Share

Dihina Mantan Suami, Diratukan Cinta Sejati
Dihina Mantan Suami, Diratukan Cinta Sejati
Penulis: Amarta Bleue

Yang Tak Dianggap

"Sudah puas kau sekarang?!"

Adelia Nina Pranata menoleh ke arah sang mertua yang tengah menatapnya penuh kebencian. Padahal kedua netranya saat ini masih basah dan memerah. Adelia jelas belum menerima kematian anaknya, tetapi malah dituduh seolah tengah bersenang-senang dalam keadaan yang sangat menyakitkan ini.

"Ibu, kita pergi saja. Tidak ada gunanya berbicara dengannya di sini." Ardi, suami Adelia berbicara membuat ibunya melempar tatapan sengit ke arahnya.

"Kau bermaksud ingin membela istrimu yang tidak becus ini? Hah?!"

"Aku tidak membelanya, Bu. Tapi—"

"Ingat, Ardi! Anakmu meninggal karena dia! Dia sudah lalai sebagai ibu hingga mengakibatkan kematian anakmu sendiri!"

Nyonya Sri membentak membuat semua orang yang ada di pemakaman semakin memperhatikannya. Ketegangan semakin terasa, berbagai bisik yang tak mengenakkan mulai terdengar membuat mata Adelia terpejam menahan rasa perih yang semakin menusuk hatinya.

"Aku tidak bermaksud apa-apa, Bu. Tetapi apa gunanya membahas di sini?" Suara Ardi kembali terdengar.

"Halah, bagiku itu sama saja! Justru sangat penting membahasnya di sini agar orang lain tahu bahwa dia yang telah menyebabkan kematian cucuku!"

"Ibu ...."

"Cukup, Ardi! Tidak ada gunanya lagi kau membela wanita ini di depanku! Istrimu sudah tidak lagi bekerja semenjak dia mengandung Bintang, tetapi nyatanya apa? Anakmu malah menjadi anak yang penyakitan hingga meninggal! Dia memang tidak becus! Bagiku dia sama saja seperti pembunuh! Kehadirannya hanya membawa petaka untuk keluarga kita!"

Nyonya Sri langsung menghentakkan sepatu hak tingginya. Dengan segera ia menepis tangan anak lelakinya dan mengabaikan tatapan orang banyak, hingga mereka semua beralih memperhatikan Adelia yang masih setia duduk di samping makam dengan bibir yang memucat.

"Apa kau sudah mendengarnya, Adelia? Lihatlah ulahmu, anakku mati karena keinginanmu!" bisik Ardi yang sontak membuat Adelia menoleh tak percaya.

"Kau juga menuduhku, Mas?"

"Ya! Bukankah itu sudah sangat jelas?"

"Mas, apa maksudmu? Aku—"

"Sudahlah, Adelia. Jangan berpura-pura lagi! Aku tahu kau sangat menginginkan kematian Bintang agar kau bisa kembali bekerja untuk mengejar ambisimu!"

Bagai tersambar petir, seluruh tubuh Adelia bergetar mendengar kata-kata itu. Adelia tak menyangka, Ardi yang tadi ia sangka ingin membelanya di depan ibu mertua malah menuduhnya dengan kata-kata yang jauh lebih menyakitkan.

"Ibu macam apa yang tega mengharapkan kematian anaknya sendiri, Mas? Aku memang ingin kembali bekerja, tetapi itu jauh sebelum Bintang sakit!" balas Adelia yang hanya ditanggapi dengan senyuman tipis.

"Kau pikir aku lupa dengan kata-katamu?"

"Kata-kata apa yang kau maksud, Mas? Aku tidak pernah meninggalkan Bintang selama kau sibuk bekerja, aku—"

"Cukup, Adelia! Aku tahu kau sengaja berdalih ingin kembali bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan Bintang dengan gajimu yang tak seberapa itu, padahal sebenarnya kau hanya ingin lepas tanggung jawab dari tugasmu sebagai istri!"

"Mas ...."

"Sudah, aku tidak lagi mau mendengarkan penjelasanmu! Ibu benar, kau memang tidak becus sebagai istri dan ibu untuk Bintang!"

Ardi menekankan setiap kata-katanya membuat semua yang di sana terdiam. Pria itu nampak tak malu menghina istrinya di depan banyak orang dan langsung pergi begitu saja meninggalkan Adelia yang sedang bersusah-payah menahan ledakan tangisnya.

Hancur! Hancur sudah kekuatan Adelia saat ini!

Rasa sesak semakin mencekiknya kala mengingat kembali semua tuduhan tak berdasar suami dan mertuanya. Rasanya Adelia ingin menjerit dengan semua perlakuan tak adil ini, tetapi sayang seluruh tenaganya telah terkuras habis.

"Bu, maaf. Untuk masalah biaya pemakaman—"

"Ini uangnya, Pak. Maaf, suami saya tidak langsung membayarnya tadi," potong Adelia pelan seraya mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dari dompetnya.

Sebisa mungkin wanita berumur 28 tahun itu menutupi kesedihannya di depan para tamu pemakaman. Adelia mencoba tegar karena setidaknya saat ini anaknya sudah tak lagi merasakan sakit, hingga akhirnya mereka semua bergantian pamit dan meninggalkan dirinya sendiri.

"Aku rindu dengan sikap baikmu dulu, Mas. Tapi bisakah kau kembali setelah semua ini terjadi?" Adelia bergumam seraya menyeka air matanya.

Dengan rintik hujan yang membasahi tubuhnya, Adelia bangkit. Ia gegas mempersiapkan mental sebelum kembali pulang, walau sebenarnya sudah tak lagi terkejut dengan tabiat Ardi yang sering meledak akhir-akhir ini.

Selama menjalani tiga tahun masa pernikahannya, sikap Ardi memang terus berubah. Suaminya kerap kali mengabaikannya dengan alasan sibuk. Adelia tahu ini konsekuensinya karena telah mengusahakan kenaikan jabatan pria itu sebelum dirinya memutuskan berhenti bekerja, tetapi Adelia tak menyangka rasanya tidak dianggap selama bertahun-tahun sangat menyiksa dan menyakitkan sekali.

"Ah! Kau memang selalu memuaskan, Sayang!"

Kening Adelia mengerenyit kala tak sengaja mendengar suara dari lantai atas. Degup jantungnya sedikit berdetak kencang, dengan segera ia menaiki anak tangga hingga kedua netra sembabnya membulat kala menyaksikan kebersamaan suami yang sempat menghinanya di depan orang banyak dengan seorang wanita yang tak asing baginya di atas ranjang.

"Tidak! Ini tidak mungkin! Jadi seperti ini kelakuanmu di belakangku, Mas?" Adelia bergumam pelan seraya menutup mulutnya sendiri.

Sebisa mungkin Adelia menahan suara tangisnya. Suara desah dan tawa terdengar semakin menelusup indra pendengaran hingga menusuk relung hatinya. Tubuh Adelia bergetar pilu, tak kuasa melihat pemandangan yang amat tak pantas dari balik celah pintu kamarnya sendiri.

"Kau memang selalu bisa menghiburku, Citra! Tidak seperti Adelia yang selalu membuatku pusing!" Suara Ardi terdengar dengan sedikit terengah.

"Ah, kau bisa saja. Memangnya Adelia tidak pernah menghiburmu?" tanya suara lain dengan manja.

"Sahabatmu itu hanya menyusahkan, Sayang! Tubuhnya saja kurus tidak menarik! Aku kira dia bermanfaat, tetapi nyatanya apa? Rumah sering berantakan dan bahkan dia tidak bisa mengurus anaknya sendiri!"

Dada Adelia kembali terasa sesak mendengarnya. Padahal selama ini ia tak pernah melalaikan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga meski harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menemani anaknya yang mengidap leukemia akut. Namun nampaknya semua pengorbanannya itu sama sekali tak terlihat di mata suaminya.

"Setidaknya Adelia berguna dalam kenaikan jabatanmu, Mas. Tanpanya, mungkin kau tidak bisa berada di posisi manager?"

"Ya, tetapi tetap saja dia bodoh! Seharusnya dia tidak mengikuti kata ibu untuk berhenti bekerja dan menerima tawaran jabatan sebagai sekretaris CEO. Setidaknya dengan begitu dia bisa mencari uang tambahan untuk kita, bukan malah menguras uangku untuk semua kebutuhannya!"

Bagai ditusuk berkali-kali, akhirnya kekuatan Adelia runtuh. Derai air matanya tumpah. Sebisa mungkin Adelia bangkit dengan mencengkram erat benda-benda yang ada di sisinya, sebelum akhirnya meraih ponsel dan membuka sesuatu yang ada di sana.

"Aku tidak akan diam saja, Mas! Akan kupastikan kau menyesal! Kau harus membayar setimpal semua pengorbananku yang selama ini tak pernah kau anggap!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status