Home / Pernikahan / Dijatah Lima Juta / Tidak Mas, makasih banyak!

Share

Tidak Mas, makasih banyak!

Author: Lia Scorpio
last update Last Updated: 2023-03-09 10:40:35

 Hari berganti hari, sampai kini mendekati tanggal gajian mas Umar. Setelah pertengkaran malam itu. Hubunganku dengan mas Umar semakin renggang. Entah aku yang terlalu egois karena ingin dimengerti, atau mas Umar yang tidak pernah peka.  

 Aku menjalani hari seperti biasanya. Walaupun tidak ada lagi uang belanja dari jatah bulanan. Aku masih bisa memasak makanan untuk mas Umar. Tentunya itu uang dari hasil kiriman mamaku, dan mas Umar tau itu.

 "Dil, besok Mas pulangnya telat, kamu tidak usah masak!" ujar mas Umar, sudah rapi dengan pakaian kerjanya.

 Aku mengangguk tanda mengiyakan. Hanya obrolan singkat yang mewarnai rumah tangga kami. Tidak ada kemesraan atau kehangatan seperti awal-awal pernikahan.

 Dan benar saja, sampai tengah malam bahkan hampir dini hari, mas Umar belum juga pulang. Ini bukan kali pertama, sudah sering akhir-akhir ini mas Umar seperti itu. Entah menghindari aku, atau ada urusan lain.

 "Dil, kamu di kamar?" Panggil mas Umar, mengetuk pintu kamar.

 Aku membuka mata perlahan. Kamar yang tadinya gelap, kini mulai terlihat sedikit terang.

 

'Astaga sudah pagi,' pekikku, langsung bangun dan berjalan membuka pintu.

 "Baru bangun?" tanya mas Umar begitu pintu terbuka.

 "Sudah pukul delapan masih tidur. Untung aku pulang, kalau tidak, sudah pasti kamu kesiangan. Memangnya tadi malam kamu ngapain aja?" omel mas Umar, kakinya melangkah masuk melewati aku yang masih berdiri di dekat pintu.

 "Ya nunggu kamu, apa lagi? Sampai hampir subuh aku menunggu, tapi kami tidak pulang juga. Memangnya kamu dari mana?" tanyaku kesal.

 "Dari rumah Kirman. Bukannya aku sudah memberitahu kamu kemarin? Kenapa masih menunggu lagi?" tanya mas Umar, tanpa beban dia mengatakan itu.

 "Kamu kan  bilangnya cuma jangan masak. Kamu tidak bilang, kalau kamu menginap. Kenapa kamu yang sewot? Harusnya aku yang marah, berapa hari ini kamu jarang pulang ke rumah," Balasku mengomeli mas Umar.

 "Sudah, sudah! Jangan mengomel terus! Nih uang bulanan kamu, seperti biasa lima juta rupiah," ujar mas Umar, menyerahkan hasil upah kerja satu bulan.

 Aku tidak segera mengambil, aku hanya melirik uangnya, lalu berjalan menuju tempat tidur.

 "Kamu saja yang pegang Mas! Aku malas menerimanya," jawabku santai.

 Merasa bingung dengan penolakanku, mas Umar mendekat.

 "Loh, kenapa jadi aku yang pegang? kamu kan istri? Kamu saja, aku tidak pandai mengelola uang," tolak mas Umar.

 "Aku tidak mau," sahutku.

 "Ayolah Dil, terima uangnya. Kamu kenapa sih? Biasanya kamu menerimanya dengan senang hati? Kalau aku yang pegang, bisa pusing nanti kepalaku," bujuk mas Umar.

 Aku mendelik kesal. "Kalau aku yang pegang, kepalaku juga pusing. Kamu pikir selama ini aku senang menerimanya? Ini bukan nafkah bulanan Mas! Uang itu hanya titipan, uang sekali pegang langsung habis tak bersisa. Lebih baik kamu yang pegang dan atur. Jadi kamu tau, uang itu habis ke mana saja, terus cukup atau tidaknya. Kalau aku yang pegang, kamu terima beresnya terus. Aku capek!" 

 Mendengar kata-kataku, mas Umar tiba-tiba saja marah dan membentakku.

 "Dasar istri tidak tau diuntung! Suami capek-capek kerja, kamu malah seperti ini. Ini tugas kamu, bukan tugas aku. Tugasku hanya mencari uang, dan sisanya kamu yang mengelola," 

  Mendapat bentakan dari mas Umar, tentu saja aku tidak terima. Bisa-bisanya dia mengatakan itu. Aku memang istrinya, tapi kalau harus mengurus uang yang tidak cukup itu terus, aku juga tidak sanggup.

 "Baiklah, aku mau menerima uang itu. Tapi ada syaratnya," ujarku, memberi penawaran.

 "Apa? Jangan bilang kamu mau semua gajiku?" sahut mas Umar, ada ketakutan di wajahnya.

 Aku terkekeh, lalu menatap nyalang mas Umar. "Tenang saja, aku tidak akan meminta uang tambahan. Syaratnya mudah saja. Kamu kembalikan mobil dan motor trail kamu itu, aku tidak mau lagi ada cicilan. Dengan begitu, uang bulanan terisa banyak dan aku tidak akan mengeluh," ujarku mantap.

 Mata mas Umar melebar sempurna mendengar syarat yang aku ajukan. Reaksinya benar-benar membuatku muak. 

 "Gila kamu Dil! aku tidak mau!" tolak mas Umar cepat.

 "Kenapa tidak mau? kalau kamu tidak mau, aku juga tidak mau. Lebih baik kamu kelola sendiri saja uangnya, atau minta kelola sama mama. Kan mama yang memberi ide mengambil mobil itu?" sahutku.

 "Kenapa syaratnya harus itu sih? Nanti apa yang orang lain bilang, kalau mobil dan motor itu aku kembalikan ke dealer? Aku sudah menghabiskan uang tabunganku untuk membayar uang muka mobil dan motor itu. Masa iya aku mengembalikannya cuma-cuma? Sudah hampir dua tahun aku bayar angsurannya, hanya tersisa tiga tahun lagi dan semuanya beres," ujar mas Umar marah.

 "Heh Mas, hanya tiga tahun kamu bilang? Tiga tahun itu bukan waktu yang sebentar Mas. Itu waktu yang lama. Dan aku tidak mau membayar cicilan dengan waktu selama itu. Biarkan saja orang bicara apa, itu hak mereka. Mereka punya mata untuk melihat, mereka punya mulut untuk bicara, biarkan saja. Mau sampai kapan kamu hidup hanya untuk mendengar pujian orang lain? Mereka yang memuji kamu itu hanya melihat Mas, sedangkan sisanya kita yang menyandang. Tidak usah terlalu terlihat wah kalau ekonomi masih sulit. Gaya elit, tapi ekonomi sulit. Itu lebih memalukan Mas. Lebih baik terlihat biasa saja, tapi tabungan banyak, dari pada terlihat luar biasa, tapi cicilan di mana-mana," sahutku panjang lebar.

 Tak mau mendengar pembelaan apapun lagi dari mas Umar, aku segera berlalu meninggalkannya yang masih terlihat syok mendengar kata-kataku. Biarlah mas Umar marah atau tersinggung, itu memang kenyataannya.  Terlalu menuruti gaya hidup, sampai-sampai hidup sendiri sulit. Semoga saja mas Umar benar-benar tersinggung, biar dia mengerti, kalau hidup itu tidak hanya sekedar untuk mendapat pujian.

 Aku mulai menyibukkan diriku berkutat dengan bahan makanan dan asap kompor. Hampir satu jam aku di dapur, tapi mas Umar masih belum keluar juga dari kamar. Entah apa yang ia lakukan di dalam sana.

 "Makanan sudah siap, lebih baik aku mandi dulu, setelah itu sarapan," gumamku, bergegas ke kamar.

 Di dalam kamar, mas Umar langsung membuang muka saat melihatku masuk. Aku tidak peduli lagi sekarang. Rasakan itu! Memangnya enak memikirkan mengelola uang sedikit itu untuk cicilan? Dia yang punya uang saja pusing, apalagi aku yang hanya di rumah dan bergantung hidup dengannya. 

 "Kamu benar-benar tidak mau mengambil uang ini Dil?" tanya mas Umar pelan, saat aku baru saja mau menutup pintu kamar mandi.

 "Tidak Mas, makasih banyak," sahutku, dengan santainya aku menutup pintu kamar mandi.

 Aku sengaja berlama-lama di dalam kamar mandi. Selain untuk menghindari paksaan mas Umar nanti, aku juga ingin mendinginkan kepalaku, walau hanya sekedar mengguyurkan air beberapa kali.

Related chapters

  • Dijatah Lima Juta   Calon Madu

     Hampir setengah jam aku di kamar mandi. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar. Tapi, begitu aku keluar keadaan di kamar terlihat sepi. Mas Umar sudah tidak ada di tempatnya lagi. Aku tidak ambil pusing, segera aku memakai pakaian kebangsaan ibu rumah tangga, yaitu daster.  Sudah siap dan rapi, aku gegas keluar dari kamar. Terlalu lama mengurung diri di kamar mandi, perutku keroncongan juga. Cacing-cacing di dalam perut sudah berdemo ria meminta isi amunisi.  "Ke mana mas Umar? Di kamar tidak ada, di depan televisi dan dapur juga tidak ada," gumamku heran. Merasa penasaran ke mana perginya suamiku itu. Aku memutuskan mencarinya di ruang tamu atau teras rumah. Namun lagi-lagi mas Umar tidak ada. Mobilnya juga sudah tak terlihat lagi. "Paling juga ke rumah ibunya," batinku. Tak mau ambil pusing ke mana perginya mas Umar, aku memutuskan untuk makan. Akhir-akhir ini mas Umar sudah biasa pergi tanpa pamit atau bila

    Last Updated : 2023-03-09
  • Dijatah Lima Juta   Talak

     Tanganku terkepal, dada ini rasanya sesak bagai dihantam godam besar. Dengan santainya mas Umar mengatakan itu tanpa memikirkan bagaimana perasaanku. Hanya gara-gara uang jatah bulanan itu, dia tega membuat aku hancur.  "Aku tidak setuju, aku tidak mau dimadu. Kalau kamu memang mau melakukan itu, aku lebih baik minta cerai saja," ujarku. Entah dari mana aku mendapatkan keberanian untuk mengucapkan itu. Perceraian memang tidak pernah aku inginkan. Tapi untuk dimadu, aku tidak mau. Sebelum dimadu saja mas Umar tidak pernah adil antara aku dan ibunya. Apalagi ada orang baru lagi. Bisa-bisa aku tersisih. Rahang mas Umar mengeras, wajahnya memerah menahan marah. "Gila kamu Dil! Aku tidak akan menceraikan kamu,"  Setelah mengatakan itu, mas Umar berlalu pergi tanpa mengatakan apapun lagi.  Badanku merosot begitu saja, terduduk di lantai keramik. Perasaanku sudah campur aduk saat ini.  Marah, sedih, kecewa berkecam

    Last Updated : 2023-03-09
  • Dijatah Lima Juta   Keluar dari rumah

     Tatapan yang sangat menyebalkan dari mama mertuaku, membuatku kesal. Namun sebisa mungkin aku menahannya. Aku tidak boleh lagi terlihat lemah. Cukup tadi saja aku menangis di depan mereka saat mas Umar menjatuhkan kata talak. Kini tidak lagi. Aku harus terlihat kuat dan tegar, biar bagaimanapun ini juga kemauanku untuk tidak dimadu. "Aku mau pulang Ma, pulang ke tempat asal aku berada," jawabku, dengan mimik wajah sesantai mungkin. "Oh pulang ke habitat awal? Baguslah kalau kamu sadar sendiri. Toh ini juga bukan rumah kamu lagi," ujar mama mertuaku, tersenyum sinis. Aku mengulum senyum mendengar kata-kata mama. Ingin rasanya aku tertawa terbahak-bahak saat ini, tapi dengan cepat aku tahan. "Yang dikatakan mama itu benar. Kamu bukan nyonya di rumah ini lagi. Dalam waktu beberapa hari, aku yang akan jadi nyonya di rumah milik mas Umar," sambung Liana dengan bangganya. Kali ini aku tidak bisa lagi menahannya. A

    Last Updated : 2023-03-09
  • Dijatah Lima Juta   Janda semakin di depan

     Disepanjang perjalanan menuju rumah mama, air mataku tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi. Sengaja aku memacu motorku pelan dengan kaca helm ditutup. Aku tidak mau orang lain melihat keadaanku yang begitu menyedihkan. Perjalanan yang harusnya aku tempuh selama dua jam, kini malah molor jadi tiga jam perjalanan. Air mata yang tidak berhenti mengalir membuat penglihatan buram, mau tak mau aku memelankan laju motor agar bisa selamat sampai tujuan. Dada ini terasa sesak. Dua tahun  yang lalu aku dilamar dan dinikahi. Besar sekali harapanku untuk bisa membangun biduk rumah tangga yang harmonis dengan mas Umar. Tapi sekarang semuanya sudah sirna, kandas sudah angan-anganku. Ternyata benar apa yang dikatakan mama dulu. Membangun rumah tangga memang tidaklah mudah seperti yang dibayangkan. Banyak sekali yang belum aku ketahui, seluk beluknya, cara mempertahankannya dari segala badai yang menerpa. Motorku berhenti tepat di halaman rumah mam

    Last Updated : 2023-03-09
  • Dijatah Lima Juta   Interview Kerja

     Dua hari sudah aku menyandang status janda, selama dua hari itu juga mas Umar sudah tak ada kabar lagi. Entahlah apa yang terjadi dengan mas Umar. Tapi dari berita yang aku dapat dari Maryam temanku, sekaligus teman kantor mas Umar. Mas Umar sudah menikah satu hari yang lalu, tepat setelah satu hari dia menjatuhkan talak. Apa pria memang seperti itu? Tidak bisa kosong sebentar, sudah harus diisi lagi.  Pagi ini aku sudah rapi dengan pakaianku. Kemeja putih dan rok span berwarna hitam selutut melekat sempurna di tubuhku. Sudah dua tahun aku tidak menggunakan pakaian ini, untung saja masih muat dan bisa dipakai. "Aduh cantiknya, mau ke mana?" tanya mama berdiri di depan kamarku dengan senyum hangatnya. Aku tersipu malu dipuji mama seperti itu. Dengan penuh semangat aku menghampiri mama dan bergelayut manja di tangannya. "Dila mau interview Ma, doakan Dila ya!" jawabku cepat. "Interview? Kapan ka

    Last Updated : 2023-03-09
  • Dijatah Lima Juta   Pasangan gila

     Mas Umar masuk bergandengan tangan dengan istri barunya. Sebenarnya aku tidak heran kenapa mas Umar bisa ada di sini. Ini sudah masuk jam makan siang, wajar saja ia ke sini dan juga dekat dengan kantor tempatnya bekerja. Awalnya keduanya terlihat berbincang sambil sesekali tertawa lepas, bahagia sekali pengantin baru ini. Tapi, tawa itu berhenti kala tatapan matanya jatuh ke arahku. "Dila?" ujar mas Umar terkejut, suaranya terdengar nyaring membuat semua pengunjung berbalik menatapnya. Aku menundukkan kepalaku, berusaha sebisa mungkin agar tidak terlihat. Tapi, karena sudah terlanjur melihat keberadaanku di sini, mas Umar langsung menghampiri aku dengan istri barunya-- Liana. "Eh, ada si janda dua hari, makan di sini juga?" tanya Liana mengejekku. Aku diam saja, tidak ada keinginan untuk membalasnya, apa lagi ada Firman di depanku yang kini terlihat bingung. "Janda? maksudnya apa Dil?" tanya F

    Last Updated : 2023-03-09
  • Dijatah Lima Juta   Mobil Umar mogok

      "Ah, nikmat sekali rasanya," gumamku, merentangkan kedua tanganku ke atas dengan posisi terlentang di atas tempat tidur kamar. Hari ini jalanan lumayan macet sekali, membuat aku tiba dari rumah saat masuk waktu ashar.  Aku memilih berbaring sebentar merenggangkan otot-otot yang terasa kaku saat diperjalanan. "Eh, kamu sudah pulang Dil? Kapan? Kenapa Mama tidak tau? Bagaimana hasil interview tadi?"  Mama memberondong aku dengan banyak sekali pertanyaan. Aku gegas bangun, lalu melirik ke arah pintu kamar yang terbuka.  Pantas saja mama bisa masuk, ternyata aku lupa menutup pintu saat masuk tadi. "Ma, tanyanya satu-satu dong! Kalau banyak seperti itu, aku malah bingung harus jawab yang mana," sahut, pura-pura merajuk. Mama terkekeh melihat ekspresiku. "Iya maaf, Mama hanya penasaran saja. Apa ijasah kamu itu masih berfungsi?" goda mama. "Tentu saja masih dong Ma. Usiaku juga masih dua puluhan, p

    Last Updated : 2023-03-09
  • Dijatah Lima Juta   Selebar daun kelor

     Kini aku duduk di ruang kerjaku. Setelah menerima berbagai arahan dan informasi dari teman-teman satu divisi, aku mulai mengerjakan tugasku. Tidak ada kesulitan sejauh ini, semuanya berjalan lancar karena ini memang bidangku. Akhirnya ilmu yang selama ini aku pelajari selama duduk di bangku kuliah bermanfaat juga.  Tidak sia-sia mama menguliahkan aku sampai lulus sarjana.  Tekadku sudah bulat. Karena keretakan rumah tangga yang aku alami, kini tujuan hidupku hanya ingin membahagiakan mama dan membalas budi pada mama, walau bagaimanapun budi anak ke orang tua tidak pernah cukup untuk membalasnya. Setidaknya aku berusaha membahagiakan wanita yang sudah berjuang melahirkanku dua puluh lima tahun silam. "Bagaimana Dil? Apa ada kesulitan?" tanya Firman, tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingku. Aku menoleh ke arah Firman, seraya tersenyum. "Tidak, semuanya aman," jawabku, mengacungkan jempol. Firman terkekeh melihat tingkahku.

    Last Updated : 2023-03-09

Latest chapter

  • Dijatah Lima Juta   Melahirkan

     "Dil, kamu marah sama Mama?" tanya mama, masuk ke dalam kamarku. Setelah kejadian itu, aku memilih mengurung diri di kamar. Bukan karena aku marah, aku hanya masih merasa kesal saja. Terlebih Lila memfitnahku di depan keluarga Firman, ada kedua mertuaku saat itu. Aku menoleh menatap mama. Daru raut wajah mama, terlihat jelas sekali kalau saat ini mama mungkin merasa bersalah. "Tidak Ma, aku tidak marah," jawabku, mencoba tersenyum. Melihat mama mendekat, Firman memutuskan untuk keluar dari kamar, memberi ruang untuk aku dan mama saling bicara. "Boleh Mama duduk di sini?" tanya mama, menunjuk ke arah sampingku. "Boleh Ma, duduk aja!" sahutku, menggeser posisi. "Maafkan Mama, Dil! Semua kekacauan tadi siang terjadi karena Mama. Mama yang salah karena mengundang mereka ke sini. Mama tidak bermaksud seperti itu, Mama hanya ingin menyambung silaturahmi, sekaligus memberi mereka bukti

  • Dijatah Lima Juta   Wanita murahan?

     Emosiku kini mulai membuncah. Aku yang tadinya sudah merasa bisa menerima masukan dari Firman kembali meradang. Ternyata memang sesulit ini berlaku baik pada orang jahat pada kita. Mau seperti apapun baiknya kita, pasti akan selalu saja ada salah di mata yang tidak suka. "Jangan bicara sembarangan kamu La! Untuk apa aku berpura-pura hamil? Kalau kenyataannya begini, mau apa kamu? Memangnya salah, kalau aku benar hamil? Toh, aku punya suami, wajar saja aku bisa hamil seperti ini. Kalau kamu tidak percaya, ikut aku ke kamar dan kita buktikan semuanya!" Tantangku, entah seperti apa wajahku saat ini. "Santai dong Mbak! Aku kan cuma tanya dan memastikan. Kalau memang benar hamil, baguslah kalau begitu. Paling tidak, Mbak  tidak dikatakan mandul lagi," cibir Lila, semakin menjadi-jadi. "Asal kamu tau, aku tidak mandul! Apa kurang bukti waktu kita bertemu di klinik kemarin? Kamu juga memeriksakan kandungan kamu kan?" Balasku, kini tatapanku ter

  • Dijatah Lima Juta   Tuduhan Lila

     Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Aku duduk di sebuah kursi di tengah-tengah hiasan yang sudah mama siapkan. Hati ini terasa sangat bahagia, ternyata begini rasanya mengandung dan melaksanakan ritual mandi-mandi tujuh bulanan. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya, apalagi setelah penghinaan dan fitnah masa lalu yang aku dapatkan dari orang paling terdekat di hidupku. 'Dasar mandul! Pantas saja suaminya tidak betah.' 'Gara-gara tidak bisa memberi keturunan, suaminya meninggalkannya.' Kata-kata itu akan terus aku ingat. Bukan aku seorang pendendam, tapi aku akan selalu mengingat setiap kata yang membuatku terpuruk waktu itu. Aku tidak akan bisa lupa. Air mata ini menetes begitu saja, seiring guyuran air pertama membasahi pucuk kepala dan akhirnya jatuh membasahi seluruh  tubuh ini. Sensasi dingin namun terasa segar, begitu aku nikmati. "Memang lain ya, pancaran ibu hamil itu beda sekali

  • Dijatah Lima Juta   Balik kampung

    Semua keputusan akhirnya berakhir merujuk rumah ibuku di desa. Aku tentu saja dengan senang hati menerimanya. Selain aku merindukan ibu dan saudara laki-lakiku, aku juga merasa nyaman jika acara dilaksanakan di rumah ibu sendiri. Keesokan harinya, aku dan Firman sudah bersiap berangkat menuju desa. Rencana awal untuk membeli bahan makanan kami batalkan. Rasanya tak tega jika harus meminta ibu memasak semuanya. Apalagi ibuku semakin hari bertambah usia. "Gimana Yank?" tanya Firman, menyusulku ke kamar. "Aku sudah siap, ayo pergi!" Dengan cepat aku meraih lengan Firman dan berjalan bergandengan tangan. Banyak sekali yang kami ceritakan selama perjalanan. Bernostalgia masa lalu kami berdua. "Kamu benar-benar serius waktu itu, atau cuma karena kasihan denganku, Yank?" tanyaku, selalu saja bertanya yang tidak jelas. "Jangan mulai Yank! Kenapa sih hobi sekali bertanya seperti itu? pertanyaan kamu ini menjebak tau! Aku jawab ti

  • Dijatah Lima Juta   Tujuh Bulan

    Firman menanyakan itu dengan tegas. Mata teduhnya yang sering aku lihat, sekarang menampakkan kilat tajam. "Da-dari Silvi," jawabku sedikit takut. Silvi, adalah temanku dulu saat berkuliah. Sebenarnya bukan teman dekat. Hanya kenal begitu saja, karena aku dan dia juga tidak satu jurusan. Beberapa waktu lalu saat aku dan Firman pergi ke salah satu minimarket, tanpa sengaja aku bertemu dia. Dia menanyakan kabarku, lalu meminta nomor teleponku dengan alasan ingin menjalin tali silaturahmi. "Silvi? Sejak kapan kamu berteman dengan dia?" tanya Firman, ia tampak terkejut. "Berteman akrab sih tidak, cuma kenal begitu saja. Kebetulan dia punya nomor ponselku," jelasku. "Sayang, Silvi itu tidak tau, kalau aku sudah menikah dengan kamu. Lalu, untuk apa dia mengirim foto itu?" ujar Firman, kali ini aku yang terkejut. Memang benar, pernikahan kami diadakan tidak meriah. Yang diundang juga orang-orang dekat saja. Sedang para teman-tem

  • Dijatah Lima Juta   Acara reuni

    Setelah pertemuan di klinik, aku jadi malas berpergian ke mana-mana. Aku malas jika harus bertemu dengan mereka. Bukan takut karena akan dihina. Aku hanya tidak mau menambah masalah lagi saja. "Sayang, kamu di rumah aja atau ikut aku?" tanya Firman, ia sudah rapi dengan pakaiannya. Malam minggu seperti ini, Firman jarang sekali berpergian keluar jika tidak bersamaku. Tapi malam ini, ia terpaksa menghadiri reuni bersama teman-teman satu jurusannya dulu saat kuliah. "Aku malas Mas, kamu saja yang pergi!" tolakku. "Memangnya kamu tidak takut?" tanya Firman, ia sengaja menggodaku kali ini. Keningku mengernyit, apa maksudnya bertanya seperti itu? "Takut apa? Takut sendirian di rumah? Biarpun sendirian, tidak akan mungkin ada hantu yang muncul Mas!" sahutku, kemudian terkekeh. "Bukan hantu, Sayangku! Aku kan pergi reuni, kalau reuni kan biasanya bertemu dengan teman-teman lama. Siapa tau diantara teman lama itu ada

  • Dijatah Lima Juta   Membuka aib sendiri

    "Puas kamu, hah? Puas sudah membuatku begini? Sekarang, dengan santainya kamu menanyakan di mana suamiku. Kamu punya otak tidak?" Aku terkejut bukan main mendengar bentakan Lila. Memangnya apa salahku? Apa hanya bertanya suaminya di mana, aku pantas mendapatkan bentakan di depan umum seperti ini? "Apa maksud kamu?" tanyaku bingung. "Sudah La, kamu kenapa sih? Jangan buat keributan, ini tempat umum!" tegur mama mas Umar, menarik lengan Lila menjauh. Bukannya menurut, Lila justru menghempaskan tangan mamanya dengan kasar. Ia kembali maju menarik lenganku kasar. "Kamu masih bisa tanya kenapa? Semua ini gara-gara kamu! Aku hamil, juga gara-gara kamu! Aku tidak punya suami, juga gara-gara kamu!" bentak Lila, wajahnya terlihat menyeramkan. "Lila, sudah!" hardik mamanya. "Kamu apa-apaan sih? Kenapa kamu menyalahkan Dila? ini di tempat umum La, malu didengar dan dilihat orang-orang," Lanjut mamanya lagi, memperhatikan

  • Dijatah Lima Juta   Bertemu di klinik

    Firman menggenggam tanganku di atas meja. Mantan kekasihnya langsung mendengus kesal melihat kami. Dalam hati aku tertawa puas. Rasakan itu! "Bagiku janda ataupun perawan, sama saja. Toh sama-sama jadi istri juga, mengurus keluarga. Aku tidak pernah membedakan status. Yang jelas aku mencintai istriku, begitu juga sebaliknya. Terkadang di jaman seperti ini juga lebih bagus janda. Janda lebih berpengalaman. Yang terpenting, janda lebih banyak rasa perawan, sedangkan perawan rasanya seperti janda," jelas Firman. Ada rasa dongkol sekaligus bahagia mendengarnya. Bahagia karena Firman membelaku, sedang dongkol karena Firman menyebut soal rasa. Memangnya dia pernah merasakan itu sebelumnya? "Kamu menyindirku Fir?" tanya wanita itu, seraya berdiri bertolak pinggang. Aku dan Firman langsung menoleh bertatapan. Apa maksudnya menyindir? Perasaan dari tadi Firman bicaranya hanya menyebut tentang aku. Kenapa dia malah marah? "Keterlaluan kamu Fi

  • Dijatah Lima Juta   Diejek

    Sebisa mungkin aku menahan emosi. Kata-kata wanita itu, benar-benar membuat hatiku sakit. Apa hanya karena penampilanku seperti ini? Apa semua harus dinilai dari penampilan luarnya? "Bukan, ini istriku!" jawab Firman, wajahnya langsung berubah kesal. Wanita itu tampak terkejut. Ekspresi terkejutnya sukses membuat aku mengumpat dalam hati. Seolah dia buat sengaja. "Eh, maaf Fir. Istri ya? Aku kira tadi babu kamu. Maaf ya istri Firman!" ucapnya, tersenyum sinis. Suasana hatiku kembali berubah. Ingin rasanya aku cepat pulang. Kata-kata pembantu masih mending dibandingkan dengan babu. Apa dia sengaja mengatakan itu? Mana senyumnya sinis begitu. Ini sih, sama saja dia menabuh genderang perang. "Sis, tolong jaga cara bicara kamu! Aku rasa, kata babu itu terlalu kasar. Dia ini calon ibu untuk anak-anakku," ucap Firman tegas. Wajar saja Firman marah. Suami mana yang tidak marah, kalau istrinya dihina sedemikian rupa. Walaupun tida

DMCA.com Protection Status