Farel membawa kardus berisi barang-barang yang akan dipindahkan. Beberapa karyawan menatapnya, lalu berbisik-bisik.
“Apa lihat-lihat!” Farel tampak tak suka diperhatikan. Langkahnya semakin cepat menuju ke ruangan lain.“Kenapa dengannya?” Karyawan pria memerhatikan pintu ruangan yang ditutup dengan kasar.“Aku dengar, Tuan Karan menurunkan posisi Tuan Farel dari Sekretaris menjadi karyawan biasa. Kau dengar dia korupsi, kan?” Wanita muda berkacamata bicara.“Oh, itu. Tuan Karan baik, ya. Kalau aku jadi CEO, sudah kupecat dan kupenjarakan dia,” kata pria itu. Wanita tadi membenarkan.Mereka berpikir Karan masih berbaik hati karena Farel adalah keluarganya. Meski berbuat salah, akan selalu ada kata maaf bagi keluarga.Jika tidak melihat dari sisi kekeluargaan, sudah tentu Karan tidak menyiapkan ruangan, melainkan membiarkannya bekerja bersama karyawan lain di ruangan terbuka.“Sialan!” Farel terlihat marah.“Se-selingkuh? Tidak, Karan. Dengarkan penjelasanku dulu.” Ailyn menggelengkan kepala, masih dengan kedua tangan menggenggam tangan Karan. “Kau masih akan menyangkal saat aku melihat dengan mataku sendiri?” Karan memelototi. Memutih mata itu, menandakan ia sangat marah. “Tenang, Tuan. Kita selesaikan ini dengan baik-baik,” bujuk Jovan. Beberapa karyawan masih memerhatikan dengan tanda tanya. Baru kali ini ada keributan di Athena Corporation sampai ada yang mengamuk. “Kenapa kalian masih di sini? Kembali ke tempat kalian masing-masing. Tidak terjadi apa-apa. Ini hanya salah paham saja,” kata Bima. Sontak semua karyawan mulai meninggalkan tempat itu. Suasana masih tegang saat Bima mendekati Karan yang tak bisa menahan diri. Pria itu hendak memukul, tapi Bima hanya tenang. Senyum merekah malah ditampilkan. Bagi Karan, senyuman itu seolah-olah mengejeknya. “Beraninya kau!” Karan mulai berang. “Kau tidak us
“Telur gulung,” kata Karan, mengeluarkan dompet. Setelah hampir 10 menit menunggu, akhirnya ia berkesempatan juga untuk membeli apa yang Ailyn minta. “Berapa, Tuan?” tanya sang penjual. “200 ribu.” Karan menjawab sambil mengambil uang ratusan dari dompet. Tak disadari sang penjual yang menatap heran. “200 ribu untuk telur gulung? Apa Tuan tidak salah? Mungkin 20 ribu.” Penjual itu masih terpaku, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Ini untuk istriku. Apa ... harganya lebih mahal?” Karan memerhatikan anak-anak di sekitar yang sudah sisa sedikit. Karan berpikir, kira-kira berapa uang saku anak sekolah zaman sekarang sampai membeli telur gulung lebih dari tiga. Kesimpulan itu didapatnya setelah melihat anak laki-laki gemuk memakan telur gulung dengan rakus. “Ini harganya seribuan, Tuan.” Penjual itu memerhatikan seluruh tubuh Karan. Jelas sekali pria di depannya kini orang kaya sampai tak tahu harga telur gulung.
Jovan menyerahkan laptop pada Karan. Pria itu langsung menunjukkan rekaman video dari beberapa kecurangan dan kejahatan Farel di kantor. Semua terekam jelas, bahkan beserta foto dan detail berkas yang dijual. Tak lupa Karan juga menampilkan tabel di mana saham K2 Company menurun karena berkas pentingnya dimiliki pesaing. “Berkas itu disalahgunakan. Kini menjadi bumerang, melawan kita. K2 Company kehilangan proyek pembangunan jembatan layang gara-gara sialan itu!” Karan yang bersusah payah menciptakan inovasi yang diyakini akan disukai banyak orang. Sayang, berkas itu kini menjadi milik PT Sanjaya. “Krishna Ardinugroho, Sekretaris perusahaan PT Sanjaya berhasil membelinya dengan harga miring. Papa tahu apa yang lebih menyakitkan Karan?” Pria itu menatap Kusuma yang tampak tak percaya dengan apa yang dilihat dan didengarnya. “Pa!” Yunita menggeleng, menyentuh lengan suaminya. “Dia mengakui proyek itu hasil pemikirannya.
Alex menyeringai melihat video di mana dia berhasil mengecup Ailyn. Rasanya tak sabar untuk mengirim video itu agar Karan dan Ailyn bertengkar. “Aku tak sabar ingin tahu, apa yang akan terjadi saat anak tiriku itu melihatnya.” Tak henti-hentinya Alex tersenyum. Bahkan bisa dibilang kini seringai tipis muncul di bibir yang mulai ditutupi kumis. “Bos, Yuki-Kun bertanya tentang berliannya. Apa kita akan menyelundupkan berlian lagi?” tanya Gandhi, membuat seringai Alex langsung hilang. “Katakan saja barangnya belum ada. Aku masih tak sempat mencari siapa yang bisa kita curi,” jawab Alex dengan enteng. Diambilnya sebatang rokok, lalu menyulutnya segera. Kakinya pun terangkat, menikmati hisapan rokok yang memabukkan. Bagaimana tidak, rokok itu bukan rokok biasa, melainkan berisi tambahan ganja yang dikeringkan. “Tapi, Bos, kita punya hutang budi pada Yuki-Kun. Dia dan anggota Yakuza telah menolong kita saat di Je
Farel mencoba menghubungi Alex. Tak ada yang bisa membantunya selain pria itu. “Ayolah, Alex. Kenapa kau tak mengangkat teleponku?” Farel mondar-mandir di balkon hotel tempatnya bersembunyi. Sejauh ini tak ada yang menemukannya. Namun, bukan berarti selamanya dia akan bersembunyi seperti pengecut. “Hei,” sapa seseorang yang kini mendekat. Farel menoleh sekilas, lantas kembali menghubungi Alex. “Kenapa kau tidak memberi tahu kalau Karan dan Han Makoto menjalin kerja sama? Aku jadi dicurigai perusahaan,” ujar seseorang yang tidak lain adalah Krishna. “Diam kau, Sialan! Kau juga tak memberi tahu proyeknya sudah berjalan. Aku kan sudah bilang, tunggu aba-aba dariku.” Farel memukul pinggiran balkon. Alex benar-benar tidak bisa dihubungi. Sejak dari Jepang waktu itu, Farel jadi jarang berkomunikasi dengan Alex. Ditambah insiden Kiran dikunci di lemari, dia jadi takut. “Kau harusnya berterima kasih sebab aku masih mau memban
Karan memasuki kamar dengan membawa banyak barang. Ailyn yang baru saja keluar dari kamar mandi, mengedipkan mata berkali-kali, berharap apa yang dilihatnya salah. Bukan hanya Karan, Jovan pun masuk membawa banyak kardus kecil, dan meletakkannya di atas ranjang. “Tuan, perlu saya bantu?” tanyanya. Karan menggeleng. “Kita harus kembali ke kantor. Sayang, bisakah kau membantuku membungkus semua ini? Aku sibuk,” ujarnya. Sang suami menjelaskan bahwa ia berhasil mengambil kembali berkas yang dijual Farel dan bermaksud memberikan hadiah bagi karyawan terbaik sebagai ucapan syukur. “Baiklah. Kau kembali ke kantor saja, biar aku yang urus. Sana, semangat ya. Untung aku tidak ada syuting.” Ailyn memberinya isyarat supaya pergi. “Kau benar-benar tidak keberatan membungkus semua? Perlu bantuan Mbok?” usul Karan. Istrinya menggeleng. “Aku bisa sendiri, kok.” Ailyn tersenyum mengamati semua barang. Karan dan Jovan pun
Ailyn bersiap mengenakan pakaian terbaik. Malam ini ada acara penghargaan bergengsi yang akan dihadiri. Dengan balutan gaun indah berwarna hitam dan dilengkapi anting panjang hadiah dari Karan semalam. Sungguh, Karan sampai tak berkedip menatap kecantikannya saat ini. “Kenapa menatapku begitu? Ada yang aneh, ya?” Ailyn berputar, memeriksa tubuhnya yang ramping. Rambutnya yang dikucir kuda membuat lehernya lebih terlihat. “Kita tidak usah pergi sajalah.” Karan menggaruk kepala. Melihat istrinya saat ini malah membuatnya merasa berhasrat. Tarikan napas terdengar bersamaan dengan Ailyn berkacak pinggang. Suaminya malah berdecak, menggelengkan kepalanya. “Mana boleh begitu, Karan? Ini kesempatan emas untukku. Siapa tahu nanti aku menang penghargaan.” Diambilnya tas tangan yang berada di atas kasur, lantas menarik tangan Karan agar keluar dari kamar. Berlama-lama di sana malah akan membuat Karan membujuknya untuk tak pergi
Yunita menemui Farel yang ternyata bersiap untuk menemui Alex. “Mama tidak usah ikut. Kalau Alex ingat Mama sudah mengunci Kiran di dalam lemari, habislah kita,” ujar Farel. Yunita berdecak, memukul kepala anaknya cukup keras dengan tas. “Masa iya, Mama akan menunggu di sini?” Yunita memutar bola matanya, kesal. Di rumah tadi dirinya tak diajak, sekarang Farel juga melarangnya ikut. Semua orang seolah-olah tak menginginkan keberadaannya. “Farel pergi dulu. Kenapa Mama tidak nonton saja? Acara penghargaan itu disiarkan langsung, kan?” Farel mengambil remot dan menyerahkannya pada sang mama. Yunita bergeming, membetulkan posisi tas di lengannya. Tangan itu malas mengambil remot yang Farel berikan.Akan menyebalkan kalau seorang Yunita malah menonton acara menantu yang ingin sekali dihancurkan. Demikian yang ada dalam pikiran Yunita. “Ayolah, Ma.” Farel memaksa Yunita untuk mengambil remot itu. Sayang, Yunita tetap bersike
“Om adalah teman Papamu. Ambil ini dan berikan pada Ailyn.” Pria itu menyerahkan kado kecil pada Kiran. “Ini apa, Om?” tanyanya dengan polos. “Berikan saja, ya. Kiran kan anak baik.” Pria itu mengelus pipi dan kepala Kiran. Setelah itu, ia menghilang dari pandangan. Heran dengan kado kecil itu, Kiran meletakkan mangkok dan berlari mendekati Ailyn. “Kak, ini untuk Kakak,” katanya. “Wah, ini apa, Sayang?” Ailyn tersenyum, menerima kado itu. Kiran menaikkan pundak. “Entah. Tadi ada pria, katanya teman Papa. Dia nyuruh Kiran memberikannya pada Kakak.” “Apa?” Ailyn terkejut. Dilihatnya sekeliling. Tidak ada wajah yang mencurigakan. Lalu, siapa pengirimnya? Dibukanya kado yang ternyata berisi surat. Jantung Ailyn berdebar hebat. Rasa takut yang sejak beberapa hari dirasakan, ternyata suatu pertanda. “Aku tahu, suatu saat aku akan mati. Entah karena penyakit yang selama ini menyerang atau terbunuh Karan. Aku sudah lama
Ailyn sedang becermin. Meja rias yang dipenuhi berbagai macam alat kecantikan itu terlihat seperti milik perias. Terinspirasi dari meja rias di rumah Lila waktu itu. "Aku merasa semakin gendut." Ailyn memeriksa tubuhnya. Malam ini adalah acara syukuran tujuh bulanan. Mereka mengundang beberapa rekan kerja, baik dari perusahaan ataupun rekan sesama artis. “Sayang, kau sudah siap?” Karan memasuki kamar. Ia berdecak kagum melihat istrinya menggunakan pakaian longgar dan panjang berwarna merah. “Wah, kau mau ke pesta apa bagaimana ini? Kok cantik sekali. Sudah seperti mau photo shoot saja.” Karan mengecup sekilas. Ailyn membiarkan Karan mengelus perutnya yang kian membesar. “Kau baru saja memberi ide. Bagaimana kalau kita photo shoot setelah ini? Aku kan model, Karan.” “Terserah kau saja. Ayo, Sayang. Tamu sudah datang.” Pria berkemeja biru itu menggandeng tangan istrinya yang mulai kesulitan berjalan. Dibiarkann
Ailyn dan Karan mendekat. Keduanya tak menyangka akan bertemu Bella setelah sekian lama. “Ka-kalian di sini?” Bella menutupi wajah anaknya dengan tas. “Itu ... Anakmu?” tanya Ailyn, sembari mengusap perut. Bella mengangguk, sedikit gugup. Ia malah menoleh ke kanan dan kiri seperti menunggu seseorang. “Apa yang kau lakukan panas-panas begini di parkiran?” Karan ikut memerhatikan sekitar. Tak ada siapa pun yang bisa diperhatikan. “A-aku menunggu sopir.” Bella menjawab dengan terbata-bata, sementara sang anak mengibas tangannya sampai tas itu terjatuh. Gelagapan Bella memungutnya sebelum diambil Karan yang juga membungkukkan badan hendak membantu. Sopir? Anak kecil? Ada banyak pertanyaan di benak Ailyn. Selama ini yang ia tahu Bella dikirim ke luar kota karena hamil anak Krishna yang belum keluar dari penjara."Papamu membantu keuanganku sampai sekarang. Dia juga yang menyediakan tempat tinggal dan sopir," tutur
Jovan melirik sekilas. Mendadak ia juga merasa khawatir. Apa yang sebenarnya terjadi pada majikannya? Kenapa rasa bahagia itu lenyap seketika? “Karan, a-aku tidak tahu harus bagaimana. Yang jelas, anak ini milik kita. Anakku dan anakmu.” Ailyn menangis, menyentuh perutnya. Melihat istrinya menangis, Karan tertawa keras sampai terpingkal-pingkal. Hal itu membuat Ailyn penasaran, apa yang terjadi. “Aku tahu, Sayang. Aku hanya bercanda. Masa iya, aku meragukan kehamilanmu. Ada-ada saja kau ini.” Karan memeluk Ailyn yang memukul dadanya karena kesal. Sesaat tadi pikirannya sudah negatif. Beberapa detik lalu rasanya amarah ingin meluap. “Jahat!” Ailyn memukul, tapi semakin mengencangkan pelukan. Mendapati semua hanya candaan semata, Jovan mengurut dada, lega. Keduanya pun sepakat untuk pergi ke dokter kandungan sebelum memberitahukan kabar baik itu pada keluarga. Sesampainya di rumah sakit .... “Selam
Hari yang hening, di mana bunga-bunga nan indah beserta daun pandan yang diiris tipis ditaburkan ke makam. Suara tangis bersahutan. “Papa!” rintihan dan kesedihan tergambar jelas di wajah mungil itu. Wajah yang kini semakin basah karena air mata. Makam dengan batu nisan berwarna putih bertuliskan nama seseorang mulai ditaburi bunga. Alex Brawijaya. Seorang pria yang tewas dalam perkelahian semalam. “Jangan bersedih. Ini sudah takdir, Sayang,” bisik Ailyn, merangkul pundak adik iparnya yang terus saja memeluk batu nisan. Karan ikut berjongkok. Peristiwa semalam bukan hanya kelabu, tapi gelap segelap-gelapnya. Seorang pria dengan obsesi tinggi telah pergi untuk selamanya. “Iya, Sayang. Biarkan Papa beristirahat dengan tenang.” Karan menimpali. Air matanya turut menetes. Ditolehnya beberapa orang yang mulai meninggalkan pemakaman. Sengaja makam Alex diletakkan bersebelahan dengan makam Marina, sesuai permintaan Kiran.
Kusuma berlari keluar dari mobil menuju ke rumah sakit. Ia dikabari sang istri sakit perut sampai dilarikan ke rumah sakit. Namun, belum juga menginjakkan kaki di tempat itu, pengawal pribadi Ailyn mencegah. “Tuan, tak perlu masuk,” katanya. “Memang kenapa? Apa wanita itu ... maksudku, Yunita baik-baik saja?” Kusuma enggan menyebut kata istri. “Dia hanya pura-pura sakit agar bisa mengecoh kita. Nyaris saja saya kecolongan kalau tidak segera membaca situasi,” paparnya, membuat Kusuma mengernyitkan dahi. “Mengecoh? Kecolongan? Apa yang kau bicarakan? Tunggu! Kau siapa?” Kusuma baru menyadari pria asing yang kini bicara dengannya tak pernah ia kenal. “Saya pengawal pribadi Nona Ailyn mulai hari ini. Tadi saya dan beberapa teman diminta mengantar Nyonya ke sini, tapi saya mendapat telepon anak buah diserang.” Pria itu menceritakan bahwa saat ini anak buahnya dikunci di kamar bersama pengawal yang lain, termasuk pelayan da
“Emmm .... “ Ailyn berusaha melepaskan ikatan yang membelenggu kaki dan tangannya. Karena mulutnya disumpal dengan sapu tangan, ia tak bisa berteriak. Semua terjadi begitu cepat tanpa bisa dicegah. “Sstttt! Jangan berisik, Sayang. Aku datang untuk memberi akhir yang indah pada cerita kita,” lirih Alex, mengusap pipi Ailyn dengan jarinya. Berhasil mengikat kedua tangan dan kaki Ailyn di atas ranjang, Alex melempar masker dan topi sembarangan ke lantai. “Emmmm!” Ailyn berusaha keras melepaskan ikatan yang terasa menyakiti pergelangan tangan dan kaki. “Ah, aku merasa terlalu jahat. Kau pasti ingin bicara denganku, kan?” Alex menaiki ranjang, membuka sumpal di mulut Ailyn. “Sialan!” Ailyn bernapas tersengal, membiarkan rambutnya menghalangi wajah. Keringat dingin mulai deras mengucur di kening dan lehernya. “Jangan terlalu kasar. Aku datang untuk menjemputmu. Lihat, aku bawakan surat ceraimu.” Alex mengeluarkan kertas yang
Meskipun Yunita melarangnya masuk ke kamar, tetap saja Ailyn bersimpati dengan sering-sering memeriksa keadaan mertuanya. “Keluar kau! Aku tak sudi melihatmu!” Ailyn menghela napas, menoleh pada Yunita yang menarik selimut hingga menutupi sebagian wajahnya. “Ya sudah. Aku akan keluar. Mama cepat sembuh biar kita bisa ribut lagi.” Ailyn bangkit, menuju ke pintu. “Kenapa kau selalu membuatku emosi, Wanita Sialan!” Yunita menyingkap selimut, lalu menggulungnya dengan cepat. Seolah tahu apa yang akan mertuanya lakukan, Ailyn bergegas keluar dan menutup pintu. Tepat saat pintu ditutup, selimut melayang dan mengenai lantai. Yunita bernapas kasar. “Kau bisa keluar. Buat Ailyn tetap berada di kamarnya agar rencana kita berjalan lancar,” kata Yunita. Pintu kamar mandi terbuka. Tampak Farel keluar dengan wajah dipenuhi senyuman. “Farel pergi dulu.” Pria itu mengendap-endap keluar dari kamar Yunita. Sementara itu
Ailyn menyenggol lengan suaminya saat melihat Yunita muncul dengan wajah suram, seolah kurang tidur. Kantung matanya menghitam. “Sepertinya, ada yang kurang tidur,” bisik Karan. Suasana masih sepi di ruang makan itu, sampai Kusuma menoleh pada istrinya yang duduk sembari memegangi perut. “Kau mirip sekali dengan kuntilanak kesurupan.” Kusuma bicara tanpa memandang. Tangannya bergerak cepat menyendok makanan. “Pa, panggilkan dokter. Mama sakit perut, mencret,” bisik Yunita, tapi tetap terdengar jelas di telinga Karan yang duduk di depannya. “Kau kan bisa panggil sendiri. Tak usah manja. Kau bukan anak kecil lagi,” kata Kusuma, meminum air. Ailyn dan Karan menunduk, menahan tawa. Sepertinya, harapan Karan terkabul agar Yunita sakit perut dan mencret. “Ih, Papa! Sakit sekali loh ini. Masa Papa tega membiarkan Mama kesakitan.” Yunita menyentuh bagian belakang tubuhnya yang sedikit terangkat. “Memang apa yang ka