Yunita menemui Farel yang ternyata bersiap untuk menemui Alex. “Mama tidak usah ikut. Kalau Alex ingat Mama sudah mengunci Kiran di dalam lemari, habislah kita,” ujar Farel.
Yunita berdecak, memukul kepala anaknya cukup keras dengan tas. “Masa iya, Mama akan menunggu di sini?” Yunita memutar bola matanya, kesal.Di rumah tadi dirinya tak diajak, sekarang Farel juga melarangnya ikut. Semua orang seolah-olah tak menginginkan keberadaannya.“Farel pergi dulu. Kenapa Mama tidak nonton saja? Acara penghargaan itu disiarkan langsung, kan?” Farel mengambil remot dan menyerahkannya pada sang mama.Yunita bergeming, membetulkan posisi tas di lengannya. Tangan itu malas mengambil remot yang Farel berikan.Akan menyebalkan kalau seorang Yunita malah menonton acara menantu yang ingin sekali dihancurkan. Demikian yang ada dalam pikiran Yunita.“Ayolah, Ma.” Farel memaksa Yunita untuk mengambil remot itu. Sayang, Yunita tetap bersikeAilyn merasa ada yang tidak beres dengan suaminya. Sejak semalam, Karan seolah merahasiakan sesuatu darinya. “Sayang, kau baik-baik saja?” Ailyn mengambil handuk untuk mengeringkan rambut Karan yang baru keluar dari kamar mandi. “Ya, aku baik-baik saja. Memang kenapa?” Karan balik bertanya, duduk di sofa. Dibiarkannya Ailyn mengeringkan rambut itu dengan gerakan perlahan. “Aku merasa kau menutupi sesuatu. Apa kau tidak senang aku berhasil meraih penghargaan? Atau kau tak suka nanti aku akan menemui desainer itu?” Karan tersenyum. ‘Andai kau tahu, Ayah tiriku bertingkah lagi,' batin Karan. Ingin sekali ia memberi tahu apa yang dilihatnya dalam video itu. Pantas saja hari itu Ailyn buru-buru mengajak pulang dengan alasan pusing. Karan menghela napas saat sang istri mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. “Mau kutemani nanti?” tanyanya. Membuang semua pikiran-pikiran yang bersarang dalam benaknya bukanlah hal mudah.
Karan tengah mengadakan rapat. Rencananya hari ini dia akan menyelesaikan beberapa berkas, lalu bersiap untuk ikut ke Prancis. Tak akan mungkin baginya membiarkan Ailyn tanpa pengawasannya. “Kita bisa minta Tuan Bima untuk mengirim beberapa orang yang akan mengawasi proyek. Dana proyek itu kan sudah kita terima.” Karan memeriksa laporan keuangan. “Kemarin ada dari PT Sanjaya datang. Katanya sih, mereka ingin merelakan lahannya di daerah Elite Street untuk kita gunakan sebagai lahan proyek baru.” Seorang pria bicara. Pandangannya tertuju pada berkas di meja. Sembari membetulkan posisi kacamata, pria itu tampak sangat serius memeriksa detail. “Kenapa? Atas dasar apa perwakilan PT Sanjaya memberikan lahan dari daerah yang banyak diincar?” Karan menandatangani berkas, lalu menyerahkannya kepada Jovan. “Sebagai permintaan maaf karena kesalahan Krisnha. Mereka juga menghubungi saya untuk membicarakan ini dengan Tuan,” kata Jovan.
“Kiran sayang Papa, kan? Beri Papa kesempatan untuk menebus kesalahan, ya?” Alex merenung tepat pada mata sang anak. “Sungguh?” Kiran yang masih kecil tentu mudah dipengaruhi. Ia menatap wajah Alex dengan penuh kesedihan. Walau bagaimanapun, Alex adalah sosok seorang papa baginya. “Ya. Papa janji. Ambillah boneka ini. Kalau Kiran setuju, kita pulang sekarang.” Alex menyerahkan boneka pada anaknya yang menerima dengan ekspresi ragu-ragu. Pelayan muncul membawa nampan berisi minuman. Diletakkannya cangkir di atas meja tepat di depan Alex. “Silakan diminum,” ujar Yunita, memerlihatkan senyuman. ‘Aneh. Kenapa dia jadi bersikap baik pada pria ini?’ batin Ailyn, merasa ada yang mencurigakan dari sikap Yunita. Alex langsung meminumnya seperti tak merasakan panas, padahal asap tampak saat cangkir itu diangkat. “Kalau Kakak mengizinkan, Kiran akan ikut Papa,” kata Kiran, memainkan tangan boneka beruang berwarna coke
Karan dan Ailyn bersiap pergi ke peragaan busana. Keduanya tampak berbincang sembari memasuki aula yang sudah dipenuhi beberapa orang. “Ailyn!” Adolf melambaikan tangan mendekati begitu melihat Ailyn datang. Wanita itu membalas lambaian tangan dengan senyuman. “Ayo, kita ke sana. Acara akan segera dimulai,” ajak Adolf. Ailyn dan Liodra berpandangan, lalu mengikuti Adolf, sementara asisten Liodra bersama Karan dan Jovan. Ketiganya menuju ke ruangan yang dijaga ketat oleh beberapa pengawal. Bahkan saking ketatnya, untuk masuk saja harus melalui detektor untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. “Wait!” Hadid berlari sambil membawa gaun beserta gantungan baju. Pria itu berpakaian cukup rapi mendekati Ailyn. “Ayo,” katanya, mendahului. “So sorry, but you can’t .... “ Adolf menggerakkan leher pertanda Hadid dilarang masuk. “Aku managernya, aku managernya.” Hadid sampai mengulang. “Aku tahu, tapi ruangan it
“Emm!” Ailyn menginjak kaki Alex dengan high heel hingga pria itu melepaskannya. Alex menyeringai, tampak menakutkan. “Jangan mendekat! Aku akan benar-benar berteriak!” Ailyn mundur, berusaha mencari sesuatu yang bisa dijadikan alat pertahanan diri. Namun, ia tak menemukan apa pun. Hanya ada peralatan make up di ruangan itu yang memang karena dikhususkan untuk para model berdandan. “Tenang, Sayang. Kenapa kau harus agresif? Aku kan hanya ingin bertemu. Kau tidak mau berterima kasih padaku?” Alex melonggarkan dasi. “Kenapa aku harus berterima kasih? Tanpa bantuanmu pun, aku akan bisa menjadi model internasional,” bela Ailyn. Alex manggut-manggut. “Memang benar. Saat aku mendapat bocoran kalau kau yang menang, aku langsung menghubungi Adolf. Ternyata dia tertarik.” Alex menceritakan bahwa dia merekomendasikan Ailyn sebagai salah satu model di fashion show itu. Bahkan Adolf yang melihat bagaimana cara Ailyn tampil langsu
Alex yang menyadari diikuti Karan, langsung bersembunyi di ruang ganti para model. Pria itu mengirim pesan pada Lusi agar menunggu di parkiran. Tampak Karan mencari ke beberapa sisi sebab yakin melihat ayah tirinya di tempat yang sama. “Ke mana dia?” Karan mengusap dagu dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri berada di dalam kantong celana. “Karan! Kenapa kau mendadak keluar? Acaranya belum selesai.” Hadid memeriksa arloji yang sudah menunjuk angka 23.22. “Aku yakin melihat Om Alex.” Karan memeriksa dengan teliti. Tak ada siapa pun di sana. Hanya beberapa orang keluar-masuk beserta para penjaga yang berseliweran. “Barangkali kau salah lihat. Ayo, Ailyn pasti menunggu. Huaaaaiii. Aku ngantuk sekali.” Hadid menguap panjang, lantas kembali memasuki aula. Karan hanya berdecak. Kalaulah dugaannya benar, pasti terjadi sesuatu tanpa sepengetahuannya. Sial! Karan meninju pasak, lalu mengikuti Hadid. Lusi yang be
Bella berdiri sambil menatap arloji. Sudah satu jam lebih ia berdiri di sisi gerbang K2 Company bagian samping. Sudah lama ia mengincar seseorang, dan sekarang harus terlaksana. Ada dendam yang belum selesai dan menuntut untuk dituntaskan. “CK! Lama sekali!” Tak sabar rasanya ingin bertemu. Sesekali ia menoleh ke arah perusahaan besar itu. Perusahaan yang sempat ia dengar akan membangun perhotelan. Saat masih menunggu, terlihat sebuah mobil hitam keluar dari gerbang yang terbuka otomatis. “Itu dia!” Bella merapikan rambut, langsung mendekat. “Tuan, berhenti!” cegatnya, berdiri di depan mobil. Perlahan mobil berhenti dan kacanya diturunkan. Tampak Kusuma mengernyitkan dahi. Sudah lama ia tak melihat Bella. Tepatnya sejak dipecat. “Kau mau apa?” tanyanya saat Bella mendekat. Wanita itu malah membuka pintu mobil dan masuk tanpa permisi. “Lancang!” Kusuma tampak kesal. “Tuan, ada yang perlu saya bicarakan. Ini masala
Karan dan Ailyn baru saja tiba di bandara. Mereka mengikuti langkah Jovan yang menarik koper, mendahului mereka. “Ailyn!” Hadid mendorong Karan ke samping, sementara dirinya kini berada di antara keduanya. “Kau ini apa-apaan? Minggir!” Karan menarik lengannya, tapi Hadid malah berdecak, tak mau berpindah posisi. Jadilah ia berjalan sambil menggamit lengan Ailyn. “Kau ini kenapa?” Ailyn menarik lengannya sebab merasa tak nyaman pada Karan. Hadid tak menjawab, melainkan menjulurkan lidah pada Karan yang tampak kesal. Sembari menunggu jawaban, Ailyn memeriksa ponsel, membuka akun media sosial. Terkejut benar ia mendapati pengikutnya di sosial media sudah mencapai angka dua juta pengikut. “Apa ini? Kenapa ... ada fotoku saat di Paris?” Ailyn menoleh pada Hadid yang hanya menampilkan senyuman seolah tak bersalah, mengelus tengkuk. “Aku kan hanya ingin berbagi fotomu saja. Kau harusnya berterima kasih. Lihat, pen
“Om adalah teman Papamu. Ambil ini dan berikan pada Ailyn.” Pria itu menyerahkan kado kecil pada Kiran. “Ini apa, Om?” tanyanya dengan polos. “Berikan saja, ya. Kiran kan anak baik.” Pria itu mengelus pipi dan kepala Kiran. Setelah itu, ia menghilang dari pandangan. Heran dengan kado kecil itu, Kiran meletakkan mangkok dan berlari mendekati Ailyn. “Kak, ini untuk Kakak,” katanya. “Wah, ini apa, Sayang?” Ailyn tersenyum, menerima kado itu. Kiran menaikkan pundak. “Entah. Tadi ada pria, katanya teman Papa. Dia nyuruh Kiran memberikannya pada Kakak.” “Apa?” Ailyn terkejut. Dilihatnya sekeliling. Tidak ada wajah yang mencurigakan. Lalu, siapa pengirimnya? Dibukanya kado yang ternyata berisi surat. Jantung Ailyn berdebar hebat. Rasa takut yang sejak beberapa hari dirasakan, ternyata suatu pertanda. “Aku tahu, suatu saat aku akan mati. Entah karena penyakit yang selama ini menyerang atau terbunuh Karan. Aku sudah lama
Ailyn sedang becermin. Meja rias yang dipenuhi berbagai macam alat kecantikan itu terlihat seperti milik perias. Terinspirasi dari meja rias di rumah Lila waktu itu. "Aku merasa semakin gendut." Ailyn memeriksa tubuhnya. Malam ini adalah acara syukuran tujuh bulanan. Mereka mengundang beberapa rekan kerja, baik dari perusahaan ataupun rekan sesama artis. “Sayang, kau sudah siap?” Karan memasuki kamar. Ia berdecak kagum melihat istrinya menggunakan pakaian longgar dan panjang berwarna merah. “Wah, kau mau ke pesta apa bagaimana ini? Kok cantik sekali. Sudah seperti mau photo shoot saja.” Karan mengecup sekilas. Ailyn membiarkan Karan mengelus perutnya yang kian membesar. “Kau baru saja memberi ide. Bagaimana kalau kita photo shoot setelah ini? Aku kan model, Karan.” “Terserah kau saja. Ayo, Sayang. Tamu sudah datang.” Pria berkemeja biru itu menggandeng tangan istrinya yang mulai kesulitan berjalan. Dibiarkann
Ailyn dan Karan mendekat. Keduanya tak menyangka akan bertemu Bella setelah sekian lama. “Ka-kalian di sini?” Bella menutupi wajah anaknya dengan tas. “Itu ... Anakmu?” tanya Ailyn, sembari mengusap perut. Bella mengangguk, sedikit gugup. Ia malah menoleh ke kanan dan kiri seperti menunggu seseorang. “Apa yang kau lakukan panas-panas begini di parkiran?” Karan ikut memerhatikan sekitar. Tak ada siapa pun yang bisa diperhatikan. “A-aku menunggu sopir.” Bella menjawab dengan terbata-bata, sementara sang anak mengibas tangannya sampai tas itu terjatuh. Gelagapan Bella memungutnya sebelum diambil Karan yang juga membungkukkan badan hendak membantu. Sopir? Anak kecil? Ada banyak pertanyaan di benak Ailyn. Selama ini yang ia tahu Bella dikirim ke luar kota karena hamil anak Krishna yang belum keluar dari penjara."Papamu membantu keuanganku sampai sekarang. Dia juga yang menyediakan tempat tinggal dan sopir," tutur
Jovan melirik sekilas. Mendadak ia juga merasa khawatir. Apa yang sebenarnya terjadi pada majikannya? Kenapa rasa bahagia itu lenyap seketika? “Karan, a-aku tidak tahu harus bagaimana. Yang jelas, anak ini milik kita. Anakku dan anakmu.” Ailyn menangis, menyentuh perutnya. Melihat istrinya menangis, Karan tertawa keras sampai terpingkal-pingkal. Hal itu membuat Ailyn penasaran, apa yang terjadi. “Aku tahu, Sayang. Aku hanya bercanda. Masa iya, aku meragukan kehamilanmu. Ada-ada saja kau ini.” Karan memeluk Ailyn yang memukul dadanya karena kesal. Sesaat tadi pikirannya sudah negatif. Beberapa detik lalu rasanya amarah ingin meluap. “Jahat!” Ailyn memukul, tapi semakin mengencangkan pelukan. Mendapati semua hanya candaan semata, Jovan mengurut dada, lega. Keduanya pun sepakat untuk pergi ke dokter kandungan sebelum memberitahukan kabar baik itu pada keluarga. Sesampainya di rumah sakit .... “Selam
Hari yang hening, di mana bunga-bunga nan indah beserta daun pandan yang diiris tipis ditaburkan ke makam. Suara tangis bersahutan. “Papa!” rintihan dan kesedihan tergambar jelas di wajah mungil itu. Wajah yang kini semakin basah karena air mata. Makam dengan batu nisan berwarna putih bertuliskan nama seseorang mulai ditaburi bunga. Alex Brawijaya. Seorang pria yang tewas dalam perkelahian semalam. “Jangan bersedih. Ini sudah takdir, Sayang,” bisik Ailyn, merangkul pundak adik iparnya yang terus saja memeluk batu nisan. Karan ikut berjongkok. Peristiwa semalam bukan hanya kelabu, tapi gelap segelap-gelapnya. Seorang pria dengan obsesi tinggi telah pergi untuk selamanya. “Iya, Sayang. Biarkan Papa beristirahat dengan tenang.” Karan menimpali. Air matanya turut menetes. Ditolehnya beberapa orang yang mulai meninggalkan pemakaman. Sengaja makam Alex diletakkan bersebelahan dengan makam Marina, sesuai permintaan Kiran.
Kusuma berlari keluar dari mobil menuju ke rumah sakit. Ia dikabari sang istri sakit perut sampai dilarikan ke rumah sakit. Namun, belum juga menginjakkan kaki di tempat itu, pengawal pribadi Ailyn mencegah. “Tuan, tak perlu masuk,” katanya. “Memang kenapa? Apa wanita itu ... maksudku, Yunita baik-baik saja?” Kusuma enggan menyebut kata istri. “Dia hanya pura-pura sakit agar bisa mengecoh kita. Nyaris saja saya kecolongan kalau tidak segera membaca situasi,” paparnya, membuat Kusuma mengernyitkan dahi. “Mengecoh? Kecolongan? Apa yang kau bicarakan? Tunggu! Kau siapa?” Kusuma baru menyadari pria asing yang kini bicara dengannya tak pernah ia kenal. “Saya pengawal pribadi Nona Ailyn mulai hari ini. Tadi saya dan beberapa teman diminta mengantar Nyonya ke sini, tapi saya mendapat telepon anak buah diserang.” Pria itu menceritakan bahwa saat ini anak buahnya dikunci di kamar bersama pengawal yang lain, termasuk pelayan da
“Emmm .... “ Ailyn berusaha melepaskan ikatan yang membelenggu kaki dan tangannya. Karena mulutnya disumpal dengan sapu tangan, ia tak bisa berteriak. Semua terjadi begitu cepat tanpa bisa dicegah. “Sstttt! Jangan berisik, Sayang. Aku datang untuk memberi akhir yang indah pada cerita kita,” lirih Alex, mengusap pipi Ailyn dengan jarinya. Berhasil mengikat kedua tangan dan kaki Ailyn di atas ranjang, Alex melempar masker dan topi sembarangan ke lantai. “Emmmm!” Ailyn berusaha keras melepaskan ikatan yang terasa menyakiti pergelangan tangan dan kaki. “Ah, aku merasa terlalu jahat. Kau pasti ingin bicara denganku, kan?” Alex menaiki ranjang, membuka sumpal di mulut Ailyn. “Sialan!” Ailyn bernapas tersengal, membiarkan rambutnya menghalangi wajah. Keringat dingin mulai deras mengucur di kening dan lehernya. “Jangan terlalu kasar. Aku datang untuk menjemputmu. Lihat, aku bawakan surat ceraimu.” Alex mengeluarkan kertas yang
Meskipun Yunita melarangnya masuk ke kamar, tetap saja Ailyn bersimpati dengan sering-sering memeriksa keadaan mertuanya. “Keluar kau! Aku tak sudi melihatmu!” Ailyn menghela napas, menoleh pada Yunita yang menarik selimut hingga menutupi sebagian wajahnya. “Ya sudah. Aku akan keluar. Mama cepat sembuh biar kita bisa ribut lagi.” Ailyn bangkit, menuju ke pintu. “Kenapa kau selalu membuatku emosi, Wanita Sialan!” Yunita menyingkap selimut, lalu menggulungnya dengan cepat. Seolah tahu apa yang akan mertuanya lakukan, Ailyn bergegas keluar dan menutup pintu. Tepat saat pintu ditutup, selimut melayang dan mengenai lantai. Yunita bernapas kasar. “Kau bisa keluar. Buat Ailyn tetap berada di kamarnya agar rencana kita berjalan lancar,” kata Yunita. Pintu kamar mandi terbuka. Tampak Farel keluar dengan wajah dipenuhi senyuman. “Farel pergi dulu.” Pria itu mengendap-endap keluar dari kamar Yunita. Sementara itu
Ailyn menyenggol lengan suaminya saat melihat Yunita muncul dengan wajah suram, seolah kurang tidur. Kantung matanya menghitam. “Sepertinya, ada yang kurang tidur,” bisik Karan. Suasana masih sepi di ruang makan itu, sampai Kusuma menoleh pada istrinya yang duduk sembari memegangi perut. “Kau mirip sekali dengan kuntilanak kesurupan.” Kusuma bicara tanpa memandang. Tangannya bergerak cepat menyendok makanan. “Pa, panggilkan dokter. Mama sakit perut, mencret,” bisik Yunita, tapi tetap terdengar jelas di telinga Karan yang duduk di depannya. “Kau kan bisa panggil sendiri. Tak usah manja. Kau bukan anak kecil lagi,” kata Kusuma, meminum air. Ailyn dan Karan menunduk, menahan tawa. Sepertinya, harapan Karan terkabul agar Yunita sakit perut dan mencret. “Ih, Papa! Sakit sekali loh ini. Masa Papa tega membiarkan Mama kesakitan.” Yunita menyentuh bagian belakang tubuhnya yang sedikit terangkat. “Memang apa yang ka