Dia ... dia ternyata CEO Athena Corporation,” ujarnya, memulai dengan memberi tahu hal yang juga baru diketahuinya.“Apa? Dia temanmu? Kenapa kau baru bilang sekarang?” Karan membetulkan posisi duduk sampai Ailyn bersandar padanya.“Aku baru tahu tadi. Kami sudah lama tak ada komunikasi,” lirihnya. Jelas mustahil memberi tahu Karan bahwa Bima yang sama juga adalah mantannya yang masih berharap.“Lalu? Apa yang kau takutkan sampai memintaku untuk tidak marah?” Karan mengecup pundak Ailyn dengan keras hingga wanita itu melonjat kaget.“Dia menawarkan kesepakatan kerja dengan syarat aku harus kembali padanya, maka kontrak kerja itu akan disetujui.” Ailyn bicara lewat mata, sedangkan bibirnya kelu.“Apa? Kenapa menatapku?" Karan menyandarkan kepala pada leher sang isKaran menemui Farel di ruangannya. Pria itu langsung pucat saat Karan melempar surat kontrak tepat mengenai wajah sang adik tiri. Gelagapan Farel menangkap. Kepalanya tertunduk, tak bisa berkata-kata. Gagal sudah ia mendapatkan kontrak dengan Athena Corporation. “Kau ingat apa yang aku katakan waktu itu? Kalau kau tidak bisa mendapatkan kontrak, maka kau akan kupecat!” Karan berkacak pinggang memerhatikan Farel. “Ma-maaf, Tuan. Saya tidak bisa. Saya sudah berusaha untuk membujuk, tapi Tuan Bima rupanya sukar diajak kompromi,” jawab Farel, memerhatikan surat kontrak. “Alasan! Kau saja yang tidak becus! Mulai sekarang, kemasi barang-barangmu. Kau bukan lagi Sekretaris perusahaan sejak saat ini.” Karan berbalik, tapi urung untuk keluar. “Apa? Kenapa mendadak? Tidak bisa seenaknya. Aku banyak membantu perusahaan ini. Kau hanya CEO, bukan pendiri atau pemilik utama perusahaan ini.” Kalimat yang Farel lontarkan kepada Karan
Farel membawa kardus berisi barang-barang yang akan dipindahkan. Beberapa karyawan menatapnya, lalu berbisik-bisik. “Apa lihat-lihat!” Farel tampak tak suka diperhatikan. Langkahnya semakin cepat menuju ke ruangan lain. “Kenapa dengannya?” Karyawan pria memerhatikan pintu ruangan yang ditutup dengan kasar. “Aku dengar, Tuan Karan menurunkan posisi Tuan Farel dari Sekretaris menjadi karyawan biasa. Kau dengar dia korupsi, kan?” Wanita muda berkacamata bicara. “Oh, itu. Tuan Karan baik, ya. Kalau aku jadi CEO, sudah kupecat dan kupenjarakan dia,” kata pria itu. Wanita tadi membenarkan. Mereka berpikir Karan masih berbaik hati karena Farel adalah keluarganya. Meski berbuat salah, akan selalu ada kata maaf bagi keluarga. Jika tidak melihat dari sisi kekeluargaan, sudah tentu Karan tidak menyiapkan ruangan, melainkan membiarkannya bekerja bersama karyawan lain di ruangan terbuka. “Sialan!” Farel terlihat marah.
“Se-selingkuh? Tidak, Karan. Dengarkan penjelasanku dulu.” Ailyn menggelengkan kepala, masih dengan kedua tangan menggenggam tangan Karan. “Kau masih akan menyangkal saat aku melihat dengan mataku sendiri?” Karan memelototi. Memutih mata itu, menandakan ia sangat marah. “Tenang, Tuan. Kita selesaikan ini dengan baik-baik,” bujuk Jovan. Beberapa karyawan masih memerhatikan dengan tanda tanya. Baru kali ini ada keributan di Athena Corporation sampai ada yang mengamuk. “Kenapa kalian masih di sini? Kembali ke tempat kalian masing-masing. Tidak terjadi apa-apa. Ini hanya salah paham saja,” kata Bima. Sontak semua karyawan mulai meninggalkan tempat itu. Suasana masih tegang saat Bima mendekati Karan yang tak bisa menahan diri. Pria itu hendak memukul, tapi Bima hanya tenang. Senyum merekah malah ditampilkan. Bagi Karan, senyuman itu seolah-olah mengejeknya. “Beraninya kau!” Karan mulai berang. “Kau tidak us
“Telur gulung,” kata Karan, mengeluarkan dompet. Setelah hampir 10 menit menunggu, akhirnya ia berkesempatan juga untuk membeli apa yang Ailyn minta. “Berapa, Tuan?” tanya sang penjual. “200 ribu.” Karan menjawab sambil mengambil uang ratusan dari dompet. Tak disadari sang penjual yang menatap heran. “200 ribu untuk telur gulung? Apa Tuan tidak salah? Mungkin 20 ribu.” Penjual itu masih terpaku, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Ini untuk istriku. Apa ... harganya lebih mahal?” Karan memerhatikan anak-anak di sekitar yang sudah sisa sedikit. Karan berpikir, kira-kira berapa uang saku anak sekolah zaman sekarang sampai membeli telur gulung lebih dari tiga. Kesimpulan itu didapatnya setelah melihat anak laki-laki gemuk memakan telur gulung dengan rakus. “Ini harganya seribuan, Tuan.” Penjual itu memerhatikan seluruh tubuh Karan. Jelas sekali pria di depannya kini orang kaya sampai tak tahu harga telur gulung.
Jovan menyerahkan laptop pada Karan. Pria itu langsung menunjukkan rekaman video dari beberapa kecurangan dan kejahatan Farel di kantor. Semua terekam jelas, bahkan beserta foto dan detail berkas yang dijual. Tak lupa Karan juga menampilkan tabel di mana saham K2 Company menurun karena berkas pentingnya dimiliki pesaing. “Berkas itu disalahgunakan. Kini menjadi bumerang, melawan kita. K2 Company kehilangan proyek pembangunan jembatan layang gara-gara sialan itu!” Karan yang bersusah payah menciptakan inovasi yang diyakini akan disukai banyak orang. Sayang, berkas itu kini menjadi milik PT Sanjaya. “Krishna Ardinugroho, Sekretaris perusahaan PT Sanjaya berhasil membelinya dengan harga miring. Papa tahu apa yang lebih menyakitkan Karan?” Pria itu menatap Kusuma yang tampak tak percaya dengan apa yang dilihat dan didengarnya. “Pa!” Yunita menggeleng, menyentuh lengan suaminya. “Dia mengakui proyek itu hasil pemikirannya.
Alex menyeringai melihat video di mana dia berhasil mengecup Ailyn. Rasanya tak sabar untuk mengirim video itu agar Karan dan Ailyn bertengkar. “Aku tak sabar ingin tahu, apa yang akan terjadi saat anak tiriku itu melihatnya.” Tak henti-hentinya Alex tersenyum. Bahkan bisa dibilang kini seringai tipis muncul di bibir yang mulai ditutupi kumis. “Bos, Yuki-Kun bertanya tentang berliannya. Apa kita akan menyelundupkan berlian lagi?” tanya Gandhi, membuat seringai Alex langsung hilang. “Katakan saja barangnya belum ada. Aku masih tak sempat mencari siapa yang bisa kita curi,” jawab Alex dengan enteng. Diambilnya sebatang rokok, lalu menyulutnya segera. Kakinya pun terangkat, menikmati hisapan rokok yang memabukkan. Bagaimana tidak, rokok itu bukan rokok biasa, melainkan berisi tambahan ganja yang dikeringkan. “Tapi, Bos, kita punya hutang budi pada Yuki-Kun. Dia dan anggota Yakuza telah menolong kita saat di Je
Farel mencoba menghubungi Alex. Tak ada yang bisa membantunya selain pria itu. “Ayolah, Alex. Kenapa kau tak mengangkat teleponku?” Farel mondar-mandir di balkon hotel tempatnya bersembunyi. Sejauh ini tak ada yang menemukannya. Namun, bukan berarti selamanya dia akan bersembunyi seperti pengecut. “Hei,” sapa seseorang yang kini mendekat. Farel menoleh sekilas, lantas kembali menghubungi Alex. “Kenapa kau tidak memberi tahu kalau Karan dan Han Makoto menjalin kerja sama? Aku jadi dicurigai perusahaan,” ujar seseorang yang tidak lain adalah Krishna. “Diam kau, Sialan! Kau juga tak memberi tahu proyeknya sudah berjalan. Aku kan sudah bilang, tunggu aba-aba dariku.” Farel memukul pinggiran balkon. Alex benar-benar tidak bisa dihubungi. Sejak dari Jepang waktu itu, Farel jadi jarang berkomunikasi dengan Alex. Ditambah insiden Kiran dikunci di lemari, dia jadi takut. “Kau harusnya berterima kasih sebab aku masih mau memban
Karan memasuki kamar dengan membawa banyak barang. Ailyn yang baru saja keluar dari kamar mandi, mengedipkan mata berkali-kali, berharap apa yang dilihatnya salah. Bukan hanya Karan, Jovan pun masuk membawa banyak kardus kecil, dan meletakkannya di atas ranjang. “Tuan, perlu saya bantu?” tanyanya. Karan menggeleng. “Kita harus kembali ke kantor. Sayang, bisakah kau membantuku membungkus semua ini? Aku sibuk,” ujarnya. Sang suami menjelaskan bahwa ia berhasil mengambil kembali berkas yang dijual Farel dan bermaksud memberikan hadiah bagi karyawan terbaik sebagai ucapan syukur. “Baiklah. Kau kembali ke kantor saja, biar aku yang urus. Sana, semangat ya. Untung aku tidak ada syuting.” Ailyn memberinya isyarat supaya pergi. “Kau benar-benar tidak keberatan membungkus semua? Perlu bantuan Mbok?” usul Karan. Istrinya menggeleng. “Aku bisa sendiri, kok.” Ailyn tersenyum mengamati semua barang. Karan dan Jovan pun