"Sudah puas kau sekarang?!"
Adelia Nina Pranata menoleh ke arah sang mertua yang tengah menatapnya penuh kebencian. Padahal kedua netranya saat ini masih basah dan memerah. Adelia jelas belum menerima kematian anaknya, tetapi malah dituduh seolah tengah bersenang-senang dalam keadaan yang sangat menyakitkan ini. "Ibu, kita pergi saja. Tidak ada gunanya berbicara dengannya di sini." Ardi, suami Adelia berbicara membuat ibunya melempar tatapan sengit ke arahnya. "Kau bermaksud ingin membela istrimu yang tidak becus ini? Hah?!" "Aku tidak membelanya, Bu. Tapi—" "Ingat, Ardi! Anakmu meninggal karena dia! Dia sudah lalai sebagai ibu hingga mengakibatkan kematian anakmu sendiri!" Nyonya Sri membentak membuat semua orang yang ada di pemakaman semakin memperhatikannya. Ketegangan semakin terasa, berbagai bisik yang tak mengenakkan mulai terdengar membuat mata Adelia terpejam menahan rasa perih yang semakin menusuk hatinya. "Aku tidak bermaksud apa-apa, Bu. Tetapi apa gunanya membahas di sini?" Suara Ardi kembali terdengar. "Halah, bagiku itu sama saja! Justru sangat penting membahasnya di sini agar orang lain tahu bahwa dia yang telah menyebabkan kematian cucuku!" "Ibu ...." "Cukup, Ardi! Tidak ada gunanya lagi kau membela wanita ini di depanku! Istrimu sudah tidak lagi bekerja semenjak dia mengandung Bintang, tetapi nyatanya apa? Anakmu malah menjadi anak yang penyakitan hingga meninggal! Dia memang tidak becus! Bagiku dia sama saja seperti pembunuh! Kehadirannya hanya membawa petaka untuk keluarga kita!" Nyonya Sri langsung menghentakkan sepatu hak tingginya. Dengan segera ia menepis tangan anak lelakinya dan mengabaikan tatapan orang banyak, hingga mereka semua beralih memperhatikan Adelia yang masih setia duduk di samping makam dengan bibir yang memucat. "Apa kau sudah mendengarnya, Adelia? Lihatlah ulahmu, anakku mati karena keinginanmu!" bisik Ardi yang sontak membuat Adelia menoleh tak percaya. "Kau juga menuduhku, Mas?" "Ya! Bukankah itu sudah sangat jelas?" "Mas, apa maksudmu? Aku—" "Sudahlah, Adelia. Jangan berpura-pura lagi! Aku tahu kau sangat menginginkan kematian Bintang agar kau bisa kembali bekerja untuk mengejar ambisimu!" Bagai tersambar petir, seluruh tubuh Adelia bergetar mendengar kata-kata itu. Adelia tak menyangka, Ardi yang tadi ia sangka ingin membelanya di depan ibu mertua malah menuduhnya dengan kata-kata yang jauh lebih menyakitkan. "Ibu macam apa yang tega mengharapkan kematian anaknya sendiri, Mas? Aku memang ingin kembali bekerja, tetapi itu jauh sebelum Bintang sakit!" balas Adelia yang hanya ditanggapi dengan senyuman tipis. "Kau pikir aku lupa dengan kata-katamu?" "Kata-kata apa yang kau maksud, Mas? Aku tidak pernah meninggalkan Bintang selama kau sibuk bekerja, aku—" "Cukup, Adelia! Aku tahu kau sengaja berdalih ingin kembali bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan Bintang dengan gajimu yang tak seberapa itu, padahal sebenarnya kau hanya ingin lepas tanggung jawab dari tugasmu sebagai istri!" "Mas ...." "Sudah, aku tidak lagi mau mendengarkan penjelasanmu! Ibu benar, kau memang tidak becus sebagai istri dan ibu untuk Bintang!" Ardi menekankan setiap kata-katanya membuat semua yang di sana terdiam. Pria itu nampak tak malu menghina istrinya di depan banyak orang dan langsung pergi begitu saja meninggalkan Adelia yang sedang bersusah-payah menahan ledakan tangisnya. Hancur! Hancur sudah kekuatan Adelia saat ini! Rasa sesak semakin mencekiknya kala mengingat kembali semua tuduhan tak berdasar suami dan mertuanya. Rasanya Adelia ingin menjerit dengan semua perlakuan tak adil ini, tetapi sayang seluruh tenaganya telah terkuras habis. "Bu, maaf. Untuk masalah biaya pemakaman—" "Ini uangnya, Pak. Maaf, suami saya tidak langsung membayarnya tadi," potong Adelia pelan seraya mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dari dompetnya. Sebisa mungkin wanita berumur 28 tahun itu menutupi kesedihannya di depan para tamu pemakaman. Adelia mencoba tegar karena setidaknya saat ini anaknya sudah tak lagi merasakan sakit, hingga akhirnya mereka semua bergantian pamit dan meninggalkan dirinya sendiri. "Aku rindu dengan sikap baikmu dulu, Mas. Tapi bisakah kau kembali setelah semua ini terjadi?" Adelia bergumam seraya menyeka air matanya. Dengan rintik hujan yang membasahi tubuhnya, Adelia bangkit. Ia gegas mempersiapkan mental sebelum kembali pulang, walau sebenarnya sudah tak lagi terkejut dengan tabiat Ardi yang sering meledak akhir-akhir ini. Selama menjalani tiga tahun masa pernikahannya, sikap Ardi memang terus berubah. Suaminya kerap kali mengabaikannya dengan alasan sibuk. Adelia tahu ini konsekuensinya karena telah mengusahakan kenaikan jabatan pria itu sebelum dirinya memutuskan berhenti bekerja, tetapi Adelia tak menyangka rasanya tidak dianggap selama bertahun-tahun sangat menyiksa dan menyakitkan sekali. "Ah! Kau memang selalu memuaskan, Sayang!" Kening Adelia mengerenyit kala tak sengaja mendengar suara dari lantai atas. Degup jantungnya sedikit berdetak kencang, dengan segera ia menaiki anak tangga hingga kedua netra sembabnya membulat kala menyaksikan kebersamaan suami yang sempat menghinanya di depan orang banyak dengan seorang wanita yang tak asing baginya di atas ranjang. "Tidak! Ini tidak mungkin! Jadi seperti ini kelakuanmu di belakangku, Mas?" Adelia bergumam pelan seraya menutup mulutnya sendiri. Sebisa mungkin Adelia menahan suara tangisnya. Suara desah dan tawa terdengar semakin menelusup indra pendengaran hingga menusuk relung hatinya. Tubuh Adelia bergetar pilu, tak kuasa melihat pemandangan yang amat tak pantas dari balik celah pintu kamarnya sendiri. "Kau memang selalu bisa menghiburku, Citra! Tidak seperti Adelia yang selalu membuatku pusing!" Suara Ardi terdengar dengan sedikit terengah. "Ah, kau bisa saja. Memangnya Adelia tidak pernah menghiburmu?" tanya suara lain dengan manja. "Sahabatmu itu hanya menyusahkan, Sayang! Tubuhnya saja kurus tidak menarik! Aku kira dia bermanfaat, tetapi nyatanya apa? Rumah sering berantakan dan bahkan dia tidak bisa mengurus anaknya sendiri!" Dada Adelia kembali terasa sesak mendengarnya. Padahal selama ini ia tak pernah melalaikan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga meski harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menemani anaknya yang mengidap leukemia akut. Namun nampaknya semua pengorbanannya itu sama sekali tak terlihat di mata suaminya. "Setidaknya Adelia berguna dalam kenaikan jabatanmu, Mas. Tanpanya, mungkin kau tidak bisa berada di posisi manager?" "Ya, tetapi tetap saja dia bodoh! Seharusnya dia tidak mengikuti kata ibu untuk berhenti bekerja dan menerima tawaran jabatan sebagai sekretaris CEO. Setidaknya dengan begitu dia bisa mencari uang tambahan untuk kita, bukan malah menguras uangku untuk semua kebutuhannya!" Bagai ditusuk berkali-kali, akhirnya kekuatan Adelia runtuh. Derai air matanya tumpah. Sebisa mungkin Adelia bangkit dengan mencengkram erat benda-benda yang ada di sisinya, sebelum akhirnya meraih ponsel dan membuka sesuatu yang ada di sana. "Aku tidak akan diam saja, Mas! Akan kupastikan kau menyesal! Kau harus membayar setimpal semua pengorbananku yang selama ini tak pernah kau anggap!"Tingg![Maaf, untuk saat ini Nyonya Besar sedang tidak dapat diganggu!]Dengan tangan yang bergetar, air mata Adelia kembali tumpah. Harapannya pupus. Rasa sakit yang semakin menusuk membuatnya lupa cara bernapas hingga tak menyadari suara langkah yang mendekat ke arahnya."Sedang apa kau di sini?""Bu ... Aku—""Kau sedang mengintip kebersamaan suamimu dengan Citra?" potong Nyonya Sri yang sontak membuat kedua netra coklat Adelia melebar. "Dengarkan aku, Adelia. Biarkan saja mereka di dalam karena sekarang aku membutuhkanmu untuk membereskan ruang tamu!""Tapi, Bu. Aku tidak mungkin bisa membiarkan mereka berdua di dalam begitu saja. Mereka—""Akhh! Kau ini memang menantu menyebalkan, Adelia! Tidak bisakah kau langsung menuruti kata-kataku saja? Sudah beruntung kau masih ditampung di rumah ini dengan gratis!" Air mata Adelia kembali membendung tak tahan mendengarnya. Ia semakin kesulitan berbicara, terlebih setelahnya terdengar tawa Ardi dan Citra dari dalam sana yang sama sekali ta
"Sudah kuduga, suamimu memang tidak benar!" Sebuah kepalan tangan terlihat mengerat seiring dengan semakin jelasnya rekaman video yang baru saja Adelia tampilkan. Rahang pria beralis tebal itu mengeras, napasnya memburu menahan amarah, hingga akhirnya Adelia langsung bergerak mematikan layar ponselnya. Bisma Vidjaya Mahendra, itulah nama lengkap pria yang ada di hadapannya. Pria itu yang membawanya ke mansion mewah di pusat kota ini dan juga yang telah memberikannya secangkir teh dan mantel tebal untuk menghangatkan tubuhnya yang kedinginan. Tak ada lagi kacamata yang menempel di wajahnya. Tubuh kurus nan tinggi kini sudah lebih berisi dengan beberapa otot yang menyembul di balik kemejanya. Ah, sebenarnya apa yang Adelia pikirkan? Terakhir kali Adelia bertemu dengannya sepuluh tahun yang lalu, hidupnya saja sudah banyak berubah hingga kini menjadi hancur. "Kenapa kau kembali?" Adelia bertanya setelah sempat lama bergeming. "Sebaiknya kau beristirahat saja dulu, Adelia. Kita lanju
"Sialan! Kau ...."Satu tangan Ardi kembali terangkat hendak melayangkan tamparan di pipi Adelia. Namun kali ini dengan cepat Bisma menahan hingga Adelia terpaku menatapnya."Singkirkan tanganmu!" ucap pria itu penuh penekanan."Aku tidak mempunyai urusan denganmu! Cepatlah menyingkir! Kau mengganggu urusanku dengan istriku!" Ardi bersuara dengan rahangnya yang semakin mengeras.Tanpa ekspresi, Bisma lantas maju dan menjauhkan Adelia. Ia tatap pria di hadapannya dengan aura yang tak kalah kuat hingga netra hitam itu sedikit membulat. "Maaf, sepertinya Anda yang mengganggu urusan saya di sini. Jika ingin menyelesaikan masalah keluarga, selesaikanlah di rumah!""Sialan! Kau benar-benar menganggu!" Ardi bergerak maju ingin menyerang pria di hadapannya, tetapi setelahnya beberapa petugas keamanan langsung berdatangan dan menghalangi semua pergerakannya."Kalian semua sialan! Aku hanya ingin berbicara dengan istriku!" Ardi menggeram membuat Bisma beralih menatap Adelia."Apa benar dia sua
"Astaga!" Tubuh Adelia mematung kala melihat beberapa foto yang baru saja Ardi kirimkan. Napasnya mendadak tertahan, apalagi setelahnya muncul beberapa pesan yang membuat jari-jemarinya berkeringat dingin. "Ada apa, Adelia? Siapa yang—" "Huweek!" "Maaf, Bisma. Aku izin ke toilet dulu sebentar!" Tanpa basa-basi Adelia langsung keluar dengan ponsel di tangannya. Melihat hal itu alis tebal Bisma mengerenyit. Ingin ia menyusul karena merasa khawatir, tetapi setelahnya ponselnya juga berdering dan menampilkan nama yang tak bisa diabaikan. ["Aku ingin bicara denganmu dan Adelia malam ini!"] Sementara di lantai bawah, Adelia ternyata tak pergi ke toilet. Dengan langkah dan degup jantungnya yang semakin cepat, netranya menilik sekitar hingga langsung menampar seorang pria yang baru saja menampakkan diri. "Apa maksudmu?" tanya Adelia yang sontak membuat Ardi mengusap wajahnya. "Kenapa cepat sekali? Aku pikir kau sudah tidak peduli denganku karena sibuk sebagai jalang!" "Jaga ucapanmu
Adelia berdiri di depan cermin toilet, memperbaiki riasannya yang sedikit luntur karena semua ulah Ardi yang begitu kasar. Jika dulu selalu ada tetes air mata yang membasahi wajah cantiknya setelah terlibat bersitegang dengan pria itu, sekarang tentu tidak. Adelia tak mau membuang-buang air matanya lagi untuk pria yang sama sekali tak menganggapnya. Ia lebih memilih melupakan semuanya, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri seraya memikirkan Bisma yang tiba-tiba memanggil Ardi tanpa sepengetahuannya. "Kenapa Bisma melarangku datang ke ruangannya? Sebenarnya apa yang terjadi?" gumam Adelia pelan hampir tak terdengar. Sederet pesan yang baru saja dikirimkan oleh Bisma membuat tekukan di dahi Adelia semakin mendalam. Ia menggerai rambut panjangnya yang terasa gerah, hingga jari-jemarinya bergerak menanyakan maksud pria itu dengan berulang karena tak kunjung mendapatkan balasan. "Huh! Aku harap mereka berdua tidak sedang ribut sekarang!" Adelia akhirnya tak mempunyai piliha
"Apa yang kau bicarakan, Bella?! Adelia baru saja datang kembali!" Teguran pelan tersebut nampak sama sekali tak dihiraukan dan bahkan dianggap seperti lelucon hingga membuat wanita berambut pendek yang tengah menatap Adelia tersenyum tipis. "Datang kembali untuk apa, Bu? Untuk memperbaiki semua kekacauan yang telah dibuatnya? Atau malah menambah masalah baru?" "Mau sampai kapan kau terus memperkeruh semuanya, Bella?!" "Aku tidak apa-apa, Oma. Apa yang dikatakan Tante Bella tidak sepenuhnya salah. Aku sudah terlalu banyak melakukan kesalahan, tetapi tidak untuk Bintang." Adelia terpaksa menyela pembicaraan untuk meredakan ketegangan dua wanita berbeda usia di dekatnya. "Bintang sama sekali tak bersalah, dia hanyalah korban dari semua keegoisan dan keputusan bodohku!" lanjutnya kembali menunduk dalam. "Baguslah kalau kau sadar, Adelia! Kau memang sudah mengobarkan banyak hal! Ada banyak yang harus kau pertanggung jawabkan jika kau benar-benar ingin kembali ke rumah ini!" "Bella
Semua orang yang ada di sana sontak terdiam mendengar pertanyaan itu. Sepertinya percakapan ini belum bisa segera diakhiri, hingga kini pandangan Bisma beralih ke arah Adelia yang masih berada di sisinya."Aneh! Kalian berdua hanya bisa diam saja bukan?" Bella lantas maju mengabaikan keberadaan dua anak muda di hadapannya. Namun Bisma segera bergerak menahannya dan membuat aura ketegangan kembali menguar."Kalau itu bisa membuat Adelia kembali diterima dan diperlakukan dengan baik di keluarga ini, saya tentu akan segera menikahinya!"Kedua netra cokelat Adelia yang bergetar seketika melebar mendengarnya. Lidahnya mendadak terasa kelu. Berbagai kata yang ada di otaknya seperti menghilang, hingga ia langsung memutuskan pergi begitu saja dengan tetes air mata yang tak mampu ditahannya lagi.Jujur, ada rasa yang bergejolak di hati Adelia ketika ia mendapati sorot mata keseriusan Bisma. Entah apa maksud pria itu sampai nekat melangkah sejauh ini, Adelia tak mengerti dan membutuhkan waktu u
"Kau lihat dampaknya 'kan?"Adelia hanya bisa membisu saat tantenya melenggang pergi melewatinya begitu saja. Tadi dirinya benar-benar sempat panik kala mendengar teriakkan dari salah satu pembantu, apalagi setelahnya ia melihat sendiri kondisi Oma Nora yang semakin memburuk setelah keributan di acara makan malam."Ini bukan salahmu," bisik Bisma menenangkan.Adelia berusaha mengangguk seraya menahan tetes air matanya. Dengan Bisma yang masih menggenggam erat tangannya, ia mengintip dari balik jendela untuk memastikan kembali kondisi omanya yang sedang ditangani."Ibuku memang sengaja menugaskan beberapa dokter rumah sakitnya untuk mengupayakan kesehatan Oma Nora, tetapi tetap saja mereka tidak bisa berusaha dengan maksimal karena semua alat-alat kesehatan yang ada di sini tidak selengkap yang ada di rumah sakit," jelas pria itu yang membuat Adelia menoleh pelan ke arahnya."Jadi Oma tidak mau dirawat di rumah sakit?""Ya, dia bilang akan menghabiskan masa tuanya di rumah ini. Dia sel
"Harapannya kecil, Ayah. Kata dokter, untuk saat ini kita hanya bisa berharap dan berdoa untuk kebaikan Adelia dan anaknya."Sosok wanita bertubuh tinggi di belakang Oma Nora yang akhirnya menjawab pertanyaan Tuan Brata alias mertuanya sendiri. Setelahnya hening, tak ada lagi percakapan yang terdengar hingga tiba-tiba Oma Nora tak sadarkan diri di atas kursi roda yang ditempatinya."Biar aku yang membawanya ke ruang perawatan, Bella. Kamu dan yang lainnya di sini saja untuk memantau keadaan Adelia," tutur Bunda Alice berusaha tenang di tengah kegentingan suasana ini."Terima kasih, Kak. Tolong kabari aku jika ada sesuatu yang penting."Mengangguk, ibu kandungnya Bisma tersebut segera berjalan ke ruangan lain. Keadaan sekarang benar-benar terasa mendebarkan. Tak ada satu orang pun yang bisa bernapas lega, terlebih saat ini Adelia sedang berada di tengah ambang hidup dan mati.Seperti yang dikatakan oleh Bella tadi, sekarang semuanya hanya bisa terus berdoa dan berharap tentang keselama
"Bagaimana keadaannya, Dok?"Di sisi lain, ada seorang pria yang sedang sangat cemas menunggu kabar baik dari wanita yang kini tengah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Napasnya masih tak beraturan setelah tadi sempat berlari sekencang mungkin ke tempat ini, begitu pula dengan tangannya yang masih terasa dingin karena rasa panik yang sempat menyerangnya.Bagaimana bisa Agler tak merasakan semua sensasi menegangkan ini? Adelia yang tiba-tiba tak sadarkan diri dengan sesuatu yang mengalir deras di kedua kakinya membuatnya tak bisa banyak berpikir. Tujuannya saat itu hanya satu, yaitu membawa wanita tersebut ke rumah sakit agar bisa segera ditangani oleh dokter."Maaf, Pak. Apa Anda suaminya?" Sang dokter malah balik bertanya hingga membuat cucunya Tuan Brata itu sedikit mengembuskan napasnya dengan berat."Saya ... Kebetulan saya hanya temannya saja, Dok. Dia dan suaminya sudah lama berpisah," ucapnya sedikit terbata-bata mengingat dirinya yang sebenarnya tak tahu apa-apa tent
"Sial! Kenapa jadi semakin rumit seperti ini?!"Tak bisa melakukan apa pun, Bella hanya bisa sesekali berteriak memaki dari dalam kamarnya. Salah satu tangannya kini mencengkram kuat ponselnya. Beberapa saat lalu jari-jemari yang ada di tangan itu sudah mengetikkan cukup banyak kata untuk mencoba menghubungi pria yang baru saja menjadi suaminya selama beberapa Minggu ini, tetapi sayang semua upayanya tersebut sama sekali tak membuahkan hasil."Ken ... Jika kali ini kau benar-benar bermain dengan Adelia, aku tentu tidak akan membiarkanmu pergi ke ujung dunia sekalipun!"Sekali lagi Bella mendengkus seraya menatap sekilas isi kamarnya. Ia mencoba mencari petunjuk yang mungkin saja ditinggalkan oleh suaminya, hingga kedua netranya memicing saat tak sengaja menemukan sesuatu yang memantulkan cahaya dari atas meja riasnya."Flashdisk? Hmm, baiklah. Mari kita lihat apa yang sudah kau simpan di dalam benda kecil ini, Ken. Kau sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal dan sudah melanggar ke
Kedua netra Agler membulat saat menyadari tubuh Adelia yang sudah jatuh tersungkur di atas tanah. Dengan segera ia berusaha menjuhkan Citra dari wanita yang sebenarnya tadi sudah berada di sampingnya itu dan tak ragu lagi untuk mendorongnya dengan kencang, sampai beberapa saat kemudian kedua netranya membulat saat menyadari sesuatu yang kini tengah mengarah kepadanya."Ck! Wanita ini benar-benar gila!" gumamnya mendengkus kesal sebelum akhirnya kembali membantu Adelia untuk berdiri tegak di sampingnya."Dia tidak akan pernah berhenti selagi masih melihatku sadar, Agler. Aku mohon, tolong aku! Aku sebenarnya tak peduli dia menghabisiku saat ini, tetapi aku ingin anak ini selamat!" Adelia berucap dengan terengah dan tubuh yang kembali bergetar saat lagi-lagi Citra menggunakan sebuah benda yang sangat ditakuti olehnya."Kau mau berjalan sendiri ke arahku atau aku yang akan menarikmu, Adelia? Cepatlah pilih karena aku tidak mau membuang-buang waktu lagi!"Citra nampak tak main-main dengan
Suara teriakan dari kejauhan lantas membuat seorang pria yang baru saja mengeluh tersebut mempertajam indra pendengarannya. Dengan perlahan langkahnya kembali maju menelusuri jalan setapak yang entah akan membawa dirinya ke mana. Hingga beberapa menit kemudian, kedua netra kembali membulat saat melihat sebuah mobil hitam yang terparkir di lahan kosong dengan bayangan dua orang perempuan yang sedikit terlihat di sampingnya."Tidak mungkin! Apa salah satu dari wanita di sana adalah Citra? Kalau memang benar Citra, itu berarti wanita yang sedang disiksa olehnya adalah ....""Sial! Tidak mungkin! Apa iya dia berani segila itu pada Adelia?!"Pria itu mengusap wajahnya dengan gusar sambil perlahan kembali bergerak mendekat. Rencananya yang ingin menemui Citra secara langsung akhirnya ia urungkan, karena kini dirinya berpikir akan jauh lebih aman jika wanita itu tak mengetahui keberadaannya lebih dulu.Keputusannya ini sebenarnya bukan untuk mengamankan dirinya. Pria yang sudah semakin jauh
"Bisma! Bisma! Tunggu! Ke mana saja kau ini! Aku sampai pusing mencarimu karena ibuku terus bertanya tentang keberadaanmu dan Adelia!"Tanpa diduga-duga Tante Bella kini berjalan mendekat ke arah Bisma yang baru saja keluar dari area belakang villa. Wajahnya seketika menegang melihat tantenya Adelia tersebut, apalagi wanita itu memasang ekspresi tak ramah yang mana juga terlihat dengan jelas aura kemarahan di sana."Maaf, Tante. Tadi aku—""Tadi aku sudah mencarimu di kamar Adelia! Ternyata sampai lelah tanganku mengetuk pintu, tidak ada satu orang pun yang menyahut dari dalam sana. Katamu tadi Adelia ingin beristirahat di kamarnya bukan? Kenapa sekarang dia tidak ada di sana?" Tante Bella yang belum selesai dengan emosinya kembali berbicara mencecar, hingga tak sadar memotong pembicaraan pria di hadapannya.Dengan berpikir keras, Bisma berusaha mencari cara yang tepat untuk membicarakan keadaan Adelia saat ini. Ia tahu walau sikap sehari-hari Tante Bella pada Adelia terkesan cuek, wa
"Kenapa? Kenapa harus berpura-pura terkejut? Bukankah kau sudah mengetahui kenyataan itu sebelumnya, Mas?"Masih dalam suasana menegangkan, kini Citra dan Ardi saling menatap dalam diam. Sementara Adelia, wanita itu tak bisa berkutik lagi setelah Citra mengucapkan sesuatu yang selama ini sudah dicobanya untuk ditutupi. Napasnya semakin terasa tercekat seiiring dengan kuatnya cengkraman Citra di lehernya, apalagi sesekali wanita itu mengguncangkan tubuhnya saat berbicara dengan emosinya yang kembali meledak.Ya, semuanya akhirnya terbongkar sudah. Adelia sama sekali tak menyangka kalau selama ini Citra sudah diam-diam memata-matainya, hingga akhirnya mengetahui siapa ayah dari anak yang ada di dalam kandungannya ini yang sebenarnya.Sungguh, sebenarnya Adelia tak bisa menerka apa saja yang ada di dalam pikiran wanita itu. Menurutnya, bukankah seharusnya Citra lebih baik menutupi semua ini Ardi? Bagaimana kalau setelah ini pria itu malah menjalankan rencana lain yang sama sekali tak did
"Apa yang kau lakukan, Citra?! Turunkan benda itu!"Suara yang cukup menggelegar terdengar menghentak setelahnya. Bagi Adelia, situasi saat ini benar-benar terasa sangat mencekam. Kedua lututnya rasanya sangat lemas sampai saat ini, seolah ia tak akan mampu lagi berdiri dengan tegap lagi dalam beberapa detik ke depan nanti."Hmm, kau tidak salah mengarahkan itu ke arahku? Bukankah seharusnya kamu menargetkan mantan istrimu tersayang ini?" Citra menyeringai saat menyadari situasi todong menodong yang tengah dirasakannya."Apa yang telah kau katakan, Citra? Jangan berbuat gila! Sekali saja kau menggunakan itu orang lain akan tahu keberadaan kita di sini!" Ardi berbicara menyentak untuk memperingati."Oh, ya? Bukankah itu akan menjadi tontonan yang menarik?"Ardi mendengkus setelah mendengar tanggapan dari kekasihnya. Ia berkali-kali melirik ke arah Adelia yang wajahnya semakin terlihat pucat dan lemas, serta berganti tatapan ke arah Citra yang tengah berusaha memainkan kendali dengan uc
Kedua netra Citra saat ini sudah semakin terlihat menyalang ke arah Adelia. Andai saja di belakang kepalanya bisa mengeluarkan asap, mungkin sekarang asap tersebut sudah membumbung tinggi ke atas membuat udara di sekitar semakin panas seiiring dengan terbakarnya amarah yang ada di dalam dada.Kedua tangannya semakin terkepal erat di masing-masing sisi tubuhnya, seiiring dengan derap langkah yang semakin terdengar. Citra kembali maju henda menyerang Adelia dengan menarik rambut panjangnya lebih dulu. Namun sebelum itu semua terjadi, Adelia tentu tak hanya diam saja. Dengan secepat mungkin wanita yang tengah berbadan dua tersebut membenturkan ujung kepalanya tepat di wajah Citra, hingga tak sampai beberapa detik kemudian wanita itu terdengar mengaduh kesakitan sembari memegangi hidungnya yang sedikit mengeluarkan noda merah."Aku tidak tahu hal apa yang membuatmu sampai nekat melakukan penculikan ini padaku, Citra. Seharusnya kalau kau sudah tahu siapa diriku sebenarnya, kau harus lebih