Adelia berdiri di depan cermin toilet, memperbaiki riasannya yang sedikit luntur karena semua ulah Ardi yang begitu kasar. Jika dulu selalu ada tetes air mata yang membasahi wajah cantiknya setelah terlibat bersitegang dengan pria itu, sekarang tentu tidak.
Adelia tak mau membuang-buang air matanya lagi untuk pria yang sama sekali tak menganggapnya. Ia lebih memilih melupakan semuanya, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri seraya memikirkan Bisma yang tiba-tiba memanggil Ardi tanpa sepengetahuannya. "Kenapa Bisma melarangku datang ke ruangannya? Sebenarnya apa yang terjadi?" gumam Adelia pelan hampir tak terdengar. Sederet pesan yang baru saja dikirimkan oleh Bisma membuat tekukan di dahi Adelia semakin mendalam. Ia menggerai rambut panjangnya yang terasa gerah, hingga jari-jemarinya bergerak menanyakan maksud pria itu dengan berulang karena tak kunjung mendapatkan balasan. "Huh! Aku harap mereka berdua tidak sedang ribut sekarang!" Adelia akhirnya tak mempunyai pilihan selain menuruti kata pria yang sekarang sudah menjadi atasannya. Ia merasa seperti sedang memakan gaji buta. Sama sekali tak ada pekerjaan yang dilakukannya, selain diam menunggu di kantin sampai waktu makan siang tiba. "Apa kau tahu penyebab keributan tadi pagi?" bisik seseorang yang masih terdengar jelas di telinga Adelia. "Entahlah, aku datang terlambat. Tetapi aku dengar ini semua karena drama rumah tangga Pak Ardi dan Bu Adelia ya? Kenapa Bu Adelia bisa tiba-tiba kembali ke kantor ini? Bukankah dia sudah lama berhenti?" "Ya, semua orang memang heboh membicarakannya tadi. Aku juga tidak tahu kenapa Bu Adelia bisa tiba-tiba kembali, tetapi ada yang bilang dia sengaja kembali untuk balas dendam pada Pak Ardi yang ternyata selama ini diam-diam berselingkuh dengan Bu Citra!" "Ah, untuk itu sebenarnya aku sudah tahu lama. Aku pernah tidak sengaja memergoki mereka berdua yang sedang berpelukan dan berciuman, tetapi setelahnya Pak Ardi langsung mengancamku untuk tidak bilang ke Bu Adelia. Sangat sial bukan?" "Benarkah?" Tangan Adelia terkepal mendengarnya. Walau sudah memutuskan untuk tak peduli lagi dengan Ardi dan Citra, tetapi tetap saja ada rasa kesal di hatinya kala mengetahui kemesraan mereka yang ternyata sudah terjalin cukup lama. "Sudah puas sekarang kau, Adelia?!" Plakk! Sebuah tamparan langsung melayang begitu saja membuat kedua netra Adelia membulat. Perkataan itu mengingatkannya kembali tentang pedasnya tuduhan sang mertua, hingga dengan segera Adelia menggeleng menepis semua kenangan yang sangat buruk di ingatannya tersebut. "Apa maksudmu, Citra?! Beraninya kau menamparku setelah selama ini kau diam-diam merebut suamiku?" ujar Adelia tak mau kalah dengan tatapan yang tegas. "Cukup, Adelia! Kau tidak bisa terus menyalahkan hubunganku dengan Mas Ardi! Yang salah itu sebenarnya kau! Istri macam apa yang selalu membuat suaminya tidak nyaman dan bahkan kesulitan? Apa kau sama sekali tidak pernah diajarkan dengan baik oleh keluargamu?" Adelia menggeleng tak habis pikir dengan perkataan itu. "Aku rasa ada yang salah dengan otakmu, Citra. Biar bagaimanapun tidak ada alasan yang tepat yang bisa kau gunakan untuk merebut suami orang!" "Wanita macam apa yang tega merebut suami orang lain? Apa kau sama sekali tidak pernah dididik dengan baik oleh keluargamu?" "Kau ...." Satu tangan Citra kembali terangkat hendak menampar wajah Adelia, tetapi Adelia dengan cepat menepisnya hingga membuat Citra sedikit meringis kesakitan. "Karena kau, sekarang Mas Ardi dipecat! Selamat, Adelia! Kau sudah berhasil merusak karir suamimu sendiri!" geramnya tertahan membuat Adelia tersenyum tipis. "Asal kau tahu, Citra. Aku sama sekali tidak tahu tentang pemecatan Ardi! Bukankah kau tahu tidak mudah untuk memecat seorang manajer begitu saja?" "Kau bohong, Adelia! Aku tahu kau pasti sudah merencanakan ini semua sebelumnya!" Citra langsung membalas dengan napasnya yang semakin menggebu. "Terserah kau mau percaya padaku atau tidak, Citra. Yang jelas aku sama sama sekali tidak merusak karir suamiku! Semenjak aku menyaksikan perselingkuhannya denganmu, dia sudah tidak lagi aku anggap sebagai suami!" "Kau memang menyebalkan, Adelia! Pantas saja Mas Ardi tidak pernah bisa mencintaimu!" Adelia lantas memilih pergi mengabaikan Citra yang wajahnya semakin memerah. Ia tak mau terlibat keributan lagi, terlebih setelahnya terdapat beberapa pesan Bisma yang memintanya untuk segera kembali ke ruangannya. "Sebenarnya kita mau ke mana? Menemui klien?" Adelia akhirnya bertanya setelah sempat lama bungkam kala melihat raut wajah serius Bisma yang ternyata cukup menakutkan. Ia pikir tadi Bisma ingin membicarakan masalah Ardi, tetapi ternyata tidak. Pria itu hanya membahas tentang sederet pekerjaan yang akan dilakukannya ke depan nanti dan mengajaknya pergi meninggalkan kantor tanpa alasan yang jelas. "Ada yang harus kita temui malam ini. Sebaiknya sekarang kita pulang dan bersiap-siap karena sepertinya pertemuan nanti bukanlah pertemuan yang biasa!" Dahi Adelia semakin mengerenyit. Dirinya tak mengerti. Namun saat malam tiba dan pria itu kembali mengajaknya pergi, tiba-tiba saja degup jantungnya berdetak kencang kala menyadari jalanan yang sangat tak asing di benaknya. "Tidak! Ini tidak mungkin! Kenapa kau tiba-tiba membawaku ke sini?" Adelia sontak menoleh ke arah Bisma saat sebuah rumah mewah bernuansa putih semakin muncul dengan jelas di penglihatannya. "Maaf, Adelia. Karena beberapa hal, aku harus membawamu lebih awal ke tempat yang lama tak kau pijak!" "Tapi kau tidak bisa membawaku begitu saja, Bisma! Aku sama sekali belum—" "Kondisi Oma Nora semakin menurun. Aku harap kau mengerti dengan keputusanku, Adelia!" Bahu Adelia melemas mendengarnya. Ia tak bisa mengelak lagi. Ada rasa sedih bercampur takut yang mengaduk-aduk hatinya, apalagi saat Bisma semakin membimbingnya untuk melangkah memasuki rumah yang menyimpan lebih dari sejuta kenangan untuknya itu. "Akhirnya kau datang kembali, Adelia!" "Oma!" Suara sambutan yang terdengar pelan dan bergetar itu akhirnya membuat tangis Adelia pecah. Adelia tak mampu menahan gejolak perasaannya lagi. Dengan cepat ia berlari menghampiri sosok yang terlihat sangat pucat dan lemas di atas ranjang dan memeluknya dengan penuh hati-hati. "Maafkan aku karena baru kembali, Oma! Aku—" "Aku paham, Adelia. Kau pasti selama ini sangat sibuk mengurus anakmu. Seharusnya aku yang meminta maaf padamu karena aku tidak bisa melihat pemakaman cicitku sendiri!" Wanita paruh baya tersebut berucap pelan membuat Adelia semakin mengeratkan pelukannya. Jujur, ada rasa haru yang seketika singgah di hatinya. Adelia tak menyangka bahwa selama ini masih ada yang memikirkannya, hingga semua itu berubah kala terdengar langkah lain yang mendekat dan menatapnya dengan angkuh. "Bukan cicitmu, Bu! Anaknya hanyalah anak dari pria miskin yang tidak tahu diri!" "Bella ...." "Kenapa, Bu? Bukankah yang aku bilang benar adanya?" Wanita bertubuh tinggi itu kembali beralih menatap Adelia yang terdiam dan menunduk dalam."Apa yang kau bicarakan, Bella?! Adelia baru saja datang kembali!" Teguran pelan tersebut nampak sama sekali tak dihiraukan dan bahkan dianggap seperti lelucon hingga membuat wanita berambut pendek yang tengah menatap Adelia tersenyum tipis. "Datang kembali untuk apa, Bu? Untuk memperbaiki semua kekacauan yang telah dibuatnya? Atau malah menambah masalah baru?" "Mau sampai kapan kau terus memperkeruh semuanya, Bella?!" "Aku tidak apa-apa, Oma. Apa yang dikatakan Tante Bella tidak sepenuhnya salah. Aku sudah terlalu banyak melakukan kesalahan, tetapi tidak untuk Bintang." Adelia terpaksa menyela pembicaraan untuk meredakan ketegangan dua wanita berbeda usia di dekatnya. "Bintang sama sekali tak bersalah, dia hanyalah korban dari semua keegoisan dan keputusan bodohku!" lanjutnya kembali menunduk dalam. "Baguslah kalau kau sadar, Adelia! Kau memang sudah mengobarkan banyak hal! Ada banyak yang harus kau pertanggung jawabkan jika kau benar-benar ingin kembali ke rumah ini!" "Bella
Semua orang yang ada di sana sontak terdiam mendengar pertanyaan itu. Sepertinya percakapan ini belum bisa segera diakhiri, hingga kini pandangan Bisma beralih ke arah Adelia yang masih berada di sisinya."Aneh! Kalian berdua hanya bisa diam saja bukan?" Bella lantas maju mengabaikan keberadaan dua anak muda di hadapannya. Namun Bisma segera bergerak menahannya dan membuat aura ketegangan kembali menguar."Kalau itu bisa membuat Adelia kembali diterima dan diperlakukan dengan baik di keluarga ini, saya tentu akan segera menikahinya!"Kedua netra cokelat Adelia yang bergetar seketika melebar mendengarnya. Lidahnya mendadak terasa kelu. Berbagai kata yang ada di otaknya seperti menghilang, hingga ia langsung memutuskan pergi begitu saja dengan tetes air mata yang tak mampu ditahannya lagi.Jujur, ada rasa yang bergejolak di hati Adelia ketika ia mendapati sorot mata keseriusan Bisma. Entah apa maksud pria itu sampai nekat melangkah sejauh ini, Adelia tak mengerti dan membutuhkan waktu u
"Kau lihat dampaknya 'kan?"Adelia hanya bisa membisu saat tantenya melenggang pergi melewatinya begitu saja. Tadi dirinya benar-benar sempat panik kala mendengar teriakkan dari salah satu pembantu, apalagi setelahnya ia melihat sendiri kondisi Oma Nora yang semakin memburuk setelah keributan di acara makan malam."Ini bukan salahmu," bisik Bisma menenangkan.Adelia berusaha mengangguk seraya menahan tetes air matanya. Dengan Bisma yang masih menggenggam erat tangannya, ia mengintip dari balik jendela untuk memastikan kembali kondisi omanya yang sedang ditangani."Ibuku memang sengaja menugaskan beberapa dokter rumah sakitnya untuk mengupayakan kesehatan Oma Nora, tetapi tetap saja mereka tidak bisa berusaha dengan maksimal karena semua alat-alat kesehatan yang ada di sini tidak selengkap yang ada di rumah sakit," jelas pria itu yang membuat Adelia menoleh pelan ke arahnya."Jadi Oma tidak mau dirawat di rumah sakit?""Ya, dia bilang akan menghabiskan masa tuanya di rumah ini. Dia sel
"Apa maksudmu menjual barang palsu padaku?!"Adelia sontak melebarkan matanya saat melihat ibu mertuanya kembali disudutkan. Sebenarnya ini bukan urusannya, tetapi entah kenapa ia tak bisa untuk tak peduli begitu saja, terlebih saat ini semakin banyak orang lain yang menjadikannya sebagai bahan tontonan."Apa maksudmu menjual barang palsu? Aku sama sekali tidak merasa seperti itu! Asal kau tahu, semua barang yang kujual aku ambil dari tempat yang sangat terpercaya!" Nyonya Sri berucap angkuh membela diri."Lihatlah tas yang sekarang kupakai! Ini saja barang asli!" Wanita yang sebagian rambutnya sudah mulai memutih itu menunjukkan tas yang tengah dikenakannya. Namun hal tersebut malah membuat Adelia semakin terkejut, karena ternyata tas yang tengah dikenakannya itu adalah tas miliknya yang selama ini ia simpan di dalam kamar.Jadi seperti ini kelakuan ibu mertuanya setelah ia meninggalkan rumah? Semua barang-barang yang belum sempat ia bawa sudah dikenakan tanpa seizin darinya dan bah
Suara desis dari ikan yang mulai matang dan juga aroma yang menyebar membuat lekukan di pipi Adelia semakin terlihat. Dengan penuh hati-hati, Adelia memindahkan ikan yang cukup besar itu ke piring yang telah dibersihkannya. Tak lupa juga ia menatanya dengan rapi dan menambahkan beberapa hiasan untuk mempercantik semuanya."Nah, akhirnya selesai juga!"Adelia sekali lagi tersenyum menatap semua hidangan yang telah disajikannya di atas meja makan. Netranya melirik sekilas ke arah jam dinding, hingga timbul keinginannya untuk menghubungi Oma Nora sebelum Bisma tiba nanti.Selepas semalam, Adelia memang belum mendapatkan perkembangan lagi tentang kondisi omanya. Bisma hanya mengirimkan pesan padanya untuk jangan khawatir lagi karena semuanya sudah baik-baik saja, tetapi tanpa menjelaskan lebih lanjut."Halo, Oma? Aku—"["Untuk apa kau menelepon? Apa kau tidak tahu omamu sedang beristirahat?!"] Suara ketus itu seketika membuat Adelia terdiam. Ia sedikit menjauhkan layar ponselnya dari te
"Hmm?"Bisma langsung buru-buru menyembunyikan salah satu tangannya yang terlihat memiliki luka lebam. Pria itu tak mau membuat Adelia khawatir, tetapi sayang terlalu terlambat. Hingga Adelia yang sudah terlanjur penasaran segera bangkit untuk melihat tangannya lebih jelas."Astaga, kenapa ini? Baru?" tanya wanita itu dengan dahi yang mengerenyit."Iya, tapi ini bukan apa-apa. Aku hanya—""Sepertinya kau habis memukul sesuatu dengan keras. Apa kau terlibat dalam keributan?" Adelia yang masih belum selesai dengan rasa penasarannya kembali bertanya.Melihat hal itu, Bisma lantas berusaha melepaskan tangannya yang tengah menjadi objek penelitian Adelia. Dengan segera ia berpikir cepat untuk mengalihkan fokus wanita itu ke arah lain, tetapi Adelia yang menangkap gelagatnya langsung memberikan tatapan serius yang tak bisa dielaknya lagi."Aku tadi hanya kelepasan emosi menggebrak meja. Suasana meeting yang sangat kacau tadi benar-benar membuatku lepas kendali." Bisma berucap membuat Adelia
"Apa kau sudah mendapatkan informasi tentang orang itu?" ["Maaf, Tuan. Untuk saat ini belum, tetapi saya dan teman-teman yang lain sudah menemukan sebuah petunjuk yang mungkin akan menuntun kita ke pelakunya!"] "Baiklah, kalau begitu selidiki lebih lanjut! Aku tidak mau kejadian kemarin kembali terulang lagi, apalagi terjadi pada orang-orang yang ada di sekitarku!" Bisma segera menutup panggilan teleponnya saat mendengar suara derap langkah yang mendekat. Suara sepatu hak tinggi Adelia yang baru saja dibelikannya memang sengaja dijadikannya penanda. Dengan segera ia mengubah ekspresinya menjadi lebih rileks dan bahkan sedikit tersenyum pada wanita yang nampak kerepotan membawa beberapa dokumen tersebut. "Bisma?" "Ya, Adelia. Apa kau sudah mendapatkan dokumennya?" Pria itu bertanya santai seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya. "Ya, aku sudah berhasil mendapatkan semua dokumen-dokumen yang kau inginkan." Adelia berbicara pelan seraya membolak-balik lembaran kertas yang ada di tanga
"Nah, tepat seperti dugaanku!"Dengan melepaskan kacamatanya sesaat, Bisma menunjuk ke arah salah satu lembaran dokumen yang baru saja diperiksanya. Adelia yang merasa penasaran pun langsung menunjukkan perhatian. Kedua netranya secara runtut membaca satu persatu laporan yang ada di sana hingga terbentuk sedikit lekukan di dahinya."Bukankah perusahaan kita sudah sejak lama bekerja sama dengan perusahaan itu?" Adelia bersuara untuk memastikan."Ya, tapi menurutku ada yang sangat tidak beres di sini. Kau lihat perbedaannya? Ada berapa kali perusahaan ini merubah harga bahan-bahan yang dijualnya pada kita?""Sebenarnya cukup banyak, tapi bukankah ini semua masih dalam batas wajar? Setahuku, bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan beberapa properti kita memang sedang terus naik beberapa tahun terakhir ini."Adelia terdiam sesaat, seraya memperhatikan ekspresi Bisma yang nampak mencerna setiap kata-katanya. Pria itu kini beralih menatap layar besar di hadapannya. Sepertinya ada sesuatu