Tanganku terkepal, dada ini rasanya sesak bagai dihantam godam besar. Dengan santainya mas Umar mengatakan itu tanpa memikirkan bagaimana perasaanku. Hanya gara-gara uang jatah bulanan itu, dia tega membuat aku hancur.
"Aku tidak setuju, aku tidak mau dimadu. Kalau kamu memang mau melakukan itu, aku lebih baik minta cerai saja," ujarku. Entah dari mana aku mendapatkan keberanian untuk mengucapkan itu. Perceraian memang tidak pernah aku inginkan. Tapi untuk dimadu, aku tidak mau. Sebelum dimadu saja mas Umar tidak pernah adil antara aku dan ibunya. Apalagi ada orang baru lagi. Bisa-bisa aku tersisih. Rahang mas Umar mengeras, wajahnya memerah menahan marah. "Gila kamu Dil! Aku tidak akan menceraikan kamu," Setelah mengatakan itu, mas Umar berlalu pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Badanku merosot begitu saja, terduduk di lantai keramik. Perasaanku sudah campur aduk saat ini. Marah, sedih, kecewa berkecamuk dalam dada ini. Tanpa bisa aku cegah, buliran bening mulai menetes. Aku menangis menumpahkan semua rasa sakit hati ini. Dalam diam aku menangis, aku benar-benar hancur. Apa tidak ada lagi rasa cinta di hati mas Umar untuk diri ini? Apa uang benar-benar bisa membuat hati manusia berubah? Padahal dulu sebelum aku menikah dengan mas Umar. Ia dengan tegas mengatakan hanya aku satu-satu wanita di hidupnya. Tapi sekarang? Kata-kata itu tak ubahnya seperti janji semu yang hilang ditelan masa. Mas Umar kini sudah siap dengan kemeja dan celana jeansnya, ia hanya melirikku sebentar, setelah itu melenggang pergi tak tau ke mana. Hari-hari yang aku lalui di rumah ini tak ubahnya seperti neraka. Baru sekitar dua jam mas Umar mengutarakan niatnya untuk menikah lagi. Sekarang ia malah datang membawa seorang wanita, mama dan juga saudarinya, Lila. "Siapa dia Mas?" tanyaku, dengan mata yang sembab. Mas Umar hanya diam, tatapan matanya sedikit sayu. Merasa mas Umar hanya diam, kini mama mertuaku memajukan posisinya tepat di sampingku. "Ini calon istri baru Umar. Namanya Liana, cantik kan Dil?" tanya mama mertuaku begitu antusias mengenalkan calon menantu barunya. Pupil mataku melebar, aku tak menanggapi kata-kata mama mertuaku. Mataku melotot ke arah mas Umar yang saat ini sedang menunduk. "Apa maksudnya semua ini Mas? Apa benar dia calon istri baru kamu?" tanyaku, meminta jawaban. "Kamu tidak percaya kata-kata Mama, Dil? Ini calon menantu baru Mama. Kamu sambut dong!" ujar mama mertuaku, menarik lenganku sedikit kasar. Aku menghempaskan tangan mama mertuaku. Aku tidak sudi menyambut madu baru itu di rumah ini. "Mas, jadi kamu serius membawa madu ini? Kalau begitu, aku mau kamu ceraikan aku sekarang juga! Aku tidak sudi dimadu Mas, aku tidak sudi tinggal satu atap dengan wanita lain!" Mataku memerah menatap nyalang semua orang yang ada di rumah ini. "Sudah aku bilang, aku tidak akan pernah menceraikan kamu Dil! Kenapa sih kamu meminta itu terus?" Mas Umar menatapku tajam. "Sudah Mas, ceraikan saja dia! Toh dia sendiri yang minta, aku juga tidak mau jadi yang kedua," bujuk wanita yang akan jadi maduku itu. "Yang dikatakan Liana itu benar Mar. Kalau Dila mau cerai, ceraikan saja!" timpal mama mertuaku, ikut mendukung. Mas Umar menyugar anak rambut di dekat keningnya kasar. "Aku tidak bisa menceraikan Dila. Tolonglah jangan memaksa aku menceraikannya!" ujar mas Umar, membuat kami bertiga tercengang. "Kalau kamu tidak mau menceraikan aku, lalu kenapa kamu membawa wanita ini ke rumah? Kamu juga berniat menikah lagi. Jangan serakah Mas! Sekarang kamu pilih aku atau dia?" Aku mengeraskan suaraku seraya menunjuk dadaku lalu beralih ke arah wanita yang kini berada di samping mas Umar. "Aku tidak tau!" lirih mas Umar. Aku muak sekali melihat tingkah mas Umar. Sebenarnya apa mau pria ini? Dia ingin menikah lagi, tapi tidak mau menceraikan aku. Serakah sekali hidupnya. Memangnya dia pikir aku mau dimadu? "Sudahlah Mar, pilih Liana saja! Kalau boleh jujur, Mama juga tidak suka kamu menikah dengan Dila. Apa yang mau kamu pertahankan dengan terus membawa dia di sisi kamu? Dia bukan istri yang baik Mar! Mengurus keuangan rumah tangga saja tidak becus, apalagi mengurus yang lainnya. Dan lagi, sudah dua tahun kalian menikah, tapi dia belum memberi kamu anak sama sekali. Wanita seperti itu yang mau kamu pertahankan?" tanya mama mertuaku, kata-katanya benar-benar membuat aku malu dan tersudut. "Hah, dua tahun Ma? Jadi Mas Umar sudah dua tahun menikah dengan dia, tapi belum punya anak juga? Apa jangan-jangan istri kamu ini mandul, Mas?" ujar wanita bernama Liana itu, mengalihkan pandangan terkejutnya ke arah mama mertuaku dan mas Umar bergantian. Emosiku benar-benar di ujung tanduk kali ini. Bisa-bisanya dia mengatakan aku mandul, sedangkan dia bukan siapa-siapa di sini. "Apa kamu bilang? Cepat katakan lagi!" bentakku, dengan sekuat tenaga aku menjambak rambut panjangnya. Mas Umar, mama mertuaku dan Lila yang melihat tindakanku yang begitu anarkis, langsung melerai kamu berdua. "Hentikan Dila! Kamu apa-apaan sih?" bentak mas Umar, menghempaskan tanganku menjauh. "Tau nih Mbak Dila, jangan main jambak-jambak aja dong! Kasihan mbak Liana!" sahut Lila, gadis berusia delapan belas tahun itu ikut menyalahkan aku. "Lihat Umar, ini wanita yang kamu pertahankan? Cih, kelakuannya sangat tidak pantas sekali. Lebih baik cepat kamu ceraikan saja Mar! Kamu belum menikah saja, dia sudah berani menyakiti Liana. Bagaimana nanti kalau sudah tinggal satu rumah? Bisa-bisa setiap hari dia menghajar Liana," ujar mama mertuaku, menarik Liana dalam pelukannya. Aku tersenyum sinis memandangnya. Aku yang sudah dua tahun saja menikah dengan mas Umar, belum pernah mendapatkan perlakuan seperti itu. Sedangkan ular itu, baru beberapa waktu di sini, sudah diperlakukan manis dan hangat. Mas Umar terdiam, aku memperhatikan wajah itu. Wajah yang selalu membuatku tenang saat memandangnya dulu. Sejenak mas Umar menarik nafas, lalu menghembuskannya kasar. "Baiklah, kalau ini mau kamu Dil. Aku terpaksa mengikuti kemauan kamu. Mulai detik ini, kamu aku talak dan ceraikan!" ujar mas Umar, tanpa menatapku sama sekali. Netraku mulai mengembun. Baru sebentar aku berhenti menangis. Kini buliran bening itu kembali jatuh. Aku lihat wajah mama mertuaku, Lila dan juga wanita ular itu. Mereka tersenyum puas melihat aku diceraikan. Tak mau merasa lebih malu lagi. Aku mendekat ke arah mas Umar, lalu melepaskan cincin pernikahan kami dulu. "Karena kamu sudah menjatuhkan talak, aku kembalikan cincin ini. Semoga kamu bahagia dengan wanita pilihan kamu!" Aku berlalu setelah mengatakan itu, tak lupa aku memberikan cincin itu. Mas Umar hanya diam, ia bahkan tidak mengatakan satu patah katapun.Tatapan yang sangat menyebalkan dari mama mertuaku, membuatku kesal. Namun sebisa mungkin aku menahannya. Aku tidak boleh lagi terlihat lemah. Cukup tadi saja aku menangis di depan mereka saat mas Umar menjatuhkan kata talak. Kini tidak lagi. Aku harus terlihat kuat dan tegar, biar bagaimanapun ini juga kemauanku untuk tidak dimadu. "Aku mau pulang Ma, pulang ke tempat asal aku berada," jawabku, dengan mimik wajah sesantai mungkin. "Oh pulang ke habitat awal? Baguslah kalau kamu sadar sendiri. Toh ini juga bukan rumah kamu lagi," ujar mama mertuaku, tersenyum sinis. Aku mengulum senyum mendengar kata-kata mama. Ingin rasanya aku tertawa terbahak-bahak saat ini, tapi dengan cepat aku tahan. "Yang dikatakan mama itu benar. Kamu bukan nyonya di rumah ini lagi. Dalam waktu beberapa hari, aku yang akan jadi nyonya di rumah milik mas Umar," sambung Liana dengan bangganya. Kali ini aku tidak bisa lagi menahannya. A
Disepanjang perjalanan menuju rumah mama, air mataku tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi. Sengaja aku memacu motorku pelan dengan kaca helm ditutup. Aku tidak mau orang lain melihat keadaanku yang begitu menyedihkan. Perjalanan yang harusnya aku tempuh selama dua jam, kini malah molor jadi tiga jam perjalanan. Air mata yang tidak berhenti mengalir membuat penglihatan buram, mau tak mau aku memelankan laju motor agar bisa selamat sampai tujuan. Dada ini terasa sesak. Dua tahun yang lalu aku dilamar dan dinikahi. Besar sekali harapanku untuk bisa membangun biduk rumah tangga yang harmonis dengan mas Umar. Tapi sekarang semuanya sudah sirna, kandas sudah angan-anganku. Ternyata benar apa yang dikatakan mama dulu. Membangun rumah tangga memang tidaklah mudah seperti yang dibayangkan. Banyak sekali yang belum aku ketahui, seluk beluknya, cara mempertahankannya dari segala badai yang menerpa. Motorku berhenti tepat di halaman rumah mam
Dua hari sudah aku menyandang status janda, selama dua hari itu juga mas Umar sudah tak ada kabar lagi. Entahlah apa yang terjadi dengan mas Umar. Tapi dari berita yang aku dapat dari Maryam temanku, sekaligus teman kantor mas Umar. Mas Umar sudah menikah satu hari yang lalu, tepat setelah satu hari dia menjatuhkan talak. Apa pria memang seperti itu? Tidak bisa kosong sebentar, sudah harus diisi lagi. Pagi ini aku sudah rapi dengan pakaianku. Kemeja putih dan rok span berwarna hitam selutut melekat sempurna di tubuhku. Sudah dua tahun aku tidak menggunakan pakaian ini, untung saja masih muat dan bisa dipakai. "Aduh cantiknya, mau ke mana?" tanya mama berdiri di depan kamarku dengan senyum hangatnya. Aku tersipu malu dipuji mama seperti itu. Dengan penuh semangat aku menghampiri mama dan bergelayut manja di tangannya. "Dila mau interview Ma, doakan Dila ya!" jawabku cepat. "Interview? Kapan ka
Mas Umar masuk bergandengan tangan dengan istri barunya. Sebenarnya aku tidak heran kenapa mas Umar bisa ada di sini. Ini sudah masuk jam makan siang, wajar saja ia ke sini dan juga dekat dengan kantor tempatnya bekerja. Awalnya keduanya terlihat berbincang sambil sesekali tertawa lepas, bahagia sekali pengantin baru ini. Tapi, tawa itu berhenti kala tatapan matanya jatuh ke arahku. "Dila?" ujar mas Umar terkejut, suaranya terdengar nyaring membuat semua pengunjung berbalik menatapnya. Aku menundukkan kepalaku, berusaha sebisa mungkin agar tidak terlihat. Tapi, karena sudah terlanjur melihat keberadaanku di sini, mas Umar langsung menghampiri aku dengan istri barunya-- Liana. "Eh, ada si janda dua hari, makan di sini juga?" tanya Liana mengejekku. Aku diam saja, tidak ada keinginan untuk membalasnya, apa lagi ada Firman di depanku yang kini terlihat bingung. "Janda? maksudnya apa Dil?" tanya F
"Ah, nikmat sekali rasanya," gumamku, merentangkan kedua tanganku ke atas dengan posisi terlentang di atas tempat tidur kamar. Hari ini jalanan lumayan macet sekali, membuat aku tiba dari rumah saat masuk waktu ashar. Aku memilih berbaring sebentar merenggangkan otot-otot yang terasa kaku saat diperjalanan. "Eh, kamu sudah pulang Dil? Kapan? Kenapa Mama tidak tau? Bagaimana hasil interview tadi?" Mama memberondong aku dengan banyak sekali pertanyaan. Aku gegas bangun, lalu melirik ke arah pintu kamar yang terbuka. Pantas saja mama bisa masuk, ternyata aku lupa menutup pintu saat masuk tadi. "Ma, tanyanya satu-satu dong! Kalau banyak seperti itu, aku malah bingung harus jawab yang mana," sahut, pura-pura merajuk. Mama terkekeh melihat ekspresiku. "Iya maaf, Mama hanya penasaran saja. Apa ijasah kamu itu masih berfungsi?" goda mama. "Tentu saja masih dong Ma. Usiaku juga masih dua puluhan, p
Kini aku duduk di ruang kerjaku. Setelah menerima berbagai arahan dan informasi dari teman-teman satu divisi, aku mulai mengerjakan tugasku. Tidak ada kesulitan sejauh ini, semuanya berjalan lancar karena ini memang bidangku. Akhirnya ilmu yang selama ini aku pelajari selama duduk di bangku kuliah bermanfaat juga. Tidak sia-sia mama menguliahkan aku sampai lulus sarjana. Tekadku sudah bulat. Karena keretakan rumah tangga yang aku alami, kini tujuan hidupku hanya ingin membahagiakan mama dan membalas budi pada mama, walau bagaimanapun budi anak ke orang tua tidak pernah cukup untuk membalasnya. Setidaknya aku berusaha membahagiakan wanita yang sudah berjuang melahirkanku dua puluh lima tahun silam. "Bagaimana Dil? Apa ada kesulitan?" tanya Firman, tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingku. Aku menoleh ke arah Firman, seraya tersenyum. "Tidak, semuanya aman," jawabku, mengacungkan jempol. Firman terkekeh melihat tingkahku.
Aku duduk menunggu Firman sambil menundukkan kepala seraya memainkan ponsel. Semoga saja dengan aku seperti ini, mas Umar tidak melihat aku. Bukannya aku takut atau tidak mau bertemu dengan keluarga mas Umar. Aku hanya malas saja. Ibu mas Umar pasti akan menghina aku, atau memaki aku di sini. Aku tau benar bagaimana sifatnya, maka dari itu aku mencoba menghindar saja. Sudah capek-capek menunduk, Firman malah berjalan ke arahku, seraya memanggil namaku. "Dila!" Firman melambaikan tangan dengan mengulas senyum. Mendengar namaku dipanggil, mama mas Umar langsung mengalihkan pandangannya. Matanya menyipit memperhatikan aku dengan seksama. "Dila?" pekiknya, kemudian berjalan menghampiriku. Kali ini aku tidak bisa mengelak lagi. Dengan senyum yang dipaksakan aku tersenyum ke arah mama mertuaku. "Sedang apa kamu di sini Dila?" tanya mama mas Umar, sengit. "Siapa Dil?"
"Kamu tau Dil, setelah Umar menikah dengan si Liana itu. Kerjanya selalu saja tidak beres. Pak Direktur bahkan berkali-kali memanggilnya ke ruangan. Semua yang dia kerjakan selalu salah. Apalagi kemarin, Umar diturunkan posisinya. Ya, otomatis gaji dan bonus bulanannya juga turun. Banyak sekali teman-teman yang menyayangkan kinerja Umar sekarang," Cerita Maryam, antusias. Ada rasa kasihan juga mendengar cerita Maryam. Tapi mau bagaimana lagi? Biarpun aku mengasihaninya, tetap saja dia bukan siapa-siapaku lagi. Apapun masalahnya, juga bukan masalahku lagi."Memangnya Umar kenapa? Apa ada masalah atau apa, jadi semua kerjanya salah?" tanyaku. "Tidak ada masalah sih. Kalau di kantor sih biasa saja. Mungkin karena Liana selalu mengganggu Umar kerja, jadi Umar tidak konsentrasi. Setiap Liana keluar dari ruangan Umar, kancing kemejanya pasti terbuka bagian atas. Belum lagi pakaian dan rambut Liana yang berantakan. Mungkin saja mereka lagi ena-ena di dalam rua
"Dil, kamu marah sama Mama?" tanya mama, masuk ke dalam kamarku. Setelah kejadian itu, aku memilih mengurung diri di kamar. Bukan karena aku marah, aku hanya masih merasa kesal saja. Terlebih Lila memfitnahku di depan keluarga Firman, ada kedua mertuaku saat itu. Aku menoleh menatap mama. Daru raut wajah mama, terlihat jelas sekali kalau saat ini mama mungkin merasa bersalah. "Tidak Ma, aku tidak marah," jawabku, mencoba tersenyum. Melihat mama mendekat, Firman memutuskan untuk keluar dari kamar, memberi ruang untuk aku dan mama saling bicara. "Boleh Mama duduk di sini?" tanya mama, menunjuk ke arah sampingku. "Boleh Ma, duduk aja!" sahutku, menggeser posisi. "Maafkan Mama, Dil! Semua kekacauan tadi siang terjadi karena Mama. Mama yang salah karena mengundang mereka ke sini. Mama tidak bermaksud seperti itu, Mama hanya ingin menyambung silaturahmi, sekaligus memberi mereka bukti
Emosiku kini mulai membuncah. Aku yang tadinya sudah merasa bisa menerima masukan dari Firman kembali meradang. Ternyata memang sesulit ini berlaku baik pada orang jahat pada kita. Mau seperti apapun baiknya kita, pasti akan selalu saja ada salah di mata yang tidak suka. "Jangan bicara sembarangan kamu La! Untuk apa aku berpura-pura hamil? Kalau kenyataannya begini, mau apa kamu? Memangnya salah, kalau aku benar hamil? Toh, aku punya suami, wajar saja aku bisa hamil seperti ini. Kalau kamu tidak percaya, ikut aku ke kamar dan kita buktikan semuanya!" Tantangku, entah seperti apa wajahku saat ini. "Santai dong Mbak! Aku kan cuma tanya dan memastikan. Kalau memang benar hamil, baguslah kalau begitu. Paling tidak, Mbak tidak dikatakan mandul lagi," cibir Lila, semakin menjadi-jadi. "Asal kamu tau, aku tidak mandul! Apa kurang bukti waktu kita bertemu di klinik kemarin? Kamu juga memeriksakan kandungan kamu kan?" Balasku, kini tatapanku ter
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Aku duduk di sebuah kursi di tengah-tengah hiasan yang sudah mama siapkan. Hati ini terasa sangat bahagia, ternyata begini rasanya mengandung dan melaksanakan ritual mandi-mandi tujuh bulanan. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya, apalagi setelah penghinaan dan fitnah masa lalu yang aku dapatkan dari orang paling terdekat di hidupku. 'Dasar mandul! Pantas saja suaminya tidak betah.' 'Gara-gara tidak bisa memberi keturunan, suaminya meninggalkannya.' Kata-kata itu akan terus aku ingat. Bukan aku seorang pendendam, tapi aku akan selalu mengingat setiap kata yang membuatku terpuruk waktu itu. Aku tidak akan bisa lupa. Air mata ini menetes begitu saja, seiring guyuran air pertama membasahi pucuk kepala dan akhirnya jatuh membasahi seluruh tubuh ini. Sensasi dingin namun terasa segar, begitu aku nikmati. "Memang lain ya, pancaran ibu hamil itu beda sekali
Semua keputusan akhirnya berakhir merujuk rumah ibuku di desa. Aku tentu saja dengan senang hati menerimanya. Selain aku merindukan ibu dan saudara laki-lakiku, aku juga merasa nyaman jika acara dilaksanakan di rumah ibu sendiri. Keesokan harinya, aku dan Firman sudah bersiap berangkat menuju desa. Rencana awal untuk membeli bahan makanan kami batalkan. Rasanya tak tega jika harus meminta ibu memasak semuanya. Apalagi ibuku semakin hari bertambah usia. "Gimana Yank?" tanya Firman, menyusulku ke kamar. "Aku sudah siap, ayo pergi!" Dengan cepat aku meraih lengan Firman dan berjalan bergandengan tangan. Banyak sekali yang kami ceritakan selama perjalanan. Bernostalgia masa lalu kami berdua. "Kamu benar-benar serius waktu itu, atau cuma karena kasihan denganku, Yank?" tanyaku, selalu saja bertanya yang tidak jelas. "Jangan mulai Yank! Kenapa sih hobi sekali bertanya seperti itu? pertanyaan kamu ini menjebak tau! Aku jawab ti
Firman menanyakan itu dengan tegas. Mata teduhnya yang sering aku lihat, sekarang menampakkan kilat tajam. "Da-dari Silvi," jawabku sedikit takut. Silvi, adalah temanku dulu saat berkuliah. Sebenarnya bukan teman dekat. Hanya kenal begitu saja, karena aku dan dia juga tidak satu jurusan. Beberapa waktu lalu saat aku dan Firman pergi ke salah satu minimarket, tanpa sengaja aku bertemu dia. Dia menanyakan kabarku, lalu meminta nomor teleponku dengan alasan ingin menjalin tali silaturahmi. "Silvi? Sejak kapan kamu berteman dengan dia?" tanya Firman, ia tampak terkejut. "Berteman akrab sih tidak, cuma kenal begitu saja. Kebetulan dia punya nomor ponselku," jelasku. "Sayang, Silvi itu tidak tau, kalau aku sudah menikah dengan kamu. Lalu, untuk apa dia mengirim foto itu?" ujar Firman, kali ini aku yang terkejut. Memang benar, pernikahan kami diadakan tidak meriah. Yang diundang juga orang-orang dekat saja. Sedang para teman-tem
Setelah pertemuan di klinik, aku jadi malas berpergian ke mana-mana. Aku malas jika harus bertemu dengan mereka. Bukan takut karena akan dihina. Aku hanya tidak mau menambah masalah lagi saja. "Sayang, kamu di rumah aja atau ikut aku?" tanya Firman, ia sudah rapi dengan pakaiannya. Malam minggu seperti ini, Firman jarang sekali berpergian keluar jika tidak bersamaku. Tapi malam ini, ia terpaksa menghadiri reuni bersama teman-teman satu jurusannya dulu saat kuliah. "Aku malas Mas, kamu saja yang pergi!" tolakku. "Memangnya kamu tidak takut?" tanya Firman, ia sengaja menggodaku kali ini. Keningku mengernyit, apa maksudnya bertanya seperti itu? "Takut apa? Takut sendirian di rumah? Biarpun sendirian, tidak akan mungkin ada hantu yang muncul Mas!" sahutku, kemudian terkekeh. "Bukan hantu, Sayangku! Aku kan pergi reuni, kalau reuni kan biasanya bertemu dengan teman-teman lama. Siapa tau diantara teman lama itu ada
"Puas kamu, hah? Puas sudah membuatku begini? Sekarang, dengan santainya kamu menanyakan di mana suamiku. Kamu punya otak tidak?" Aku terkejut bukan main mendengar bentakan Lila. Memangnya apa salahku? Apa hanya bertanya suaminya di mana, aku pantas mendapatkan bentakan di depan umum seperti ini? "Apa maksud kamu?" tanyaku bingung. "Sudah La, kamu kenapa sih? Jangan buat keributan, ini tempat umum!" tegur mama mas Umar, menarik lengan Lila menjauh. Bukannya menurut, Lila justru menghempaskan tangan mamanya dengan kasar. Ia kembali maju menarik lenganku kasar. "Kamu masih bisa tanya kenapa? Semua ini gara-gara kamu! Aku hamil, juga gara-gara kamu! Aku tidak punya suami, juga gara-gara kamu!" bentak Lila, wajahnya terlihat menyeramkan. "Lila, sudah!" hardik mamanya. "Kamu apa-apaan sih? Kenapa kamu menyalahkan Dila? ini di tempat umum La, malu didengar dan dilihat orang-orang," Lanjut mamanya lagi, memperhatikan
Firman menggenggam tanganku di atas meja. Mantan kekasihnya langsung mendengus kesal melihat kami. Dalam hati aku tertawa puas. Rasakan itu! "Bagiku janda ataupun perawan, sama saja. Toh sama-sama jadi istri juga, mengurus keluarga. Aku tidak pernah membedakan status. Yang jelas aku mencintai istriku, begitu juga sebaliknya. Terkadang di jaman seperti ini juga lebih bagus janda. Janda lebih berpengalaman. Yang terpenting, janda lebih banyak rasa perawan, sedangkan perawan rasanya seperti janda," jelas Firman. Ada rasa dongkol sekaligus bahagia mendengarnya. Bahagia karena Firman membelaku, sedang dongkol karena Firman menyebut soal rasa. Memangnya dia pernah merasakan itu sebelumnya? "Kamu menyindirku Fir?" tanya wanita itu, seraya berdiri bertolak pinggang. Aku dan Firman langsung menoleh bertatapan. Apa maksudnya menyindir? Perasaan dari tadi Firman bicaranya hanya menyebut tentang aku. Kenapa dia malah marah? "Keterlaluan kamu Fi
Sebisa mungkin aku menahan emosi. Kata-kata wanita itu, benar-benar membuat hatiku sakit. Apa hanya karena penampilanku seperti ini? Apa semua harus dinilai dari penampilan luarnya? "Bukan, ini istriku!" jawab Firman, wajahnya langsung berubah kesal. Wanita itu tampak terkejut. Ekspresi terkejutnya sukses membuat aku mengumpat dalam hati. Seolah dia buat sengaja. "Eh, maaf Fir. Istri ya? Aku kira tadi babu kamu. Maaf ya istri Firman!" ucapnya, tersenyum sinis. Suasana hatiku kembali berubah. Ingin rasanya aku cepat pulang. Kata-kata pembantu masih mending dibandingkan dengan babu. Apa dia sengaja mengatakan itu? Mana senyumnya sinis begitu. Ini sih, sama saja dia menabuh genderang perang. "Sis, tolong jaga cara bicara kamu! Aku rasa, kata babu itu terlalu kasar. Dia ini calon ibu untuk anak-anakku," ucap Firman tegas. Wajar saja Firman marah. Suami mana yang tidak marah, kalau istrinya dihina sedemikian rupa. Walaupun tida